Akhi
MARILAH KITA WUKUF DI ARAFAH

Pada hari ini, jam ini, ketika kita berkumpul di sini, di sana di tanah suci, saudara-saudara kita sedang bermalam di berserakan di Mina. Mereka memenuhi kemah-kemah yang padang pasir, atau tergeletak begitu saja di atas bukit-bukit batu yang terjal, atau berbaring berdesakan di sekitar Jumrah. Kemarin mereka melempar Jumratul Aqabah, menyembelih kurban, dan menggunting rambut. Ada di antara mereka yang sudah melakukan thawaf ifadhah. Sekarang mereka melakukan salah satu kewajiban haji, yaitu bermalam yang pertama di Mina.
Esok hari mereka bermalam yang kedua di Mina. Bila memilih nafar awwal, segera setelah itu mereka kembali ke Makkah. Seluruh rangkaian ibadah haji sudah selesai. Beberapa hari yang lalu, mereka berangkat ke Arafah dengan pakaian ihram dan menggunakan bahasa yang sama. Esok hari mereka kembali ke Makkah dengan pakaian yang beraneka ragam dan mengucapkan bahasa yang berlainan. Seperti jutaan kupu-kupu, mereka datang ke Arafah dalam sayap putih bersih dan kembali lagi ke Makkah dalam sayap yang sudah diberi warna. Sekarang melakukan upacara kupu-kupu Tuhan itu sedang menunggu perpisahan dengan rumah Tuhan Thawaf Wada'.
Seluruh upacara haji merekonstruksi perjalanan Ibrahim as. Ibrahim as bukan saja Bapak Tauhid, yang ditugaskan membersihkan rumah Tuhan dari kemusyrikan, melainkan juga sebuah model dari manusia seorang memilih untuk berangkat menuju Tuhan. Tuhan bertanya "Mau pergi kemana kamu?" (QS Al-Takwir [81]: 26). Ia menjawab, Aku akan berangkat menuju Tuhanku; tentulah Dia akan memberikan petunjuk kepadaku." QS Al-Shaffat [37]: 99). Tuhan bertanya kepada orang-orang yang melakukan ibadah haji, "Mau pergi ke mana Kamu?" Para Jamaah haji berkata seperti Ibrahim as, "Aku akan berangkat menuju Tuhanku; tentulah Dia akan memberikan petunjuk kepadaku."
Seperti Ibrahim as, saudara-saudara kita, tanpa mempedulikan usia dan kesehatan, tanpa memperhatikan kesibukan dan pekerjaan, tanpa menghiraukan keluarga dan kawan-kawan, meninggalkan tanah airnya, berangkat menuju rumah Tuhan, Baitullah. Ketika Tuhan memanggil mereka, "Maka berlarilah kamu kepada Allah. Sungguh Aku hanya pemberi ingat yang jelas bagi kamu." (QS Al-Dzariyyat [51]:50), para jamaah haji menjawab, serentak dalam teriakan yang sama, "Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu." Sejak beberapa hari yang lalu, mereka menegaskan kesediaan mereka untuk berangkat menuju Tuhan, untuk berputar di sekitar rumah Tuhan. Teriakan itu keluar dari jutaan mulut, bergema di bukit-bukit yang tandus, yang bergaung dalam kelengangan padang pasir yang gersang.
Di Arafah, pada malam sebelum wukuf, mereka merebahkan diri di hadapan Tuhan Sekalian Alam. Setiap orang merintih, "Ampunilah aku di malam ini, di saat ini, semua nista yang pernah aku kerjakan, semua dosa yang pernah aku lakukan, semua kejelekan yang pernah aku rahasiakan, semua kedunguan yang pernah aku amalkan, yang aku sembunyikan atau tampakkan, yang aku tutupi atau aku tunjukkan. Ampuni semua keburukan yang telah Engkau suruhkan malaikat yang mulia mencatatnya. Mereka yang Engkau tugaskan untuk merekam segala yang ada padaku. Mereka yang Engkau jadikan saksi-saksi bersama seluruh anggota badanku, dan Engkau sendiri mengawasiku di belakang mereka." Pada waktu wukuf, mereka ulangi lagi rintihan itu di sela-sela sanjung dan puji mereka kepada Tuhan. Bersama talbiyah, rintihan para hamba Tuhan itu naik ke langit, bergabung dengan tasbih para malaikat pemikul Arasy.
Memang, inilah syarat yang harus dipenuhi oleh semua orang yang kembali kepada Tuhan. Berangkat menuju Tuhan harus dimulai dengan meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan. Seperti jamaah haji yang harus mandi sebelum mengenakan kain ihram, mereka yang berangkat menuju Tuhan harus membersihkan diri mereka dari segala kenistaan yang mereka lakukan, baik dalam kesendirian dalam keadaan terang-terangan, baik yang disembunyikan maupun yang ditampakkan.
Panggilan untuk kembali kepada Allah tidak hanya ditujukan kepada para jamaah haji, tetapi juga kepada kita semua. "Larilah kamu kepada Allah!" Para jamaah haji sedang kembali kepada Allah mengikuti jalan Ibrahim as. Kita semua harus mengikuti jamaah haji: "Ikutilah jalan orang yang akan kembali kepada-Ku. Kemudian, kepada-Kulah tempat kembali kamu. Maka akan Kukabarkan kepada kamu apa-apa yang kami kerjakan" (QS. Luqman [31]: 15). Satu saat kita semua harus kembali kepada Allah dalam keadaan terpaksa. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, suatu saat Tuhan akan menarik ubun-ubun kita, mengambil nyawa kita, dan memaksa kita kembali kepada-Nya.
Allah memanggil kita untuk sejak kini kembali kepada-Nya. Bukankah ketika Tuhan bertanya kepada Kita: "Fa aina tadzhabun; Mau perg ke mana?" kita menjawab tidak jelas. Kita tidak tahu kemana kita sedang pergi: apa tujuan kita dalam hidup ini: mengejar karir, kekayaan, kedudukan, kemasyhuran, atau sekadar menghabiskan usia, atau secara buta hanya mengikuti zaman dan keadaan. Kembalilah kepada Tuhan sekarang juga. Arahkan perahu kehidupan kita menuju Allah Swt. Persis seperti jamaah haji, kita harus memilih untuk kembali kepada Tuhan secara sukarela, sebelum kembali kepada-Nya secara terpaksa.
Sama seperti jamaah haji, kita harus wukuf lebih dahulu di hadapan Allah. Kita harus mulai perjalanan kembali kepada-Nya dari Arafah. Arafah artinya pengakuan, pengenalan. Merintihlah di hadapan Allah. Akui segala dosa yang kita lakukan. Akuilah bahwa selama ini kita telah melupakan Tuhan. Katakan terus- terang di hadapan-Nya bahwa sudah lama hidup kita diarahkan bukan kepada Allah. Kita diombang-ambing badai kehidupan. Kita berlayar tanpa pedoman.
Akuilah di hadapan Allah bahwa selama ini kita menjadi pengembara padang pasir yang tersesat. Berulangkali kita mengejar apa yang kita sangka sebagai tujuan hidup kita, tetapi ternyata hanya fatamorgana yang menipu. Kita sudah kelelahan. Marilah kita adukan segala kesalahan dan kealpaan kita kepada- Nya.
Bukankah kita menduga bahwa kenyataan adalah tujuan hidup kita sehingga untuk itu kita melakukan apa saja. Kita habiskan waktu kita untuk mengumpulkan beberapa butir kekayaan. Kita rampas milik orang lain. Atau kita hancurkan kehidupan orang banyak. Atau kita injak hak-hak orang lemah. Semuanya demi kekayaan. Lalu, kita temukan ternyata kekayaan tidak memuaskan kehausan kita. Kita sudah kelelahan. Mari kita berhenti sejenak. Marilah kita wukuf. Marilah kita menangis: "Tuhanku, telah lama aku mengabaikan-Mu. Aku telah salah mengambil jalan. Tubuhku sudah penuh dibalut lumpur kebusukan. Ampunilah daku. Bawa aku ke haribaan-Mu sehingga aku dapat mempersembahkan semua kekayaan- Mu yang aku miliki untuk membesarkan Asma-Mu."
Bukankah kita juga pernah menyangka bahwa kedudukan, jabatan adalah kejaran kita, dan untuk itu kita hantam kawan seiring, kita fitnah orang-orang yang pernah berjasa kepada kita, kita korbankan persahabatan dan kekeluargaan, kita abaikan kita berlaku curang, sayang: sakitnya kehilangan cinta dan kasih culas, dan khianat? Semuanya demi kedudukan. Lalu, kita temukan, ternyata kedudukan malah menambah beban kita. Kita sudah kelelahan. Mari kita berhenti sejenak di halaman Tuhan. Marilah kita wukuf. Marilah kita menjerit: "Tuhanku, telah lama aku tulikan telingaku untuk mendengarkan seruan-Mu. Aku pusatkan perhatianku hanya pada ambisiku. Hatiku sudah dipenuhi kedengkian dan kebengisan. Tanganku sudah berlumuran darah orang-orang yang aku zalimi. Maafkan daku. Bangunkan daku dari ketergelinciranku. Peganglah tanganku. Kuatkan kakiku sehingga, walaupun tertatih-tatih, aku tetap berjalan menuju ridha-Mu."
Boleh jadi kita telah bekerja keras mengejar apa saja; tetapi tidak berhasil mendapatkannya. Sudah banyak pengorbanan yang kita lakukan. Kita cari kekayaan tetapi kita masih juga miskin seperti dulu. Kita tuntut kedudukan, tetapi kita tetap saja orang kecil seperti semula. Kita kejar kemasyhuran, tetapi kita tetap saja tidak dikenal. Kita sudah mengeluarkan suara kita sekeras mungkin, tetapi tidak seorang pun mendengar kita. Kita sudah membanting tulang, memeras keringat untuk cita-cita yang bermacam-macam, tetapi kita masih saja terpuruk sebagai orang yang gagal selama kehidupan. Kita sudah kelelahan. Mari kita berhenti sejenak di tengah sahara kehidupan kita. Mari kita rebahkan diri kita di hadapan Tuhan. Mari kita wukuf. Marilah kita menangis: "Tuhan, aku sudah meninggalkan-Mu hanya untuk menumpuk kegagalan. Bimbinglah aku untuk berangkat menuju-Mu. Bantulah aku untuk menundukkan kehendakku pada kehendak-Mu. Kuatkan anggota badanku. Segarkan jiwaku dengan siraman cinta- Mu."
Setelah wukuf mari kita pergi menuju Mina. Marilah kita lempar setan dengan batu-batu keimanan kita. Marilah kita renungkan dialog Tuhan dengan hamba-Nya seperti dikisahkan dalam Tafsir Al-Kabir-nya Al-Fakhr Al-Razi. Allah Swt berfirman, “Wahai hamba-Ku, telah kujadikan taman surga bagimu dan kau pun telah memperuntukkan tamanmu untuk-Ku. Tetapi renungkanlah, apakah telah kau lihat taman-Ku sekarang? Apakah engkau sudah masuk ke dalamnya?" Si hamba berkata "Belum, ya Rabbi." Allah berfirman lagi, "Apakah aku sudah masuk tamanmu?” Tentu si hamba menjawab, "Sudah, ya Rabbi." Tuhan berfirman, “Ketika engkau hampir masuk ke dalam surga-Ku, Aku keluarkan setan dari taman-Ku. Semuanya untuk mempersiapkan kehadiranmu. Aku berkata kepadanya (setan), "Keluarlah dari sini dalam keadaan hina dina!" Aku telah keluarkan musuhmu sebelum kamu masuk ke situ. Kini, apa yang kamu lakukan? Aku sudah berada di tamanmu 70 tahun, mengapa belum juga kaukeluarkan musuh-Ku, mengapa belum kauusir dia?" Sang hamba berkata, "Tuhanku, Engkau berkuasa mengeluarkan dia dari taman-Mu, tetapi aku seorang hamba yang rentan dan lemah. Aku tiada kuasa mengeluarkannya." Allah berfirman, "Orang lemah akan menjdi kuat apabila ia memasuki perlindungan raja yang perkasa. Masuklah ke dalam perlindungan-Ku sehingga engkau akan sanggup mengeluarkan setan dari taman hatimu. Ucapkanlah: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk." (Tafsir Al-Kabir li Al-Fakhr Al- Razi [1]: 99). Kitalah hamba Allah yang disuruh untuk mengusir setan dari hati kita. Marilah kita persiapkan hati kita untuk menjadi taman tempat bersemayam Allah Rabbul 'Al-Alamiin.
Dari Mina, marilah kita menuju Baitullah. Mari kita habiskan umur kita untuk terus-menerus berputar di sekitar rumah Tuhan. Apa pun yang kita lakukan, kita tidak menjauhi Tuhan. Kita persembahkan kekayaan kepada Tuhan dengan membagikannya kepada hamba-hamba-Nya yang memerlukan. Bukankah Tuhar pernah berfirman, "Dekatilah Aku di tengah-tengah orang-orang keci di antara kamu. Temui aku tengah-tengah orang yang menderita." Kita peruntukkan kedudukan kepada Tuhan dengan menggunakanny untuk melindungi orang-orang yang lemah dan dilemahkan. Kit syukuri semua anugerah Tuhan kepada kita dengan berusah membahagiakan sesama manusia. Insya Allah, dengan begitu, kit bergabung dengan jamaah haji yang memeroleh haji yang mabrur sa'i yang masykur, dan usaha yang tidak pernah merugi.
Inilah tradisi Ibrahim as. Inilah Sunah Rasulullah Saw. Inilah jalan hidup kita semua. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).