top of page
  • Writer's pictureAkhi

MATI SYAHID (I)

Updated: Jul 31, 2022



Tulisan ini saya mulai dengan penyampaian takziah sedalam dalamnya kepada bunga-bunga Ibu Pertiwi yang telah gugur sebelum mekar karena kecintaan mereka kepada kebenaran dan keadilan. Kita percaya bahwa arwah mereka yang suci telah dijemput para malaikat dan ditempatkan di sisi Allah pada tempat yang sebaik-baiknya.


Saya ingin mengajak para pembaca kembali kepada suatu peristiwa yang terjadi pada 1356 tahun yang lalu. Peristiwa yang bisa kita sebut sebagai demonstrasi menentang kezaliman itu berlangsung di tengah-tengah padang pasir kira-kira beberapa kilometer dari kota Kufah. Ada rombongan kecil yang tergesa-gesa menyelesaikan ibadah haji mereka, hanya karena mereka memperoleh undangan penduduk Kufah untuk melakukan reformasi politik di dunia Islam. Pemimpin rombongan adalah cucu Rasul saw, Al-Husein as.


Pada waktu itu, dunia Islam baru saja berada pada akhir Rezim Baru. Rezim Lama adalah rezim para Khulafâur Râsyidîn, yang berakhir pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib kw. Itulah rezim yang menegakkan keadilan yang memihak rakyat dan mendahulukan orang-orang yang tertindas. Pada rezim sebelumnya, dunia Islam diperintah oleh orang-orang seperti Abu Bakar Shiddiq, yang setelah menjadi khalifah masih diketemukan orang berjualan di pasar karena tidak ingin memperoleh pendapatan dari jabatannya sebagai pemimpin negara. Rezim Lama juga ditandai oleh Umar bin Khattab, yang pernah berkata kepada rakyatnya dengan suara keras, “Demi Allah, sekiranya di dalam pemerintahanku ada seorang rakyat yang kehilangan kambingnya, Umar bin Khattab tidak akan pernah bisa tidur sebelum ia mengembalikan kambing itu kepada pemiliknya.”


Rezim Lama ialah rezimnya Ali bin Abi Thalib, yang dipuji Rasul sebagai “Bapak Fakir Miskin”. Inilah Ali yang datang ke gudang negara, kemudian melihat tumpukan emas dan perak seraya berkata, “Hai Kuning dan hai Merah, tipulah orang selain aku.” Inilah Ali yang ketika memegang pemerintahan, ketika ia menjadi Presiden, Amirul Mukminin, ia membagikan kekayaan negara dengan cara yang seadil-adilnya.


Suatu saat Aqil, saudara tua Ali, meminta bagian yang lebih banyak. Ali berkata kepadanya, “Kalau engkau ingin harta yang lebih banyak, berangkatlah kamu datangi toko-toko itu dan ambil harta-harta mereka.” Aqil bertanya, “Apakah engkau menyuruhku merampok harta orang lain?” Ali segera menjawab, “Dengan permintaan fasilitas yang kau lakukan, engkau sebetulnya menyuruh aku merampok harta kaum muslimin.”


Inilah Ali yang tidak pernah memejamkan matanya setiap malam karena memikirkan penderitaan kaum muslimin di sekitarnya. Inilah Ali yang dipuji Nabi saw sebagai pembela fakir miskin, yang kelak gugur di mihrabnya karena kecintaannya kepada keadilan. Inilah Ali yang perlahanlahan ditinggalkan sahabatnya seorang demi seorang hanya karena ia tidak mau memberikan fasilitas tambahan kepada keluarga dan kawan-kawan dekatnya. Ali dibunuh oleh para sahabatnya ketika shalat subuh pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah.


Orde lama yang diperintah oleh Khulafâur Râsyidîn, kemudian digantikan oleh Orde Baru yang diperintah oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Abu Sufyan adalah penentang Nabi saw sejak awal dan baru masuk Islam pada Hari Kemenangan Rasulullah saw. Khittah Abu Sufyan dilanjutkan oleh Muawiyah. Abul A’la Al-Maududi, dalam bukunya Al-Khilâfah wa Al-Mulk, menceritakan karakteristik pemerintahan orde baru Muawiyah sebagai berikut:

  1. Pemerintahan ditegakkan diatas nepotisme. Negara ditegakkan di atas asas kekeluargaan. Makin dekat dengan pemimpin kekuasaan, makin banyak hak-hak istimewa yang diperolehnya.

  2. Pemerintahan ditegakkan di atas pelecehan hak-hak rakyat.


Muawiyah memerintahkan para ulama untuk mengutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar. Karena Ali, walaupun sudah meninggal dunia, dianggap punya pengaruh yang besar terhadap kaum muslimin. Ada suatu mesjid di Kufah. Di sana terdapat serombongan orang yang tidak mau mengutuk Ali bin Abi Thalib. Muawiyah lalu mengerahkan pasukannya untuk menangkapi orang-orang di mesjid itu. Sebagian orang ditebas tangannya dan sebagian lagi dikubur hidup-hidup hanya karena tidak mau mengecam Ali bin Abi Thalib.


Muawiyah membangun istana yang megah. Salah seorang sahabat Nabi, Abu Dzar Al-Ghifari, jengkel melihat betapa rakyat sengsara sementara Muawiyah membangun istana. Setiap hari Abu Dzar berteriak di depan Muawiyah dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “Orang-orang yang menumpuk emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah, gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih” (QS. At-Taubah 34). Akhirnya Muawiyah tidak tahan dan menganggap Abu Dzar sebagai penghasut massa.


Satu saat Abu Dzar berteriak di pasar di hadapan rakyat kecil di sekitarnya. Abu Dzar berkata, “Saya heran melihat mereka yang hidup kelaparan, tetapi tidak membawa pedang-pedang mereka dan mendatangi orang-orang kaya itu untuk mengambil harta mereka.” Abu Dzar ditangkap, diikatkan ke dalam punggung unta, dan dikembalikan ke Madinah.


Pada akhir pemerintahannya, Muawiyah meninggal dunia. Bagaimana pun ia menjaga kekuasaannya, usia tuanya tetap tidak dapat ia pertahankan. Dia digantikan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah. Anaknya pun meneruskan perjuangan bapaknya untuk menegakkan kekuasaan di atas nepotisme, penindasan, dan perampasan hak-hak rakyat kecil.


Pada zaman itulah, 1356 tahun yang lalu, berangkat serombongan kecil orang untuk menentang kezaliman. Rombongan itu dipimpin oleh Al-Husein. Ia berangkat karena ia menemukan ulama-ulama sudah tidak lagi bicara tentang kebenaran. Mereka malah menggunakan mimbar-mimbar untuk membenarkan kezaliman. Ia berangkat karena ia tidak menemukan lagi para cendekiawan yang mampu menceritakan kenyataan. Ia berangkat karena menemukan begitu banyak orang yang menjajakan kepalsuan. Ia ingin tunjukkan bahwa pemerintahan waktu itu ialah pemerintahan yang zalim. Ia ingin menunjukkan kebenaran, demonstrate the truth. Sekarang kita sebut demonstrasi. Berangkatlah Al-Husein. Sampai di suatu padang pasir, datanglah pasukan pemerintah dalam jumlah banyak yang dipimpin oleh seorang prajurit bernama Al-Hurr yang mendesak para demonstran ini kembali ke tempat semula.


Tanggal 9 Muharram mereka terdesak, dijauhkan dari sumber air minum. Mereka berkemah di situ dalam keadaan lapar dan dahaga.


Saya tidak akan merinci peristiwa ini yang kemudian dilupakan orang. Orang berusaha melupakan karena bila peristiwa ini dikenang, maka semangat untuk menegakkan keadilan akan bangkit sepanjang sejarah. Para penguasa di mana pun berkepentingan agar semangat ini tidak pernah tumbuh. Oleh sebab itu, mereka membungkam siapa saja yang mau menceritakan peristiwa ini. Sebagai gantinya, kepada kita diajarkan sesuatu yang dapat melumpuhkan semangat perjuangan sama sekali, yaitu kepercayaan kepada takdir bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan Allah swt. Bahkan kekuasaan pun ditentukan Allah. Sehingga kalau kita ditindas, hal ini juga merupakan kehendak Allah dan kita harus menerima kehendak Allah itu dengan seluruh kepasrahan. Karena muslim seperti itulah yang mereka katakan sebagai muslim yang sejati. Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kepentingan itu, Misalnya, “Katakanlah: Ya Allah, Engkaulah pemilik segala kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada siapa saja yang engkau kehendaki dan Engkau ambil kekuasaan dari siapa saja yang Engkau kehendaki. Pada tangan-Mu ada kebaikan” (QS. Ali Imran 26). Saya tidak bermaksud menolak ayat ini, yang saya tolak ialah penafsiran ayat ini untuk membenarkan penindasan dan bahwa penindasan itu ialah kehendak Allah swt.


Ketika ada orang-orang yang menentang penindasan itu, segera mereka dituduh sebagai penolak takdir yang tidak mau menerima ketentuan Allah swt. Bahkan pemberontakan sekelompok kecil ini, yang masih memiliki hati nurani dan kebenaran, disebut oleh para ulama sebagai Bughat yang berarti tindakan melawan kekuasaan yang sah. Hukum melakukan tindakan ini sama dengan kafir. Sampai Imam Husein as disebut kafir hanya karena dia ini menentang kezaliman.


Saya ingin memfokuskan pada satu peristiwa saja. Yaitu pada pemimpin pasukan pemerintah yang bernama Al-Hurr. Kata Al-Hurr berarti sang merdeka, Mr. Freedom. Al-Hurr inilah yang menghalangi rombongan Al-Husein dan mendesak sampai ke satu tempat di mana terjadi peristiwa Sepuluh Muharram. Al-Hurr mendapat bantuan pasukan tambahan dengan jumlah yang lebih banyak dipimpin oleh seorang jenderal bernama Umar bin Sa’ad.


Al-Hurr melihat rombongan itu benar-benar mau membunuh cucu Rasulullah saw. Ia melihat kepada rombongan Al-Husein, segelintir demonstran yang berada dalam kehausan. Ia melihat pasukan Ibnu Sa’ad yang merintangi mereka untuk memperoleh seteguk air minum. Al-Hurr bingung. Ia harus memilih di antara dua pilihan, mendukung perjuangan Imam Husein betapa pun lemah-nya mereka, atau ia tetap harus berpihak pada janjinya sebagai prajurit yang harus taat kepada atasan. Lalu ia bertanya kepada Ibnu Sa’ad, “Wahai putra Sa’ad, apakah betul kalian akan membunuh mereka ini, orang-orang yang tidak bersalah, yang dosanya hanya karena ingin mengungkapkan kebenaran?” Lalu Ibnu Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku akan bantai mereka. Walaupun tangan-tangan berjatuhan dan kepala-kepala bergeletakan.”



Waktu itu Al-Hurr tersentak, tiba-tiba ia menghentakkan sanggur di kudanya menuju rombongan Al-Husein. Begitu tiba di hadapan Imam, Al-Hurr turun dari kudanya seraya merebahkan diri bersujud di kaki Husein. “Wahai cucu Rasulullah, inilah aku si Jahat yang menggiringmu sampai ke tempat ini. Tadi aku dihadapkan kepada dua pilihan antara surga dan neraka. Demi Allah, aku tidak akan mendahulukan apa pun di atas surga. Apakah masih ada maaf bagiku, wahai putra Rasulullah?” Al-Husein memandangnya dan berkata, “Insya Allah, Allah akan mengampunimu.” Al-Hurr berkata, “Kalau begitu, izinkan aku sekarang mempersembahkan nyawaku untuk menebus dosa-dosaku. Hari ini aku telah memutuskan untuk memihak kebenaran.” Kemudian Al-Husein mengusap wajah Al-Hurr dan berkata, “Engkau seperti nama yang diberikan ibumu, Engkau adalah Al-Hurr, Sang Merdeka.” Al-Hurr memilih kemerdekaan hati nuraninya daripada kedudukannya sebagai pemimpin pasukan. Ia meninggalkan pasukannya karena ia tahu pasukannya dikirim untuk menghancurkan para pejuang keadilan. Ia lalu bergabung dengan para pejuang keadilan. Pada 1356 tahun yang lalu, yang pertama kali gugur di padang Karbala ialah prajurit yang memilih hati nuraninya ketimbang perintah atasannya. (Bersambung ... !)


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).


Buletin Al-Tanwir Nomor 116 Edisi 25 Mei 1998

23 views0 comments

Recent Posts

See All

Adil

bottom of page