top of page
  • Writer's pictureAkhi

Memaafkan sebagai Penghapus Akibat Dosa


Seorang Arab dari pedalaman datang menemui Ali bin Abi Thalib, la menyampaikan keluhannya kepada Imam Ali karena beratnya kehidupan, sempitnya rezeki, dan banyaknya tanggungan yang harus diurus. Imam Ali pun memberikan nasihat kepadanya, "Hendaklah kamu beristighfar, karena Allah Swt. berfirman, 'Minta ampunanlah kamu kepada Tuhanmu; sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Nanti Allah akan mengirimkan hujan (rezeki) kepada kamu dengan berlimpah. Dan Dia akan memperbanyak harta kamu dan anak-anak kamu dan la jadikan bagimu kebun-kebun dan sungai-sungai'."


Kemudian, orang itu pulang ke kampungnya. Setelah beberapa waktu lamanya ia datang lagi dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin, aku sudah banyak ber-istighfar, tetapi aku tidak melihat diriku lepas dari kesusahanku." Imam Ali pun berkata, "Barangkali kamu tidak melakukan istighfar dengan baik." Orang Arab itu berkata, "Ajarkanlah aku bagaimana caranya." Imam Ali berkata lagi, "Ikhlaskan niat kamu dan taati Tuhanmu." (Kanzul 'Ummål: 3966)


Berdasarkan riwayat ini, tidak gampang memang menghapuskan dosa dengan istighfar. Istighfar adalah doa atau permohonan agar Allah Swt. mengampuni kita. Sebagaimana semua doa, ia hanya akan didengar Allah jika tidak tertahan atau tertutup oleh dosa-dosa tertentu. Durhaka kepada orangtua termasuk di antara dosa yang akan menghalangi sampainya doa-doa yang kita panjatkan. Hanya apabila istighfar kita lakukan dengan memenuhi syarat-syarat, kita akan mendapatkan ampunan Allah Swt. Dengan istighfar seperti itu, kita juga akan mendapatkan limpahan rezeki (QS. Nuh [71]: 11-12), kehidupan yang bahagia (QS. Húd [11]: 3), kekuatan batin (QS. Hûd [11]: 52), dan petunjuk dalam menghadapi kesulitan (QS. Al-Anfâl [8]: 29).



Allah Swt. Mahatahu kalau kita ini adalah makhluk yang lemah dan sering tidak sanggup ber-istighfar dengan sungguh- sungguh. Oleh karena itu, dalam Al-Quran, Dia menunjukkan kepada kita amal-amal yang dapat memastikan ampunan-Nya. Dua di antara amal itu adalah memaafkan dan berbagi rezeki dengan orang lain.



Memaafkan

Di antara anugerah Allah kepada kita adalah Dia memberi kita pasangan hidup, kekayaan, dan anak keturunan. Kita hidup dan menikmati kehidupan di tengah-tengah keluarga. Dengan cara itu pula keluarga memberi kita makna kehidupan. Seorang buruh kecil dari desa berangkat ke kota besar, membanting tulang, menghadapi ganasnya kehidupan, mengumpulkan beberapa ribu rupiah, dengan mencurahkan keringat, airmata, dan (terkadang) darah. Semua itu ia lakukan dengan tabah, karena ia memiliki keluarga yang harus dihidupinya. Ketika ia pulang kampung dan menyerahkan semua hasil jerih payahnya kepada istri dan anak-anaknya, ia merasakan kebahagiaan yang memberinya semangat kehidupan.


Bukan hanya buruh kecil itu, pelajar atau mahasiswa yang belajar dengan tekun, tentara yang berangkat ke medan tempur, pelaut yang mengarungi samudera, pemimpin agama yang berkhutbah di mimbar, anggota legislatif yang bertikai sampai berkelahi di gedung DPR, bahkan pimpinan negara yang sibuk bernegosiasi di depan dan di belakang publik, semuanya ingin memperoleh kekayaan untuk berkhidmat kepada keluarganya-terutama untuk istri dan anak-anaknya. Al-Quran pun tidak menyalahkan mereka. Tuhan sudah menciptakan keluarga sebagai tempat bersemi dan berkembangnya cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, pada saat yang sama, Tuhan pun memperingatkan kita bahwa pasangan hidup, dan juga anak- anak, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi musuh kita. Kekayaan dapat menjadi sumber bencana.


Ketika buruh kecil itu pulang ke rumahnya, istrinya boleh jadi melemparkan lembaran-lembaran uang itu dengan jeritan histeris. Uang itu terlalu kecil jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mungkin saja, ia akan mencaci maki suaminya dan menyesali perkawinan dengannya. Istri itu pun telah menjadi musuh yang merobek-robek harga dirinya. Para pengusaha tiba-tiba melihat kekayaannya menjadi sebab dari segala kecemasan dan kegelisahan hatinya; kemudian anak istrinya menambah daftar kejengkelan hatinya. Para penguasa mungkin berhadapan dengan masalah keluarga yang jauh lebih berat ketimbang masalah negara yang dihadapinya. Mungkin saja mereka mampu berakting menunjukkan betapa bahagianya keluarga mereka di depan kamera, tetapi di balik tembok rumahnya mereka menangisi kehidupan pribadinya. Keluarga dan kekayaan, alih-alih dapat membawa kebahagiaan dapat menjadi sumber bencana.


Bencana yang menimpa kekayaan dan keluarga kita itu terjadi karena dosa, baik yang dilakukan oleh kita maupun oleh keluarga atau sahabat-sahabat kita. Untuk menghapus akibat dari dosa-dosa tersebut kita memerlukan ampunan Allah Swt. Untuk mendapatkan ampunan-Nya, kita harus saling memaafkan antara satu sama lain. Dalam Al-Quran disebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati- hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya, hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar," (QS. At-Taghabûn [16]: 14-15).


Ada tiga kata untuk menyebutkan kata memaafkan dalam ayat ini, yaitu ta'fu, tashfahu, dan taghfiru. Sambil mengulang lagi apa yang pernah disampaikan pada tulisan terdahulu, ta'fu berasal dari kata "afa" yang berarti menghapuskan jejak atau menghilangkan bekas. Di padang pasir terkadang bukit pasir dapat hilang begitu saja ketika ada topan yang meniup habis bukit itu. Orang Arab berkata, "Afât al-rih al jibâl, angin menghapuskan bukit." Tashfahu berarti melepaskan seseorang dari hukuman yang seharusnya ia terima. Seorang budak lari dan kemudian tertangkap. Ia dihempaskan di hadapan tuannya. Ia seharusnya mendapatkan cambukan sebagai hukuman atas kesalahannya. Jika Anda membebaskannya dari hukuman itu, Anda tashfahu. Yang terakhir, taghfiru, artinya semula adalah menutupi atau menyembunyikan.


Jadi, ketika kita memaafkan orang lain, ada tiga hal yang harus kita lakukan. Pertama, kita hapuskan dari hati kita segala luka, kepedihan, dan sakit hati yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain kepada kita. Anda belum memaafkan istri Anda, jika Anda masih mengungkit-ungkit kesalahannya. Anda belum memaafkan siapa saja yang pernah menzalimi Anda, jika Anda masih menghujatnya, mengingat-ingat makiannya, atau mengorek-ngorek perbuatannya pada masa lalu. Memaafkan adalah memperlakukan orang-orang yang berbuat salah kepada kita, seperti Yusuf memperlakukan saudara-saudaranya.


Dahulu, saudara-saudara Yusuf itu, karena kedengkiannya, melemparkan Yusuf ke dalam sumur. Setelah Yusuf berjuang mengatasi kesengsaraan karena ulah saudara-saudaranya, akhirnya ia memperoleh jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Saudara-saudaranya datang untuk meminta pertolongan kepadanya. Mereka bersimpuh meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Apa yang dilakukan Yusuf? "Dia (Yusuf) berkata, 'Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang'," (QS. Yusuf [12]: 92).


Kedua, memaafkan berarti melepaskan hukuman dari orang yang seharusnya menerima hukuman itu. Ketika ada orang yang menyakiti kita, yang berbuat zalim kepada kita, atau menyebabkan kita menderita, sehingga dalam hati timbul keinginan untuk membalas dendam. Ia telah menyakiti kita, sehingga sangat layak apabila ia pun kita sakiti. Ia telah membuat kita sengsara, dan kita harus membalasnya dengan menyengsarakan dirinya. Jika ia menderita karena perbuatan yang dilakukannya, kita menganggapnya sebagai hukuman.


Memang, Tuhan membolehkan kita untuk memberinya hukuman sebagai pelajaran baginya. Akan tetapi, Dia pun menyuruh kita bersabar dan memaafkannya. Allah Swt. berfirman, "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah lebih baik bagi orang-orang yang sabar," (QS. An-Nahl [16]: 124).


Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman pula, "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang- orang yang zalim," (QS. Asy-Syûra [42]: 39-40).


Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabatnya, "Inginkah kalian tahu siapa makhluk yang paling baik di dunia dan di akhirat? Maafkanlah orang-orang yang menzalimi kamu; sambungkanlah persaudaraan dengan orang-orang yang berbuat buruk kepadamu; dan berikan hartamu kepada orang-orang yang tidak pernah memberi kepadamu." (Biharul Anwar, 71: 339).


Ketiga, memaafkan berarti menutup aib, kesalahan, atau dosa orang yang kita maafkan. To forgive is to forget. Memaafkan berarti melupakan. Keluarga kita, anak-anak kita, sahabat kita adalah manusia biasa seperti kita. Mereka pernah tergelincir, alpa, atau jatuh pada jebakan setan. Mereka pernah terdorong oleh hawa nafsunya. Sama seperti kita juga. Sepanjang hidup, kita menumpuk dosa. Akan tetapi, dengan kasih sayang-Nya, Allah Swt. menyembunyikan dosa-dosa kita itu.



Seorang sufi beribadah di malam hari. Di tengah-tengah munajatnya, ia mendengar suara, "Hai Sana'i, jika Aku ungkapkan dosamu kepada orang banyak, mereka akan melemparimu dengan batu." Sana'i berkata pelan, "Jika aku ungkapkan kasih-Mu kepada manusia, mereka akan malas beribadah kepada- Mu." Seperti Sana'i, sekiranya Tuhan "membocorkan" semua rahasia doa kita, kita tidak akan sanggup membawa muka kita. Salah satu nama Allah adalah Sattar Al-'Uyûb, penutup aib. Maka, jika kita ingin menyembunyikan aib diri, sembunyikan pula aib orang-orang yang pernah berbuat zalim kepada kita.


Jika kita melakukan tiga hal, yaitu menghapuskan luka hati, membebaskan dari hukuman, dan menutup aib terhadap orang- orang yang telah berbuat salah kepada kita, dapat dipastikan Allah Swt. akan mengampuni dosa-dosa kita. Dengan begitu, Allah juga menghapuskan akibat buruk dari dosa tersebut, membebaskan kita dari hukuman, dan menyembunyikan aib-aib yang akan mempermalukan kita.


Salah seorang sufi agung dari keluarga Nabi yang suci, Imam Zainal Abidin, melakukan tiga hal itu, sebelum ia memohon ampun kepada Allah Swt. Ia mengumpulkan para pegawai dan budak-budaknya. Ia mengeluarkan catatan. Sambil menunjuk kepada setiap orang di antara para pegawai dan budaknya. Ia berkata, "Hai Fulan, bukankah kamu sudah melakukan kesalahan ini pada hari ini jam ini?" Yang ditunjuk mengakui kesalahannya. Semua dicatat dengan cermat dan semua diakui mereka. Setelah itu Zainal Abidin berkata, "Saksikan, aku maafkan kalian. Aku bebaskan kalian dari hukuman. Aku akan lupakan semua perbuatan kalian itu. Sekarang, aku minta kalian berdoa kepada Allah seperti ini, Tuhanku, tuan kami telah mencatat kesalahan kami, tetapi ia telah memaafkan kami. Maafkanlah dia, ya Allah, sebagaimana ia telah memaafkan kami'."


Dengan contoh yang sangat dramatis itu, Zainal Abidin mengajarkan kepada kita untuk belajar memaafkan orang, agar Allah Swt. berkenan mengampuni dosa-dosa kita. "Dan jika kamu memaafkan, membebaskan, dan mengampuni mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," (At-Taghabun [64]: 14-15). JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb


Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

38 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page