Akhi
MEMAHAMI TANDA-TANDA ZAMAN

Apabila dua orang sahabat Nabi Saw. berjumpa, maka sebelum mereka berpisah, salah seorang di antara mereka membacakan Surah Al-'Ashr kepada yang lain. Sesudah itu, seorang di antara mereka mengucapkan salam," ujar Abu Malikah menceritakan perilaku para sahabat. Surah Al-'Ashr termasuk surah-surah pendek dalam Al- Quran. Tetapi menakjubkan, dalam surah yang terdiri atas hanya tiga ayat ini terkandung makna yang sangat kaya. Begitu kayanya sehingga Imam Syafi'i pernah berkata, "Seandainya dari Al-Quran hanya turun tiga ayat Al-'Ashr, maka cukuplah itu untuk menjadi pedoman umat manusia. Seandainya manusia merenungkan surah ini, maka kandungannya akan memenuhi mereka."
Tanda-Tanda Zaman
Nama surah ini adalah 'Ashr, yang berarti masa, waktu, era, atau zaman. Dalam bahasa Arab, kata 'ashr digunakan untuk menunjukkan waktu, sejak waktu yang pendek (jam) sampai waktu yang panjang (era). Allah memulai surah ini dengan bersumpah: Demi waktu. Allah bersumpah untuk menarik perhatian kita akan apa yang disumpahkan-Nya. Di sini Dia menyuruh kita untuk mengamati waktu dalam arti umum. Manusia berubah dalam perjalanan waktu. Dalam waktu tujuh belas tahun, bocah ingusan berubah menjadi remaja yang memesonakan. Lima puluh tahun kemudian, ia berubah menjadi orang tua yang menyedihkan. Dalam panggung waktu, peristiwa demi peristiwa datang dan pergi.
Tidak ada waktu yang jelek; yang jelek adalah orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang berada dalam cakupan waktu. Ali Ridha r.a. bersyair, "Manusia mencela zamannya, padahal tiada cela pada zaman itu kecuali pada kita. Kita cela zaman, padahal cela itu ada pada diri kita. Sekiranya zaman dapat berkata, ia akan mengecam kita." Walaupun zaman tidak tercela, orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada suatu zaman sangat memengaruhi peristiwa kita.
Surah Al-'Ashr mengajari kita untuk memperhatikan dan memahami tanda-tanda zaman. "Cukuplah sebagai tanda kearifan seseorang, yaitu pengetahuannya tentang (tanda-tanda) zamannya,
حسب المرء من عرفانه علمه بزمانه
(Hasbul maru min irfanih, ilmuhu bizamânih),"
kata Ali bin Abi Thalib k.w. Seorang mukmin yang arif berusaha memahami tanda-tanda zamannya supaya tidak teperdaya oleh berbagai peristiwa, supaya dapat memberikan makna, dan --yang lebih penting-- supaya dapat memberikan reaksi yang tepat dalam kurun waktu yang tepat. Bukankah selain diperlukan the right man in the right place, dihajatkan juga the right man in the right time? Sejarah mengajarkan bahwa manusia-manusia besar adalah mereka yang mampu menjawab tantangan zamannya dengan tepat.
Reaksi yang salah akan membuat manusia rugi. Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Waktu dalam perspektif Islam tidak linier dan terpecah-pecah. Kita semua hidup sekaligus dalam tiga masa-masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Perilaku kita sekarang dipengaruhi oleh perilaku kita dulu dan pada gilirannya akan menentukan perilaku kita pada masa depan. Al- Quran menyuruh kita untuk melihat masa lalu, seperti dapat terbaca pada ayat-ayat yang menyuruh kita mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia pada masa lalu. Bahkan, Al-Quran memerintahkan kita untuk menengok suatu masa ketika kita merupakan makhluk yang tidak dikenal, "Bukankah telah datang kepada manusia suatu masa dalam perjalanan waktu ketika ia belum menjadi apa pun yang dapat disebut?" (QS 76: 1). Inilah firman Allah dalam ayat pertama pada surah yang dinamai Surah Manusia (Al-Insân) dan juga disebut Surah Perjalanan Waktu (Al-Dahr).
Sambil memperingatkan kita tentang masa lalu, Al-Quran menyuruh kita untuk memperhatikan persiapan kita bagi masa depan. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esoknya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa pun yang kamu kerjakan" (QS 59: 18). Strategi yang paling tepat untuk menyongsong masa depan adalah mengambil pelajaran dari masa lalu dan memahami tanda-tanda zaman ini. John Naisbitt dan Patricia Aburdene menamai tanda-tanda zaman ini dengan Megatrends (aliran-aliran besar). Karena Ashr mengandung makna yang luas, Islam mengajari kita tidak saja untuk memperhatikan megatrends, tetapi juga minitrends dan maxitrends.

Reaksi yang Tepat
Apa pun tanda zaman --yang besar maupun yang kecil-- yang kita lihat, kita akan berada dalam kerugian. Yang membuat zaman kita itu baik dan menguntungkan kita ialah reaksi yang tepat dalam mengisi zaman. Surah ini menyebut empat reaksi yang tepat: mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman, bekerja yang baik, berjuang bekerja sama menegakkan kebenaran, dan bekerja sama menyebarkan kesabaran.
Iman adalah keyakinan dan pandangan hidup. Iman memberikan arah dan membantu kita memberikan makna terhadap berbagai peristiwa yang kita hadapi. Iman adalah rujukan mutlak yang memberikan kepastian kepada kita. Tanpa iman, manusia akan terapung-apung dalam gelombang zaman. Ia menjadi seorang relativis, oportunis, dan pragmatis. Ketika peristiwa-peristiwa datang secara beruntun dan ia tidak dapat mengendalikannya, ia akan menderita alienasi (keterasingan). Para filosof menyebutkan kehilangan iman sebagai bencana besar bagi manusia modern. Tanpa iman, manusia mengalami kekosongan eksistensial (existential vacuum).
Peran iman dalam kehidupan manusia dapat menguat dan melemah. Ada kalanya manusia meragukan imannya. Seperti juga kadang terjadi, ia sepenuhnya dibimbing imannya. Zaman tidak akan merugikan orang yang selalu memelihara imannya dan memilih hidup dalam sinar imannya. Dalam pertemuan para rektor di Amerika Serikat, Benjamin S. May berkata,
"Kita memiliki lebih banyak sarjana dari zaman apa pun apa pun dalam sejarah kita, tetapi kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang sakit. Kita tidak memerlukan pengetahuan; itu sudah kita miliki. Yang kita perlukan adalah sesuatu yang bersifat ruhaniah."
Something spiritual. Itulah yang kita sebut iman.
Reaksi tepat yang kedua adalah kerja yang baik ('amal shalih). Al-Quran tidak pernah menyuruh kita untuk beramal yang banyak. Kita tidak dituntut untuk memperluas kuantitas, tetapi kita diminta untuk memperhatikan kualitas. "Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik kerjanya" (QS 67: 2). Dalam Islam, derajat manusia diukur dari kerjanya, bukan dari pahamnya. Amal menunjukkan sejauh mana manusia telah mengembangkan dirinya. Kehidupan menjadi bermakna bila manusia memberikan kontribusi besar yang memaksimalkan potensi-baik pada dirinya dan memaksimalkan potensi-baik pada orang lain. Manusia beruntung bila ia baik dan membaikkan orang lain; bila ia suci dan menyucikan orang lain; bila ia tercerahkan dan mencerahkan orang lain. "Sebaik-baik manusia ialah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia yang lain," sabda Nabi Saw.
Karena itu, reaksi ketiga dan keempat berkenaan dengan tanggung jawab manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Ia tidak saja harus hidup di atas kebenaran, tetapi juga mesti berusaha menegakkan kebenaran di tengah-tengah masyarakat. Ia tidak saja harus tabah menjalankan kebenaran yang diyakininya, tetapi juga harus berusaha memasyarakatkan ketabahan itu.
Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang beriman, beramal saleh, saling berwasiat dalam kebenaran, dan saling berwasiat dalam kesabaran. (QS 103: 1-3) JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).