Akhi
MENAATI ORANG BERAKAL DAN MEMBANTAH ORANG BODOH

Athi'il 'aqila taghnam, wa i'shil jahila taslam. Taatilah orang yang berakal ('aqil), kamu akan beruntung; dan bantahlah orang yang jahil, kamu akan selamat. Rangkaian kalimat di atas merupakan hikmah yang dipetik dari ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib k.w. Orang yang berakal artinya orang yang pintar, orang yang arif, orang yang bijak dan orang yang menggunakan akalnya. Bukan 'aqil dalam pengertian fiqih.
Dalam ilmu fiqih, yang dimaksudkan dengan orang akil itu ialah orang yang tidak gila, orang yang tidak pingsan dan bukan anak kecil. Akan tetapi kata "orang yang berakal" dalam ucapan Sayidina 'Ali tersebut adalah "orang yang berakal" dalam pengertian yang khusus; seperti yang akan dijelaskan pada baris-baris berikut ini.
Taghnam (nanti kamu beruntung), berasal dari kata ghanimah yang artinya memperoleh penghasilan berlebih. Di dalam Al-Quran, juga di dalam hadis Nabi yang mulia, kata ghanimah tidak selalu berarti pampasan perang, tetapi berarti bonus atau kelebihan. Misalnya, dalam doa Nabi yang sering kita baca: "Allahumma ini as'aluka mujibati rahmatik wa 'aza'ima maghfiratik wal ghanimata min kulli birrin" (Ya Allah aku minta kepastian rahmat-Mu dan keuntungan maghfirah-Mu, serta keuntungan pahala berlimpah dari segala kebaikan).
Kata ghanimah min kulli birrin dalam doa tersebut tidak boleh diartikan barang pampasan perang dari setiap kebaikan. Di dalam Al-Quran Al-Karim terdapat ungkapan "maghanim katsirah", sebagaimana dalam firman Allah Swt. berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang Mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak (maghanim katsirah)...(QS 4:94).
Kata "maghanim katsirah" tersebut juga tidak boleh diartikan sebagai barang pampasan perang. Sehingga kita juga tidak boleh mengartikan ungkapan Sayidina Ali k.w. di atas sebagai berikut, "Taatilah oleh kamu orang yang berakal, nanti kamu mendapat harta pampasan perang..." Akan tetapi, arti yang lebih pas adalah "Taatilah oleh kamu orang yang berakal, nanti kamu akan beruntung..." Dan lawan kata 'aqil adalah jahil. "Bantahlah orang yang jahil, tentu kamu akan selamat."
Di dalam Al-Quran Al-Karim, seringkali kata 'aqil dihubungkan dengan kemampuan orang-orang untuk merenungkan ayat-ayat Allah. Misalnya:
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (QS 29: 43).
Jadi, ini merupakan suatu petunjuk untuk wajib menaati orang-orang yang berilmu. Menurut Al-Ghazali, ada beberapa kekuatan yang mendorong seseorang untuk bertindak; yang dalam psikologi disebut drive (dorongan). Kekuatan tersebut dalam filsafat akhlak disebut dengan quwwah. Dan kekuatan (quwwah) itu sendiri ada bermacam- macam; pertama, kekuatan akal (quwwatul 'aqli). Inilah yang membedakan antara yang baik dan yang buruk; kedua, kekuatan syahwat (quwwatusy syahwah), yaitu salah satu kekuatan yang juga menggerakkan manusia; ketiga, kekuatan emosi (quwwatul ghadhab), yang menggerakkan daya marah, benci, menyerang, dan agresif, dan yang keempat, quwwatul wahm, yaitu kekuatan dan kemampuan manusia untuk mencari pembenaran dari kesalahannya.
Yang dikatakan orang yang 'aqil atau orang yang berakal ialah orang yang menggunakan akalnya. Dan orang yang semua kekuatannya tunduk kepada kekuatan akalnya itu baik. Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa akal adalah hujjah Allah yang dititipkan kepada manusia.
Sebenarnya ada dua hujah yang dititipkan oleh Allah kepada manusia. Yaitu hujah internal yang berupa akal; dan hujah eksternal yang berupa Al-Quran, para rasul, para nabi, dan lain-lain.
Kalau semua kekuatan yang dimiliki oleh manusia itu tunduk kepada akalnya, maka ia akan menghasilkan sesuatu yang baik. Misalnya, kalau kekuatan emosi (ghadhab) ditundukkan kepada akalnya, maka akan lahirlah sifat pemaaf. Dan kalau kekuatan syahwat manusia dapat dikendalikan oleh akalnya, maka akan lahirlah sifat wara' dan zuhud.
Jadi, akallah yang harus menguasai seseorang. Dengan demikian, orang yang dapat disebut sebagai orang 'aqil adalah orang yang mampu mempergunakan akalnya sebagai pengendali dirinya. Dan orang yang jahil adalah orang yang akalnya tunduk kepada kekuatan-kekuatan lain.
Atas dasar itu pulalah lahir konsep taqlid/marja'iyah, yaitu kewajiban orang awam untuk menaati orang yang berilmu. Hal itu juga menunjukkan tidak bolehnya orang-orang awam untuk memberikan suatu fatwa tentang suatu hal yang ia tidak mempunyai ilmunya. Itulah sebetulnya makna firman Allah Swt., Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya... (QS 17: 36). Oleh karena itu, wajib bagi orang awam untuk menaati fatwa orang yang berilmu.
Ketika Anda awam dalam urusan kedokteran, Anda harus taat kepada dokter dan jangan membuat resep sendiri. Saya kira itu adalah suatu sikap ilmiah dalam zaman modern ini sekalipun. Kita tidak boleh terlalu banyak bertanya kepada dokter kalau ia membuat resep untuk kita. Akan tetapi kita diperbolehkan untuk bertanya sedikit-sedikit saja, karena dokter pun tidak bisa menjelaskan semuanya. Kalau Anda berobat ke dokter, lalu Anda mengatakan, "Saya tidak mau taqlid, saya mau menggunakan akal saya." Kemudian Anda diberi resep. Anda diberi analgesik yang harus Anda makan apabila sakit saja. Anda juga diberi antibiotik yang harus Anda makan tiga kali sehari. Setelah itu Anda bertanya, "Kenapa analgesik ini harus dimakan ketika sakit saja dan antibiotiknya harus dimakan tiga kali sehari?" Dokter itu mungkin hanya akan mengatakan, "Ya analgesik ini hanya digunakan untuk menghilangkan rasa sakit; dan antibiotik ini...." Sang dokter terpaksa menjelaskan agak panjang. Ketika ia mulai menggunakan istilah-istilah kedokteran dan Anda tidak paham, Anda bertanya lagi. Dan itu akan merepotkan sang dokter. Jika begitu halnya, nanti Anda tidak akan sempat berobat.
Begitu pula saya kira dalam urusan agama. Di sini orang mempunyai kecenderungan selalu ingin mengetahui dalilnya dan bertanya, "Dalilnya apa? Keterangannya apa?" Dan kalau diberi keterangan yang lengkap, dia tidak akan paham juga. Pada gilirannya ulama pun akan memberikan dalil yang kira-kira dimengerti oleh si penanya, dan tidak menjelaskan mengapa kesimpulan itu yang ia ambil berdasarkan dalil tersebut.
Sekarang ini, kita menderita ilusi seakan-akan kita mengerti semua masalah agama hanya karena diberi beberapa hadis saja.
Kalau dalam urusan kedokteran kita harus ikut dengan dokter, walaupun dokter hanya bisa menyelamatkan dalam urusan dunia saja ̶ dan itu pun tidak seluruh urusan dunia tetapi urusan tubuh saja ̶ maka apalagi untuk urusan agama yang sangat berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Anda dibebani kewajiban untuk menaati orang yang 'aqil. Taatilah orang yang berakal, nanti Anda akan beruntung.
Tapi di sini bukan sembarang 'aqil. Karena bila 'aqil dalam pengertian orang yang berilmu itu tidak diimbangi dengan 'aqil dalam pengertian orang yang akalnya menguasai hawa nafsunya, maka akan bisa berbahaya.
Kalau seseorang menjadi 'aqil dalam arti berilmu tetapi hawa nafsunya berkuasa, maka itu lebih berbahaya. Kalau orang berilmu dikuasai oleh hawa nafsunya, maka dia akan lebih banyak mendatangkan bencana daripada orang yang bodoh. Makin berilmu seseorang, tetapi makin tidak berakhlak, maka makin berbahaya dia.
Oleh karena itu, di kalangan profesional sering dikembangkan kode etik. Di kedokteran ada kode etik. Sebab kalau dokter tidak mematuhi kode etik itu, ia akan lebih berbahaya daripada orang biasa. Dokter dapat saja membunuh orang tanpa dihukum. Tetapi kalau Anda berobat ke seorang dukun, diberi obat oleh dukun itu dan Anda mati, maka dukun itu dapat ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, betapa bahayanya orang yang berilmu tetapi dia tidak dikuasai oleh akalnya.
Atas dasar itu, taatilah orang yang berilmu, taatilah ulama yang hawa nafsunya sudah dikuasai oleh akalnya ̶ artinya akhlaknya baik. Dan bantahlah orang yang bodoh nanti Anda akan selamat.
Oleh karena itu, amat berbahaya bila kita bersahabat dengan orang yang bodoh. Dia mungkin bermaksud untuk berbuat baik dan memberikan manfaat kepada Anda, tetapi dia justru mendatangkan bencana kepada Anda. Akan tetapi kalau orang yang berakal, dia tahu apakah tindakannya itu akan membahayakan Anda atau tidak. Misalnya, kalau saya memberikan nasihat kepada Anda dan saya tahu bahwa nasihat itu akan membahayakan Anda, maka dalam diri saya ada perasaan berdosa dengan nasihat itu. Tetapi sebaliknya, kalau orang jahil memberikan nasihat kepada Anda, dia tidak merasa membahayakan Anda, bahkan dia merasa telah berbuat baik.
Seperti cerita seorang pemburu yang kesepian di hari tuanya, kemudian ia berjumpa dengan seekor beruang yang di masa tuanya juga sedang kesepian. Dua makhluk yang kesepian itu berjumpa di hutan dan dia berjanji setia untuk menjadi kawan sampai akhir hayatnya.
Keduanya bersahabat dan mengembara sampai akhirnya keduanya tiba di suatu tempat yang membuat sang pemburu tertidur lelap kelelahan. Sahabatnya (si beruang) yang jahil itu menungguinya dengan setia. Selang beberapa saat si beruang melihat seekor lalat hinggap di wajah sahabatnya. Beruang menganggap lalat itu berbuat kurang ajar karena dia bertengger di hidung sahabatnya. Dia juga menganggap lalat itu mengganggu tidur sahabatnya. Maka dengan kesetiaannya, si jahil itu pergi untuk mencari batu besar. Batu itu ia angkat, kemudian lalat itu ia timpa dengan batu besar tersebut. Dan alhamdulillah, lalatnya lepas dan sahabatnya mati.
Kemudian yang punya cerita mengakhiri ceritanya dengan kata-kata, "Itulah bahayanya mempunyai sahabat yang jahil. Dia merasa membantu Anda tapi sebetulnya ia membunuh Anda." Kalau bisa, janganlah Anda dekat-dekat dengan orang jahil, kecuali untuk membimbingnya.

Di dalam hadis, Nabi yang mulia menyebutkan, "Ada tiga hal yang bisa merusak agama: Pertama, imam yang zalim; kedua, penguasa yang zalim (sulthan jair); ketiga, bodoh orang-orang yang berijtihad." Di dalam Al-Quran pun disebutkan bahwa kita harus berpaling dari orang- orang yang bodoh. Atau kalau orang-orang yang jahil itu juga mengajak bicara dengan kamu, jangan dilayani, tapi ucapkan saja salam.
Oleh karena itu, kalau Anda berdiskusi, dan ternyata diskusi itu berkembang menjadi tidak ilmiah, atau orang yang berdiskusi itu banyak menggunakan hawa nafsunya ketimbang akalnya, maka berpalinglah dan jangan duduk bersama mereka, karena nanti kamu akan menjadi seperti mereka. Demikian itulah nasihat Sayidina 'Ali k.w.: "Taatilah orang yang berakal, Anda akan beruntung; bantahlah orang bodoh, Anda akan selamat." JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).