top of page
  • Writer's pictureAkhi

Mencegah Dan Mengikis Depresi

Updated: Sep 29, 2022


SAYA mengambil jurusan statistik saat kuliah di Amerika. Saya pernah gelisah sebab mendapatkan nilai jelek pada mata kuliah statistik. Berhari-hari kemudian, saya selalu ke perpustakaan untuk membaca buku-buku statistik. Hanya buku itu yang saya baca sampai tidak memperhatikan mata kuliah lain. Suatu ketika, saya bertemu dengan profesor saya. Saya menceritakan keadaan yang saya alami. Ia kemudian menasihati, “Kamu ini perfeksionis. Padahal, tidak ada orang yang sempurna. Setiap orang pasti akan mendapatkan kegagalan. Kenapa kamu merasa selalu harus berhasil. Kampus ini juga mendidik mahasiswa untuk menerima kegagalan.”


Saya selalu ingat pesan itu. Profesor yang ateis itu mengingatkan saya yang beragama bahwa kegagalan memang karakter manusia. Secara tidak langsung, profesor itu telah memperbaiki jalan pikiran saya bahwa kegagalan adalah bagian dari karakter manusia. Al-Quran menyebutkan, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah (al-Balad: 4).


Berkah silaturahmi dengan profesor itu, saya akhirnya mencoba mengubah cara berpikir saya, bersikap biasa dengan mata kuliah statistik itu dan mempelajarinya dengan tenang. Dan, pada akhirnya, nilai statistik saya memang bagus.


Ada sebuah buku berjudul The Healing Power of Doing Good (Kemampuan Menyembuhkan dengan Berbuat Baik). Ada banyak kisah-kisah menarik dalam buku itu. Salah satunya tentang seorang pengusaha minyak dari Texas. Pengusaha itu sudah lama tak bersama istri dan anak-anaknya karena terlalu asyik dengan pekerjaannya. Ia hanya berkutat dengan proyek dan uang. Singkat cerita dia mengalami depresi, lalu mendatangi seorang psikolog bernama Den Baker di New York. Den Baker tidak memberi obat untuk menyembuhkan depresi si pengusaha itu, namun hanya menasihatinya agar mencari proyek yang tidak menghasilkan uang dan tidak mendapat pujian orang-orang, tapi justru mengeluarkan uang-uangnya. Akhirnya, ia memilih merawat anjing-anjing kudisan yang ada di jalanan. Setelah sembuh, anjing-anjing itu diberikan kepada para tetangganya yang mau merawat hewan-hewan itu.


Suatu saat, pengusaha tersebut hendak melaporkan kegiatannya kepada Den Baker. Di tengah jalan, ia mengisi bensin. Di pom bensin itu, ia melihat seorang perempuan yang sedang depresi. Wajahnya muram. Si pengusaha mendekat dan menanyakan keadaan perempuan itu. Perempuan tersebut mengatakan bahwa dirinya sedang bingung, ibunya sakit keras sementara ia tidak memiliki uang untuk biaya pengobatannya. Asuransi yang seharusnya ia dapatkan tidak juga dibayarkan. Kemudian, si pengusaha menanyakan nama asuransi itu. Secara kebetulan, direktur asuransi tersebut adalah kawannya. Si pengusaha lalu mengatakan, ia akan menjamin bahwa uang asuransi perempuan itu besok sudah bisa dicairkan. Betapa bahagia perempuan itu. Ia peluk si pengusaha itu sambil air matanya berlinang.


Setelah itu, si pengusaha tiba-tiba teringat istrinya. Segera saja ia meneleponnya. Istrinya kaget dan hampir tidak mengenal suara suaminya itu, saking lamanya tidak berkomunikasi.


Pengusaha minyak itu kemudian mendatangi Den Baker, melaporkan apa saja yang sudah dilakukan sesuai dengan nasihat psikolog tersebut. Den Baker menjelaskan bahwa kepada si pengusaha bahwa semua rangkaian peristiwa yang terjadi adalah karena ia mau mengubah jalan pikiran dan kebiasaannya.


Terkadang, aktivitas-aktivitas yang mengatur diri dan waktu kerap menenggelamkan kebahagiaan mendasar. Pada saat seperti itu, kita akan merindukan bebas dari semua itu, kepada alam di mana kita berasal. Lihat saja fenomena mudik lebaran. Jutaan orang berani menanggung risiko untuk melakukannya, kembali ke kampung halaman, melepaskan diri dari rutinitas yang itu-itu saja.


Di Muthahhari ada program unggulan bernama Spiritual Work Camp, yaitu siswa-siswa akan diminta tinggal di desa-desa, tinggal bersama masyarakat yang kehidupannya sama sekali jauh berbeda, dalam jangka waktu tertentu. Ada siswa yang ditempatkan di keluarga penjual bakso, petani, pengurus masjid, dan sebagainya. Awalnya, para siswa menolak. Wajar, mereka terbiasa hidup dengan segala kemudahan dan kenyamanan.


Singkat cerita, program selesai. Anak-anak akan kembali ke rumah masing-masing. Kami, pihak sekolah, tak menyangka jika perpisahan itu begitu mengharukan. Anak-anak saling berpelukan dengan keluarga itu sambil menangis. Anak-anak bahkan meminta agar waktu program itu diperpanjang. Tak terbayangkan oleh kita jika melihat pada awalnya mereka seperti tidak akan betah tinggal bersama masyarakat desa. Mereka menemukan kebahagiaan yang tak mereka jumpai dalam kehidupan yang biasa mereka jalani.


Ada salah satu anak seorang manajer sebuah perusahaan di Aceh. Di Bandung, anaknya sendirian. Dalam program Spiritual Work Camp itu, si anak tinggal bersama pasangan kakek-nenek. Saat perpisahan itu, kami mengajak si anak untuk berpamitan terlebih dahulu dengan ketua RW setempat, sekitar pukul satu dini hari. Lalu, kami keluar. Dan ternyata kakek-nenek itu sudah menunggu di luar. Kami tanya, kenapa menunggu? Sudah berapa lama? Dalam bahasa Sunda, kakek-nenek itu menjawab, "Kami khawatir Si Ujang tidak balik lagi.


Jadi kami ke sini. Kakek-nenek dan anak itu pun saling berpelukan, menangis, memuaskan pertemuan terakhir itu. Benar-benar mengharukan. Setelah berpisah, kami tanya si anak itu, bagaimana kamu berkomunikasi dengan kakek-nenek itu? Kamu tidak paham bahasa Sunda, sementara kakek-nenek itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Anak itu menjawab, “Dengan bahasa cinta, Pak.” Ya, cinta memang bahasa yang universal. Dengan cinta, mereka saling memahami.


ADA latihan-latihan psikologi yang disebut dengan random act of kindness, berbuat baik secara acak. Maksudnya, berbuat baik secara tiba-tiba kepada orang yang tidak kita kenal. Dalam penelitian, ternyata itu lebih membuat bahagia daripada berbuat baik kepada orang yang kita kenal. Dan kebahagiaan seperti itulah yang mampu mengikis depresi.


Saya sendiri punya pengalaman tentang itu ... Ini tak bermaksud menyombongkan diri, tapi sekadar berbagi pengalaman. Suatu ketika, saya ingin membeli obat di sebuah apotek. Saat sedang menunggu giliran membayar obat, datang seorang yang juga ingin membeli obat. Dilihat dari perawakannya, sepertinya ia orang yang tak berpunya. Benar, ternyata. Orang itu ingin membeli obat untuk ibunya yang sakit. Namun, kata kasir apotek, uang yang dibawanya tidak cukup untuk mendapatkan obat yang diinginkan. Lalu, kepada kasir itu saya katakan bahwa saya akan membayar obat yang dibutuhkan orang tersebut dan meminta si kasir untuk tak mengatakan kepadanya. Padahal, saat itu, uang yang saya pegang juga sebenarnya hanya cukup untuk obat yang ingin saya beli. Akhirnya, barangkali karena melihat apa yang saya lakukan, si kasir membolehkan saya membayar obat yang saya beli kapan saja. Dan, terus terang, saat itu, saya betul-betul merasa bahagia bisa membantu orang itu.


Saya jadi teringat oleh sebuah kiasan menarik: Kedermawanan bukanlah Anda memberi makan anjing lapar, melainkan Anda mau berbagi makanan dengan anjing sementara Anda sendiri lapar. Ini tentu saja hanya kiasan dan saya tidak bermaksud menyamakan saya dan orang yang saya bayarkan obatnya itu sebagai dermawan dan anjing. Maksudnya, kedermawanan bukanlah saat Anda mampu memberi harta lebih kepada orang yang tak mampu-karena itu adalah kewajiban sebagai sesama manusia-melainkan ketika Anda mau berbagi meski Anda sendiri sedang membutuhkan. Anda mau menyisihkan keberuntungan Anda, sekaligus mau merasakan kemalangan orang tak berpunya. Ini seperti teladan kaum Anshar Madinah yang menerima kedatangan kaum Muhajirin Makkah. Kaum Anshar bersedia berbagi apa pun yang mereka miliki kepada Kaum Muhajirin, meski Kaum Anshar sendiri sesungguhnya membutuhkan. Dalam Al-Quran disebutkan, Kaum Anshar lebih mengutamakan kepentingan Kaum Muhajirin, meski Kaum Anshar sendiri sedang membutuhkan (al-Hasyr: 9).


Misal lain adalah selalu menyapa lebih dulu orang yang berpapasan dengan kita, memberi senyuman kepadanya. Bukankah itu satu kebahagiaan? Lalu, jika orang itu membalas sapaan dan senyum kita, bukankah itu kebahagiaan lain? Maka, hidup kita pun akan penuh dengan kebahagiaan. Dulu, di Unpad ada seorang dosen psikologi, namanya Pak Wisnu. Ia selalu menyapa lebih dulu jika berpapasan dengan rektor. Suatu ketika kawannya mengatakan, “Sudahlah, Pak Wisnu, tidak usah menyapa Rektor lagi. Toh, dia tidak pernah mau membalas sapaan Anda.”


Pak Wisnu kemudian menanggapi, “Tugas saya hanya menyapa setiap orang. Itu pilihan hidup saya. Ada pun orang yang saya sapa tidak mau membalas, biarkan itu jadi pilihannya. Barangkali, Pak Wisnu selalu merasakan kebahagiaan jika menyapa lebih dulu, terlepas orang yang disapa mau membalas sapaan atau tidak.


TERMASUK terapi untuk mencegah dan mengikis depresi adalah menghormati mengapresiasi orang lain dan bertegur sapa dengan ramah. Hormat dan keramahan kita akan membahagiakan orang lain. Dan, membahagiakan orang lain itu ibarat kita menyinari cermin: sinarnya akan memantul kepada sumber sinar. Dengan seperti itu, kita akan merasa hidup ini begitu indah dan penuh makna.




KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

129 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page