Akhi
MENCINTAI NABI DAN KELUARGANYA DAPAT MEMPERSATUKAN UMAT

Sebelumnya, izinkanlah saya menceritakan asal-usul nama saya. Ayah saya dulu adalah seorang kiai kampung. Sangat tradisional. Ketika belajar kitab kuning, yang paling mengesankan ayah saya adalah kitab tafsir yang juga sangat sederhana, sebagaimana umumnya kitab-kitab kuning. Sebagian orang sekarang menyebut bahwa kitab itu bukan kitab tafsir. Kitab itu ditulis oleh dua orang Jalaluddin.
Karena itu, kitab itu dikenal sebagai tafsir Jalalain. Ayah saya sangat terkesan dengan tafsir itu. Ketika saya lahir, nama saya ditafaulkan kepada Jalaluddin Al-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli. Maka diberinya saya nama Jalaluddin.
Jalaluddin Al-Suyuthi, yang menulis tafsir Jalalain ini, ternyata juga menulis kitab tafsir lain yang lebih tebal dan lebih kaya daripada tafsir Jalalain, yakni Tafsir Al-Durr Al-Mantsûr fi Tafsir bi Al-Ma'tsûr. Dalam tafsir itu ꟷ sebagaimana kita ketahuiꟷJalaluddin tidak menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan penjelasan-penjelasan. Lalu, apa yang dilakukan Al-Suyuthi? la mengutip ber bagai riwayat yang berkenaan dengan ayat-ayat. Karena itu, orang menyebut tafsirnya itu sebagai Tafsir bi Al-Riwayat, menafsirkan ayat Al-Quran dengan riwayat. Misalnya, ketika menjelaskan ayat alladzina yu'minuna bil-ghaib (ayat ketiga Surah Al-Baqarah), ia menjelaskan dengan riwayat.
Siapakah yang dimaksud dengan alladzina yu'minûna bil-ghaib, orang-orang yang beriman kepada yang gaib itu? Jalaluddin menjawab dengan riwayat berikut:
Pada suatu akhir malam menjelang waktu subuh, Rasulullah bermaksud untuk berwudhu. Beliau bertanya kepada sahabat-sahabatnya, "Apakah ada air untuk berwudhu?" Waktu itu, tidak ada seorang sahabat pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong yang di bawahnya masih tersisa tetes-tetes air. Dibawalah kantong air itu. Rasulullah kemudian memasukkan jari jemarinya ke dalam kantong air itu. Ketika beliau mengeluarkan tangannya, terpancarlah air dari sela-sela jarinya dengan pancaran yang deras. Para sahabat datang dan berwudhu dengan air itu. Bahkan, Abdullah bin Mas'ud tidak hanya berwudhu, tetapi juga meminum air tersebut.
Setelah selesai shalat subuh, Rasulullah kemudian duduk menghadap para sahabat. Beliau bertanya, "Tahukah kalian, siapa orang-orang yang paling menakjubkan imannya?" Kata para sahabat, "Para malaikat." Kata Rasulullah, "Bagaimana para malaikat tidak beriman; mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Mereka bolak-balik melaksanakan perintah Allah untuk menunaikan amanah Allah." "Kalau begitu, para nabi," kata para sahabat. "Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah Swt." "Kalau begitu, kami, para sahabat engkau." "Bagaimana kamu tidak beriman; baru saja kamu menyaksikan apa yang kamu saksikan," kata Rasulullah. (Maksudnya, bagaimana para sahabat tidak beriman, padahal mereka baru saja menyaksikan mukjizat ꟷmemancarnya air dari sela-sela jari Rasulullah.)
"Kalau begitu, siapa manusia yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulullah?" tanya para sahabat. Rasulullah berkata, "Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku, tidak pernah melihatku. Namun, ketika menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan mereka, mereka lalu mencintaiku. Mereka mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka mau menjual seluruh hartanya itu."
Mudah-mudahan kita termasuk kelompok ini, kelompok yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah, yang tidak pernah sezaman dengannya, tetapi sangat mencintainya. Kita tahu dari kitab yang terbuka di depan kita. Kita tahu dari para ulama yang menyampaikan isi kitab itu kepada kita. Kita membela Rasulullah seperti kata Rasulullah, "Berbahagialah saudara-saudaraku, ikhwâni!"
Masih dalam tafsir Al-Durr Al-Mantsûr. Para sahabat lalu bertanya, "Apakah kami yang engkau maksud ikhwani itu?" "Tidak, engkau adalah sahabat-sahabatku," kata Rasulullah. "Tetapi yang dimaksud dengan ikhwani adalah mereka yang datang sesudahku."
Bayangkan, Rasulullah menyebut orang yang sezaman dengan beliau dengan sebutan sahabat, tetapi kepada mereka yang datang sepeninggalnya, yang mencintainya dengan seluruh jiwa dan raga, beliau menyebutnya dengan gelaran yang sangat mesra: ikhwânî (saudara-saudaraku), suatu kaum yang datang sesudah beliau, suatu kaum yang tidak pernah berjumpa dengan beliau.
Sekali lagi kita berharap, semoga kita termasuk orang yang mencintai Rasulullah, yang dipanggilnya dengan panggilan "ikhwânî". Dan semoga, kita juga termasuk orang yang dimaksud oleh "alladzina yu'minuna bil-ghaib"ꟷkaum inilah yang dimaksud dengan kaum yang beriman kepada yang gaib.
Kecintaan kepada Rasulullah bukan saja merupakan kewajiban ꟷsebagaimana disebutkan dalam banyak hadisꟷmelainkan juga syarat yang tidak boleh tidak mesti ada apa bila kita ingin menjalankan syariat Islam. Tidak mungkin orang bisa menjalankan Sunnah Rasulullah dengan seluruh hatinya apabila dia tidak mencintai Rasulullah. Dasar agama adalah cinta; salah satunya adalah kecintaan kepada Rasulullah.
Ada sebuah hadis yang sangat populer, tetapi sering diterjemahkan secara keliru dalam terjemahan-terjemahan bahasa Indonesia. Atau, karena semua keliru, mungkin boleh jadi sayalah yang keliru. Hadis itu diterima dari Al-Tâmim Al-Dari, diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Bisa juga dilihat dalam Al-Targhib wa Tarhib II. Dalam hadis itu disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Al-Din Al-Nashihah." Kemudian diterjemahkan ꟷyang menurut saya keliruꟷ"agama itu nasihat". Para sahabat bertanya, "Kepada siapa nasihat itu, Rasulullah?" Rasulullah bersabda, "Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada para imam kaum Muslim, dan kepada seluruh kaum Muslim." Menurut saya, di situlah kekeliruannya. Bagaimana mungkin kita harus memberi nasihat kepada Allah. Bagaimana mungkin kita memberi nasihat kepada kitab-Nya. Bagaimana mungkin kita memberi nasihat kepada Rasul atau para imam. Itu tidak mungkin. Saya heran mengapa diterjemahkannya menjadi nasihat.
Dalam bahasa Arab, kata "nashihah" selain bermakna memberikan nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, serta membersihkan kecintaan kepada seseorang. Karena itu, orang yang mempunyai kecintaan yang tulus disebut nâshih. Tobat yang keluar dari hati yang tulus disebut taubatan nashūḥa. Orang Arab menyebut madu yang murni, bersih, tidak bercampur air sebagai nashihul 'asal. Kepada seseorang yang hatinya bersih dan tidak berkhianat kepada orang lain, orang Arab menyebutnya rajulun nash al-jayb (lihat Al-Qâmûs, Al-Shihah, Taj Al-'Arûs). Jadi, kata "nashihah" berarti kesetiaan atau kecintaan yang tulus. Karena itu, arti sebenarnya hadis tersebut adalah "Dasar agama adalah kecintaan yang tulus". Yang pertama tentu saja kecintaan kepada Allah dan kecintaan tersebut harus kecintaan yang tulus.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bahkan membagi kaum Muslim menjadi dua golongan. Satu golongan disebut Rasulullah sebagai nashahah, bentuk jamak dari nashih Satu golongan lagi, beliau menyebutnya ghasyasyah. Nashähah ialah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul dan seluruh kaum Muslim. Sedangkan kepada kelompok ghasyasyah, Rasulullah menyebutnya para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih.
Rasulullah bersabda, "Kaum Mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi, orang durhaka itu satu sama lain ghasyasyah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun mereka ini berdekatan tempat tinggalnya. " (Al-Targhib wa Al-Tarhib 2: 575.)
Jadi, menurut Rasulullah, orang Mukmin itu ditandai dengan kecintaan yang setia, sedangkan orang durhaka ditandai dengan sifat suka berkhianat, tidak setia terhadap sesamanya. Saya akan membahas yang pertama saja, yaitu kecintaan tulus: kecintaan tulus kepada keluarga Rasulullah dan kepada sesama kaum Muslim.
Kita sudah mengetahui bagaimana kecintaan kepada Rasulullah diungkapkan. Lawan dari cinta seperti dikatakan sebelumnya adalah pengkhianatan.
Kecintaan kepada keluarga Rasulullah adalah ikatan yang mempersatukan seluruh mazhab. Kecintaan kepada Ahlul Bait diwajibkan oleh seluruh mazhab.
Anda pasti mengetahui Al-Zamakhsyari, penulis Tafsir Al- Kasyaf, yang kata orang bermazhab Mu'tazilah. Perhatikanlah syair yang ditulisnya mengenai ikhtilaf di kalangan kaum Muslim, dan jalan keluar dari perpecahan:
Sudah banyak keraguan
Dan setiap orang mengaku jalan yang benar
Aku berpegang dengan kalimat la ilaha illallah
Dan aku berpegang pada kecintaan
Kepada Ahmad dan keluarganya.
Anjing saja beruntung karena mencintai ashhabul kahfi
Maka, bagaimana mungkin aku celaka
Karena mencintai keluarga Nabi.
Anjing saja beruntung bisa disebut di dalam Al-Quran, memiliki karamah sehingga bisa tidur 300 tahun. Keberuntungannya disebabkan ia mencintai ashhabul kahfi. Maka, bagaimana mungkin akan celaka kalau kita mencintai keluarga Nabi.
Jadi, kecintaan itu disepakati oleh seluruh mazhab. Imam Syafi'i dikenal mencintai keluarga Nabi. Bahkan, Imam Syafi'i pernah berkata, "Heran betul kalau aku sebut-sebut Ali Al-Murtadha atau Fathimah Al-Zahra dalam suatu majelis, orang-orang segera berdiri dan berteriak, 'Ini Rafidhi’." Kemudian ia bersyair:
إِنْ كَانَ رَفْضًا حُبُّ آلِ مُحَمَّدٍ
فَلْيَشْهَدِ الثقَلَانِ أَنَى رَافِضٌ
Kalau yang disebut Rafidhi itu
adalah mencintai keluarga Muhammad,
maka hendaknya seluruh jin dan manusia menyaksikan
bahwa aku ini Rafidhi.
(Abu Nu'aim, Hilyat Al-Awliya' 9: 152)
Kalau Imam Syafi'i, karena mencintai keluarga Nabi, pernah disebut Rafidhi, sekarang ia mungkin disebut musyrik karena dianggap kultus individu. Kalau itu disebut musyrik, saya akan bicara seperti Imam Syafi'i:
Kalau yang disebut musyrik itu
adalah mencintai keluarga Muhammad,
maka hendaknya seluruh jin dan manusia menyaksikan
bahwa aku ini adalah musyrik.
Jadi, seluruh mazhab sepakat bahwa mencintai Ahlul Bait adalah bagian dari ajaran Islam. Bagaimana tidak, Al-Quran menyatakan, Katakan oleh kamu, Muhammad, "Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini, kecuali kecintaan kepada keluargaku. "Ketika ditanya siapa keluarga yang wajib kami cintai itu, Rasulullah menyebut, "Ali, Fathimah, dan kedua putranya." Itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab.
Akan tetapi, mengapa dalam perkembangan selanjutnya kita dijauhkan dari Ahlul Bait? Mula-mula kita dijauhkan dari kecintaan kepada Rasulullah. Sebab, seperti tanaman, cinta itu akan tumbuh subur bila kita memeliharanya dengan baik. Karena itu, untuk mencintai Rasulullah, seperti telah disebutkan, para ulama mengembangkan berbagai teknik supaya kecintaan di kalangan kaum Muslim terhadap Rasulullah tidak pudar. Di antara teknik yang dikembangkan oleh para ulama salaf ialah melalui peringatan Maulid Nabi. Dalam peringatan Maulid itu, dibangkitkan kenangan kepada Rasulullah, dituliskan berbagai syair yang memuji beliau, dan dibacakan berbagai shalawat.
Kalau kita kenang, orang-orang terdahulu mengajarkan shalawat sangat sistematis. Kalau ada anak lahir, mereka mengadakan shalawat untuk menyambut kelahiran anak itu, atau yang kita sebut "marhabanan". Kalau ada orang Muslim dikhitan, shalawat juga yang mereka bacakan. Bahkan, ketika mengantar pengantin, shalawat juga dibacakan. Begitulah shalawat ditanamkan oleh orangtua kita. Karena itulah, kita mengenal bermacam-macam shalawat. Ada shalawat untuk memperoleh kekuatan gaib. Ada shalawat untuk dilepaskan dari kesulitan. Ada shalawat yang dapat dibaca kalau kita ingin berjumpa dengan Rasulullah dalam mimpi kita.
Itu semua adalah teknik yang kita warisi untuk mengembangkan kecintaan kepada Rasulullah. Tetapi, bagaimana perkembangan selanjutnya? Teknik-teknik ini mulai dibid'ahkan. Maulidan dianggap bid'ah, shalawat dianggap bid'ah. Kalau peringatan Maulid dibid'ahkan, mungkin dapat kita terima, karena tidak dicontohkan Nabi. Tetapi, kalau shalawat yang dibid'ahkan, saya jadi tidak paham, karena itu dituliskan di dalam Al-Quran.
Sehubungan dengan kecintaan kepada keluarga Rasulullah, ada yang menarik dalam pembacaan shalawat kita. Di dalam shalawat, sekarang keluarga Rasulullah tidak disebut oleh kebanyakan kaum Muslim. Mereka menyebut shalawat kepada Rasulullah, tetapi tidak menyebut shalawat kepada keluarganya. Shallallahu 'alaihi wa sallam, wa alihi-nya tidak disebut. Lafal "wa alihi" dikeluarkan dari shalawat.
Padahal Imam Syafi'i pernah berkata, "Siapa yang membaca shalawat tanpa menyebut keluarganya, tidak sah shalatnya." Kalau dalam shalat kita membaca "Allahumma shalli alâ Muhammad" tanpa menyebut "wa âli Muhammad", shalat kita tidak sah.
Dalam shalat, alhamdulillah, kita masih menyertakan keluarga Nabi dalam shalawat. Tetapi di luar shalat, kita tidak lagi menyebut keluarga Nabi saat membaca shalawat. Kita hanya menyebut Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Saya khawatir, jangan-jangan shallallahu 'alaihi wa sallam itu lama-kelamaan juga hilang. Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat yang buntung." Para sahabat bertanya, "Bagaimana shalawat yang buntung itu?" Beliau menjawab, "Engkau mengucapkan Allahumma Shalli 'ala Muhammad dan engkau berhenti. Ucapkanlah Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa âli Muhammad (Ibn Hajar, Al-Syawaiq, h. 87). Apa yang menyebabkan orang jauh dari Ahlul Bait? Apa yang menyebabkan orang meninggalkan kecintaan kepada keluarga Rasulullah, padahal sudah disepakati oleh seluruh mazhab? Salah satunya adalah alasan politik. Sepanjang sejarah, kelompok Ahlul Bait adalah kelompok yang tertindas secara politik, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Jadi, secara perlahan, Ahlul Bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan, Ahlul Bait disingkirkan dari shalawat kaum Muslim.
Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu, kalau kita ingin mempersatukan kaum Muslim, persatukanlah dari titik pertemuan ini, yaitu dari kecintaan kepada keluarga Rasulullah. Saya yakin, seluruh kaum Muslim mencintai Rasulullah dan keluarganya. Bahkan, orang yang mencurigai keluarga Rasulullah juga mengatakan bahwa mereka mencintainya.
Selanjutnya, kita sampai pada kecintaan kepada kaum Muslim. Kalau memerhatikan hadis-hadis tentang jamaah, kita akan membaca hadis yang umumnya dijadikan dalil untuk kelompok-kelompok Islam: tentang kewajiban baiat, tidak boleh meninggalkan jamaah. Kita juga akan menemukan bahwa yang dimaksud dengan jamaah adalah keutuhan umat. Karena itu, siapa yang memecah persatuan umat dan kecintaan kepada umat, itulah sasaran dari teks hadis al-nashihah li ummat al-Muslimin. Kecintaan kita kepada kaum Muslim ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum Muslim. Lawan dari nashahah adalah ghasyasyah. Mengkhianati kaum Muslim, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, mengafirkan mereka, termasuk dosa besar. Karena itu, kelompok yang memecah belah ghasyasyah disebut tersendiri oleh Rasulullah sebagai kelompok pengkhianat.
Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayat Al-Shahabat, diceritakan sebagai berikut:
Pada suatu saat, ketika berkumpul dengan para sahabatnya di masjid, Rasulullah berkata, "Sebentar lagi akan muncul seorang laki-laki penghuni surga." Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki membawa sandal dikepit di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, lelaki itu kemudian shalat. Keesokan harinya, Rasulullah berkata dengan kata-kata yang sama. Tiga kali Rasulullah menyebutkan kata-kata itu, dan tiga kali pula laki-laki itu muncul sehingga Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash merasa penasaran, ingin mengetahui apa yang dilakukan lelaki yang disebut-sebut Nabi sebagai penghuni surga.
Abdullah kemudian menemui orang itu. "Saya bertengkar dengan ayah saya. Karena itu, saya tidak bisa tinggal dengannya. Bolehkah saya tinggal di rumah Anda selama beberapa malam?" pinta Abdullah. "Boleh," jawab lelaki itu. Lalu tinggallah Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash di rumah itu. Setiap malam, yang dia lakukan adalah mengawasi ibadah orang itu. "Tentu ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga," pikir Abdullah. Namun, ternyata ibadahnya tidak ada yang istimewa; dia baru bangun menjelang sahur. Dia bangun kadang-kadang pada tengah malam dan menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, kemudian tidur lagi.
Selama tiga malam itu, Abdullah tidak melihat ibadah yang istimewa yang dilakukan lelaki itu. Akhirnya, setelah tiga malam, Abdullah bin 'Amr pamit. Sebelum pergi, dia berkata terus terang, "Sebetulnya saya tidak bertengkar dengan ayah saya. Saya hanya ingin mengetahui apa yang menjadikan engkau disebut Rasulullah sebagai salah seorang penghuni surga." Orang itu berkata, "Saya seperti yang Anda lihat. Memang, itulah diri saya." Abdullah bin 'Amr pun akhirnya pergi. Tetapi setelah agak jauh, Abdullah dipanggil kembali oleh orang itu. la kemudian menjelaskan, "Saya memang seperti yang Anda lihat. Hanya saja saya tidak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum Muslim." Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash berkata, "Justru inilah yang tidak mampu saya lakukan: tidak menyimpan rasa dendam, rasa benci, rasa dengki kepada sesama kaum Muslim."
Mungkin kita semua seperti Abdullah: tidak bisa membuang niat jelek terhadap sesama Muslim. Boleh jadi kita mampu berlama-lama shalat, boleh jadi kita mampu mengisi malam dengan zikir; tetapi sering kali kita tidak mampu menyingkirkan rasa dendam dan rasa benci dalam hati kita terhadap sesama kaum Muslim. Kita berlindung kepada Allah Swt. dari hal seperti itu.
Salah satu kecintaan terhadap sesama kaum Muslim ialah menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun paham mereka, apa pun mazhab mereka, apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Dan bila ada sebesar debu saja rasa dengki kepada sesama kaum Muslim, ada perasaan ingin mengkhianati sesama Muslim, berarti kita sudah melanggar al-nashihah li ummat al-Muslimin, kesetiaan kepada umat Islam, yang merupakan hal penting dari ajaran Islam. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).