Akhi
Mengapa Allah Paling Berhak Kita Cintai?
1. Karena kecintaan diri
Manusia mempunyai kecenderungan untuk mencintai diri sendiri. Dari cinta inilah, ia ingin agar dirinya selamat, sempurna wujudnya, dan terus-menerus ada. la tidak suka binasa, berkekurangan, atau jatuh dalam kehancuran. Karena keinginan itu, ia mencoba mengenal dirinya. Lalu ia mengetahui bahwa keselamatan, kekekalan, dan kesempurnaan dirinya bergantung pada Allah. Wujudnya sendiri berasal dari Allah. Ia hidup dan berkembang karena Allah, dan akhir perjalanannya adalah kembali kepada Allah; minallah, wa billah, wa ilallah; dari Allah, dengan Allah, dan kembali kepada Allah.
Karena seorang hamba meyakini bahwa kehidupan, kebahagiaan, dan kesempurnaannya bergantung pada Allah, maka Allah-lah yang paling berhak dia cintai. Kalau dia mencintai dirinya, tentu dia harus mencintai Allah. Keselamatan dan kesejahteraannya, tidak bisa tidak, harus dengan bantuan Allah. Karena itu, kalau betul-betul mencintai dirinya, dia mesti mencintai Allah.
Al-Ghazali memberikan sebuah perumpamaan yang sangat bagus, sederhana, dan pantas disampaikan kepada orang-orang yang sederhana seperti kita. Menurut Al-Ghazali, orang yang dikenai terik matahari yang membakar, pasti senang dengan tempat-tempat yang teduh. Karena tempat yang teduh terjadi bila ada pepohonan yang rindang, orang itu pasti mencintai pepohonan yang rindang. Ia tidak akan suka bila pepohonan rindang itu dibinasakan, karena akan menghilangkan keteduhan. Hubungan wujud kita dengan Allah sesungguhnya sama dengan hubungan antara keteduhan dan pepohonan. Jadi, manusia mesti mencintai Allah yang menjadi penyebab dari wujudnya. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, sebetulnya kita tidak memiliki wujud; yang mempunyai wujud adalah Allah Swt. Kita hanya mencari wujud-Nya saja.
2. Karena manusia memiliki tabiat untuk mencintai orang atau siapa saja yang berbuat baik kepadanya
Karena adanya tabiat itu, dengan sendirinya manusia pasti akan mencintai siapa saja yang memerhatikan, berbuat baik, menolong, dan menolakkan bencana darinya. Seharusnya kita lihat, bila dibandingkan dengan semua yang berbuat baik kepada kita, kebaikan Tuhan tentu tak terbandingkan.
Menurut Al-Ghazali, kalau ada orang yang berbuat baik kepada kita, paling tidak itu karena dua sebab. Pertama, karena dia ingin pahala di akhirat; dan kedua, dia ingin pahala dari orang yang ditolong. Pahala itu bisa berbentuk materi, pujian, atau penghargaan. Pokoknya, ada pamrih di balik semua pertolongan itu. Sedangkan Tuhan menolong, membantu, dan menganugerahkan wujud kepada kita betul-betul tanpa pamrih. Dia tidak mengharapkan pahala. Orang yang berbuat baik kepada kita, kebaikannya bersifat sementara. Sedangkan Tuhan berbuat baik kepada kita terus-menerus, tanpa batas. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Tuhan memberikan rezeki kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai. Tetapi Tuhan hanya akan memberikan agama kepada orang yang Dia sukai saja."
Tuhan tetap berbuat baik kepada yang Dia cintai dan yang tidak Dia cintai. Sedangkan manusia, umumnya hanya berbuat baik kepada yang ia cintai. Manusia jarang berbuat baik secara khusus kepada yang dia benci, sebagaimana dalam sebuah syair Arab: "Jadilah kamu seperti pohon buah di pinggir jalan. Meskipun dilempari orang dengan batu, ia tetap menghadiahkan buah yang matang kepadanya." Tuhan hanya diskriminatif dalam urusan agama dan cinta saja. Tuhan hanya mencintai orang yang mencintai-Nya. Tuhan memberikan kepada siapa saja kasih sayang-Nya, tetapi tidak cinta (hubb)-Nya. Ketahuilah, cinta Tuhan adalah "cinta walaupun”, bukan “cinta karena"; L'amour West pas parce que mais malgre.
3. Karena ada tabiat manusia untuk mencintai orang yang berbuat baik an sich, walaupun kebaikannya tidak sampai kepadanya
Kita mendengar cerita ada orang yang senang menolong orang lain. Misalnya, di Pakistan ada orang bernama Mr. Ed yang kerjanya menolong orang. Ia mengumpulkan uang untuk menolong orang di Bosnia dan Checnya. Di Pakistan sering kali terjadi pertentangan antara kelompok Sunni dan Syi'i. Bila Mr. Ed datang, kedua pasukan menghentikan pertempurannya untuk memberi kesempatan kepada Mr. Ed menolong orang yang terluka.
Ketika mendengar cerita ini, saya takjub kepada Mr. Ed, padahal ia tidak menolong saya. Jadi, kita punya kecenderungan menyukai orang-orang yang berakhlak mulia walaupun ia tidak berbuat baik kepada kita. Secara hati nurani, kita pasti suka kepada Bunda Theresa. Kita menyukai orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak sampai kepada kita. Siapakah muhsin (orang yang berbuat baik) yang paling utama selain Allah?
Mestinya kita mencintai Allah walaupun kita tidak merasakan kebaikan-Nya kepada kita. Orang yang sering frustasi sepanjang hidupnya, biasanya akan mempersoalkan keadilan Tuhan. Sebaliknya, orang yang makmur akan lebih mudah merasakan anugerah-Nya. Orang yang susah mungkin amat sulit merasakan kebaikan Allah kepadanya ketimbang orang yang senang hidupnya.
Orang bijak berkata, "Seseorang belum dapat dikatakan mencintai bila ia masih suka memperhitungkan atau mempertanyakan yang dicintainya." Orang Prancis menyatakan " L'amour West pas parce que mais malgre. Cinta itu bukan 'karena', tetapi 'walaupun'." Kalau kita masih mempertanyakan untuk apa kita mencintai Tuhan, berarti kita masih pada tahapan parce que, tahap 'karena'; belum sampai pada tahap 'walaupun".
Ada satu cerita Hindu yang menunjukkan bahwa cinta itu 'walaupun', bukan 'karena'. Alkisah, seorang raja diminta untuk membawa mayat dari tempat penggantungan ke tempat pendeta. Di tengah jalan, mayat itu berkata, "Hai Raja, kasihan sekali Anda ini, jauh-jauh membawa saya. Supaya kau tidak lelah, bagaimana kalau saya bercerita?" Dan mayat itu pun berkisah: Suatu ketika, hidup seorang pendeta bersama putrinya yang amat cantik. Satu hari, datang tiga orang pendeta yang semuanya berwajah tampan. Ketiganya berkata, ‘Kalau perempuan ini sampai kepada orang lain, tidak kepada saya, saya akan bunuh diri.'
Calon mertua itu kebingungan. Bila ia memberikan putrinya kepada salah satu dari pendeta itu, akan terjadi dua pembunuhan. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba si gadis meninggal. Dibawalah gadis itu ke tempat pembakaran mayat. Masing-masing pendeta tampan yang mencintai gadis itu menunjukkan perilaku yang berbeda.
Pendeta yang pertama duduk di atas tempat bekas pembakaran mayat. Ia membuat gubuk dan menetap di sana terus-menerus. la tidak mau meninggalkan tempat itu. Tak henti-hentinya ia melantunkan doa pujian untuknya.
Pendeta yang kedua pergi ke sungai Gangga untuk meleburkan tulang belulang dalam rangka menyempurnakan kematiannya. Sesuai tradisi Hindu, seseorang meleburkan tulang belulang orang tuanya yang meninggal sebagai tanda kecintaannya.
Adapun pendeta yang ketiga, ia pergi berkelana, sampai akhirnya ia bertamu ke rumah keluarga seorang pendeta tua. Ketika ia dijamu makan oleh keluarga itu, anak si tuan rumah menangis keras. Ibunya marah. Dijewernya telinga anak itu dan dilemparkannya ke dalam api. Anak itu meninggal dan langsung menjadi debu. Pendeta berkata, "Aku tidak mau makan di sini. Kalian bukan pendeta. Kalian durjana. Manusia raksasa yang menyamar menjadi pendeta." Orang tua itu berkata, "Jangan terburu nafsu." la lalu masuk ke kamarnya untuk membawa kitab suci. Begitu kitab dibacakan, anak itu hidup lagi seperti sediakala. Barulah pendeta itu mau melanjutkan makannya. Pada malam hari, pendeta ketiga ini mencuri kitab suci tersebut untuk menghidupkan kembali kekasihnya.
Singkat cerita, ia sampai ke tempat pembakaran mayat gadis tersebut. la datang bersamaan dengan pecinta kedua yang meleburkan tulang ke sungai Gangga. Pendeta ketiga meminta pendeta pertama, yang mendirikan gubuk, untuk memindahkan gubuk itu dengan alasan ia tidak ingin gadis itu menabrak gubuk bila ia hidup kembali. Lalu, dibacakanlah doa dari kitab suci. Ndilalah kersaning Allah, putri itu muncul kembali dan ia lebih cantik dari sebelumnya. Tak ubahnya sepotong emas yang baru disepuh dari pembakaran, lebih cemerlang dan indah.
Tentu saja ketiga pendeta itu bahagia. Tapi, semua lalu merasa dirinya yang paling berhak untuk menikahi gadis itu. Pendeta pertama berkata, "Sayalah yang menungguinya siang malam seraya melantunkan doa pujian untuknya." Pendeta kedua berujar, "Sayalah yang meleburkan tulang belulangnya di Gangga." Sementara pendeta ketiga berdalih, "Sayalah yang membacakan doa hingga dia hidup kembali."
Sampai di sini, mayat pendongeng di atas menghentikan ceritanya. Ia lalu bertanya kepada raja yang membawanya. "Wahai Raja, tolong beri penjelasan kepada saya, siapakah di antara ketiga orang itu yang berhak menjadi suaminya? Kalau kau tidak bisa menjawab, akan aku patahkan lehermu." Raja menjawab, "Pendeta ketiga yang menghidupkannya kembali berada dalam posisi sebagai bapak. Pendeta kedua, yang melaburkan tulang di Gangga, telah melakukan suatu pengabdian. Karena itu, dia lebih pantas menjadi anaknya. Yang lebih berhak menjadi suaminya adalah pendeta pertama yang terus-menerus berada di tempat pembakaran mayatnya. Ia tetap mencintai gadis itu walaupun si gadis sudah menjadi debu, walaupun ia tidak bisa melihat lagi senyumannya, walaupun ia tidak bisa mendengar lagi suaranya. la tetap setia menunggu di tempat itu sampai kapan pun."
4. Karena manusia mempunyai kecenderungan untuk mencintai hal-hal yang indah, cantik, dan bagus
Menurut Al-Ghazali, keindahan itu ada dua. Pertama, keindahan lahiriah, yaitu keindahan yang dipersepsi melalui alat-alat indriawi kita. Misalnya, kecantikan wajah, kemegahan sebuah bangunan, atau keindahan musik. Kedua, keindahan batiniah, yang tidak dapat dipersepsi melalui indera melainkan dengan hati. Keindahan jenis ini tidak dapat dipersepsi oleh anak-anak atau binatang.
Meng-idrak keindahan batiniah hanya dapat diperoleh orang-orang yang sudah mengalami perkembangan ruhaniah sampai ke tingkat tertentu. Imam Al-Ghazali memberikan contoh kecintaan kepada para nabi dan orang saleh. Kecintaan ini tidak didasarkan pada persepsi kita tentang keindahan lahiriah mereka. Kita tidak pernah berjumpa dengan mereka. Tetapi kita mencintainya karena kita memandang sifat-sifat yang indah dari pribadi mereka yang dapat kita lihat dengan hati kita.
Lalu, mengapa kita mencintai orang-orang saleh? Al-Ghazali menjawab:
a. Karena ilmunya. Mereka memiliki ilmu yang jauh lebih banyak daripada ilmu yang kita miliki. Mereka mengenal Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan malaikat-Nya. Orang mempunyai kecenderungan untuk mencintai orang-orang berilmu. Makin banyak ilmu seseorang, makin disukailah ia.
b. Karena kemampuan (qudrah) mereka. Mereka memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya dan hamba-hamba Allah yang lain.
c. Karena kebersihan mereka dari berbagai cacat dan kejelekan.
Jadi, ada tiga sebab mengapa kita mencintai hal yang abstrak, bukan hal yang lahiriah, dengan contoh orang-orang suci itu. Ada sebuah kisah nyata. Di Inggris, hidup novelis terkenal bernama George Bernard Shaw. Ia berwajah jelek tetapi pintar. Ia tidak memiliki keindahan lahiriah, tetapi keindahan batiniah. Seorang perempuan, yang cantik tetapi tidak pintar, tergila-gila kepadanya. la sangat takjub kepada Shaw, tetapi Shaw tidak takjub kepada kecantikannya. Menurut Al-Ghazali, bila selera orang sudah sampai pada keindahan batiniah, keindahan lahiriah menjadi kecil.
Perempuan itu datang kepada Shaw untuk menawarkan dirinya. Ia mengajukan argumen yang masuk akal. "Shaw, I have a very good idea. Bagaimana kalau kita menikah? Supaya anak kita secantik saya dan sepintar kamu." Perempuan ini hendak menggabungkan dua jenis keindahan. Namun, dengan cepat, Shaw menjawab, "Tidak, saya malah takut, nanti anak saya sejelek saya dan sebodoh kamu."
Cerita di atas menggambarkan dua jenis keindahan: lahiriah dan batiniah. Seseorang bisa tertarik pada sesuatu karena dua jenis keindahan ini. Para nabi dan imam diberi Tuhan keduanya. Mengapa para nabi harus tampan? Dalam Al-Quran disebutkan: "Supaya orang tidak membuat alasan untuk menolak kebenarannya; Li alla yakuna lil al-nas 'alallah hujjah ba'da rasul." (QS Al-Nisa: 165). Bagaimana orang akan menerima kebenaran kalau wajah nabinya menakutkan, misalnya. Karena itulah, para nabi dan imam memiliki dua keindahan itu.
Dengan memerhatikan uraian di atas, sampailah pada kesimpulan bahwa hanya Allah-lah Zat yang paling berhak kita cintai. Dari segi ilmu, Dia-lah Alimun Hakim. Dari segi kekuasaan, Allah-lah yang menaklukkan segala-galanya. Kekuasaan Tuhan tidak terkalahkan, abadi. Dan Tuhan adalah Zat yang suci dari segala sifat yang kita sifatkan. Setiap kali kita mensifati Allah Swt, setiap kali itu pula kita sebenarnya tidak mensucikan-Nya. Persepsi kita akan kesempurnaan Allah sangat terbatas. Tuhan lebih suci dan sempurna dari apa yang dapat kita gambarkan dalam diri kita.
Nabi Saw berdoa: "Tidak mungkin aku bisa menghitung pujian atas-Mu. Engkau seperti Engkau puji diri-Mu sendiri." Kita tidak mampu memuji Dia. Allah lebih terpuji dari segala pujian yang kita sampaikan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, " Kelemahan untuk mempersepsi persepsi adalah persepsi." Jadi, kalau kita sudah lemah, sudah mengakui kelemahan untuk menggambarkan sifat-sifat Allah, berarti kita sudah menggambarkannya dengan benar.
Ketika menjelaskan definisi-definisi cinta, Ibn Qayyim Al- Jauziyyah mengatakan bahwa cinta itu susah dipahami (fihi qhumudh). Menurut Imam Al-Ghazali, bila kita melihat wajah yang cantik, semakin sempurna kecantikan itu, maka semakin suka kita kepadanya. Karena itu, bayangkanlah jika suatu saat kita berjumpa dengan Yang Mahasempurna, sempurna dalam segala hal. Itulah puncak kenikmatan. Kenikmatan yang paling tinggi di surga bukanlah ketika kita dikelilingi bidadari atau minum dari sungai madu dan susu. Kenikmatan yang paling utama adalah ketika kita memandang wajah Allah, ketika kita berjumpa dengan-Nya.
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).