top of page
  • Writer's pictureAkhi

Menghapus Amal Dengan Ujub

Updated: Dec 18, 2022


Ujub sering diartikan sebagai takjub akan amal-amal salih. Namun menurut para ulama, termasuk Imam Khumaini, takjub juga dapat terjadi terhadap amal-amal buruk kita. Orang bisa bangga dengan amal buruknya. Ujub adalah melakukan perbuatan buruk tapi kemudian perbuatan buruk itu dihias sehingga tampak seolah-olah seperti amal yang baik.

Ada orang yang jarang salat berjamaah di masjid. Perbuatan tidak salat berjamaah adalah perbuatan buruk. Nabi saw bersabda, “Janganlah kamu mengucapkan salam kepada Yahudi umatku.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulallah, siapa itu Yahudi umatmu?” Nabi menjawab, “Orang yang tidak pernah menghadiri salat berjamaah.” Dengan tidak melakukan salat berjamaah, orang itu telah menjadi Yahudi umat Rasulullah saw. Tapi kemudian masuklah setan ke dalam hati orang itu sehingga ia malah mengatakan: “Saya justru bangga tidak salat berjamaah dengan para ahli bid’ah. Lebih baik tidak salat dengan orang yang tidak semazhab, karena salatnya juga tidak sah.” Orang seperti itu telah jatuh kepada ujub. Wal ya’udzubillah.


Definisi-Definisi Ujub


Kata ujub (Al-‘Ujub) secara bahasa berasal dari kata ‘ajiba-ya’jabu-‘ujban, yang berarti kagum. Dari kata ujub itu kemudian masuk ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata takjub. Ta’ajub berarti mengagumi sesuatu.


Sedangkan sesuatu yang mengagumkan disebut ‘ajib. I’jâb berarti menimbulkan kesan kepada orang lain supaya orang lain itu kagum terhadap kita. Dalam psikologi modern, hal itu disebut impression formation. Hal ini misalnya terjadi ketika saya berbicara di hadapan para ulama Nahdlatul Ulama (NU). Saya membawa makalah yang ditulis dengan huruf Arab gundul dan mengutip kitab-kitab kuning (yang sebenarnya saya kutip dari kutipan juga). Saya berusaha untuk membentuk kesan agar para ulama NU beranggapan bahwa yang berbicara di depan mereka bukan saja lulusan perguruan tinggi tapi juga mahir menelaah kitab kuning.

Yang dimaksud dengan ujub, menurut kamus bahasa Arab Munjid, adalah suatu keadaan kejiwaan yang sewaktu-waktu dapat kita temukan di dalam diri kita. Umumnya ujub didefinisikan melalui indikator-indikator tertentu. Tanda-tanda tersebut biasanya adalah sombong, takabur, menolak dikritik orang, serta menganggap diri kita sempurna.

Beberapa ulama akhlak dan tasawuf mendefinisikan ujub sebagai: menganggap besar kenikmatan dan cenderung kepada kenikmatan itu sambil lupa untuk menisbahkan nikmat kepada Sang Pemberi Nikmat. ‘Alamah Al-Majlisi, penulis Mafâtih Al-Jinân, mengartikan ujub sebagai menganggap sudah banyak beramal salih dan menganggap amal salih yang telah dilakukan itu besar dan hebat. Adapun merasa bahagia dengan amal salih, masih menurut Al-Majlisi, bila itu dilakukan sambil merendahkan diri di hadapan Allah swt dan bersyukur kepada-Nya atas taufik yang diberikan Allah kepadanya, hal itu tidak disebut dengan ujub melainkan suatu kebaikan yang terpuji.

Imam Khumaini melancarkan beberapa kritik atas definisi yang diberikan Al-Majlisi tersebut. Pertama, Imam Khumaini berpendapat bahwa ujub itu bukan hanya berkenaan dengan amal salih saja, tapi juga dapat berkenaan dengan amal yang salah. Kedua, ujub tidak hanya di dalam masalah amal-amal saja tapi juga berada dalam dataran akidah. Kritik ketiga dari Imam Khumaini adalah tentang perasaan bahagia akan amal salih. Menurut Imam, bahagia dengan amal salih itu boleh-boleh saja untuk orang awam. Tetapi untuk orang yang telah mencapai maqam tertentu, ia tidak akan pernah bahagia dengan amal salihnya. Ia akan selalu merasa bahwa dia tidak berarti apa-apa. Kalaupun ia bisa beramal saleh, itu pun karena anugerah Allah swt. Ia akan selalu merasa kurang akan amal-amalnya.

Ayatullah Ahmad Al-Fahri menulis bahwa yang dimaksud dengan ujub adalah jika manusia telah menganggap dirinya tak memiliki kekurangan lagi. Ia merasa dirinya sudah tak bercacat. Bila ia beribadah, ia merasa ibadahnya sempurna. Ahmad Al-Fahri mengutip hadis dari Imam Musa bin Jakfar as: Beliau pernah memberi nasihat kepada sebagian putranya, “Hai anak-anakku. Hendaknya kamu sungguh-sungguh beramal. Janganlah kamu mengeluarkan dirimu dari perasaan kurang. Jangan sampai dirimu tidak merasa bercacat dalam beribadah kepada Allah atau dalam mentaatinya. Karena Allah tidak pernah bisa diibadati dengan ibadat yang sebenar-benarnya. Sampai Nabi saw saja bersabda: Aku belum mengenal-Mu dengan pengenalan yang sebenarnya dan aku belum beribadat kepada-Mu dengan ibadat yang sebenarnya.”


Dalam kitab Al-Kafi terdapat sebuah hadis dari Jabir. Jabir meriwayatkan: Berkata Abu Jakfar kepadaku, “Ya Jabir, semoga Allah tidak mengeluarkan kamu dari perasaan kurang atau perasaan bersalah.” Berkenaan dengan hal ini, Syeikh Baha’uddin Al-‘Amili berkata, “Tidak syak lagi. Orang yang beramal salih, baik berpuasa di siang hari dan salat tahajud di malam hari, semua amal itu pastilah menimbulkan rasa bahagia di hatinya. Bila ia merasakan kebahagiaannya sebagai pemberian dari Allah dan nikmat Allah kepadanya, seraya ia takut Allah akan menghilangkan kenikmatan itu darinya, dan ia berharap Allah akan menambahnya; maka tidaklah kita hitung rasa bahagia itu sebagai perasaan ujub. Namun bila orang itu melihat bahwa amal-amal salihnya itu adalah sifatnya; bahwa semua amal salih itu terjadi karena kemauannya; dan dia menganggap amal-amal salihnya telah besar, lalu melihat dirinya sudah tidak mengalami kekurangan lagi, maka masuklah dia ke dalam ujub.” []


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

96 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page