Akhi
MENGHIDUPKAN KEMBALI TRADISI MENANGIS
Updated: Jul 19

Khusus pada bulan Muharam, ada suatu kepercayaan di kalangan orang-orang Jawa untuk tidak mengadakan pesta-pesta, peringatan-peringatan, atau transaksi ekonomi yang besar. Mereka berpendapat bahwa bulan Muharam adalah bulan meninggalnya Imam Husein. Biasanya mereka membuat bubur merah dan bubur putih. Bubur putih mencerminkan Imam Hasan, dan bubur merah melambangkan Imam Husein. Seperti kita kenal dalam sejarah, Imam Hasan pernah melakukan perdamaian dengan penguasa demi perbaikan umat, yang sayangnya kemudian perdamaian itu dilanggar oleh penguasa itu sendiri. Warna putih melambangkan perdamaian. Sementara Imam Husein, karena melihat pengkhianatan penguasa itu, melawan sehingga terjadilah peristiwa tragis yang kita kenal dengan Peristiwa Karbala. Karbala memerah darah. Maka dilambangkanlah ia dengan bubur merah. Orang Jawa mengenal bubur itu dengan Bubur Suro.
Kata Asyura, yang berarti Sepuluh Muharam, tidak dikenal dalam bahasa Arab jahiliah. Kata itu muncul kemudian. Istilah ini khusus untuk bulan Muharam saja. Untuk tanggal sepuluh bulan- bulan yang lain tidak disebut 'Asyura melainkan disebut Al-Asyir.
Secara tradisional, orang-orang Jawa telah mengenal hari-hari berkabung untuk meninggalnya cucu Rasulullah Saw. Sayang sekali, dalam perkembangan zaman, tradisi itu hampir dilupakan orang. Khususnya ketika hadir di Indonesia, saudara-saudara kita yang menganut paham modernis menganggap tradisi itu tidak berasal dari Islam. Sebagian menuding tradisi itu berasal dari kebiasaan orang Jawa untuk mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran- ajaran pra-Islam. Mereka menyebutnya Sinkretisme.
Dalam agama pascamodernisasi, kita melihatnya tradisi-tradisi lama. Sebagai reaksi akan kegersangan modernis, orang rindu untuk kembali pada hal-hal tradisional yang dijalankan kaum Muslimin sebelum datangnya arus modernisasi. Kita ingin menghidupkan kembali tradisi-tradisi lama itu seperti membaca surah Yasin setiap malam Jumat, memperingati malam Nisfu Sya'ban, mengadakan Ihya Al-Lail di malam-malam Qadar, mengantar-jemput jemaah haji, serta membaca shalawat kepada Nabi Saw. Sayang, shalawat banyak ditinggal orang, dianggap sebagai salah satu bagian dari kesesatan.
Ketika menunaikan ibadah haji bersama satu rombongan dari Jakarta, saya dianggap menyebarkan kesesatan karena mengerjakan membaca shalawat di Madinah. Padahal Madinah adalah tempat yang setiap jalannya pernah diinjak kaki Rasulullah Saw. Di tempat yang amat dekat dengan Rasulullah itu, sepantasnya kita memperbanyak shalawat dan salam baginya.
Contoh kesesatan saya yang kedua, menurut mereka, adalah beribadah dengan tangisan. Ketika wukuf di Arafah, ketika Allah melantik para jamaah haji, saya ajak mereka untuk menangis menyesali dosa-dosa mereka. Ada orang yang menganggap hal itu sesat. Jika menangis ketika berdoa itu disebut sesat, maka itulah "kesesatan" yang diajarkan dalam Al-Quran. Dalam Al-Quran disebutkan: "Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberian ini? Yang membuat kamu tertawa dan tidak membuat kamu menangis." (QS Al-Najm: 59-60). Al-Quran mengecam orang-orang yang mendengar pembicaraan atau ceramah hanya untuk tertawa gembira ria dan tidak menangis.
Kita ingin menghidupkan kembali tradisi menangis. Saya akan bacakan beberapa hadis nabi Muhammad Saw tentang keutamaan menangis. Dalam bahasa Arab, menangis disebut buka' dan tangisan atau tetesan air mata ketika menangis disebut 'abarat. Jika menangis di Arafah dilarang, mengapa dalam teks doa jemaah haji dari Departemen Agama tercantum kata-kata, "Allahumarham al-abarat. Ya Tuhan, sayangilah tetes air mata yang menangis dan merintih di hadapan-Mu.
Dalam hadis-hadis Nabi, kita akan temukan bahwa Nabi menganjurkan kita untuk memperbanyak tangisan dan mengurangi tertawa. Kebudayaan kita adalah sebuah budaya yang ditegakkan di atas gelak tawa. Kita mau membayar mahal untuk menebus tertawa yang terpingkal-pingkal. Kita mau berkorban banyak hanya untuk mengocok perut kita. Membuat orang tertawa menjadi bisnis yang sangat menguntungkan. Mubalig pun tertarik untuk mengisi pembicaraannya dengan tawa dan canda.
Hadis-hadis berikut tentang keutamaan menangis ini dapat dibaca dalam Kanzul ‘Umal. Dalam sebuah hasil yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat diceritakan bahwa suatu hari Rasulullah Saw membaca bagian akhir surat Al-Zumar: "Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahanam berombong-rombongan" (QS Al-Zumar: 71). Orang-orang Anshar yang mendengarnya menangis. Semua terisak-isak kecuali seorang pemuda di antara mereka. Pemuda itu berkata, "Ya Rasulullah, tidak menangis dari air mataku satu tetes pun. Sebetulnya hati saya menangis tapi tidak keluar tetesan air mata." Rasulullah bersabda, "Jika orang tak bisa meneteskan air mata tapi hatinya berduka cita, maka bagi dia surga."
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Abu Dzar Al-Ghifari, bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Akan aku bacakan kepada kalian Alhaakumut takaatsur. Siapa yang menangis mendengar Alhaakumut takaatsur, baginya surga." Dalam surah Al-Takaatsur, Tuhan memberikan peringatan kepada kita, "Sudah membuat kamu lalai keinginan untuk menumpuk- numpuk kekayaan sampai engkau berkunjung ke kuburan" (QS Al- Takaatsur: 1-2).
Masih dalam hadis dari Abu Dzar Al-Ghifari: Rasulullah Saw bersabda, "Kalau salah seorang di antara kamu sanggup menangis, jangan tahan tangisan itu. Kalau tidak mampu menangis, rasakan di dalam hatimu seluruh penderitaan itu. Berusahalah untuk menangis. Karena hati yang keras, yang tidak bisa menangis, dijauhkan dari Allah Swt." Rasulullah Saw mengajarkan kita untuk membiasakan menangis, untuk mengisi saat-saat keberagaman kita dengan tangisan; bukan dengan gelak tawa dan canda.
Satu ketika, setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, Siti Aisyah ditanya orang, "Bagaimana keadaan Rasulullah Saw?" Siti Aisyah menarik napas panjang. Lama beliau tidak berkata-kata dan air matanya menetes. Aisyah berkata pendek, "Kana kullu 'amrihi ajaba. Semua tingkah laku Nabi itu indah." Orang yang bertanya tidak puas dan mendesak Siti Aisyah untuk memberitakan satu kejadian yang paling menakjubkan yang pernah Aisyah lihat. Kemudian Aisyah bercerita: "Tengah malam, ketika aku sudah tidur, Nabi terbangun. Padahal kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku. Nabi berkata, "Aisyah izinkan aku untuk menyembah Tuhanku'. Aku menjawab, "Aku senang engkau dekat denganku tapi aku juga senang engkau beribadah kepada Tuhanku.' Setelah itu, Rasulullah mengambil gerabah air untuk berwudu lalu beliau berdiri. Tidak lama sesudah beliau takbir, aku dengar beliau terisak-isak. Dadanya berguncang seperti air yang mendidih. Rasulullah terus-menerus menangis sampai basah janggutnya dengan air matanya. Ketika azan Subuh dikumandangkan, Bilal memberitahu Nabi telah masuk waktu Subuh. Saat itu Bilal masih melihat bekas-bekas tangisan Rasulullah Saw. Bilal bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang kemudian.' Rasulullah menjawab, 'Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah Swt."
Ummu Salamah, istri Rasulullah yang lain, juga bercerita tentang tangisan Rasulullah dalam shalatnya: Tengah malam Ummu Salamah kehilangan Rasulullah. Kemudian ia temukan Rasulullah berada di sebuah sudut rumahnya dalam kegelapan malam. la dengar Rasulullah terisak-isak menangis memohon ampunan Allah Swt sehingga Ummu Salamah ikut menangis. "Kalau Rasul yang mulia saja menangisi dosa-dosanya, padahal Allah telah mengampuni seluruh dosanya, apalagi orang seperti saya," kata Ummu Salamah.
Di malam yang lain Ummu Salamah juga terbangun karena mendengar Nabi di sampingnya terisak-isak menangis. Ummu Salamah bertanya, "Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Jibril baru saja datang kepadaku dan memberitahuku bahwa cucuku, Husein, akan dibunuh di Karbala." Ummu Salamah keheranan, "Mana mungkin orang yang mengaku umat Rasulullah membunuh kecintaan Rasulullah?" Lalu Rasul memegang tangannya. Di situ terdapat segumpal tanah. Beliau cium tanah itu dan air mata mengalir deras di pipinya. Rasul berkata kepada Ummu Salamah, "Simpanlah tanah ini. Nanti, ketika cucuku, Husein, terbunuh di Karbala, kau akan melihat tanah ini berubah menjadi darah." Ketika terjadi peristiwa di Karbala, Ummu Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui peristiwa itu. Pada tanggal 10 Muharam, Ummu Salamah berlari menjerit ke luar dari rumahnya dan mengumumkan di depan Masjid Nabawi bahwa Imam Husein telah syahid. Padahal, tidak ada utusan yang membawa kabar ke Madinah. Orang Madinah adalah kaum Muslimin yang menangisi Karbala. Ummu Salamah menangis sebagaimana Rasulullah juga menangis.
Ketika kita mengenang kehidupan Rasulullah beserta keluarganya, umumnya yang kita kenang adanya peristiwa-peristiwa indah padahal kehidupan Rasulullah sejak kecil sampai beliau berjuang untuk Islam merupakan rangkaian musibah demi musibah, derita demi derita.
Rasulullah memberikan contoh kepada kita kemampuan yang kini hilang dari masyarakat modern, yaitu kemampuan empatik. Empati adalah kemampuan kita untuk merasakan penderitaan orang lain. Saya pernah menulis sebuah artikel di majalah nasional tentang orang-orang yang tertawa ketika meraup keuntungan besar, padahal keuntungan itu menyebabkan tangisan rakyat banyak. Menurut saya yang menyebabkan mereka seperti itu adalah hilangnya empati. Sistem pendidikan kita tidak memasukkan kemampuan empatik itu ke dalamnya.
Rasulullah adalah manusia yang paling empatik, paling mudah menangis melihat penderitaan orang lain. Suatu hari seorang sahabat memberitahu Rasulullah ada seorang sahabat lain yang anaknya sedang menghadapi sakaratul maut. Rasulullah datang memangku anak itu. Dalam pangkuannya, anak itu bergetar menggigil karena demam yang parah. Rasulullah meneteskan air matanya. Seorang sahabat menegur Rasulullah. Ia tidak mengerti mengapa Rasulullah menangis padahal itu anak orang lain. Rasulullah menangis karena ia merasakan penderitaan anak itu.

Ketika Ibrahim, putra Rasulullah satu-satunya yang paling beliau cintai dan dikasihi, meninggal dunia, Rasulullah menangis. Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis?" Sahabat ini beranggapan bahwa menangisi mayat adalah perbuatan tercela karena akan menyusahkan mayat itu. Rasulullah menjawab: "Inilah tangisan kasih sayang." Kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa modern, Rasulullah berkata, “Inilah tangisan empatik." Tangisan yang muncul karena kemampuan merasakan penderitaan. Dari situlah lahir kasih sayang. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).