top of page
  • Writer's pictureAkhi

Mengontrol Bahasa


Salah satu objek pembahasan dalam filsafat adalah bahasa. Dalam pembahasan itu dikenal istilah sintaksis atau analisis struktur kalimat. Filsuf dalam bidang ini adalah semisal Bertrand Russell. Ia sering menulis kata-kata di papan tulis, seperti the snake is in the grass.


Lalu, kalimat itu dianalisis kata per kata. Misal, apa yang dimaksud dengan snake? Apa yang disebut dengan grass? Lebih dari seratus tahun, orang-orang memusatkan perhatiannya kepada makna kata-kata. Sampai kemudian datang zaman baru di mana kata bisa bermakna jika dapat dibuktikan secara empiris. Jika ada kalimat the snake is in the grass maka cek langsung ke rerumputan yang dimaksud, apakah di sana ada ular atau tidak. Suatu ketika seorang filsuf bernama Wittgenstein datang ke Inggris untuk menemui seorang filsuf lain bernama Russell. "Saya ingin tahu, saya ini idiot atau genius," kata Wittgenstein kepada Russell. “Jika Idiot, saya akan belajar aeronautic Tapi, jika genius, saya akan mengambil filsafat” Wittgenste lalu menyerahkan makalah kepada Russell. Russell kemudian mengatakan, “Kamu genius, Wittgenstein." Russell menilai makalah Wittgenstein itu memang luar biasa.


Jadi, untuk mengetahui apakah seseorang itu seperti yang dikatakan atau tidak maka harus ditunjukkan bukti empiris.


Namun, akhirnya, Wittgenstein mengatakan bahwa tak ada gunanya mempelajari tata bahasa. Sebab, bahasa ternyata dipakai semata sebagai permainan yang tak bermakna.


Saat ini, bahasa bukan lagi sebagai deskriptif, melainkan generative dan kreatif. Maksudnya, bahasa juga dapat menciptakan peristiwa-peristiwa. Maka, kita harus berhati-hati dalam menggunakan sebuah bahasa. Misalnya, John Osteen mencontohkan ritual pernikahan di gereja. Si pendeta mengatakan, “I know you are a husband and a wife.” Lalu, kedua mempelai mengatakan, “I do” Dari bahasa itu, pendeta akan mengatakan, “You may kiss?” Kemudian, ciuman itu tidak akan terjadi jika salah satu mempelai mengatakan, “No.” Sebaliknya, jika mengatakan “yes” maka kedua mempelai akan berciuman. Begitu juga dalam Islam. Hubungan laki-laki dan perempuan menjadi halal diputuskan oleh sebuah bahasa, yang disebut akad nikah.


Tak hanya mencipta peristiwa, bahasa yang kita ciptakan juga dapat memengaruhi perasaan. Misal, dua orang sedang berbincang-bincang di dalam ruangan. Lalu, saya memasuki ruangan. Seketika dua orang itu menghentikan perbincangannya. Nah, dengan bahasa atau cerita yang saya bangun sendiri, ada tiga kemungkinan kenapa mereka menghentikan perbincangan itu. Pertama, barangkali mereka sedang membicarakan saya, entah kebaikan atau keburukan saya. Begitu saya hadir, mereka langsung diam karena merasa tidak enak dengan saya.


Kemungkinan kedua, mereka diam sekadar ingin menghormati atau mengakui kehadiran saya sebagai guru mereka. Mereka tidak ingin dinilai sebagai murid yang tidak tahu diri. Kemungkinan yang lain, mereka diam barangkali sebab pembicaraannya tidak ingin didengar, hanya menjadi rahasia mereka berdua.


Nah, kemungkinan-kemungkinan tersebut akan memengaruhi perasaan saya. Jika saya memilih kemungkinan pertama-mereka sedang membicarakan keburukan saya-tentu saya akan marah dalam hati. Namun, saya akan senang jika yang saya bangun adalah kemungkinan kedua. Sebab, tentu saja orang akan senang jika dihormati.


Jadi, demikianlah. Kebahagiaan atau ketakbahagiaan kita bisa muncul dari bahasa atau cerita yang kita bangun sendiri. Pertengkaran-pertengkaran suami-istri, misalnya, bermula dari bahasa dan cerita-cerita yang mereka bangun masing-masing. Lalu, pertengkaran itu mereda atau justru memburuk, tergantung bagaimana bahasa-bahasa yang terbangun di tengah pertengkaran tersebut. Maka, salah satu kiat mengendalikan amarah adalah mengontrol bahasa yang dipergunakan di tengah kemarahan.


Ada sebuah buku berjudul Language and The Pursuit of Happiness (Bahasa dan Pencarian Kebahagiaan) karangan Chalmers Brothers. Buku itu berbicara tentang bahasa dan berbagai hal yang terbangun di atasnya. Bahasa dapat membuat hati bahagia atau berduka. Jadi, jika kita ingin bahagia dalam hidup, ciptakanlah bahasa-bahasa atau cerita-cerita baik dan selalu membangun prasangka positif.



KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

37 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page