Akhi
Menyikapi Perbedaan (1)
Skisme dalam Islam Sebuah Telaah Ulang
Ketika matahari Islam sedang naik di sebelah Timur, di Barat Kristianitas terbelah dua pola: Gereja Romawi dan Gereja Yunani. Mereka berpisah seperti “a biological species divided in space and diversified in time.” Kristen Yunani berdoa sambil berdiri, kristen Romawi sembahyang sambil berlutut. Pembaptisan di Yunani dilakukan dengan penyelaman, di Romawi dengan pemercikan. Pernikahan dilarang bagi pastor Romawi, tetapi diperbolehkan bagi pastor Yunani. “Kiai” Yunani memelihara janggut, sedangkan rekannya dari Roma mencukurnya.
Pastor Romawi ahli politik, pastor Yunani ahli teologi. Terakhir, teolog Yunani menolak tambahan filioque pada syahadat sex patre filioque procedit hasil perumusan Gereja Romawi. Pada tahun 1043, Michael Cerularius, Patriarch Konstantinopel, menyebarkan tulisan yang mengkritik keras Paus di Roma. Sebagai balasan, Paus St. Leo mengekskomunikasikan Cerularius dan menggelari pengikut-pengikutnya sebagai “an assembly of heretics, a conventicle of schismatics, a synagogne of Satan.” (Durant, 1950:544).
Peristiwa ini disebut sebagai skisma besar Gereja Timur. Lebih dari tiga abad kemudian, kardinal-kardinal Perancis berkumpul di Anagui, mengeluarkan manifesto yang mengatakan pemilihan Paus Urbanus VI tidak sah. Sebagai gantinya, mereka mengangkat Robert dari Genewa dengan gelar Clement VII. Dua Paus bertahta, masing-masing menyebut yang lain sebagai Judas. Pertentangan keduanya dan pengikutnya sampai kepada tingkat saling mengkafirkan. Menurut laporan Will Durant (Durant), 1953:362) “Each side claimed the sacraments administered by priests of the opposite obedience are invalid, and that the children so baptized, the penitents so shriven, the dying so anointed, remained in a state of mortal sin, doomed to hell or limbo if death should supervene.”
Peristiwa ini pun disebut sebagai Skisma Besar. Skisma memang bukan istilah Islam. Sebuah kamus klasik, Encyclopedisch Woordenbock voor Groot-Nederland (Ter laan, 1937:648) menjelaskan makna skisme: Schisma, (Gr.= shedding), de afscheiding van een deel van de Gr. Katholieke kerk van Rome, 1054; de sheuring in de. R.K. kerk, 1378-1407, toen er verschillende pausaen tegelijk waren. Bila skisme adalah istilah Kristiani, mengapa kita tiba-tiba bicara tentang skisme dalam Islam. Pernahkan Islam mempunyai Paus dua dan di antara keduanya ada tuduhan saling mengkafirkan? Bukankah umat Islam adalah “ummatan wahidatan” (QS. 23:53; 21:92)? Bukanlah mereka seperti bangunan yang kokoh, yang saling menguatkan satu sama lain; atau seperti tubuh yang satu, sehingga kalau satu anggota sakit, anggota-anggota lainnya ikut demam dan panas?
Mula-mula saya menganggap istilah skisme dalam Islam sebagai mengada-ada; sehingga begitu saja mendengarnya, saya segera berkomentar, “Ah, ada-ada saja!.” Tetapi, setelah saya merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas terlintas dalam ingatan saya sebuah hadits, Nabi Muhammad berkata, “Kalian akan mengikuti tradisi umat sebelum kalian, sesiku demi sesiku, sehingga bila mereka memasuki gua serigala, kamu pun akan mengikutinya. Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara.” Nabi menjawab, “Siapa lagi.” [1]
Kata skisme tidak mengada-ada. Walaupun skisme berasal dari dunia kristen, tradisi yang sama telah diikuti umat Islam juga. Ada tiga kesamaan antara skisme Kristiani dengan perpecahan dalam Islam.
Pertama, Will Durant melukiskan skisme besar tahun 1054, ia menulis, “…these galling political events, and not the slight diversities of creed, severed Christendom into East and West.” (Durant, 1950:544). Al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal menulis, “Tidak pernah darah ditumpahkan dan pedang dihunus dalam Islam kecuali karena pertikaian masalah imamah (kepemimpinan).” Secara singkat, baik skisme dalam Kristen maupun skisme dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah. Kedua, pertikaian politik sering dicarikan legitimasinya dengan pengembangan teologi yang berlainan. Tidak jarang, legitimasi ini diperoleh dengan memalsukan sumber-sumber ajaran agama atau memberikan penafsiran yang diselewengkan. Pertikaian dalam gereja Katolik, yang semula bersifat politis, kemudian diperluas ke dalam bidang liturgi dan doktrin: begitu pula, dalam Islam. Seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam pun kaum politisi memperbesar perbedaan doktrinal yang kecil untuk menyuburkan fanatisme –saling mengkafirkan dan saling membid’ahkan.
Ketiga, di dunia Katolik pernah muncul gerakan konsiliasi (cinciliar movement) yang dipelopori oleh kaum cendekiawan. William Occam menentang identifikasi Kristianitas dalam gereja tertentu. Heinrich von Langenstein, teolog dari Universitas Paris, menulis buku Concilium Pacis (1381); dan lain-lain. Dalam Islam, tokoh-tokoh cendekia seperti Syaikh Syaltut (dari ahl al-Sunnah), Kasyif Githa (dari Syi’ah), dan Jamaluddin al-Afgani (tidak jelas dari Sunnah atau Syi’ah), menggalakan upaya-upaya taqrib. Sayang, seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam pun umat terbanyak lebih banyak mendengar suara politisi ketimbang cendekiawan.
Tulisan ini, terus terang saja, ingin mengikuti suara cendekiawan dan mengesampingkan suara politisi. Jadi, walaupun membicarakan skisme, tujuan akhirnya adalah menumbuhkan sikap persatuan –sikap nonskismatik, sikap nonsektarian. Walaupun –karena sifat ajarannya– Islam tidak memisahkan aspek politik dan aspek intelektual, untuk mudahnya saja, di sini kedua aspek itu dipisahkan. Bagian pertama makalah ini akan membicarakan skisme politik, dan bagian kedua skisme intelektual. Pada bagian akhir, makalah ini akan mengajukan rekomendasi apa yang seharusnya kita lakukan. Ada beberapa kali terjadi skisme politik besar dalam sejarah Islam: pemberontakan ‘Aisyah terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, pertentangan khalifah antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib setelah perjanjian Shiffin, perlawanan Husayn bin Ali terhadap Yazid, atau penobatan Abdullah bin Zubair (681-692) sebagai Khalifah bersamaan dengan masa Khalifah Yazid, atau penobatan Syarif al-Husain sebagai Khalifah tandingan khalifah Utsmaniyah, yang baru saja dihapuskan tiga hari sebelumnya. Di antara semua skisme tersebut, skisme yang tetap berpengaruh sampai sekarang adalah skisme-skisme yang melahirkan polarisasi Sunnah – Syi’ah (yaitu tiga skisme yang pertama). Karena itu, di sini kita akan meneliti perbedaan konsep politik di antara kedua madzhab besar itu dan melacak penyebab-penyebabnya.
Antara Khalifah dan Imamah
Hamid Enayat menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan politik Ahl al-Sunnah, yakni Khalifah, ijma’ dan bay’ah. Ketiga konsep kunci untuk pandangan politik Syi’ah, yakni, imamah, wilayat, dan ‘ishmah. Ijma’ dan bay’ah diterima juga dalam Syi’ah walaupun dalam arti yang terbatas. Wilayah dan ‘ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah. Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah yang dianut Syi’ah. [2]
Al-Syahrastani membedakan di antara kedua madzhab ini dalam hal kepemimpinan politik. Ahl al-Sunnah menetapkan pemimpin melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiyar). Sementara itu, Syi’ah menetapkan pemimpin lewat keterangan agama (nash) dan penunjukan (ta’yin). Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya’la dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, “Kepemimpinan ditetapkan dengan dua cara: pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa al-‘Aqd; dan kedua, penunjukan imam sebelumnya” (Perlu dicatat di sini bahwa penulis-penulis di atas adalah ulama ahl al-Sunnah, tetapi anehnya menyebut kepemimpinan dengan istilah imamah).
Ahl al-Sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan kepemimpinan dan menunjuk QS. al-Syura 38 dan Ali Imran 164 sebagai dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura, pemimpin tidak perlu ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki (ikhtiyar) pemimpin yang disepakatinya (ittifaq) Dalam kenyataan, Ahl al-Sunnah tidak mempunyai konsepsi yang jelas tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang memilih, dan berapa jumlah orang yang sepakat.
Menurut Al-Mawardi, syura, boleh dilakukan dalam jumlah terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang. Pengangkatan Abu Bakar dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu ‘Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa’ad, dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu di antaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah. Menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu diantara mereka disepakati oleh dua orang yang lain. Bukankah aqad nikah sah dengan dua saksi dan satu wali? Kata kelompok yang lain, syura dan ittifaq cukup dilakukan oleh seorang saja (sic!), seperti ketika ‘Abbas mendatangi Ali untuk membai’atnya. Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyah 6-7; dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147.
Akhirnya, menurut Ahl al-Sunnah, pemimpin bahkan dapat disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewat al-ghalabah (kemenangan perang). Empat imam madzhab Ahl al-Sunnah sepakat bahwa pemimpin sah dengan salah satu di antara empat cara (al-Yahfufi, 1406: 234-256), yaitu:
(1) sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu Bakar);
(2) sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang dilakukan Abu Bakar terhadap ‘Umar;
(3) sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah sebelumnya (seperti pengangkatan Utsman bin Affan);
(4) sistem al-ghalabah bi al-saif (penaklukan dengan kekuatan militer seperti yang dilakukan Mu’awiyah)
Syi’ah berpendapat bahwa imamah hanya sah bila ditegaskan dalam nash. Mereka beryakinan bahwa Rasulullah Saw menunjuk pengganti-pengganti sesudahnya untuk memimpin umat Islam.
“Sejak pertama kali ia mengajak orang pada Islam,” kata Al-Askari (1406:202). “Ia telah memikirkan dan merencanakan pelanjutnya … untuk menegakkan masyarakat Islam.” Sayyid Muhammad Husayn Tabatabai (t.t.: 39) menulis:
From the Shi’ite point of view it appears as unlikely that the leader of a movement, during the first days of his activity, should introduce to strangers one of his associates as his successor and deputy, but not introduce him to his completely loyal and devout aides and friends. Nor does it appear likely that such a leader should accept someone as his deputy and successor and introduce him to others as such, but then throughout his life and religious call deprive his deputy of his duties as deputy, disregard the respect due to his position as successor, and refuse to make any distinctions.
Walhasil, menurut Syi’ah, ada nash-nash yang jelas dari Rasulullah Saw yang menunjukkan Ali sebagai penggantinya dan sebelas orang imam dari keturunannya. [3]
Karena imam itu ditunjuk oleh nash, maka tentu imam adalah orang yang terbaik, bahkan terpelihara dari dosa. Ini melahirkan kontroversi al-fadhil dan al-mafdhul. Al-Hilli (dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:
Imam mesti yang paling utama dari rakyatnya. Madzhab Imamiyah sepakat tentang hal itu. Al-Jumhur (yakni, Ahl al-Sunnah) membolehkan mendahulukan al-mafdhul di atas al-fadhil. Dengan begitu mereka menyalahi akal dan nash al-Kitab. Akan menganggap tidak baik mendahulukan al-mafdhul dan menghinakan al-fadhil. Al-Qur’an menentang hal itu dengan berkata, “Apakah orang yang memberi petunjuk kepada yang benar lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk, bahkan harus diberi petunjuk. Bagaimana kalian menetapkan keputusan?”
Karena Syi’ah menetapkan al-fadhil dan Ahl al-Sunnah membolehkan al-mafdhul sebagai imam, terjadilah kontroversi berikutnya. Syi’ah melarang dan Ahl al-Sunnah mengharuskan pentaatan pada penguasa yang zalim. Al-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim-nya, “Berkata jumhur ahl al-Sunnah dari kalangan fuqaha, mahaddtsin, dan mutakallimun bahwa imam tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan, dan kezhaliman, atau pelanggaran hak. Ia tidak boleh diturunkan dan tidak boleh orang keluar menentangnya. Wajib bagi rakyat menasihati dan memperingatkannya.” Sebelum itu ia menulis (Syarh Muslim 12: 229), “Keluar memerangi mereka haram berdasarkan ijma’ kaum muslimin, walaupun mereka fasik dan zalim. Sudah jelas sekali hadits-hadits yang menunjukkan pengertian yang saya sebut. Ahl al-Sunnah ijma’ bahwa sulthan tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan.”
Kontroversi selanjutnya adalah tindakan untuk menjawab pertanyaan manakah yang lebih utama, penguasa muslim yang zhalim atau penguasa kafir yang adil. Ahl al-Sunnah memilih yang pertama, dan Syi’ah mengikuti yang kedua. Syaikh Jawad Mughniyah (1406: 26) berpendapat, “Ketika Syi’ah menegaskan bahwa khilafah adalah hak ilahi bagi Ali dan keturunannya, mereka telah bersikap ekstrem dalam toleransinya terhadap penguasa yang adil. Mereka mengutamakan non-muslim jika ia adil daripada seorang penguasa Muslim yang zhalim. Ibn Thawus yang masyhur menegaskan, kafir yang adil lebih baik dari Muslim yang zhalim.
Kontroversi lain –yang justru sangat esensial– adalah hubungan antara kepemimpinan relegius dengan kepemimpinan politis. Bagi orang Syi’ah, pada kata imamah (yang secara khusus berarti kepemimpinan ruhaniah) juga terkandung makna wilayah (secara khusus berarti kepemimpinan politis). Dengan demikian, ahl al-bayt –di samping memegang hak kepemimpinan politis– juga menjadi rujukan dalam masalah-masalah keagamaan. Orang Syi’ah sering mendefinisikan diri mereka sebagai madzhab ahl al-bayt. Sementara itu, sejak berakhirnya Khulafa al-Rasyidun, ahl al-Sunnah memisahkan kedua kepemimpinan itu. Pada bidang religius, misalnya, orang mengikuti Imam Malik, dan pada bidang politis, mereka mengikuti khalifah al-Manshur. Secara politis, ahl al-Sunnah berpegang pada kaidah yang diberikan Ibn Umar pada waktu ada pertikaian antara Ali dan para penentangnya, Nahnu ma’a man ghalab” (Kami bersama orang yang berkuasa).
Dari perbedaan pengangkatan pemimpin (ikhtiyar atau ta’yin), perbedaan kualifikasi pemimpin (al-fadhil atau al-mafdhul), perbedaan preferensi penguasa (kafir yang adil atau muslim yang zhalim), dan perbedaan dalam memandang hubungan kekuasaan politis dengan kekuasaan religius (digabungkan atau dipisahkan), lahirlah skisme politik besar Islam yang berlangsung sampai kini.
Mengapa terjadi perbedaan itu, padahal kedua madzhab ini lahir dari Islam yang sama dan pengikut Nabi Saw yang sama? Ada beberapa teori yang menjawab pertanyaan ini. Kita hanya akan mengulas dua teori saja: teori sosioantropologis Bangsa Arab dan teori pendekatan doktrinal.
Bersambung.
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).
CATATAN
1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq, Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974.
2) Al-Sayyid Murtadha al-‘Askari menulis studi perbandingan antara Sunnah dan Syi’ah dalam Ma’alim al-Madrasatain (Teheran: Al-Bi’tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai madrasah al-khilafah dan Syi’ah sebagai madrasah al-imamah.
3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah; Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak al-Shahihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.
Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma’alim at-Madrasatain, Teheran: Bittsah.
Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah, Dar al-Mu’alim
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi’ah wa al-Hakimun, Beirut: Dar al-Jawad.
————-, 1982, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, tidak diketahui penerbitnya.
Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, Ulu al-Amr ‘inda Madzahib al-Islamiyah, dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran: Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.
Durant, Will, 1950, The Story of Civilization, Vol. IV, New York: Simon and Schuster.
————-, 1953, The Story of Civilization, Vol. V. New York: Simon and Schuster.
Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies, London.
Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of Shi’a Islam. Beirut: American University.
Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs, Cambridge.
Rahmat, J., 1986, Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur’an dan Sejarah, dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilema, Bandung: Mizan.
Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah al-Najah.
Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi’a, Tidak diketahui penerbitnya.
Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr
Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall, Trans. M. Weir. Calcutta.