Akhi
Menyikapi Perbedaan (2)
Teori Sosio-Antropologis Bangsa Arab
Teori ini dikemukakan oleh Nicholson (1969), Wellhausen (1927), Goldziher (1967), dan secara terperinci dijelaskan kembali oleh Jafri (1967). Tidak mungkin dalam makalah ini, saya menguraikan teori ini secara lengkap. Secara singkat, teori ini berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan; kesetiaan pada suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan terdiri dari dua subkultur, yaitu subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah-Utara.
Asumsi pertama menunjukkan bahwa status sosial seseorang sangat ditentukan oleh status marganya. Setiap anggota marga bangga dalam menghitung-hitung prestasi nenek moyangnya. Karena itu, kehormatan seseorang dalam bahasa Arab disebut hasab (dari akar kata hasiba yang berarti menghitung). Orang Arab percaya bahwa selain karateristik fisikal, karakteristik perilaku juga herediter. Menarik untuk dicatat bahwa khalq (karakteristik fisik) dan khuluq (perilaku) ditulis sama dalam bahasa Arab.
Perilaku yang menjadi tradisi suatu kabilah, dan menjadi kebanggaan anggota kabilah, lazim disebut Sunnah. Di antara sunnah yang paling dihargai adalah mengurus dan memelihara tempat-tempat suci. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan, pengurusan rumah suci (bayt) dan kehormatan (hasab) tidak dapat dipisahkan. Karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan kepemimpinan sakral.
Ka’bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab. Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara Ka’bah disebut sebagai “keluarga al-bayt” atau ahl al-bayt. Sejak awal, kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan Qushayy. Dalam pertentangan memperebutkan kedudukan ahl al-bayt, Bani Hasyim menang dan menyisihkan lawannya dari Bani Abd al-Syams. Karena itu Bani Hasyim dikenal bangsa Arab sebagai Ahl al-Bayt. Pada masa Abu Thalib, Bani Abd al-Syams perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan politik dan bani Hasyim mulai melemah. Ketika keturunan Umayyah merasakan ada angin baru yang menguntungkan mereka, muncullah Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Muthalib. Ia mengembalikan lagi wibawa kepemimpinan Bani Hasyim sebagai Ahl al-Bayt.
Nabi Saw menyadari betul aspek-aspek kultural dari kepemimpinan ahl al-bayt. Tema ahl al-bayt memiliki appeal yang kuat bagi bangsa Arab. Kepemimpinan ahl al-bayt menggabungkan dimensi temporal dan sakral sekaligus. Bani Umayyah tentu tidak rela dengan return of power dari Bani Hasyim. Perlawanan terhadap Islam, karena itu, datang paling banyak dari Bani Umayyah.
Ketika Nabi hijrah ke Madinah, menemui suku Aws dan Khazraj yang berasal dari Arab Selatan. Mereka adalah suku Arab yang memiliki sensitivitas religius yang tinggi. Bila inskripsi pada monumen di Arab Utara memuja keberanian dan kepahlawanan, inskripsi pada monumen Arab Selatan menunjukkan perasaan syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Pada suku-suku Arab Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau senioritas; pada Arab Selatan, pemimpin dipilih berdasarkan kesucian keturunan (hereditary sanctity).
Dari kedua subkultur inilah, berkembang skisme Sunnah-Syi’ah. Ahl al-Sunnah, sejak Mu’awiyah merebut kekuasaan berupaya untuk menekan konsepsi kepemimpinan ahl al-bayt. Karena secara doktrinal, Islam menyuruh menghormati ahl al-bayt (yang sekarang didefinisikan lebih terbatas lagi sebagai keturunan Rasulullah Saw), penguasa-penguasa yang bukan ahl al-bayt tidak menafikan kehormatan itu. Yang tidak mereka inginkan adalah gabungan antara kehormatan religius dengan kehormatan politik. Inilah, misalnya, argumentasi yang dikemukakan Umar bin Khathab kepada ‘Abbas ketika bertengkar masalah kepemimpinan ‘Ali, “Orang banyak tidak menginginkan nubuwwah dan khalifah bergabung pada Bani Hasyim” (Tarikh Thabari 1: 2769). Mungkin, karena itu pula, Ali pernah memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah –yang sudah dikuasai Bani Ummayah– ke Kufah. [4]
Teori Pendekatan Doktrinal
Sayyid Baqr Shadr (1982:73-96) mengemukakan apa yang kita sebut sebagai teori pendekatan doktrinal. Saya akan menerjemahkan sebagian argumentasi Shadr ini tanpa memberikan komentar sedikitpun:
Bila kita mengikuti periode permulaan dari kehidupan umat Islam di zaman Nabi Saw kita temukan dua aliran utama yang berbeda, yang menyertai perkembangan umat dalam permulaan eksperimen Islam, sejak dini. Keduanya hidup bersama dalam lingkungan umat yang dilahirkan oleh Rasul sang pemimpin.
Perbedaan di antara kedua aliran ini telah menimbulkan perbedaan doktrinal sesudah wafat Rasulullah Saw, memisahkan umat dua kelompok besar. Salah satu kelompok berhasil berkuasa dan sanggup berkembang sehingga mencakup mayoritas kaum muslimin. Kelompok yang lain tidak berhasil memperoleh kekuasaan dan berkembang sebagai kelompok minoritas menghadapi lingkungan Islam yang umum. Minoritas ini adalah Syi’ah.
Dua aliran utama yang menyertai pertumbuhan umat Islam di zaman Nabi sejak awal adalah:
(1) Aliran yang beriman sepenuhnya pada ta’abbud bi ‘l-din berhukum dan berserah mutlak pada nash-nash agama dalam seluruh bidang kehidupan.
(2) Aliran yang hanya merasa tunduk pada agama pada bidang-bidang khusus seperti ibadah dan hal-hal yang ghaib. Aliran ini meyakini kemungkinan ijtihad; membolehkan memalingkan nash agama pada bidang-bidang kehidupan di luar bidang-bidang kehidupan di atas, sesuai dengan kemaslahatan masyarakat, dengan peralihan atau perubahan.
Sahabat adalah kelompok Mukmin yang cemerlang; benih yang paling utama pada saat pertumbuhan risalah, sehingga sejarah manusia tidak pernah menyaksikan generasi aqidah yang lebih mulia, lebih suci, dan tinggi dari generasi yang dilahirkan Rasulullah.
Walaupun demikian, karena harus tunduk pada adanya aliran yang luas pada bidang kehidupan, para sahabat cenderung mendahulukan ijtihad untuk memperkirakan dan memperoleh maslahat daripada ta’abbud secara harfiyah pada nash-nash agama. Rasul telah bertahan berkali-kali menghadapi aliran ini, sampai pada saat menjelang kematiannya (yang akan diuraikan nanti). Di samping itu, ada juga sahabat yang bertahkim dan bertaslim sepenuhnya pada nash-nash agama di semua bidang kehidupan.
Aliran kedua, aliran ijtihadi, tampaknya lebih menyebar di kalangan kaum muslimin karena kecenderungan manusia untuk tunduk pada kemaslahatan yang dapat dipahami dan diperkirakannya, serta meninggalkan kecenderungan mengikuti kemaslahatan yang tidak dapat dipahami tujuannya. Yang mengikuti aliran ini terdiri dari sahabat-sahabat besar. Umar bin Khathab pernah melawan Rasulullah Saw dan berijtihad pada banyak kejadian, yang bertentangan dengan nash, dengan meyakini bahwa apa yang dilakukannya benar.
Pernah kedua aliran ini bertentangan di hadapan Rasul pada hari-hari terakhir kehidupannya. Bukhari meriwayatkan dalam shahih-nya dari Ibn ‘Abbas. Ia berkata: “Menjelang Rasulullah Saw wafat, di rumahnya ada banyak orang, di antaranya Umar bin Khathab. Nabi berkata: Mari aku tuliskan untuk kamu tulisan sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Berkata Umar: Nabi Saw sedang dicengkram sakit. Di hadapan kalian ada al-Qur’an.
Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Penghuni rumah itu pun bertikai. Sebagian berkata: Dekatkan supaya Nabi menulis (wasiat) kitab sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Sebagian lagi berkata seperti kata Umar. Ketika sudah ramai perbincangan dan pertikaian di hadapan Nabi, ia berkata: ”Pergilah kalian.” Peristiwa ini cukup menunjukkan dalamnya pertikaian dan pertentangan di antara kedua aliran ini.
Skisme Intelektual
Dari kedua aliran ini kemudian berkembang aliran-aliran lainnya, yang tidak mungkin semuanya dibahas di sini. Kebanyakan aliran-aliran itu muncul sebagai hasil refleksi intelektual. Skisme intelektual (mungkin malah tidak tepat disebut skisme) memang bisa menjadi solid, ketika para politisi mulai masuk. Skisme ini dapat terjadi pada bidang ilmu kalam atau bidang fiqh. Abu Zuhrah (1987) menyebut yang pertama ikhtilaf ‘aqaidi dan yang kedua ikhtilaf fiqhi. Saya tidak akan memperinci kedua ikhtilaf ini, tetapi hanya akan menunjukkan penyebab timbulnya ikhtilaf tersebut.
Sebab-sebab yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur’an dan al-Sunnah. Banyak orang berpikir sederhana: pertikaian akan segera selesai bila kita kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Pertikaian justru terjadi ketika kaum Muslim berusaha memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam kedua sumber tasyri’ ini terdapat kata-kata atau kalimat yang musytarak (mengandung makna ganda), lafazh yang ‘am (berlaku umum) dan khash (berlaku khusus), yang muthlaq dan yang muqayyad (bersyarat).
Lihatlah perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. “Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara kamu datang dari jamban, atau setelah kamu menjamah wanita, atau kamu tak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, dan sapulah muka kamu dan tangan kamu itu,” (al-Qur’an 5: 6). Kalimat ini dipahami Abu Hanifah sebagai berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air, tidak berlaku tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat tersebut hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada air khusus pada yang sakit atau musafir. Madzhab yang lain berpendapat bahwa syarat sah tayammum adalah salah satu di antara tiga kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau bepergian.
Apa yang dimaksud “air”? Kata madzhab Hanafi, air itu termasuk air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air teh). Kata madzhab yang lain, air mutlak saja. “Debu” meliputi pasir dan tanah, kata Syafi’i; tanah saja, kata Hambali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah, pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah oleh Ja’fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).
Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar, ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan sebagainya.
Sebab-Sebab yang Berkenaan dengan Sunnah
Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil lagi. Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil pelajaran dari hadits: apakah yang diberitakan hadits itu Sunnah atau bukan. Manakah yang sunnah, mengampuni para tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah Saw pada Fath Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah, menjilati jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu.
Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits. Hadits dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup pengalaman yang berlainan bersama Rasulullah Saw. Ada yang menyertai Nabi hampir setiap saat, dan ada yang berjumpa dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan bahwa mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki orang yang menangisi mayat. ‘Aisyah menolak hadits ‘Umar ini. Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, ‘Aisyah berkata, “Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn Umar). Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah Saw. Mereka menangisi jenazah itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang disiksa.” [5]
Sebab-sebab Berkenaan dengan Perbedaan Kaidah Ushul Fiqh
Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi’i, Maliki, Hambali. Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1) “Deralah mereka 80 deraan,” (2) “Jangan terima kesaksian mereka selama-lamanya,” dan (3) “Mereka itulah orang-orang fasik.” Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua madzhab –selain Hanafi– memilih rnenjawab “ya” untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.
Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan, qaul shahabat, dan sebagainya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986: 99-103).
1. Sepakat pada yang qath’i, siap berbeda pada yang dzhann-i:
Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar. Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muammalah yang disetujui bersama, apa pun madzhabnya. Kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu’) dari pokok-pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama.
Adalah kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh madzhab mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah –semuanya percaya kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl al-Sunnah dan Syi’ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku’ dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir, mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan dalil-dalil qath’i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil zhanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk pengembangan wawasan tentang Islam.
2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturahim:
Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang zhanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur’an (kalau berkenaan dengan penafsiran al-Qur’an). Ukuran aqli –yang saya definisikan sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu proposisi– hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli.
Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat. Ini cara untuk menghindarkan “terburu-buru” menangkap ruh dari suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak ijtihad dan menafsirkan al-Qur’an karena ruh ajaran Islam itu egalitarian, terjebak dalam keterburu-buruan. Mencurigai hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya, betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan prinsip egalitarian al-Qur’an [6] adalah mendahulukan kritik ‘aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi, misalnya.
Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi betapapun kuatnya, pendapat itu tetap zhanni. Di tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat.
Ini saya sebut prinsip silaturrahim. Ibnu Mas’ud berpendapat shalat Dzuhur dan ‘Ashar di Mina harus di qashar. Ketika Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas’ud shalat juga empat rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, “Perselisihan itu semua jelek” (al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan kemaslahatan umat. Imam Syafi’i tidak membaca qunut pada shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak jauh dari situ.
Di Indonesia, banyak paham timbul –barangkali setelah melakukan tarjih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain. Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak berujung.
3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam.
Membedakan mana yang qath’i dan zhanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang.
Al-Qur’an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan, “Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?” (QS. al-Ra’d:16); “Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama kegelapan dan cahaya” (QS. Fathir:19); “Katakan, apakah sama orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan” (QS. al-Zumar:9) “Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan” (QS. Al-Mujadilah: 11).
Mengizinkan setiap orang berijtihad –tanpa mempedulikan perbedaan mereka dalam pengetahuan agama – dapat menimbulkan chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala yang berbentuk kriteria. “Berijtihad” tanpa ilmu berarti membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti anarki.
Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti, hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya. []
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).
CATATAN
4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi’ah. Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang mendukung Syi’ah, sehingga Syi’ah sering disebut sebagai Sabaiyyah.
5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz. Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah), dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit.
6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur’an, prinsip pewarisan kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30; 6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang sahih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.
Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma’alim at-Madrasatain, Teheran: Bittsah.
Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah, Dar al-Mu’alim
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi’ah wa al-Hakimun, Beirut: Dar al-Jawad.
————-, 1982, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, tidak diketahui penerbitnya.
Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, Ulu al-Amr ‘inda Madzahib al-Islamiyah, dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran: Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.
Durant, Will, 1950, The Story of Civilization, Vol. IV, New York: Simon and Schuster.
————-, 1953, The Story of Civilization, Vol. V. New York: Simon and Schuster.
Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies, London.
Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of Shi’a Islam. Beirut: American University.
Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs, Cambridge.
Rahmat, J., 1986, Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur’an dan Sejarah, dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilema, Bandung: Mizan.
Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah al-Najah.
Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi’a, Tidak diketahui penerbitnya.
Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr
Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall, Trans. M. Weir. Calcutta.