Akhi
Mitos 1: Sepenuhnya Ditentukan oleh Keturunan
Ketika Ucok dinyatakan sebagai bintang pelajar dan menduduki ranking kesatu di sekolahnya, komentar pertama dari ayahnya ialah “Siapa dahulu bapaknya?” Dengan begitu, yang paling banyak menyumbangkan kecerdasan pada si Ucok bukanlah kerja keras dan kerajinannya, tetapi kecerdasan bapaknya. Hingga tahun 1960an, anggapan umum di antara para ilmuwan ialah otak tidak bisa diubah oleh lingkungan. Otak sepenuhnya ditentukan secara genetis.
Tentu saja, sebelum tahun 1960an, ada beberapa orang ilmuwan yang “menyimpang”. Tahun 1815, misalnya, Spurzheim mengamati bahwa ukuran organ akan bertambah jika dilatih. Otot-otot akan membesar jika dikembangkan dengan olahraga. “Salah satu keajaiban Tuhan,” kata ibuku yang bukan ilmuwan, “ialah tubuh bikinan Tuhan itu akan menguat jika dipergunakan. Lihatlah, makin sering pundak dipakai untuk memikul, ototnya makin menggelembung.” Spurzheim memperluas teori ini dari “otot” ke “otak”. Ia melaporkan bahwa otak, seperti otot, akan menguat dengan berolahraga. Mengapa? “Karena darah dibawa dalam jumlah yang banyak kepada bagian-bagian yang dirangsang dan nutrisi dilakukan oleh darah.” Pada 1874, Charles Darwin melaporkan bahwa otak kelinci jinak lebih kecil apabila dibandingkan dengan otak kelinci liar. Ia menyimpulkan bahwa pengecilan otak ini disebabkan karena kelinci peliharaan tidak lagi menggunakan pikirannya, nalurinya, atau pengindraannya seperti kelinci hutan
Penelitian langsung pada otak diarahkan pada bagian otak yang sangat penting—neuron. Sekarang, bayangkanlah sistem saraf sebagai sebuah negeri atau pemerintahan. Ada pusat pemerintahan yang mengirimkan instruksi dan aturan-aturan ke seluruh wilayah dan provinsi melalui jaringan telepon. Otak adalah pusat pemerintahan. Jaringan telepon adalah susunan saraf. Melalui saraf, perintah atau instruksi dikirimkan ke seluruh tubuh. Setiap “kabel” saraf—seperti kabel listrik—mengandung banyak “kabel kecil” yang merupakan bundel-bundel sel-sel saraf. Inilah yang disebut neuron. Eric Jensen menyebutnya “cells of magic”, sel keajaiban, karena belajar terjadi di sini. Seperti tongkat sihir, belajar menimbulkan perubahan dalam struktur otak manusia. Lebih lanjut Eric Jensen dalam Brain Facts menjelaskan:
Neuron
Neuron ini besarnya seukuran titik di akhir kalimat yang dibagi seratus. Jumlahnya ada 100 miliar di setiap otak manusia.
Keajaiban yang kita sebut belajar bermula pada tingkat sel yang sangat kecil. Otak mempunyai beberapa jenis sel yang terlibat dalam proses belajar.
Sel otak Anda yang terbanyak disebut interneuron atau glial (dari bahasa Yunani, “lem”). Sel ini tidak punya badan. Anda punya kira-kira glial sepuluh kali dari neuron yang biasa. Itu berarti Anda mungkin memiliki seribu miliar glial. Ketika otak Einstein diotopsi, ia memiliki jauh lebih banyak sel glial daripada otak yang biasa. Peranannya antara lain membentuk mielin—yang kemudian membentuk pembungkus—untuk sarana pengangkutan makanan dan pengaturan sistem kekebalan tubuh.
Sel-sel aktif yang paling banyak dipelajari adalah neuron (dari bahasa Yunani, “tali busur”). Pertama, kita tahu bahwa otak dapat dan benar-benar menumbuhkan sel-sel baru. Kedua, neuron yang berfungsi normal terus-menerus menembakkan, memadukan, dan melahirkan informasi. Inilah pusat kegiatan yang terus-menerus hidup. Satu neuron dapat berhubungan dengan seribu sampai sepuluh ribu sel yang lain. Ini tanda yang baik; makin banyak hubungan yang dilakukan oleh sel-sel Anda, makin baik. Belajar tidak dapat dilakukan melalui neuron secara sendirian. Diperlukan kelompok neuron. Kelompok-kelompok ini dikenal sebagai jaringan serabut saraf.
Neuron mempunyai berbagai bentuk dan ukuran tetapi dengan ciri-ciri yang sama. Setiap neuron punya badan sel, akson, dan cabang-cabang yang disebut dendrit. Makin banyak dendrit, makin besar kemungkinan untuk berhubungan dengan neuron yang lain. Walaupun banyak dendrit bersentuhan satu sama lain, kejadiannya hanyalah kebetulan. Karena dendrit-dendrit itu begitu banyak, begitu padat, begitu berdesakan! Karena itulah, banyak terjadi kemungkinan komunikasi yang tidak disengaja dan “off the record”. Dendrit sangat aktif. Ia menghasilkan sembilan puluh lima persen panas pembuangan di dalam otak karena kelahirannya dan gerakannya.
Melalui sistem saraf, otak mengirimkan instruksi ke seluruh tubuh.
Walau badan sel mempunyai kemampuan bergerak, kebanyakan neuron jalan di tempat. Mereka hanya mengembangkan atau “menumbuhkan” akson ke luar. Beginilah cara kerjanya: setiap neuron mempunyai satu akson, sambungan yang berbentuk cabang dan sangat tipis memanjang dari badan sel. Akson ini membagi-bagi dirinya lagi dan bercabang beranting untuk berhubungan dengan sel-sel lain. Jumlah kemungkinan hubungan yang dapat dibuat oleh neuron sangat tidak terbatas. Apa yang terjadi pada tingkat neuron sangat menarik. Arus informasi semuanya bersifat satu arah. Akson berhubungan dengan dendrit. Dendrit biasanya tidak berhubungan satu sama lain. Dengan sangat menakjubkan, akson tidak menyentuh dendrit secara fisik. Ada celah kecil yang membuat koneksi. Celah itu disebut sinapsis. Ketika kita menyebutkan sel “berhubungan” dengan sel yang lain, yang kita maksud adalah mereka berdekatan begitu erat sehingga sinapsis “digunakan” berkali-kali. Inilah apa yang disebut oleh peneliti sebagai basis biologis pembelajaran.
Sel-sel otak tidak tetap seperti ketika orang lahir. Ia tumbuh dan berkembang terus-menerus. Sel-sel baru lahir, cabang-cabang dendrit beranak-pinak. Karena kecerdasan manusia terletak pada hubungan-hubungan di antara neuron-neuron itu, maka tumbuhnya koneksi-koneksi itu juga menunjukkan pertumbuhan kecerdasan.
Jadi, pembelajaran terjadi ketika impuls elektris mengalir ke akson, yang pada gilirannya melepaskan neurotransmiter ke dalam celah sinaptik. Neurotransmiter adalah zat-zat kimia yang menyeberangi celah dalam beberapa mikrodetik, lalu diserap ke dalam reseptor pada permukaan dendrit penerima. Dalam penelitian yang akan kita uraikan sebentar lagi, terbukti bahwa sel-sel otak tidak tetap seperti ketika orang lahir. Ia tumbuh dan berkembang terus-menerus. Sel-sel baru lahir, cabang-cabang dendrit beranak-pinak. Karena kecerdasan manusia terletak pada hubungan-hubungan di antara neuron-neuron itu, maka tumbuhnya koneksi-koneksi itu juga menunjukkan pertumbuhan kecerdasan.
Lihatlah gambar "Perkembangan Sel-sel Otak Tikus". Inilah eksperimen yang menumbangkan mitos bahwa kecerdasan tidak berkembang. Jean Carper menjelaskan penelitian ini dengan sangat menarik: Tim riset yang dipimpin oleh William T. Greenough, dari Universitas Illinois di Urbana-Champaign, menempatkan tikus-tikus dalam tiga lingkungan yang berbeda —sendirian dalam sangkar, berdua di dalam sangkar, dan bersama tikus-tikus muda yang banyak dalam sangkar yang luas dan dipenuhi berbagai permainan dan alat-alat jentera (“sebuah Disneyland untuk tikus” dalam bahasa Dr. Greenough).
Kemudian ia membandingkan kompleksitas sel-sel otaknya. Apa yang ia temukan sangat menakjubkan. Hanya dalam waktu empat hari saja, tikus-tikus yang ditempatkan di “Disney Wonderland of Fun and Games” dapat menumbuhkan sel-sel otak baru secara luar biasa. Kepadatan sinapsis dan panjangnya dendrit bertambah dengan cepat dan berlimpah. Pendeknya, binatang dalam lingkungan yang merangsang tiba-tiba menumbuhkan lebih banyak koneksi untuk setiap sel saraf—lebih banyak sinapsis—dan melahirkan hutan dendrit yang subur. Otak mereka juga melahirkan pembuluh-pembuluh darah baru untuk mengangkut lebih banyak darah dan oksigen yang diperlukan untuk memberikan makanan kepada sel-sel otak yang lebih aktif. Selain itu badan neuron yang bulat tumbuh lebih besar. Dr. Greenough melatih tikus-tikus itu dalam berbagai permainan dan tugas. Dia menemukan bahwa tikus-tikus dalam sangkar yang penuh tantangan ternyata belajar lebih baik dan lebih cerdas.
Tikus-tikus tua yang ditempatkan pada “negeri dongeng” juga membuat koneksi-koneksi baru yang lebih banyak di antara sel-sel otak, dibandingkan dengan tikus-tikus tua yang terlunta-lunta dalam lingkungan yang sempit dan membosankan—Dr. Greenough menyebutnya “Couch Potatoes”. Tetapi, otak tikus tua mengembangkan koneksi-koneksi baru lebih lambat dari otak tikus muda. Menurut teori Dr. Greenough, gaya hidup tikus yang merangsang masuk ke dalam gen pada sel saraf, menghasilkan protein yang mendorong tumbuhnya dendrit dan sinapsis baru.
Lebih menarik lagi adalah penelitian mutakhir yang dilakukan oleh ilmuwan saraf, Fred Gage dan rekan-rekannya, di The Salk Institute for Biological Studies di Lajolla, California. Mereka menempatkan bayi-bayi tikus dalam dua kelompok: kelompok pertama pada sangkar-sangkar laboratorium yang biasa, dan kelompok kedua pada lingkungan yang “diperkaya” dengan anak-anak tangga, roda-roda yang berputar, makanan baru, dan banyak interaksi sosial.
Dua bulan kemudian, tikus yang sudah “remaja” ini mengalami penelitian otak yang menggunakan obat pelacak untuk mendeteksi sel-sel otak baru. Menurut Dr. Gage, peneliti menghitung setiap sel dalam hippocampus dari kedua kelompok tikus. Tikus-tikus yang tumbuh dalam sangkar biasa mempunyai 270.000 neuron pada setiap belahan hippocampus. Dengan sangat menakjubkan, tikus yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh permainan, memiliki 50.000 sel otak lebih banyak pada setiap belahan hippocampus. Artinya, lingkungan yang penuh rangsangan menambahkan 20 persen lebih banyak sel otak, yang ditempatkan secara strategis dalam memori dan pusat belajar otak mereka!
Tes-tes lainnya pada tikus yang diberikan tantangan menunjukkan secara signifikan pertambahan jumlah neuron dan percabangan dendrit yang juga sangat menakjubkan. Lebih dari itu, tikus yang hidup dalam lingkungan yang penuh tantangan lebih cerdas, mengerjakan tes memori yang lebih baik, dan belajar lebih cepat daripada tikus yang tinggal di lingkungan yang “dimiskinkan”. Para ilmuwan menjelaskan bahwa sebagian neuron terbentuk pada otak binatang segera setelah lahir, tetapi biasanya mati dengan cepat. Pada binatang-binatang yang tinggal di lingkungan yang diperkaya, sel-sel tersebut secara misterius terus hidup, meningkatkan inteleknya. Janice Juraska, ilmuwan saraf di Universitas Illinois, menyebut eksperimen itu “sebuah pertunjukan unik tentang kekuatan lingkungan dalam membentuk otak.”
Lingkungan memperkuat otak—seperti yang kita pelajari dari eksperimen tikus—bukan hanya sematamata dengan memberikan tantangan. Lingkungan itu juga memberikan peluang untuk belajar dengan banyak bergerak. Pada penelitian Carl Cotman, tikus yang disimpan pada alat jentera yang bergerak menumbuhkan serabut-serabut saraf bukan hanya di daerah otak yang mengendalikan gerak, tetapi juga di area yang mengontrol memori, berpikir, dan belajar. Ia juga melaporkan bahwa orang-orang tua yang berolahraga memperoleh skor lebih tinggi pada tes fungsi kognitif (artinya dalam berpikir dan memecahkan persoalan) ketimbang orang-orang tua yang tidak berolahraga.
Dr. Arthur Kramer melakukan eksperimen terhadap 124 orang tua yang jarang melakukan olahraga. Usia mereka berkisar dari 60 sampai 70 tahun. Selama satu bulan, mereka dibagi dalam kelompok yang berolahraga lari-lari kecil dan kelompok yang berolahraga dengan cara yoga—meregangkan tubuh saja. Setelah enam bulan, kelompok pelari mendapat skor lebih tinggi dalam tes kognitif. Artinya, mereka lebih baik dalam mengambil keputusan, merencanakan, mengingat nomor telepon dan yang sejenisnya. Pendeknya, gerakan tubuh ikut memelihara, menyehatkan, dan mengembangkan otak kita.
Tikus yang tinggal dalam lingkungan yang “diperkaya” juga lebih sehat tubuhnya, lebih panjang umurnya, atau dalam bahasa manusia lebih “bahagia” hidupnya. Bagaimanapun, otak adalah pusat informasi yang mengatur seluruh sel tubuh kita. Jika otaknya sehat dan subur, maka sehat dan subur jugalah tubuh kita.
Kalau begitu, berapa besar pengaruh hereditas (keturunan) pada kecerdasan? Secara singkat, para peneliti umumnya menilai perbandingan kedua pengaruh itu secara “fifty-fifty”. Setengah disebabkan oleh keturunan dan setengahnya lagi oleh lingkungan. Jika IQ Anda 20 poin di atas rata-rata—kira-kira 120—10 poin berasal dari orangtua Anda dan 10 poin lagi dari lingkungan. Tetapi, yang paling penting ialah bahwa kecerdasan Anda yang dibawa sebagai warisan hanya Anda miliki sebagai potensi. Katakanlah, Anda punya ayah yang jenius dalam matematika. Anda punya potensi untuk sangat cerdas dalam matematika. Tetapi jika Anda terdampar di Pulau Robinson Crusoe, dan tidak berhadapan dengan lingkungan yang merangsang kemampuan matematika Anda, Anda tidak akan memiliki kecerdasan matematika lebih tinggi dari anak-anak yang orangtuanya hanya memiliki kecerdasan matematika rata-rata saja. Dendrit-dendrit tidak cukup bercabang untuk menerima dan meneruskan informasi baru.
Secara keseluruhan, lingkungan pada akhirnya lebih menentukan daripada keturunan. Memang betul, gen dan pengaruh orangtua ikut membentuk otak. Tetapi gen tidak menentukan nasib. Diet, pendidikan, dan tantangan menentukan berfungsi-tidaknya pikiran kita. Menurut Christine Hohmann, ilmuwan saraf dari The KennedyKriger Institute di Baltimore, “Gen adalah batu bata yang merupakan bahan bangunan otak. Lingkungan adalah arsiteknya.” Buat orang yang berusia lanjut, hasil penelitian menunjukkan pada kita bahwa 30 karakteristik ketuaan ditentukan secara genetis dan 70 persen oleh lingkungan (menurut John Rowe, peneliti di Mount Sinai Medical Center di New York). Otak bekerja berdasarkan prinsip “use it or lose it”. Jika Anda tidak menggunakan otak Anda, Anda akan kehilangan dia. Prinsip ini juga perlu menjadi perhatian kita sebelum menumbangkan mitos kita yang kedua.
Yang menentukan kecerdasan bukanlah jumlah sel-sel otak, melainkan kekuatan koneksi dan arus informasi di antara mereka.
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).