Akhi
Modus Menjadi
Inilah sepenggal kisah Abu Sa'id Abu al-Khair, seorang sufi besar yang hidup pada masa abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Pada suatu hari, Abu Sa'id dicari-cari oleh muridnya, dan ternyata dijumpai sedang berada di kamar mandi sewaan-kamar mandi sejenis yang bisa Anda temukan sekarang di Jepang. Abu Sa'id kemudian bertanya, “Abu Muhammad! Bukankah tempat mandi ini menyenangkan?”
"Tentu saja,”
"Apa sebabnya?"
“Karena Tuan telah memberkati tempat ini dengan kehadiran Tuan."
"Saya kira itu bukan alasan yang tepat."
Apakah Tuan berkenan memberi hamba alasan yang tepat?"
“Tempat ini menyenangkan karena di sini kita hanya memerlukan sebuah gayung untuk menyiramkan air ke tubuh kita dan selembar handuk untuk mengeringkan badan. Dan semua itu bukan milik orang yang mandi, melainkan kepunyaan pemilik tempat mandi."
DENGAN kalimat itu, Abu Sa'id ingin menyimpulkan satu gaya hidup, yang oleh Erich fromm disebut sebagai modus “menjadi” (being mode). Kita hanya dapat memahami modus ini dengan memperhatikan lawannya-modus "mempunyai” (having mode).
Ada sekelompok manusia yang meletakkan kebahagiaan pada apa yang dimilikinya. Sesuatu dikatakan menyenangkan apabila sesuatu itu miliknya, bukan karena sesuatu itu bermanfaat baginya. Ia membangun beberapa rumah besar lebih dari yang diperlukannya. Ia membangun kolam renang di tengah-tengah rumahnya, walau pun lebih praktis dan lebih murah menyewa kolam renang umum. Ia mengeluarkan sejumlah uang untuk membuat taman. Padahal ia bisa berjalanjalan di taman tanpa harus bayar satu sen pun. Kesenangan hidupnya memang bukan pada tidur yang enak, melainkan pada kepemilikan rumah; bukan pada berenang, melainkan pada kepemilikan kolam renang; bukan pada jalan-jalan, melainkan pada pernyataan "taman ini milikku”.
I am what I have
Bagaimana saya bergantung pada apa yang saya miliki. diri saya, kehormatan saya, kebahagiaan saya, bahkan selu hidup saya, ditentukan oleh apa yang saya punyai. Ketika kehilangan apa yang sama miliki, saya kehilangan sebagian hidup saya. Ketika mobil saya tergores, hati saya yang terluka. Ketika jabatan saya hilang, gairah hidup juga lenyap. Ketika pengikut saya lari, wujud saya hancur.
Menurut Sigmund Freud, gaya hidup-mempunyai adalah sejenis kepribadian yang patologis. Setelah fase oral yang pasif, anak memasuki fase anal yang agresif-eksploitatif. Ia memperoleh kenikmatan ketika mengeluarkan kotoran dan melihat tumpukannya. Bila anak berhenti dalam perkembangan kejiwaannya, ia besar dengan mempertahankan kepribadian anal. Karakter orang ini ditandai dengan kerakusan untuk memiliki, mengumpulkan dan menumpuk uang dan hal-hal material. Bersamaan dengan kebakhilan, menurut Freud, kepribadian anal ditandai dengan kepala batu, ketertutupan, dan kesetiaan yang berlebihan kepada keteraturan.
Menarik bahwa Freud menunjukkan hubungan simbolis antara tinja dan dengan uang. Lebih menarik lagi karena Freud menjelaskan kerakusan sebagai kepribadian patologis yang terjadi karena orang tidak berhasil mencapai kedewasaan penuh. Karena karakter anal ini adalah penyakit, penderitanya mengalami berbagai ilusi dan delusi. Ia mengira bahwa hartanya atau apa saja yang dimilikinya memuaskan keinginannya akan keabadian. Al-Quran menggambarkan dengan indah, Celakalah pengumpat dan pencela yang menumpuk harta dan menghitungnya. Ia mengira bahwa hartanya akan mengabadikannya (al-Humazah: 1-4).
Modus hidup yang sehat adalah modus "menjadi". Kebahagiaan diperoleh ketika memberi, bukan mengambil.
Mengapa kaca dikatakan biru? Karena ia menyerap semua warna dan mengeluarkan warna biru. Identitas kaca ditentukan oleh apa yang ia berikan, bukan oleh apa yang ia terima.
Kata Fromm, kalau Anda ingin hidup sehat, hentikan upaya mencari ketenteraman dan jati diri dengan bersandar kepada apa yang Anda miliki. Untuk “menjadi”, Anda harus mengeluarkan semua pemusatan ego, semua sikap “kepunyaanku", Anda harus mengosongkan diri dari ketertarikan kepada kepemilikan. Para sufi menyebut pengosongan ini dengan kefakiran.
Kefakiran bukan tidak mempunyai apa pun, melainkan tidak dalam kepunyaan apa pun. Kefakiran diukur dari sikap, bukan dari jumlah harta. Kefakiran, kata Ibrahim ibn Fatik, seorang sufi dari Baghdad, ditandai dengan ketenangan ketika tidak ada, dan pemberian dan pengorbanan ketika ada. Fakir mempunyai modus “menjadi” yang ditandai dengan kesediaan memberi, berbagi, dan berkorban.
Ketika Rasulullah menceritakan orang yang sangat dekat dengan Tuhan, para sahabat bertanya apa yang dilakukan orang tersebut. Rasulullah menjawab, "Ia mencari derajat tinggi itu karena dua hal: kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada sesama muslim."
Seperti kaca biru, seseorang menentukan jati dirinya pada apa yang ia beri, bukan pada apa yang ia terima. Dengan ke cintaan yang tulus, ia sebetulnya menggeser pusat perhatian dirinya kepada orang lain. []
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).