Akhi
Musibah Dan Penderitaan : Bahagia Adalah Pilihan
Alkisah, dua orang psikolog, Thomas Holmes dan Richard Rahe, mencoba membuat skor tentang besarnya penderitaan orang berdasarkan musibahnya. Musibah disebutnya sebagai major life event, biasanya karena perubahan hidup yang tiba-tiba. Para psikolog mutakhir menyebut musibah secara lebih spesifik, negative life event. Tingkat penderitaan disebutnya sebagai stress value. Dengan ukuran itu diketahui, misalnya, musibah mana yang lebih banyak mendatangkan penderitaan - kehilangan isteri atau kehilangan pekerjaan. Di bawah ini, saya cantumkan sebagian saja dari skoring itu:
Major life event Stress value
Kematian pasangan 100
Perceraian 73
Pisah suami-isteri 65
Dipenjara 63
Kecelakaan atau sakit parah 53
Pernikahan 50
Dipecat dari pekerjaan 47
Dipensiun 45
Kesulitan seks 45
Kita segera menyadari bahwa angka-angka ini tidak berlaku objektif. Skor tertinggi pada tabel tersebut adalah kematian pasangan hidup suami kehilangan istri atau istri kehilangan suami. Betulkah kehilangan istri adalah penderitaan terbesar bagi suami? Belum tentu. Bahkan ada suami yang diam-diam dalam hati mensyukuri kematian istrinya (la bisa menikah lagi), walaupun air mata (buayanya?) berlinang. Stress value, menurut saya, memang subjektif. Musibah objektif.
Dalam buku Fadzhailul Hajj, ditemukan kisah yang menggambarkan orang yang beruntun menerima musibah, tetapi skor penderitaannya hampir nol. Syaykhul Hadits Muhammad Zakaria meriwayatkan kisah di bawah ini dalam kitab Fadzhail al-Hajj.
Hazrat Abu Hasan Siraaj r.a. berkata: "Ketika aku sedang melakukan tawaf haji, aku melihat seorang perempuan yang sangat cantik, bercahaya dalam kecantikannya. Aku memandangnya dan berkata: Demi Allah, kecantikan dan wajah indah seperti ini pastilah karena ia tidak pernah mengalami derita atau kesedihan"
Rupanya ia mendengar perkataanku. Ia berkata: "Tuan, begitukah yang ada dalam pikiran Tuan? Demi Allah, saya sudah terhempas dalam derita dan kesedihan yang menimpa saya. Hati dan jiwa saya dipenuhi begitu banyak duka tanpa seorang pun yang bisa diajak berbagi derita." Aku bertanya: "Apa yang terjadi, ibu?"
la menjawab: "Suamiku sekali waktu menyembelih kambing sebagai korban, ketika aku sedang menyusukan bayiku. Kedua anakku yang lain sedang bermain-main di sekitarku. Ketika aku ingin masak daging, salah seorang diantara anakku berkata pada
saudaranya: "Ayo, aku perlihatkan padamu bagaimana "Ayo, tunjukkan." Yang pertama menyuruh yang lain berbaring dan memotong lehernya, seperti bapaknya menyembelih kambing. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, ia lari ke gunung. Di situ ia diserang serigala dan dimangsa oleh serigala tersebut.
Si ayah pergi mencarinya ke mana-mana sampai mati kehausan. Sementara itu, di rumah, aku panik mencemaskan berita tentang suamiku. Aku letakkan bayiku dan menuju pintu untuk menanyakan siapa saja yang punya berita tentang suamiku. Bayi itu merangkak menuju tungku api yang sedang menjerang air. Ia menggapainya dan panci air itu jatuh membakar tubuh bayi itu dengan begitu, mengenaskan sehingga daging bayi itu meleleh dari tulangnya. Ketika adikku yang sudah menikah mendengar kejadian ini di rumah suaminya, ia mati karena terkejut. Jadi, tinggallah aku menanggung semua derita itu sendirian. "Aku bertanya kepadanya: "Bagaimana ibu berhasil mengatasi semua musibah ini dengan sabar." Ia menjawab: "Siapa saja yang merenungkan perbedaan antara sabar dan tidak sabar, ia akan tahu betapa jauhnya kedua dunia itu. Pahala kesabaran itu kemuliaan; sedangkan pahala ketidaksabaran tidak ada sama sekali."
Walhasil, tidak semua negative life event menimbulkan derita. Dalam kisah di atas, musibah atau negative life event diterima sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan - seperti penderitaan-bersifat subjektif. Sebuah negative life event - seperti kehilangan bos- menimbulkan kebahagiaan bagi Ali dan penderitaan bagi Ani. Sebaliknya, sebuah positive life event - di sini kita sebut keberuntungan bisa membuat sebagian bahagia dan sebagian yang lain menderita. Salah satu contoh keberuntungan adalah sukses. Kita sering mengira bahwa sukses menyebabkan kebahagiaan. Dr Paul Pearsall, dalam penelitiannya selama bertahun-tahun menemukan orang yang justru menderita setelah sukses. la membedakan antara sukses yang beracun, toxic success, dan sukses yang manis, sweet success.
Kita juga sering menduga bahwa kekayaan materi yang bersifat objektif dan dapat diukur dengan sendirinya mendatangkan kebahagiaan. Kekayaan materi, bukan sumber kebahagiaan, bahkan sering menjadi jebakan kebahagiaan. Kita berusaha mengejar kekayaan supaya kita hidup bahagia. Tetapi sering kali kita mengorbankan kebahagiaan demi kekayaan.
Saya ingin mengajak Anda sejenak ke kota besar Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Saya bawa Anda menjenguk kota kecil di situ, Rockdale County. Walau kecil, Rockdale County adalah kota termakmur di Atlanta, bahkan mungkin di seluruh Georgia. Penghuninya kebanyakan bule, Kaukasian, dari keluarga kelas menengah ke atas. Pernahkah Anda datang atau hadir ke kompleks perumahan elit di Indonesia. Anda melihat rumah-rumah indah dengan boulevard yang lebar dan rerumputan yang menghijau. Di kompleks itu tersedia berbagai fasilitas hidup yang mudah dicapai. Sekolah di sekitar itu adalah sekolah terbaik. Udara di situ adalah udara ternyaman. Dan biasanya, orang-orang yang tinggal di situ juga tercantik! Gandakan keindahan kompleks itu lima kali dan Anda menemukan Rockdale County.
Kita menjenguknya pada Mei 1999. Atlanta sedang menghias dirinya untuk menyambut Olimpiade. Pada suatu hari, kita melihat seorang anak berusia enam belas tahun mati terkapar dalam perkelahian di tempat parker sebuah mal. Lalu, pada 20 Mei 1999, seorang anak remaja menembaki anak-anak sekolah Heritage High School dengan senjata Beberapa orang korban jatuh.
Petugas kesehatan masyarakat menemukan bahwa 17 orang remaja di situ, berusia 14 dan 17 positif menderita sifilis, dan 200 orang remaja lainnya menderita penyakit kelamin yang menular, sexually transmitted diseases (STD). Sebagian di antara penderita STD itu berasal dari Heritage High School. Wabah sifilis ini kemudian membongkar adanya group seks, penyalahgunaan minuman keras, dan narkoba.
Apa yang kita saksikan ini kemudian disiarkan oleh Public Broadcasting, dengan pembahasan dari para pakar. Rachel Dretzin Goodman, produsen serial tentang "Lost Children of Rockdale County" berkata: "Kami melihat wabah sifilis ini sebagai sejenis metafora tentang penyakit yang lebih mendalam, yang menggerogoti begitu banyak remaja dewasa ini. Ke mana pun kami pergi, kami melihat anak-anak yang terapung-apung, lapar untuk mengisi kekosongan karena begitu banyak waktu luang dan begitu sedikit struktur hidup mereka"
Ajaibnya, penderitaan anak-anak remaja itu terjadi di tengah-tengah gelimangan sukses ekonomis orang tuanya. Orang tua dapat memenuhi semua kebutuhan material anak-anaknya, tetapi sangat sedikit punya waktu dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan eksistensial mereka. Mereka membanjiri anak-anaknya dengan materi tapi menggersangkan hati mereka dengan hilangnya perhatian. Salah seorang guru sekolah di sana, Peggy Cooper, berkata, "Anak-anak merindukan perhatian. Mereka akan mendapat perhatian yang baik bila mereka mendapatkannya. Bila tidak, mereka mendapat perhatian buruk. Itu tidak jadi soal bagi mereka. Hal yang paling buruk bagi mereka ialah tidak adanya perhatian sama sekali. Hilangnya perhatian membuat hidup mereka kesepian!"
Michael Resnick, profesor sosiologi dan pediatrik di Universitas Minnesota menyimpulkan apa yang terjadi di Rockdale County: "Di Rockdale County, tidak jelas siapa yang lebih tersesat, anak-anak atau orang tua-orang tua mereka.... Kami mendengar banyaknya kehampaan. Rumah-rumah hampa dari pengawasan, hampa kehadiran orang dewasa, hampa dari pengamatan. Pada banyak sekali remaja ada kehampaan tujuan; ada perasaan mereka tidak dibutuhkan, tidak bersambung dengan orang dewasa, dengan tugas, dengan apa saja yang bermakna selain dari pencarian sia-sia untuk memperoleh kesenangan."
Kita tidak ingin mengulas teori para pakar itu. Kita memilih cerita sebenarnya dari anak remaja di Rockdale County untuk menunjukkan bahwa keberuntungan kekayaan, kemewahan, sukses orangtua - tidak dengan sendirinya memberikan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak bergantung pada limpahan kekayaan. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh keberuntungan. Kebahagiaan ditentukan oleh perasaan ketersambungan dengan tujuan hidup, dengan masyarakat, dengan hal-hal spiritual, dengan apa saja yang bermakna. Perasaan ketersambungan tentu saja tidak sama di antara setiap orang. Anak-anak Rockdale terkatung-katung, terbawa arus tanpa arah, karena tidak terdidik untuk menyambungkan diri mereka. Karena itu, sama seperti musibah, keberuntungan bersifat objektif; dan seperti penderitaan, kebahagiaan bersifat subjektif.
Walaupun begitu, ada hubungan antara yang objektif dengan yang subjektif. Untuk orang yang sudah. menderita, pertambahan musibah jelas meningkatkan penderitaan. Orang yang sudah kehilangan rumahnya karena dijual anaknya tanpa sepengetahuannya bertambah menderita setelah penyakit parah menyerangnya. Untuk orang yang sudah bahagia, datangnya keberuntungan pasti menambah kebahagiaan. Sepasang sejoli yang sudah membentuk keluarga bahagia bertambah bahagia ketika Tuhan menganugerahkan anak cantik kepada mereka.
Kebahagiaan adalah hal yang subjektif. Kebahagiaan dapat kita usahakan. Declaration of Independence menyebutkan bahwa kebahagiaan dapat kita kejar (pursuit). Kita dapat memilih bahagia atau menderita. Terserah pilihan Anda, A votre chose, a votre guise, kata Baudelaire, penyair Perancis. "Kebahagiaan bukan terletak pada pemilikan uang semata; kebahagiaan terletak pada kegembiraan pencapaian, pada getaran upaya kreatif Happiness is not in the more possession of money; it lies in the joy of achievement, in the thrill of creative effort" kata Franklin D Roosevelt, dan Anda tahu siapa dia.
Karena kebahagiaan terletak pada pilihan kita, maka secara moral Anda harus memilih bahagia. Kebahagiaan adalah kewajiban moral dan juga agama. Anda wajib memilih bahagia berdasarkan perintah Tuhan. Berusaha hidup bahagia adalah mengemban misi mulia agama, apa pun namanya. Bukankah semua agama diturunkan Tuhan untuk membimbing kita agar hidup bahagia, di dunia dan akhirat? Secara historis, sepanjang sejarah manusia merujuk kepada agama dan filsafat untuk mengetahui apa yang disebut kebahagiaan dan bagaimana cara mencapai kebahagiaan.
Bersambung pada pembahasan selanjutnya kebahagiaan dalam agama-agama
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).