@miftahrakhmat
My All Seven Wonder
My All Seven Wonder

Nama saya Miftah. Putra kedua dari Allah yarham Dr. Jalaluddin Rakhmat dan Ibu. Kami lima bersaudara. Terima kasih pada para guru besar dan senior yang telah menghadirkan buku ini untuk kita semua.
Sejak saya kecil, buku yang berserakan di ruang Bapak adalah hal biasa. Buku dengan halaman yang terbuka. Buku dengan ragam bahasa dan tema. Mungkin, untuk membiasakan kami membaca, bersama buku-buku itu, Bapak hadirkan juga buku-buku untuk kami. Saya ingat Bapak mengajak kami ke toko buku di Jalan Ciateul Bandung. Kami membeli satu set kisah Mahabharata. Kami membaca 60 kisah sahabat Nabi Saw. Kami mengkhatam 25 nabi dan rasul. Tapi buku-buku yang berserakan itu, kami belum dapat memahaminya. Kami takjub pada Bapak yang membaca semua buku itu.
Bapak juga memperkenalkan pada kami bahasa asing. Bapak kerap bersenandung dan membaca puisi. Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman, itu yang paling saya ingat. Bapak senang melantunkannya. Shalawat a min tadzakuri jiranin bi dzi salaami dan beberapa bait pupuh Sunda menemani masa kecil dan tumbuh kembang kami. Menyimak itu, kami terkagum-kagum.
Bapak juga menghafal begitu banyak kalimat inspiratif. Belakangan kami tahu, kebiasaan itu ia lakukan sejak muda. Sejak di bangku sekolah menengah. Bapak sering mengunjungi Perpustakaan Belanda di Jalan Banda (waktu itu) dan menuliskan kalimat yang dibacanya pada buku catatannya. Verba valent scripta manent adalah motto yang juga sering disampaikannya. Ucapan bisa hilang, tapi tulisan tak pernah lekang. Simplex very sigillum, kesederhanaan adalah tanda kebenaran. Keduanya Bapak gabungkan jadi satu: menulis dengan sederhana. Ternyata itu tak semudah yang kami kira. He never cease to amaze me. To amaze us all.
Sepanjang hayat penuh berkahnya, Allah yarham ayahanda tak pernah berhenti menakjubkan bagi kami. Kami selalu terkagum dibuatnya. Bersama almarhumah Ibunda, keduanya selalu membuat kami bangga. Bahkan setelah mereka berdua mengucap ‘labbayka’, menjawab ‘iya’ pada undangan Sang Maha Pencipta. Buku ini di antaranya. Kami dikagetkan oleh begitu banyak webinar tentang Bapak. Lebih dari sebulan penuh, hampir setiap hari, acara mengenang silih berganti. Termasuk kehormatan yang diberikan oleh para alumni UNPAD dan kampus-kampus lainnya. Kami dibukakan pada jejaring yang sangat luas yang dijalin oleh ayahanda selama ini. Begitu banyak ungkap kasih, belasungkawa, testimoni, dan beragam kisah-kisah para sahabat bersama ayahanda. Mata kami terbuka lebar. Kami mendengar cerita-cerita yang selama ini tidak kami ketahui. Kami melihat sosok lain dari Bapak. Kisah-kisah itu menyempurnakan kekaguman kami kepadanya.
Saudara akan menemukan sebagiannya pada buku ini. Selama ini yang kami tahu, figur Bapak di rumah. Bapak sebagai penulis. Bapak sebagai pengkhotbah. Bapak sebagai guru. Tapi Bapak sebagai dosen, ini dunia dan kisah tersendiri. Yang kami tahu, buku-buku yang tak kami pahami itu. Yang kami tahu, konsentrasi Bapak menulis dan suara tuts mesin tik atau kemudian komputer sederhana di ruang tamu kami. Yang kami tahu, ketika Bapak memeriksa lembar-lembar ujian mahasiswa yang dibawanya pulang. Kami tahu semua itu. Tapi bagaimana kemeriahan ruang kuliah, bagaimana interaksi dan cengkerama, bagaimana keseriusan dan canda tawa para mahasiswa…bagaimana dinamika dan karir Bapak…banyak di antaranya baru kami tahu melalui buku ini.
Saya memang selalu memendam ‘ghibtah’, iri yang positif pada kemeriahan ruang kuliah itu. Buku Psikologi Komunikasi Bapak, best seller dan dicetak lebih dari tigapuluh kali. Legendaris. A masterpiece. Buku yang tidak hanya dibaca oleh mahasiswa komunikasi atau psikologi. Saya bahkan tahu seorang kawan yang menghafal isi buku itu, dan ia kuliah di kampus agama. Kali ini, Bapak yang dibuat takjub dan kagum karenanya. Buku itu boleh jadi kami baca, kami pelajari. Tetapi cara Bapak menyampaikkannya, menjelaskannya, menuturkannya…hanya priviledge para mahasiswa ilmu komunikasi.
Terima kasih tak terkira karena telah menghadirkan fragmen Bapak selama di Kampus itu. Apresiasi setinggi-tingginya pada para guru besar, para dekan, para dosen dan kolega Bapak. Pun pada para mahasiswa yang hadir di ruang-ruang bersejarah itu. Pada setiap mereka yang terpercik oleh perjalanan hidup Bapak. Mohon perkenan keikhlasan dan doa, mohon kerelaan maaf dan lapang jiwa. Hanya ungkap syukur yang terhatur. Hanya pujian pada Dia yang Mahaluhur. Terima kasih pada setiap kontributor dan mereka yang menghadirkan buku ini untuk kita semua. Saya dibuat takjub oleh mereka semua.
What greater ornament to a son than a father’s glory, or to a father than a son’s honorable conduct. Kalimat Sophocles itu juga sering Bapak sampaikan. Dahulu, ketika kecil itu, Bapak menghadiahi kami buku. Oleh-oleh selesai studi dari Amerika. Judulnya Seven Wonders of the World, lengkap dengan ilustrasi berwarnanya. Foto-foto keajaiban dunia yang tujuh itu. Saya sangat menikmatinya. Dan melihat apresiasi begitu banyak orang pada Bapak, membaca tulisan dari orang-orang hebat pada buku ini, menyimak bagaimana Bapak melintasi berbagai batas, dan melihat glory yang dihadirkannya, baru kini saya tahu. Baru sekarang saya menyadarinya…Bapaklah keajaiban itu. Bapaklah wonders of the world itu.
He is all my seven wonders.
@miftahrakhmat
jalanrahmat.id