top of page
  • Writer's pictureAkhi

PEMIMPIN ISLAM, PEMBEBAS MUSTADH'AFÎN


“Kebangkitan Islam sekarang ini tak akan menimbulkan pengaruh besar,” Kata PhilipStoddard. Sebabnya? Umat Islam sekarang tak mempunyai pemimpin yang efektif!"


Mengambil tempat di Syracuse University, pada 1981 diselenggarakan seminar tentang kebangkitan Islam. Beberapa ahli islamologi berkumpul, membicarakan fenomena yang muncul di Dunia Islam. Sesekali bergema nada kecemasan dan ketakutan; beberapa istilah berkali-kali terlontar dalam pembicaraan pada seminar itu, seperti Islamic Explosion (ledakan Islam) dan historical turbulence of militant Islam (topan kesejarahan gerakan Islam militan). Orang-orang Barat (pengikut seminar tersebut) cemas menyaksikan gejala-gejala yang terjadi di Dunia Islam: masjid-masjid mulai dibanjiri pengunjung; mereka cemas melihat mahasiswa-mahasiswa Islam sibuk mendalami Al-Quran; mereka cemas melihat mahasiswi-mahasiswi berkerudung, mulai dari Mesir, Indonesia, hingga kampus-kampus universitas besar di Eropa dan Amerika. Mereka juga cemas dengan apa yang mereka sebut sebagai fundamentalisme Islam, yang akan merupakan antitesis peradaban Barat. Akan tetapi, kecemasan peserta seminar reda ketika Philip Stoddard mengingatkan bahwa kebangkitan Islam sekarang ini tak akan menimbulkan akibat politik yang besar. Menurut Stoddard, umat Islam sekarang ini tak memiliki pemimpin yang efektif. Hampir semua negara Muslim, kata Stoddard, tak memiliki pemimpin yang efektif, seorang pemimpin yang dapat menimbulkan gerakan pembaruan sosial. Lalu, kita pun bertanya. Jika benar pernyataan Stoddard di atas, jenis pemimpin yang bagaimanakah yang efektif itu? Kepemimpinan yang bagaimanakah yang dapat berpengaruh besar pada perubahan masyarakat?


Kepemimpinan Nabi

Iqbal pernah mencoba melukiskan kebesaran Nabi Muhammad Saw. dengan kata-kata:

Sungguh, hati Muslim dipatri cinta nabi

Dialah pangkal mulia

Sumber bangga kita di dunia

Dia tidur di atas tikar kasar

Sedang umatnya mengguncang takhta Kisra

Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga

Sedang umatnya tidur di ranjang raja-raja

Di Gua Hira, dia bermalam

Sehingga tegak bangsa, hukum, dan negara

Kala shalat, pelupuknya tergenang air mata

Di medan perang, pedangnya bersimbah darah

Dibukanya pintu dunia dengan kunci agama

Duhai, belum pernah insan melahirkan putra semacam dia.


Bukan hanya Iqbal dan pujangga-pujangga Muslim. Thomas Carlyle, Arnold J. Toynbee, Michael H. Hart, Will Durant adalah sebagian kecil di antara "orang-orang kafir" yang berusaha juga berkisah tentang manusia besar ini. Marilah kita ambil contoh lukisan orang lain tentang Muhammad. Dalam sebelas rangkaian Kisah Peradaban (The Story of Civilization), Will Durant berkisah tentang Muhammad Saw. Tentu, seperti kebanyakan pengamat Barat tentang Islam, pandangannya tentang Rasulullah tidaklah bersih dari prasangka dan kebodohan. Will Durant menutup riwayat Nabi Muhammad seperti ini:


Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, ia adalah satu di antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah. Ia telah berusaha meningkatkan tingkat ruhani dan moral suatu bangsa yang dicengkeram kebiadaban karena panas dan ketandusan sahara. Ia lebih berhasil dibanding setiap pembaru mana pun. Begitu jarang orang bisa mewujudkan mimpinya sepenuh ia.


Ia mencapai tujuannya melalui agama, bukan saja karena ia sendiri beragama, melainkan karena tidak ada me- dium lain yang dapat menggerakkan orang Arab waktu itu. Disentuhnya daya khayal mereka, takut dan harap mereka, dan ia berbicara dengan bahasa yang bisa mereka pahami. Ketika ia datang, Arabia adalah padang pasir yang dihuni para penyembah berhala; ketika ia mati, Arabia adalah suatu umat, …Ia tegakkan agama yang sederhana, jelas, dan kuat. Suatu akhlak yang memiliki keberanian luar biasa dan menjadi kebanggaan, yang dalam satu generasi bergerak menuju ratusan kemenangan.


Dalam satu abad, satu kerajaan besar. Bahkan sampai saat ini, umatnya tetap menjadi kekuatan dahsyat meliputi setengah dunia.


Will Durant adalah penulis yang produktif, tetapi apakah tulisannya tentang Muhammad sudah lengkap? Iqbal adalah filsuf dan sekaligus penyair, tetapi apakah Muhammad telah dicerminkan sempurna dalam untaian sajaknya? Al-Barzanji menghabiskan usia-nya untuk menggubah syair tentang Muhammad, tetapi apakah ia berhasil menggambarkan semua kebesaran Rasulullah Saw.? Jawabnya, tidak. Manusia besar ini mempunyai pribadi yang menembus berbagai aspek kehidupan. Ia menghimpun semua unsur peradaban besar dalam dirinya. Karena itu, merintihlah Dr. Ahmad Muhammad Al-Hufy sebelum menulis Min Akhlaq An-Nabi,


"Ya Rasulullah, Junjunganku! Apakah kata-kata yang tak berdaya ini mampu mengungkapkan ketinggian dan keluhuran-mu? Apakah penaku yang tumpul ini dapat menggambarkan budi pekertimu yang mulia? Bagaimana mungkin setetes air akan sanggup melukiskan samudra yang luas? Bagaimana mungkin sebutir pasir akan mampu menggambarkan gunung yang tinggi? Bagaimana mungkin sepercik cahaya akan dapat bercerita tentang matahari? Sejauh yang dapat dicapai oleh sebuah pena, hanyalah isyarat tentang keluhuran martabatmu, kedudukanmu yang tinggi, dan singgasanamu yang agung."


Karena itu, banyak ahli hanya mengambil satu aspek dari kehidupan Nabi Muhammad Saw. Tulisan ini berkenaan dengan kepemimpinan Rasulullah. Tetapi Nabi Muhammad adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, juga di medan pertempuran. Ia tampak seperti seorang psikolog yang mengubah jiwa manusia yang biadab menjadi jiwa yang memancarkan per- adaban. Tetapi ia juga kelihatan seperti seorang sosiolog yang bukan saja menyembuhkan berbagai masalah sosial, melainkan juga menegakkan satu tatanan sosial yang menakjubkan. Ia juga seorang politikus yang mempersatukan suku-suku bangsa hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad. Ia juga pemimpin ruhani yang mengantarkan jiwa pengikutnya ke kelezatan samawiah dan keindahan ilahiah. Ia juga pemimpin kaum wanita, yang mengangkat kaum lemah ini dari sekadar pemuas nafsu menjadi manusia yang "di bawah telapak kakinya ada surga". Ia juga pemimpin kaum fuqara' dan masâkîn, hamba sahaya, dan kaum dhuafa.


Derita Umat Muhammad

Di sini kita memilih kepemimpinan Nabi yang satu ini bukan saja karena aspek itu jarang diulas, melainkan juga karena relevansinya dengan dunia sekarang ini. Dewasa ini, lebih dari 500 juta manusia hidup dalam apa yang disebut Bank Dunia sebagai absolute poverty (kemiskinan mutlak), sementara lebih dari setengah produksi gandum dunia dimakan oleh kurang dari seperempat penduduk dunia. Seperempat lagi dijadikan makanan ternak di negara- negara maju. Sisanya dibagikan kepada 500 juta manusia. Lebih menyedihkan karena banyak di antara masyarakat yang miskin mutlak itu adalah kaum Muslim.


Tetapi bila dipandang lebih dalam lagi, tampak bahwa kemiskinan umat Islam bergandengan dengan kemewahan pemimpinnya. Di Karachi, Anda akan melihat perkampungan pensiunan militer dengan gedung-gedung besar dan kolam-kolam bunga yang gemerlap. Tidak jauh dari situ, ratusan penduduk antre untuk memperoleh satu jeriken air minum. Pada 1974, ketika jutaan rakyat kecil di Bangladesh kelaparan, saudara-saudaranya yang kaya berjejer yang dijual di depan kantor agraria untuk membeli tanah si miskin sebagai kekayaan terakhir. Di negara mayoritas Muslim lainnya, Sahel di Afrika, ketika rakyat banyak dilanda kelaparan, lebih dari 60 persen hasil ekspornya dipakai untuk konsumsi barang-barang mewah kelompok elite. Contoh-contoh ini masih bisa dilanjutkan dengan negara-negara Muslim lainnya. Pendeknya, pada hampir semua negara Muslim, ada segelintir pemimpin yang hidup mewah di tengah-tengah kelaparan jutaan pengikutnya.


Sekarang ini, umat Islam menanti pemimpin yang memperhatikan derita mereka; pemimpin yang "memberi makan mereka pada saat kelaparan", pemimpin yang mau mendaki bukit terjal, yaitu "memberi makan pada saat kepayahan kepada anak yatim, karib kerabat, dan orang miskin yang bergelimang debu" (QS 90: 14-16). Karena itulah, Nabi Muhammad, sebagai pemimpin orang-orang yang tertindas, menarik untuk dipelajari. Lagi pula, aspek kepemimpinan Rasulullah yang satu ini sering luput dari pembicaraan-pembicaraan mengenai masalah kepemimpinan, bahkan sering pula luput dari telaah banyak ulama Islam. Padahal, aspek inilah yang menyebabkan Rasulullah mempunyai efek yang besar dalam mengubah masyarakat Arab waktu itu.


Rasulullah lahir di dalam suatu masyarakat yang tegak di atas penindasan. Sekelompok kecil masyarakat hidup di atas penderitaan sejumlah besar masyarakat. Masyarakat Arab pada waktu itu terbagi atas dua bagian besar, golongan merdeka dan golongan budak belian (al-hurru wa al-'abdu). Dalam hal kekayaan, mereka terbagi dua: orang kaya dan orang miskin (al-aghniya' wa al-fuqara"). Dalam kekuatan politik, mereka hanya mengenal yang kuat dan yang lemah (al-mala' wa al-dhu'afa'). Status sosial sedemikian pentingnya, sehingga budak belian bukan saja tak dianggap sebagai manusia, melainkan diperjualbelikan seperti binatang, sehingga melahirkan bayi-wanita dianggap aib yang luar biasa. Dilukiskan di dalam Al- Quran: "Ingatkah ketika anak perempuan itu ditanya, dosa apa (yang mereka lakukan, sehingga) mereka dibunuh?" (QS 81: 8-9).


Di dalam masyarakat seperti itulah Rasulullah lahir. Sejak semu. la, risalahnya sudah jelas. Yang Agung cuma Allah, semua manusia adalah sama di sisi-Nya. Yang paling mulia bukan yang paling tinggi pangkatnya, bukan pula yang paling banyak rumah dan kebunnya, melainkan yang paling bertakwa. Merasa tinggi karena kedudukan, pangkat, kekayaan, dan warna kulit dikutuk oleh Rasulullah sebagai takabur. Rasulullah bersabda, "Diharamkan masuk surga, orang yang di dalam hatinya ada perasaan takabur, walau hanya sebesar debu." Kepada masyarakat Arab yang opresif inilah, Rasulullah berdakwah.


Rasulullah tidak hanya mengkhutbahkan persamaan. Ia pun mempraktikkannya. Di tengah masyarakat yang mendewakan kekayaan, Rasulullah berpihak kepada kaum miskin. Dalam suatu masyarakat yang merendahkan budak belian, Rasulullah berdiri dan duduk di samping hamba sahaya. Melihat itu, marahlah kaum aristokrat Arab. Mereka tidak keberatan kalau Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, dan mencela berhala. Sebelum Nabi Saw. datang, mereka sudah membiarkan kaum Nashara, Yahudi, dan kelompok Hanif. Mereka tidak keberatan bila Nabi Saw. mengajarkan shalat, karena Abu Dzar pun sudah shalat lima belas tahun sebelum masuk Islam. Mereka marah karena Nabi Saw. mengancam hak-hak istimewa mereka. Mereka tahu bahwa dengan menerapkan ajaran Muhammad Saw., penindasan yang telah mereka lakukan selama generasi demi generasi, sekarang harus diakhiri. Mereka marah karena Nabi Saw. mengajarkan bahwa pada harta orang kaya ada hak si miskin. Karena semua itulah, orang kaya dan kelompok aristokrat Arab bergabung untuk membasmi ajaran Islam.


Cara Rasulullah Membebaskan Masyarakat Tertindas

Lalu, apakah yang dilakukan Nabi Muhammad untuk membebaskan kelompok masyarakat tertindas ini? Nabi Muhammad Saw. melanjutkan risalah nabi-nabi terdahulu - risalah Nabi Musa a.s. yang menyelamatkan kaum mustadh'afin dari cengkeraman Fir'aun, dan risalah Isa a.s. yang menggembirakan kaum fuqara' dan masâkîn Mari kita lihat apa yang dilakukan Muhammad Saw. untuk membela kelompok masyarakat yang tertindas.


Pertama, membangkitkan harga diri rakyat kecil dan dhuafa, membangkitkan harga diri fuqara' dan masâkîn, sebab mereka adalah kelompok masyarakat yang paling sering direndahkan, dicaci, dan dimaki. Untuk menumbuhkan harga diri kaum Muslim dhuafa ini, Rasulullah memilih hidup di tengah para hamba sahaya dan orang miskin. Ia digelari abu al-masâkîn (bapak orang-orang miskin). Kepada sahabat-sahabatnya yang menanyakan tempat yang paling baik untuk menemuinya, beliau menjawab, "Carilah aku di antara orang-orang yang lemah di antara kamu. Carilah aku di tengah-tengah kelompok orang kecil di antara kamu."


Pada suatu kali, sahabat Rasulullah menemukan beliau sedang memperbaiki sandal anak yatim, lain kali beliau terlihat menjahit baju janda tua yang miskin, dan pernah pula beliau makan dalam piring yang sama dengan hamba sahaya. Kalau masuk masjid, beliau memilih kelompok orang miskin, dan di sanalah beliau duduk. Digembirakannya mereka, dipeluknya mereka, hingga kadang- kadang Rasulullah tertawa terbahak-bahak bersama mereka. Dalam hadis disebutkan, "sampai kelihatan gusinya." Lebih-lebih lagi, beliau memuji mereka, menghargai mereka di muka umum. Bayangkan, pada suatu hari beliau berdoa di hadapan orang banyak, "Ya Tuhan, hidupkan aku sebagai orang miskin, matikan aku sebagai orang miskin, dan bangkitkan aku pada hari kiamat bersama kelompok orang miskin pula." Begitu akrabnya beliau dengan mereka, sehingga Ibnu Umar, seorang anak kaya masa itu, berkata, "Aku sedih lantaran aku tidak termasuk kelompok mereka." Anak orang kaya itu sedih karena ia tidak termasuk orang miskin yang begitu dimuliakan Rasulullah. Rasulullah berhasil menanamkan satu sikap, bahwa kemiskinan bukanlah berarti kehinaan. Kepada Siti Aisyah, beliau memberikan nasihat, "Hai Aisyah. Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka. Tentu, Allah akan dekat dengan engkau pada hari kiamat."


Begitu sungguh-sungguhnya Rasulullah menghormati kaum fuqara, sehingga sebagian ulama, di kemudian hari, menganggap kefakiran ini sebagai kebajikan. Masih sering kita temui dalam kitab-kitab lama, bab yang berjudul "Fadhlu Al-Faqri wa Al-Fuqarâ" (Keistimewaan Orang-Orang Fakir dan Kefakiran). Rasulullah amat memperhatikan mereka yang dianggap rendah oleh masyarakat.


Suatu hari, beliau berkunjung ke sebuah masjid. Pertama kali yang beliau tanyakan ialah penjaga masjid yang sering beliau lihat di sana. Sahabat-sahabatnya berkata, "Perempuan penjaga mas- jid itu sudah mati, tiga hari yang lalu." Rasulullah tampak kecewa. "Mengapa aku tidak kalian beri tahu?" tanya Rasulullah. Perawi hadis mengatakan shaghgharuha, mereka anggap ia orang kecil saja, tidak perlu Nabi diberi tahu. Kecil buat mereka, tetapi tidak bagi Rasulullah Saw. "Tunjuki aku kuburannya." Ke sanalah beliau menu- ju, dan di sanalah beliau shalat.


Bayangkan, betapa mulia contoh yang diajarkan Nabi. Bagi Rasulullah, si miskin lebih mulia daripada raja-raja. Sepanjang hidupnya, Rasulullah tak pernah mengunjungi makam raja-raja; tetapi sebaliknya, di atas makam penjaga masjid itu, Rasulullah berdoa buat dia.


Dengan cara inilah, Rasulullah Saw. mengangkat derajat orang miskin, orang lemah, dan orang tertindas. Dengan cara inilah, Rasulullah Saw. ingin mengajarkan kepada kita bahwa untuk membela mereka yang lemah, miskin, dan tertindas, kita harus membang- kitkan dulu harga diri mereka sebagai manusia. Para ahli sosiologi berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat yang tertindas terjadi proses dehumanisasi kaum lemah. Orang miskin dianggap menjadi miskin karena mereka bodoh, malas, atau tolol. Seseorang yang tahu agama mungkin menganggap kemiskinan itu sebagai akibat kutukan Tuhan. Pokoknya, kemiskinan dan keterbelakangan dicaci, terutama oleh mereka yang dikaruniai harta yang banyak. Inilah yang dilukiskan Al-Quran:


Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? Api (yang disediakan) Allah, yang dinyalakan naik sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang. (QS 104: 1-9)


Kedua, sebagai pemimpin orang kecil, sebagai pembebas kaum dhuafa, Rasulullah memilih hidup seperti mereka. Ia hidup sederhana. Karena ia tahu, sebagian besar sahabatnya masih menderita. Ditahannya rasa lapar berhari-hari karena ia mengerti bahwa sebagian sahabatnya juga sering mengalami kelaparan. "Aku duduk sebagaimana duduknya budak belian," kata Rasulullah, "dan aku makan sebagaimana makannya budak belian." Ia tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu. Umar pernah meneteskan air mata karena terharu melihat rumah Rasulullah hanya diperlengkapi dengan ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang sudah menghitam. Ia memilih hidup sederhana bukan karena ia mengharamkan yang halal, melainkan karena ingin merasa dekat dengan mereka yang paling miskin. Ia, sebagai pemimpin, tak ingin membuat jarak dengan mereka.


Suatu hari, beliau membeli sebuah sandal yang bagus. Dipandangnya dengan penuh kekaguman. Tapi setelah itu, beliau sujud memohon ampun kepada Allah dan menyalahkan dirinya. Segera beliau keluar dan memberikan sandal itu kepada seorang miskin yang pertama beliau temui. Pada suatu hari, setelah perjalanan jauh, beliau dijamu oleh Aus bin Khaulah dengan susu dan madu. Rasulullah menolaknya, seraya berkata, "Aku tak mengatakan bahwa ini haram, tetapi aku tak ingin pada hari kiamat nanti, Allah bertanya kepadaku tentang hidup berlebihan di dunia ini?"


Inilah kepemimpinan Rasulullah. Beliau tak hanya memilih menjadi pemimpin yang membebaskan manusia dari perbudakan kepada berhala menuju penghambaan kepada Allah Taala, tetapi juga membebaskan manusia menuju tauhid al-ummah, menuju kesatuan umat yang berdasarkan keadilan dan persamaan.


Saat ini, ketika kita sering terpukau oleh kemewahan dunia, tatkala orang miskin berteriak menunggu pembelanya, kita membutuhkan pemimpin semacam Rasulullah. Pemimpin Islam ialah pemimpin yang memihak rakyat kecil, bukan pemimpin yang elitis. Pemimpin umat Islam ialah mereka yang memilih hidup sederhana, karena tahu bahwa sebagian umat Islam yang lain masih hidup dalam kepapaan. Gerakan kebangkitan Islam seharusnya tak hanya menyemarakkan masjid, tetapi juga menggembirakan dhuafa dan fuqara'.


Renungkanlah sabda Rasulullah berikut ini: "Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin, dan menonjol-nonjolkan kehi- dupan dunia, serta rakus dalam mengumpulkan harta, maka mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam." Dari sabda Rasulullah ini, kita dapat belajar bahwa munculnya kesulitan ekonomi, banyaknya pemimpin yang lalim, timbulnya pengkhianatan oleh penegak hukum, dan rentannya negara akan gangguan luar disebabkan oleh diabaikannya nasib orang-orang miskin dan kegilaan menumpuk-numpuk kekayaan. Semoga Allah melepaskan kita dari semua itu.JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

43 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page