Akhi
Pengaruh Lingkungan Prenatal
Updated: Jun 6, 2022
Sekarang ini otak kita masing-masing yang beratnya hanya tiga pon itu mempunyai 100 miliar neuron, 16 kali lebih banyak dari jumlah penduduk bumi, atau kira-kira sama banyaknya dengan jumlah gemintang di galaksi Bimasakti. Setiap neuron mempunyai cabang hingga 10 ribu cabang dendrit, yang dapat membangun sejumlah satu kuadrilion (angka 1 diikuti 15 angka nol) koneksi komunikasi. Jumlah yang dahsyat itu ternyata hanya setengah dari jumlah neuron yang dibekalkan Tuhan kepada kita pada empat bulan pertama kehamilan.
Perkembangan otak hampir mirip perkembangan alam semesta. Jika alam semesta lahir karena ledakan dahsyat, The Big Bang, maka perkembangan otak juga dimulai dengan overproduksi neuron pada minggu-minggu pertama kehamilan. Setiap hari diproduksi 250.000 neuroblast, sel saraf yang belum matang. Bagian otak paling dalam menjadi penuh sesak. Maka sebagaimana bintang gemintang meninggalkan pusat alam semesta membentuk balon raksasa, the expanding universe, neuron-neuron itu bergerak meninggalkan tanah airnya, bermigrasi ke berbagai daerah sampai ke lapisan otak paling luar.
Neuron-neuron yang menuju lapisan otak paling luar harus menempuh perjalanan panjang, mirip perjalanan dengan naik sepeda dari Sabang sampai Merauke; dengan asumsi jarak di antaranya semuanya daratan. Mereka menempel pada sel glial, merayap dengan kecepatan 60 per sejuta meter setiap jam. Dalam perjalanan panjang itu, mereka berhenti di berbagai tempat. Tidak semuanya menuju lapisan terluar otak. Mengapa mereka berhenti dan di mana masih tetap menjadi misteri. Di tempat tujuannya, mereka bergabung dengan neuron-neuron lain, membentuk koloni-koloni neuron dengan tugas-tugas khasnya. Ada koloni sistem visual, ada kampung sistem pendengaran, dan sebagainya.
Neuron tidak menjadi neuron visual begitu dia lahir. Neuron memperoleh jabatan neuron visual hanya karena ia berhenti di tempat yang nanti akan menjadi tempat datangnya informasi visual. Begitu pula neuron-neuron yang lain. Mereka memperoleh jati dirinya di tempat tujuan. Di situ, setiap neuron membangun dendrit dan akson untuk berkomunikasi dengan dendrit dan akson lainnya. Seperti para pembangun kota, mereka membangun jaringan-jaringan telepon yang jauh lebih banyak dengan akses yang jauh lebih efektif, dan dengan biaya yang jauh-jauh lebih murah (bukan hanya karena tidak ada korupsi!).
Seperti telah kita ceritakan pada Bab 1, juluran “tangan-tangan” neuron itu tidak bersentuhan. Seperti jemari Tuhan yang tidak bersentuhan dengan jari-jari Nabi Adam dalam lukisan langit-langit Kapel Sistin, di antara neuron-neuron itu ada celah kecil, sinapsis. Akson dan dendrit berkomunikasi dengan mengirimkan zat kimia, neurotransmiter, melalui sinapsis. Setiap neuron boleh jadi berkomunikasi melalui 100. 000 sinapsis. Zat-zat kimia—disebut secara teknis faktor trofik—mengatur di mana dan bagaimana akson harus berhubungan, membuat koneksi-koneksi.
Selama perjalanan, neuron-neuron itu merayap di atas sel-sel glial, yang menjadi penunjuk jalan, pelindung, dan pemeliharanya. Ada dua macam glial: yang satu mengontrol metabolisme dan fungsi neuron, yang lainnya membungkus akson dengan zat lemak yang disebut mielin. Mielin mengatur seberapa cepat akson menyampaikan informasi. Sesudah neuron mencapai tujuannya, sel-sel glial tetap tinggal, walaupun bentuk dan sifat-sifat molekulnya berubah. Di mana neuron itu berkedudukan menentukan temperamen, watak, sifat-sifat fisik dan psikologis, termasuk cara berpikir dan merasa kita. Pendeknya, tempat berhentinya neuron itu menentukan siapa kita.
Perjalanan “hijrah” dari tempat asal ke tempat tujuan tidak selalu berjalan mulus. Ada neuron yang berhenti di tengah jalan; ada yang kesasar dan menempati “kampung” yang salah. Ada juga sel-sel otak yang bertemu dengan sel-sel otak lainnya dan menghidupkan atau mematikan “stop kontak genetis” yang ada di dalamnya. Ada juga—malah banyak—yang mati dalam perjalanan. Di sini masuk pengaruh lingkungan.
Banyak faktor yang mengganggu migrasi neuron yang berasal dari lingkungan—termasuk radiasi, mutasi genetis, obat-obatan, dan stres. Banyak orang yang dikenai radiasi radioaktif di Hiroshima dan Nagasaki mengalami cacat otak (brain abnormality) karena kegagalan migrasi neuron. Epilepsi kanak-kanak juga menunjukkan adanya neuron yang salah tempat. Belakangan para ilmuwan menemukan beberapa buah gen yang diubah karena kekacauan migrasi. Perubahan genetis itu menimbulkan penyakit. Tahun 1991, mereka menemukan gen, yang setelah berubah, menyebabkan Sindrom Kallmann, penyakit langka yang menyebabkan hilangnya indra penciuman dan kelamin yang abnormal. Dalam Sindrom Kallmann, neuron yang menghasilkan hormon seks dan bebauan gagal dalam migrasinya dan tidak dapat berfungsi dengan baik.
Gen yang menimbulkan gangguan migrasi neuron lainnya—lissencephaly —menyebabkan retardasi mental dan problem lain. Beberapa peneliti menduga penyakit-penyakit lain—seperti disleksia dan skizoprenia— sebagian disebabkan kegagalan dalam migrasi neuron.
Pengaruh Merokok, Alkohol, Malnutrisi, Stres
Walhasil, apa yang diisap, dimakan, diminum, dan dirasakan oleh ibu-ibu yang hamil dapat mengganggu perkembangan otak bayi. Marilah kita sebutkan beberapa contoh saja: merokok, alkohol, kekurangan gizi dan stres.
Merokok. Merokok dapat meningkatkan risiko aborsi spontan 1,7 kali lebih besar, risiko abnormalitas kongenital 2,3 kali lebih tinggi, menambah kemungkinan anak mengalami retardasi mental (sampai 50%), attention deficit disorder (tiga kali lebih tinggi), dan bahkan sudden infant death, kematian anak yang mendadak. Mengapa? Karena nikotin mengganggu migrasi neuron, menghambat koneksi, dan memangkas neuron secara keliru. Ada bukti juga yang menunjukkan bahwa nikotin mengacau-balaukan sistem dopamin. Dopamin, seperti Anda ketahui, adalah neurotransmiter yang membantu proses mengingat.
Alkohol. Alkohol juga mengganggu migrasi sel. Karena pengaruh alkohol yang diminum ibu, neuron-neuron tidak tahu di mana harus berhenti, gagal mencapai tujuan, dan sering kali mati di jalan. Akibatnya, otak bayi dari ibu-ibu yang peminum menjadi kecil, mengkerut, dan berbentuk buruk, dengan kepadatan neuron yang rendah. Gejala ini, yang disebut sebagai fetal alcohol syndrome (FAS), menyebabkan anak punya IQ yang rendah, sulit membaca, sukar memahami matematika. Ketika anak-anak itu menjadi remaja atau dewasa, FAS menyebabkan kenakalan (maladaptive behavior), hiperaktivitas, dan depresi. Beberapa penelitian mutakhir tentang FAS dan FAE (fetal alcohol effect) menunjukkan data yang mengerikan: 90 persen menderita penyakit mental, 60 persen gagal dalam pendidikan, 60 persen melakukan tindak pidana, 50 persen kepergok melakukan perilaku seksual yang menyimpang.
Malnutrisi. Selama kehamilan, janin memang lebih mudah dirusak karena makan zat yang beracun ketimbang kekurangan gizi. Busung lapar tidak lagi dapat disebut kekurangan gizi. Busung lapar adalah pembunuhan. Yang dimaksud dengan kekurangan gizi di sini adalah kurangnya zat besi, vitamin B12 , asam folat, dan asam lemak. Pada tingkat ini saja, kekurangan asam folat menyebabkan tingginya insidensi spina bifida. Jika ibu kehilangan zat-zat bergizi, pembentukan neuron terhenti, sehingga otak menjadi kecil. Karena neuron terhenti, maka terhenti juga perkembangan kognitif janin. Setelah lahir, bayi yang kekurangan gizi akan mengalami kelambatan dalam pertumbuhan alat-alat indranya, kesukaran dalam belajar, dan kerentanan menderita berbagai penyakit.
Stres. Sangat mudah dipahami kalau zat-zat kimia seperti nikotin dan alkohol merusak komposisi kimiawi dalam otak janin. Tetapi apakah ada hubungan antara stres yang dirasakan ibu dengan perkembangan otak anak? Banyak sekali. Stres menunjukkan kepada kita hubungan yang sangat kuat antara otak dengan tubuh. Pada tahun 1920-an, Dr. Walter Cannon, seorang fisiolog yang dianggap sebagai kakeknya penelitian stres, menulis tentang pengaruh emosi pada tubuh. Rasa takut atau cemas menimbulkan akibat berantai dalam mekanisme tubuh kita. Ketika kita mengalami stres, otak memicu hipothalamus, kelenjar pituitari, dan adrenal untuk mengeluarkan hormon tertentu. Maka kelenjar adrenal mengeluarkan epinephrin, yang disebut juga adrenalin. Saraf simpatetik dirangsang untuk menyebarkan epinephrin ke seluruh tubuh. Ketika saraf simpatetik dirangsang, jantung kita berdetak lebih cepat, usus dirangsang (sehingga kita bisa menderita diare), kulit berkeringat, dan tuba bronkial melebar (sehingga oksigen lebih banyak masuk).
Ketika tubuh memproduksi adrenalin, ia juga mengeluarkan hormon yang bernama kortisol. Tingginya kortisol menaikkan kadar gula, insulin, trigliserid dan kolesterol. Kebanyakan kortisol menguras kalsium, magnesium, dan potasium dari tulang. Pada saat yang sama, kortisol menahan sodium (garam) dalam tubuh. Anda lewati saja kalimat-kalimat teknis yang baru saya tulis, kalau melelahkan. (Ketahuilah, saya menuliskannya hanya untuk unjuk gigi; padahal saya pun tidak memahaminya). Tetapi bacalah kalimat-kalimat berikut ini.
Naiknya kortisol melumpuhkan sistem kekebalan tubuh, sehingga mengundang berbagai penyakit pada tubuh ibu. Sebagian di antara penyakit itu dapat merusak perkembangan otak janin dalam kandungan. Kortisol yang tinggi juga mengurangi penggunaan glukosa (jadi menyebabkan diabetes), merapuhkan tulang (jadi mempercepat ostereoporosis), menghambat regenerasi kulit (jadi mempercepat penuaan), menambah aku mulasi lemak, dan ujung-ujungnya merusak sel-sel otak (Colbert, 2003).
Saya tak tertarik meneruskan pembicaraan tentang dampak stres ini dengan mengobral istilah-istilah medis. Saya sangat terharu dengan uraian Vijai P. Sharman dalam http://www.mindpub.com/:
Pada tahun 70-an dan 80-an, kita mengetahui bahwa jika ibu selama kehamilan mengkonsumsi zat-zat seperti alkohol, kokain, kafein, dan tembakau, ia akan merusak kesehatan bayi secara fisik dan mental, menurunkan berat badan, tinggi, dan lingkaran kepala, serta merusak perhatian, memori, kecerdasan, dan temperamen. Begitu pula kita mengetahui untuk sementara bahwa jika ibu mengalami stres berlebihan, atau menderita trauma emosional, bayinya mungkin lahir dengan cacat tertentu yang terbawa sampai ke usia dewasa dan menyebabkan banyak komplikasi.
Pada tahun 90-an, kita mulai memahami bahwa stres dan keadaan emosional ibu mempengaruhi bayi yang belum lahir. Ambillah, sebagai contoh, hormon stres yang disebut kortisol. Ketika kita mengalami stres, kita memproduksi kortisol. Jika kita mengalami stres sewaktu-waktu, kortisol tidak menimbulkan masalah. Tetapi, jika kita terus menderita stres untuk waktu yang lama, kortisol terlalu berat untuk diatasi tubuh kita. Kortisol dapat menyebabkan masalah tekanan darah tinggi. Kortisol berlebihan dapat menyerang bayi di dalam rahim dan menaikkan titik awal tekanan darah untuk selama-lamanya. Bayi ini, kelak setelah dewasa, besar kemungkinan menderita tekanan darah tinggi.
Banyak ibu yang mengalami situasi penuh stres ketika mengandung. Mereka dihadapkan pada situasi yang tidak sehat seperti perceraian, pelecehan emosional dan fisik, perselingkuhan terbuka atau pengabaian dari pasangan yang lebih senang tinggal di luar rumah ketimbang berada di rumah dan membantu pasangannya yang hamil. Ibu-ibu seperti ini mengalami terus-menerus stres, rasa malu, kesepian, dan kadang-kadang depresi klinis selama kehamilan atau sesudah melahirkan.
Bayi-bayi yang dikandung mereka berhadapan dengan berbagai jenis hormon stres, toksin, dan kekurangan gizi di dalam rahim. Sebagian dari bayi-bayi ini akan hidup dalam lingkungan yang sama atau mungkin lebih buruk lagi. Tidak mengherankan jika sebagian darinya kemudian menjadi hiperaktif, hipoaktif, tidak bisa menaruh perhatian, atau temperamental dan menunjukkan pengendalian diri yang buruk. Kebanyakan anak-anak ini nanti diobati dengan Ritalin atau anti depresan. Tidak semuanya tahu bahwa masalah yang dihadapi anak itu hari ini boleh jadi disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu.
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).