Akhi
Peran Wanita dalam Pembangunan Bangsa dan Dilema yang Dihadapinya

Islam adalah agama yang selalu menuntut perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Bila pembangunan bangsa diartikan sebagai usaha memperbaiki taraf kehidupan bangsa secara spiritual dan material, kualitatif dan kuantitatif, maka Islam mewajibkan partisipasi menyeluruh. Allah menjadikan kamu dari buoni, dan menyuruh kamu memakmurkannya (QS 11: 61). Islam memandang segenap usaha untuk memperbaiki taraf kehidupan sebagai amal saleh, dan menjanjikan pengikutnya khalifah (kekuasaan) di bumi, Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Maka, sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa... (QS 24:55), Sesuai dengan fitrah kewanitaannya, Islam menetapkan peran-peran tertentu bagi wanita dalam berbagai statusnya. Di sini akan diulas peran wanita dalam status sebagai ibu, istri, anak, dan da'iyah.
Wanita sebagai Ibu
Islam memandang posisi-keibuan wanita sebagai posisi paling penting. Dalam beberapa ayat Al-Quran yang menyuruh agar berbuat baik kepada orangtua, Al-Quran menekankan dan mengingatkan kesusahan ibu dalam mengandung dan menyusui anak (QS 31: 14: 46: 15). Ketika Nabi Saw. ditanya tentang siapa yang paling patut dihormati dan diperlakukan sebaik-baiknya, Nabi menjawab, "Ibumu" Dan hal itu diulangnya sampai tiga kali, sebelum ia menyebut "Bapakmu. Dalam hadis lain yang masyhur, Nabi Saw. berkata bahwa surga terletak di bawah telapak kaki kaum ibu. Kepada rahim kaum wanitalah, Allah menitipkan janin yang lembut dan lemah pada saat-saat pengembangannya. Walaupun ayah dan ibu menyumbangkan bagian yang sama dalam pembentukan nucleus ovum, ibulah yang memberikan semua protoplasma yang mengelilingi nukleus.
Peran pria dalam proses reproduksi berlangsung singkat. Peran wanita berlanjut sampai sembilan bulan. Pada saat itulah, janin dipelihara dengan zat-zat kimiawi yang masuk dari darah ibu melalui membran plasenta Seluruh keadaan fisiologis dan psikologis ibu memengaruhinya. Bukan saja yang dimakan ibu, melainkan juga yang dirasakaninya --suka dan dukanya, tangis dan tawanya-- memengaruhi bayi dalam kandungan. Pada saat yang sama, kehadiran bayi itu memengaruhi juga ibunya. Setelah anak lahir, peran ibu tetap menentukan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa terpisahnya ibu dari anaknya pada tahap perkembangan awal banyak merusak anak itu secara intelektual, emosional, sosial, bahkan juga fisik. Maternal deprivation telah terbukti tidak hanya menyebabkan anak menjadi terhambat dalam perkembangan inteligensinya. rapuh pertahanan mentalnya, tetapi juga lemah fisiknya.
Islam, dengan demikian, menuntut wanita agar melaksanakan fungsi keibuan sebaik-baiknya. Dalam berbagai hadis ditekankan bahwa memelihara anak adalah amal saleh yang besar. Itulah sebabnya, walaupun Islam mengizinkan wanita bergerak di masyarakat sesuai dengan keperluannya, Islam memandang kehadirannya di rumah adalah paling penting dari segalanya. Ibu-ibu modern di sini menemui dilema. Kebebasan yang telah diperolehnya melemparkan wanita ke dalam persaingan hidup yang berat. Bersama kaum pria, mereka berlomba mengejar karir dan kedudukan. Bersamaan dengan itu, masuklah "ideologi" yang memandang rendah fungsi keibuan. Apa yang dahulu dilakukan ibu-ibu sebagai amal saleh, apa yang dahulu menimbulkan harga diri dan kegembiraan, sekarang dipandang sebagai paham yang kolot dan konservatif. Maka, terjadilah berbagai deprivasi maternal terselubung, Ibu ada, tetapi tidak terasa keberadaannya. Anak yang berkembang dalam asuhan pembantu harus belajar tentang dunia dengan caranya sendiri. Pada masyarakat dhuafa, ibu-ibu juga banyak meninggalkan anak-anaknya, bukan karena emansipasi atau woman's libs, melainkan karena tekanan ekonomi. Dari kedua kelompok ibu ini, generasi apakah gerangan yang akan lahir?
Wanita sebagai Istri
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya... dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS 30: 21). Ayat Al-Quran ini menunjukkan bahwa fungsi pernikahan merupakan tempat menumbuhkan ketenteraman. kebahagiaan, dan cinta kasih. Atas dasar itulah, Islam menetapkan hak dan kewajiban kepada suami dan istri. Islam mengingatkan para suami bahwa istri adalah amanat Allah, yang wajib diperlakukan dengan hormat dan penuh kasih sayang. "Orang beriman yang paling sempurna imannya dan paling baik akhlaknya ialah yang paling sayang kepada istrinya.”
Ketika Siti Aisyah ditanya tentang apa yang dilakukan Rasulullah Saw. di rumahnya, ia menjawab, "la melayani keperluan istrinya, menyapu rumah, menjahit baju, memperbaiki sandal, dan memerah susu." Kepada para istri, Nabi Muhammad Saw, memerintahkan untuk menaati suaminya selama sang suami tidak menyuruhnya berbuat maksiat, "Wanita adalah pemimpin di rumahnya, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya." "Demi Tuhan yang menguasai diriku, seorang wanita belum melaksanakan hak Tuhannya, sebelum memenuhi hak suaminya." "Bila seorang wanita mati dan suaminya merasa senang dengan dirinya, wanita itu masuk surga."
Dengan hubungan peran seperti itulah, Islam ingin mempertahankan lembaga keluarga. Masalah timbul bila suami sudah mengabaikan kewajiban, dan istri tidak memenuhi hak suaminya. Bila suami sudah kurang memperhatikan istrinya, si istri merasa perlu untuk membalas dendam. Dipilihnya kehidupan bebas, dengan perkiraan bahwa itu akan menyelamatkan perkawinannya. Yang terbentuk ialah lingkaran setan. Ketika istri menjauh, tambah jauh jugalah suaminya. Bila keluarga itu tetap bertahan, yang terjadi bukan saja "berpisahnya meja makan dan ranjang", melainkan juga "berpisahnya hati dan kasih sayang". Persoalan lain juga timbul bila wanita tenggelam dalam kariernya, atau ikut bekerja bersama suaminya. Istri pulang dalam keadaan lelah, sementara suami menuntut haknya. Di rumah, ia ingin istirahat, sedangkan suami ingin perhatian. Atau, ketika suaminya menghadapi berbagai masalah di kantor, ia ingin menemukan di rumahnya istri yang segar, yang memancarkan senyum kemesraan. Ia dapati istri yang berwajah lain. Kelelahan mengejar karier telah menguras energinya, sementara pandangan hidup lain telah menyelinap dalam dirinya: "Aku bukan dilahirkan untuk melayani suami." Istri-istri di sini menghadapi dilema: meneruskan karier atau meruntuhkan keluarga. Kalau bisa, memang dua-duanya harus dipertahankan. Tetapi, bagaimana?
Wanita sebagai Anak
Di sini, yang dimaksudkan dengan wanita sebagai anak ialah kedudukan wanita yang belum bersuami. Seperti umumnya anak, anak wanita diwajibkan berbuat baik kepada ibu dan ayahnya di rumah, menjalin persaudaraan dengan anggota keluarga yang lain. Ia juga dituntut meningkatkan kualitas dirinya, dengan sebanyak mungkin mencari ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu-ilmu lainnya. Tetapi berbeda dengan pria, Islam membatasi gerak dan tingkah lakunya. Islam ingin mempersiapkan anak-anak wanita sebagai calon ibu dan istri yang baik. Sebagai ibu, ia akan menjadi pendidik dan pembina keturunannya; sebagai istri, ia akan mendampingi suaminya. Untuk kedua peran itu, anak gadis diminta melatih diri meningkatkan kadar moralnya, kekuatan imannya, dan ketinggian ketakwaannya. Itulah sebabnya, unsur pembinaan moral amat ditekankan oleh Islam. Hal-hal yang akan merusak moral anak gadis dicoba dihindarkan oleh Islam dengan berbagai peraturan yang sifatnya mencegah. Islam menyuruh wanita agar menyembunyikan rangsang-rangsang fisik yang dimilikinya.
"Hendaknya wanita menyembunyikan perhiasannya."
"Hendaknya mereka menutupkan kerudungnya."
"Katakanlah kepada wanita beriman agar menundukkan pandangannya dan memelihara kehormatannya."
Di sini, gadis modern kembali menghadapi dilema. Disamping memberikan emansipasi, dunia modern juga menampilkan wanita sebagai objek seksual. Mereka dipajang di etalase untuk menarik pembeli. Mereka diminta tersenyum untuk menambah jumlah pelanggan. Mereka ditelanjangi untuk menghias iklan. Dalam benak mereka ditanamkan keyakinan bahwa mereka hanya bisa sukses dalam hidup ini dengan modal fisik yang dimilikinya. Mereka bukan saja bersemangat membeli benda-benda kosmetik, pakaian mewah, melainkan juga berusaha berperilaku yang sedapat mungkin menarik pasangan lawan jenisnya. Hal ini dilukiskan dalam percakapan gadis-gadis India dengan orang-orang Amerika. Ketika mereka ditanya apakah tidak ingin bebas memilih pasangan hidupnya, gadis-gadis India itu menjawab, "Tidak!" "Bukankah hal itu menempatkan wanita pada kedudukan sangat rendah?" Ketika ditanya tentang alasannya, gadis-gadis India itu menjelaskan bahwa dalam suasana seperti itu wanita harus berusaha sedapat mungkin kelihatan cantik dan menarik perhatian laki-laki supaya dapat jodoh. Gadis pemalu, atau yang tidak mau menonjolkan diri, akan ketinggalan. "Gadis-gadis saling berupaya mendapatkan pria. Hal itu mendorong seorang gadis menganggap dirinya lebih dari yang sebenarnya. Ia tak dapat tenang dan menjadi dirinya. Ia harus membuat kesan baik untuk mendapatkan seorang pria, kemudian ia harus terus membuat kesan baik agar sang pria mengawininya." Bagi gadis Muslimah, dilema ini tidak ada. Ia akan meningkatkan imannya dan memelihara kehormatannya. Kalau Allah menghendaki, ia dapat memperoleh jodoh yang diidamkannya. Kalau tidak, ia bisa mencurahkan seluruh cinta-kasihnya kepada Tuhan Yang Rahman dan Rahim.

Wanita sebagai Da'iyah
Di samping status-status di atas, wanita dalam Islam memikul kewajiban berdakwah. Kewajiban ini dinyatakan Al-Quran sebagai "menyuruh kepada yang baik, melarang kemungkaran, menerangkan yang halal dan yang haram, serta membebaskan manusia dari beban kehidupan dan belenggu-belenggu yang memasung kebebasannya” (QS 7:157).
Kewajiban yang pertama -amar ma'ruf nahi munkar- meminta wanita Islam agar berpartisipasi dalam melakukan kritik sosial, membetulkan yang salah, memperbaiki yang kurang, dan meluruskan yang bengkok. Ia dapat memulai dari dirinya sendiri. suaminya, keluarganya, tetangganya, dan masyarakat sekitarnya. Seorang wanita Islam tidak dipandang baik bila ia acuh tak acuh terhadap masyarakat di sekitarnya. Menyuruh ma'ruf termasuk bukan saja menyebarkan kesalehan dan ibadah ritual, melainkan juga menyuruh orang meningkatkan gizi makanannya, meningkatkan ilmu pengetahuan mereka, dan membantu mereka untuk mewujudkan dirinya seperti yang dicita-citakannya. Melarang yang munkar berarti menghindarkan masyarakat dari pengaruh-pengaruh negatif yang merusak kualitas hidup mereka --material dan spiritual, emosional dan intelektual, individual dan sosial. Menerangkan yang halal dan yang haram meliputi usaha-usaha penyebaran ajaran Islam, usaha-usaha untuk memperkenalkan masyarakat pada syariat Islam. Dalam sejarah Islam, peran wanita dalam memelihara dan melanjutkan syariat Islam ini telah banyak dibicarakan.
Kewajiban da'iyah lainnya ialah membebaskan manusia dari beban kehidupan, dan melepaskan mereka dari belenggu yang memasung kebebasan mereka. Karena itu, sebagai da'iyah, seorang wanita diminta agar peka terhadap penderitaan di sekitarnya. Ia harus tampil membela mereka yang lemah dan tertindas, melindungi kelompok dhuafa, menentang kezaliman dan perkosaan atas hak-hak asasi manusia. Kewajiban ini memperlebar cakrawala wanita, sehingga tidak melulu menjadi permaisuri di istana yang tinggal di pulau terpencil, puas dengan dirinya, dan mengabaikan kesengsaraan orang di sekitarnya. Paling tidak, ia harus memperhatikan nasib wanita-wanita lain. Islam mengingatkan kaum wanita bahwa perjuangan mereka belum selesai, sebelum pembantu-pembantu rumah tangga diperlakukan sebagai manusia, sebelum undang-undang yang menghukum kesewenang-wenangan laki-laki dikeluarkan, sebelum wanita-wanita yang dianiaya terlepas dari penderitaannya. Sungguh ironis, sering kali wanita yang paling gigih meneriakkan hak-hak wanita adalah penindas kaum wanita di rumahnya.
Ribuan wanita masih bekerja di pabrik-pabrik pada malam hari dengan upah minimal dan perlakuan tidak adil. Ribuan buruh kurus harus memikul beban di punggungnya, sementara anak-anak kecil menempel di dadanya. Ribuan kaum Hawa masih meringkuk dalam perbudakan seksual, menangisi masa depannya yang suram. Kartini-Kartini yang menduduki kantor megah atau istana mewah memang banyak, tetapi masih banyak lagi Kartini-Kartini yang tinggal di pabrik-pabrik yang pengap, gubuk yang kotor, dapur yang penuh asap, atau padang yang terik membakar. Islam memandang tugas wanita menolong mereka sebagai tugas mulia. Pembicaraan kita tentang wanita tampaknya tidak lengkap tanpa mencuatkan wanita-wanita lemah itu ke atas forum.
***
Islam memandang bahwa wanita mempunyai hak yang sama dengan pria. Tetapi, fitrah kewanitaan yang dipunyainya membedakan peran wanita dalam kehidupan sosial. Islam mengatur peran wanita dalam status sebagai ibu, istri, anak, dan da'iyah. Status ibu adalah yang paling utama, karena di situ wanita memainkan peran paling menentukan dalam kehidupan masyarakat. Status istri memperteguh lembaga keluarga. Status menuntut pemeliharaan moral dan akhlak yang baik. Akhirnya, status da'iyah menuntut wanita untuk tampil di tengah masyarakat sebagai pelopor pembebasan, pembaruan, dan kemajuan. Islam memandang bahwa dilema yang dihadapi wanita modern muncul akibat pelanggaran terhadap peran yang ditetapkan Islam. Margaret Mead berucap:
"Bila memungkinkan untuk berkata bahwa menjadikan bakat-bakat wanita bermanfaat bagi pria ataupun wanita adalah sepenting memanfaatkan bakat-bakat pria, dan membuat peradaban yang dibangun di atasnya bermanfaat bagi pria dan wanita, maka berarti kita akan memperkaya masyarakat kita” JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).