top of page
  • Writer's pictureAkhi

PERBANDINGAN MAZHAB DALAM ISLAM


”Aku meminta izin untuk berjumpa dengan Imam Ja’far ash-Shadiq,” begitu Abu Hanifah memulai kisahnya, “tetapi ia tidak memperkenankanku. Kebetulan datanglah rombongan orang Kufah meminta izin, dan aku pun masuk beserta mereka. Setelah aku berada di sisinya, aku berkata:


-Wahai putra Rasulullah, alangkah baiknya jika Anda menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah SAW. Aku lihat di sana lebih dari 10.000 orang mengecam sahabat.


+Mereka tidak akan menerima laranganku.

-Siapa yang berani menolak Anda, padahal Anda putra Rasulullah?

+Anda orang pertama yang tidak menerima perintahku. Anda masuk tanpa seizinku. Duduk tanpa perintahku. Berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Telah sampai padaku bahwa Anda menggunakan qiyas.

-Benar.

+Celaka Anda, hai Nu’man. Orang yang pertama melakukan qiyas ialah Iblis, ketika Allah menyuruhnya sujud kepada Adam. Lalu ia menolak dan berkata: “Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia dari tanah.” Hai Nu’man, mana yang lebih besar (dosanya): membunuh atau berzina?

-Membunuh.

+Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang saksi untuk zina. Anda gunakan qiyas di situ?

-Tidak.

+Mana yang lebih besar (najisnya): kencing atau air mani?

-Kencing.

+Mengapa, untuk kencing diperintahkan wudhu, tetapi untuk mani diharuskan mandi. Anda juga gunakan qiyas di situ?

-Tidak.

+Mana yang lebih besar: salat atau shaum?

-Salat.

+Tetapi mengapa wanita haid harus meng-qadha shaumnya, tetapi tidak harus meng-qadha salatnya. Anda juga gunakan qiyas di situ?

-Tidak.

+Mana yang lebih lemah: wanita atau pria?

-Wanita.

+Mengapa Allah berikan warisan dua bagian bagi pria dan satu bagian bagi wanita. Apakah Anda juga gunakan qiyas di situ?

-Tidak.[1]

Dialog ini kita hentikan di sini. Menurut riwayat, Imam Abu Hanifah — mujtahid besar Ahlu Sunnah ini — kemudian berguru kepada Imam Ja’far ash-Shadiq, imam keenam dalam mazhab Syi’ah. Terkenal ucapan Abu Hanifah: Law la sanatan, lahalaka Nu’man (bila tidak ada dua tahun bersama Ja’far, akan celakalah Nu’man). Yang berguru kepada Ja’far bukan saja Abu Hanifah. Juga Malik bin Anas, Yahya bin Sa’id, Sufyaniyun, Ibn Juraih, Syu’bah, dan Ayyub as-Sajastani.[2]


Tentang gurunya, Malik berkata: “Tidak ada yang dilihat mata, didengar telinga, lebih utama dari Ja’far ash-Shadiq dalam hal keutamaannya, ilmunya, ibadahnya, dan waranya.”


Islam agama tauhid

Kepada Malik berguru Imam Syafi’i. Kepada Syafi’i berguru Imam Hambali. Secara singkat, mazhab-mazhab besar ini semuanya bersumber kepada sumber yang sama. Namun mengapa terjadi perpecahan di antara pengikut mereka? Mengapa pengikut Hambali mengecam pengikut Syafii? Mengapa pengikut Syafi’i menentang pengikut Abu Hanifah? Mengapa Ahlu Sunnah mengafirkan Syi’ah?


Perpecahan yang meruncing sering terjadi di kalangan umat Islam hanya karena setiap orang merasa bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Tidak jarang hal ini menjurus ke arah sedemikian, sehingga mengafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Dalam sejarah, umat Islam amat sering dirugikan oleh sikap semacam ini.


Islam adalah agama Tauhid–menyembah satu Allah, mengimani satu Rasul, dan pemeluknya mengimani ajaran yang satu. Lawannya adalah musyrik yang ciri-cirinya disebutkan dalam Al-Ouran sebagai berikut:


Orang yang memecah agamanya menjadi beberapa golongan, kemudian setiap golongan merasa bangga dengan golongannya sendiri.” (QS. 23:53)


Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, dan diterima dari Muadz bin Jabal, disebutkan: ”Serulah umat berbuat ma’ruf, dan laranglah berbuat munkar sampai nanti ada suatu saat ketika orang mengikuti kebatilan, menaati hawa nafsunya, dan mengistimewakan dunia. Dan di zaman itu, orang merasa ijab* dengan pendapatnya sendiri.”[3]


Perbedaan pendapat antar-Mazhab


Memiliki pendapat, meyakininya dan menyebarkannya tidak dilarang dalam Islam. Yang diharamkan ialah menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai bibit perpecahan atau untuk mengklaim bahwa pendapat kita adalah satu-satunya kebenaran.


Seperti Voltaire, seorang Muslim yang mukhlish, akan berkata, ”Aku akan mempertahankan pendapatku mati-matian, Tetapi aku pun akan mempertahankan hak Anda untuk mengemukakan pendapat Anda mati-matian pula.”


Di dalam Islam perbedaan pendapat telah melahirkan perbedaan mazhab. Lebih cermat lagi, perbedaan mazhab fikih. Fikih artinya pemahaman atau pengertian. Dalam bahasa Arab, mazhab berasal dari kata dzahaba, yang berarti pergi atau mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan arti mazhab ialah tempat rujukan, tempat orang merujukkan pendapatnya. Tetapi, kemudian mazhab berkembang menjadi semacam paket fikih berdasarkan kesimpulan tokoh pemikir Islam. Di dalam Islam– paling tidak sekarang ini–diakui ada enam mazhab besar, antara lain mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi, mazhab Hambali, dan mazhab Maliki (sebagai mazhab-mazhab Sunni), mazhab Ja’fari dan mazhab Zaidi (mazhab-mazhab Syi’ah). Di samping itu, banyak pula mazhab kecil yang bermunculan di sana-sini.


Di Indonesia pun berkembang pula mazhab-mazhab kecil ini, dan setiap orang boleh saja mengembangkannya, dengan syarat setiap orang jangan terlalu takjub dengan mazhabnya sendiri, dan mencoba membuka pemikiran terhadap mazhab yang lain.


Kalau kita teliti, mazhab-mazhab itu tidak begitu banyak berbeda, malahan ada orang mengatakan bahwa perbedaan di antara empat mazhab Sunni lebih besar daripada perbedaan antara mazhab Sunni dan Syi’ah. Secara statistik, kita dapat mengatakan bahwa ragam di dalam (variance within) lebih besar dari ragam antara (variance between). Ini berarti tidak ada perbedaan signifikan antara Sunnah dengan Syi’ah.


Kesimpulan di atas mendorong kita untuk memikirkan kemungkinan pendekatan di antara berbagai mazhab. Tetapi pendekatan memerlukan upaya saling mengenal. Di sini kemusykilan terjadi. Tidak mudah bagi kita untuk mempelajari berbagai mazhab secara lengkap lewat buku-buku rujukan mazhab tersebut. Tentu saja, lebih sulit lagi memperbandingkan semua mazhab ini dalam satu ceramah atau sebuah makalah.


Di sini kita akan menceritakan sebab musabab terjadinya perbedaan mazhab dan mengemukakan beberapa contoh sebagai bahan bandingan. Meskipun yang kita bicarakan di sini adalah ibarat menyentuh kulitnya saja, tapi diharapkan bahwa dengan sentuhan yang sedikit ini cakrawala berpikir kita dapat terbuka. Perbedaan mazhab dapat dilacak dalam perbedaan penafsiran nash, yakni Al-Ouran dan as-Sunnah, perbedaan periwayatan hadis, dan perbedaan ushul fiqh yang mengakibatkan perbedaan prosedur penarikan kesimpulan hukum.


Perbedaan penafsiran Nash

Sebetulnya, di zaman Rasulullah pun sudah terjadi perbedaar pendapat. Misalnya, perbedaan pendapat antara Umar bin Khattab dan Abu Bakar. Abu Bakar melakukan salat witir sebelum tidur, sedangkan Umar melakukannya sesudah tidur. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah, lalu beliau berkata: “Abu Bakar adalah orang yang berhati-hati, dan Umar adalah orang yang kuat kemauannya.”[4]


Abu Sa’id al-Khudri menceritakan bahwa ada dua orang sedang dalam bepergian. Tiba-tiba datang waktu salat. Mereka tidak memperoleh air untuk mengambil wudhu. Lalu bertayamumlah keduanya dan salat.


Sesaat meneruskan perjalanannya mereka menemukan air dan waktu salat masih ada. Salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang salatnya. Tetapi yang lain tidak melakukan seperti kawannya itu. Setelah kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah, beliau mengatakan kepada orang yang tidak mengulang salatnya: “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah dan salatmu itu sudah cukup bagimu.” Dan beliau berkata kepada orang yang mengulang salat, ”Bagimu pahala dua kali.” Dengan demikian beliau telah mengakui kebenaran ijtihad mereka masing-masing selama tidak ada nash yang menunjuknya.”[5]


Dalam kedua contoh di atas, para sahabat berbeda pendapat, tetapi semua pendapat dinyatakan benar oleh Rasulullah SAW. Pada peristiwa yang lain, Rasulullah menunjukkan mana yang benar. Misalnya, pada suatu hari datang seseorang menemui Umar dan berkata: “Aku junub dan tidak mendapatkan air.” Kata Umar: ”Janganlah salat.” Kata Ammar: ”Apakah Anda tidak ingat, ya Amirul Mukminin, ketika Anda dan aku berada dalam sebuah pasukan. Kita junub dan tidak memperoleh air. Anda tidak salat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah dan salat. (Setelah itu, lalu kita datang menemui Rasulullah) dan ia berkata: “Cukuplah bagimu, engkau usapkan tanganmu di atas tanah. Kemudian engkau meniupnya dan mengusapkannya pada mukamu dan kedua telapak tanganmu.” Umar berkata: “Takutlah kepada Allah, hai Ammar.” Ammar menjawab: “Jika itu kemauan Anda, aku tidak akan mengabarkan hadis ini selama engkau masih hidup.”[6]


Di sini Umar berpendapat orang yang junub dan tidak ada air, tidak perlu salat. “Mazhab ini masyhur sebagai mazhab Umar,”kata Ibnu Hajar.[7] Ammar tidak mengikuti pendapat ini dan memilih berguling di atas tanah. Kelak, mazhab Umar diikuti oleh putranya Ibnu Umar, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hanifah.


Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada Surah Al-Maidah, ayat 6: “Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dan tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”


Kata Abu Hanifah: “Musafir dan orang sakit, jika tidak menemukan air, wajib tayamum. Tetapi bagi yang tidak bepergian dan sehat, tidak berlaku tayamum, jika tidak ada air. Tidak wajib baginya salat.” Mazhab-mazhab yang lain berpendapat, wajib tayamum dan salat, jika tidak ada air–baik sedang bepergian maupun tidak. Mereka berbeda dalam menafsirkan maksud ayat tersebut.


Mereka juga berbeda dalam menafsirkan ”menyentuh”, ”tanah”, ”muka” dan “tangan” dalam ayat ini. Menurut fukaha Syafi’i: menyentuh di situ termasuk menyentuh dengan tangan terhadap wanita ajnabiyah (bukan keluarga). Kata Hanafi: Menyentuh di sini hanyalah menyentuh yang disertai rangsangan seksual. Kata Ja’fari: Menyentuh artinya jima.”[8]


Menurut Hanafi dan Ja’fari: Tanah di situ artinya tanah, pasir, batu, dan bukan logam. Kata Syafi’i: Tanah di sini hanyalah tanah dan pasir saja. Kata Hambali: Tanah saja. Kata Maliki: Yang dimaksud tanah, meliputi tanah, batu, pasir, salju, logam — asal belum dipindahkan dari tempatnya — kecuali emas, perak dan permata.


Muka, menurut mazhab yang empat, ialah seluruh wajah seperti dalam wudhu. Menurut Ja’fari, hanya sebagian wajah saja, karena ada haraf ba pada ayat tayamum. Keempat mazhab berpendapat, tangan yang harus diusap itu sama dengan ukuran tangan dalam wudhu. Menurut Ja’fari: tangan yang dimaksud hanyalah kedua telapak tangan saja.


Kita masih dapat memberikan beberapa contoh lain lagi. Cukuplah di sini ditambahkan satu lagi mengenai contoh perbedaan penafsiran hadis. Ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa hukum mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap Muslim dewasa. Dari sini, diambil ushul fiqh-nya oleh kira-kira lima fikih. Fikih (mazhab) pertama berpendapat bahwa hukum mandi pada hari Jumat, kata Rasulullah, adalah wajib. Menurut mazhab kedua, wajib menurut Rasulullah itu berbeda dengan wajib menurut ahli fikih. Menurut mazhab kedua tersebut hadis ini menunjukkan sunnah muakkadah. Ushul fiqh-nya yaitu ketika datang kepada Rasulullah seorang Arab pegunungan dengan pakaian yang kotor dan bau, lalu beliau berkata: alangkah baiknya kalau dia mandi dulu. Perkataan ‘alangkah baiknya …’ adalah jelas bukan perkataan wajib, tapi menunjukkan sunnah, dengan demikian mereka menetapkan bahwa hukum mandi Jumat adalah sunnah. Mazhab ketiga berpendapat bahwa mandi diwajibkan karena berbau. Artinya, kalau tidak berbau, maka ia tidak wajib mandi. Mazhab keempat berpendapat bahwa diwajibkannya mandi itu adalah untuk menghilangkan baunya, supaya orang tidak lari karenanya. Dengan demikian, kalau sudah mandi dan tetap berbau, maka hal itu belum memenuhi kewajiban. Tanpa mandi pun, asal baunya hilang, maka hal itu sudah cukup.


Mazhab kelima menyalahkan pendapat empat mazhab sebelumnya, dengan mengatakan bahwa mereka tidak memperhatikan kata yaum pada hadis. Yang dimaksud dengan kata yaum atau hari di sini adalah periode waktu, yaitu sejak matahari terbit sampai matahari terbenam. Jadi, boleh juga mandi dilakukan setelah Asar, padahal keempat mazhab terdahulu mempersoalkan mandi sebelum berangkat Salat Jumat.


Perbedaan periwayatan hadis

Yang telah kita bahas tadi merupakan salah satu sebab ikhtilaf pertama. Sedangkan ikhtilaf kedua disebabkan oleh faktor sejarah. Pada zaman Rasulullah, para sahabat menerima banyak hadis dari beliau. Hadis ialah catatan tentang apa yang diucapkan, dilakukan dan didiamkan oleh Rasulullah SAW. Ketika itu, Rasulullah mengajar di mana-mana, kadang-kadang di masjid, kadang-kadang di pasar. Semua itu dicatat oleh sahabat.


Tapi, masing-masing sahabat mencatat dengan catatan yang berbeda-beda, karena memang perjumpaan dengan Rasulullah pun bermacam-macam. Misal, beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah tidak diketahui oleh sahabat yang lain. Apa yang dilakukan Rasulullah di kamarnya di malam hari, tidak diketahui oleh sahabat yang lain, hanya istri Rasulullah-lah yang tahu. Anas bin Malik, pelayan Rasulullah pernah berkata: ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah mengangkat tangan dalam berdoa, kecuali pada waktu istisqa.” Berdasarkan hadis ini, lalu ada yang berpendapat bahwa tidak dibolehkan mengangkat tangan dalam berdoa selain pada waktu istisqa. Tapi, sahabat yang lain pernah melihat bahwa Rasulullah mengangkat tangan dalam berdoa setelah selesai berwudhu. Dan masih banyak peristiwa tentang mengangkat tangan ini.


Kadang-kadang perbedaan di antara sahabat terjadi karena perbedaan dalam persepsi mereka tentang suatu peristiwa. Aisyah mendengar bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan hadis “Sesungguhnya mayat disiksa karena tangisan yang hidup.” Aisyah segera berkata: Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman (Ibnu Umar). Ia tidak berdusta, tetapi keliru dan lupa. Pada suatu hari, Rasulullah melewati kuburan wanita Yahudi. Keluarganya sedang menangisi wanita itu. Rasulullah SAW bersabda: ”Keluarganya menangisi dia, padahal wanita itu sedang disiksa di kuburnya.”


Ibnu Umar (dan ayahnya) menganggap ada hubungan sebab akibat di antara kedua peristiwa itu. Anggapan ini keliru, kata Aisyah. Tentu, dari persepsi yang berbeda ini lahir fikih yang berbeda. Aisyah membolehkan menangisi mayat, sedangkan Umar dan putranya mengharamkannya.[9]


Dengan persepsi mereka yang beraneka ragam ini–baik karena perbedaan kecerdasan dan keimanan, maupun karena frekuensi pertemuan dengan Rasulullah–para sahabat tersebar di seluruh kawasan Islam, menyebarkan apa yang mereka ketahui. Sebagian tinggal di Madinah, sebagian lagi di Bashrah, Syam, dan Kufah. Ibnu Hazm berkata:”Kepada sahabat di Madinah datanglah mereka yang tidak menghadiri sahabat Bashrah. Kepada sahabat di Bashrah hadir orang yang tidak mendatangi sahabat Syam. Kepada sahabat di Syam hadir mereka yang tidak mendatangi sahabat Kufah.”[10]


Di samping itu, para pengambil hadis di kemudian hari tidak mempunyai sikap yang sama terhadap para sahabat. Mazhab-mazhab Jumhur menganggap seluruh sahabat jujur dan baik (ashshahabi kulluhum ‘udul). Mu’tazilah menolak hadis dari beberapa orang sahabat. Imam Abu Hanifah diriwayatkan berkata: ”Aku akan taklid kepada para qadhi yang memberikan fatwa di antara ara sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, tiga Abdullah—yakni Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud–dan tidak menolak mereka dengan pendapatku kecuali tiga orang: Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Samurah bin Jundab.”[11]


Mazhab Ja’fari menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Anas bin Malik, Mua’wiah, Amr bin Ash, dan sahabat-sahabat lainnya yang dianggap menentang ahlu bait.


Perbedaan ushul fiqh: prosedur penarikan kesimpulan hukum


Sumber hukum yang diakui oleh semua Muslim ialah Al-Quran dan as-Sunnah, keduanya ini disebut an-Nash. Dari kedua sumber hukum ini, orang mengambil kesimpulan hukum atau fikih, yang disertai dengan alasan, atau ushul fiqh, mengapa sampai kepada kesimpulan tersebut, yang pada zaman ini dikenal sebagai logika modern. Orang yang berpikir logis dalam menafsirkan Al-Quran dan as-Sunnah, juga mempergunakan proses semacam ini.


Ushul fiqh kemudian berkembang menjadi ilmu tersendiri tentang bagaimana proses pengambilan hukum. Salah satu kaidah ushul fiqh mengatakan: “Terjadinya peristiwa tidak langsung menetapkan hukum wajibnya.”


Misalnya, orang melihat Rasulullah takbir tujuh dan lima kali dalam Salat Ied, kemudian ia mengambil kesimpulan: ”Ini adalah contoh dari Rasulullah, maka harus dilaksanakan, jadi hukumnya wajib.” Tetapi, tidak semua contoh Rasulullah itu hukumnya wajib, masih diperlukan data yang lain untuk melengkapinya. Malangnya, ushul fiqh ini pun berbeda-beda. Ushul fiqh mazhab Syafi’i berbeda dengan ushul fiqh mazhab Hanafi, berbeda juga dengan ushul fiqh mazhab Hambali.


Tidak mungkin di sini melacak perbedaan-perbedaan itu. Secara singkat, kita dapat menunjukkan tiga mazhab berpikir yang utama. Untuk memudahkan, saya menyebutnya mazhab zhahiri, ruhi, dan mutawasith (penamaan ini sudah jelas menunjukkan bias saya pada mazhab yang terakhir). Mazhab zhahiri berpegang teguh pada apa yang tersurat dalam nash dan menafikan takwil sama sekali. Mazhab ruhi mencoba menangkap apa yang mereka sebut sebagai ruh ajaran Islam (kadang-kadang disebut maqashid tasyri’iyah, mashalih mursalah, ‘illat, tema pokok, spirit of Islam dan sebagainya), sehingga kadang-kadang menolak nash yang sharih (tegas). Di antara kedua mazhab ini ada mazhab yang di tengah-tengah: tetap berpegang kepada nash dan berijtihad di tempat yang tepat. Keterangan ini memang sederhana. Tetapi marilah kita melihat beberapa contoh:


Sebuah hadis mengatakan bahwa “izin untuk dinikahkannya seorang perawan adalah diamnya.” Menurut mazhab zhahiri, ketika kita melamar seorang wanita, kemudian wanita tersebut menjawab: ”Saya bersedia…,” maka pernikahannya tidak sah, karena, menurut hadis, izinnya ialah diamnya. Jadi, mazhab ini hanya melihat nash secara lahiriah, yang diamalkan oleh mazhab ini ialah yang tersurat, dan tidak sedikit di antara kita menganut mazhab ini.


Contoh lain: sebuah hadis menyebutkan bahwa bejana yang dijilat anjing, hendaknya dibasuh sampai tujuh kali. Menurut mazhab zhahiri, kalau yang dijilat itu adalah tangan atau baju kita, maka tidak apa-apa. Karena, dalam hadis yang disebutkan hanya menjilat bejana.


Kita dapat mengkritik kaum zhahiri dengan kata-kata seperti ini:”Bolehkah melakukan salat dengan hanya wajah kita yang menghadap kiblat, sedangkan badan kita menghadap ke tempat lain.” Mereka bilang bahwa hal itu tidak boleh. Tetapi, mengapa tidak boleh. Bukankah yang disuruh menghadap kiblat, di dalam Al-Quran, hanya wajah: “Hadapkan wajahmu ke Masjidil Haram!” Jadi, boleh saja tubuh menghadap ke tempat lain, asalkan wajah masih menghadap ke kiblat.


Lalu, di dalam Al-Quran, daging babi diharamkan. Maka gajihnya, jantungnya, dan lainnya, tidak diharamkan. Itulah bahayanya bagi kaum yang hanya memegang lahirnya saja.


Mazhab ruhi, sekarang disebut kaum modernis, mencoba menyesuaikan ajaran Islam dengan tuntutan modern atau perubahan zaman melalui logika yang bebas. Biasanya yang dijadikan pijakan ialah kaidah ushul fiqh: “Hukum berputar menurut “illat-nya.”


‘Illat adalah sebab yang menetapkan berlakunya hukum. Seorang tokoh modernis menyatakan bahwa dewasa ini pencuri tidak harus dipotong tangan. Mengapa? Karena pada zaman dahulu, bila orang mencuri, ia mencuri barang dan harga diri sekaligus, Ini ‘Illat-nya. Sekarang orang hanya mencuri harta saja. Judi, kata modemis lainnya, hanya disebut judi “bila dipenuhi illat-nya–yakni berhadap-hadapan. Wanita memperoleh setengah dari bagian laki-laki dalam perwarisan, karena dahulu wanita sangat tergantung kepada suaminya dan tidak mencari nafkah.


Kalau bukan ‘illat yang disebut, biasanya dicari ruh ajaran Islam. Apa maksud Islam mendirikan negara? Untuk menegakkan keadilan. Bila tanpa embel-embel Islam, negara sudah berhasil menegakkan keadilan, negara Islam tidak diperlukan lagi. Untuk apa Allah menyuruh wanita Muslimah menutupkan kerudung ke lehernya? Untuk memelihara kehormatan wanita Islam, supaya tidak diganggu dan dikenal sebagai wanita Muslimah. Karena itu, tidak diperlukan kerudung bila wanita sudah dapat memelihara kehormatannya dan dikenal sebagai wanita Islam. Kita harus menangkap ruh, esensi, semangat atau api Islam, kata modernis.


Sahabat yang sering dijadikan model ialah Umar bin Khattab. Umar tidak memberikan hak mualaf walaupun tegas disebutkan dalam Al-Quran, karena ia berpendapat bahwa hak ini diberikan kepada mereka selama Islam masih lemah. Ia juga menetapkan berlakunya talak tiga yang diucapkan pada satu saat dengan maksud memberikan pelajaran untuk tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak. Masih banyak contoh lain. Bila Umar boleh menolak nash yang sharih dengan beralasan menangkap ruh Islam, mengapa kita tidak? Begitu dalih kaum modernis.


Bahaya yang besar dari mazhab ruhi ialah kecenderungan menolak nash dengan alasan yang tidak jelas kriterianya. Semangat untuk memodernkan Islam menyebabkan nash-nash ditunjukkan kepada paham-paham temporal dan temporer (duniawi dan sesaat). Kita tidak akan mengkritik mazhab ini secara terperinci pada tulisan ini.


Bagaimana sikap kita terhadap perbedaan mazhab?


Sebetulnya, mazhab itu tidak jelek. Islam memberikan kebebasan berpikir kepada kita. Yang menjadi masalah ialah kalau perbedaan tersebut sampai kepada orang awam. Karena, sebetulnya perbedaan pendapat ini adalah urusan mujtahid, urusan fuqaha yang memahami hukum dan ushul fiqh. Orang awam tak mungkin memperdebatkan hal ini, karena mereka tak memiliki ilmu untuk hal itu.


Yang menakjubkan ialah bahwa di Indonesi perdebatan semacam ini justru terjadi di kalangan orang awam, ahli fikihnya malah tenang-tenang saja. Bagi kita, yang penting memilih mana yang sesuai dengan pemikiran kita, tanpa harus mengafirkan pendapat orang lain.


Tampaknya kita harus membedakan dua kelompok umat Islam: mujtahid dan muqallid. Bila kita tidak memiliki kemampuan ijtihad, kita harus taklid. Orang akan menganggap pasien berlaku sembrono, bila ia berusaha menulis resep sendiri untuk mengobati penyakitnya. Tetapi, mengapa kita membiarkan orang awam berijtihad dengan informasi yang sangat tidak memadai. Rasulullah SAW bersabda: “Rusaknya agama karena tiga hal: fakih yang durhaka, pemimpin yang lalim dan orang bodoh yang berijtihad.”[12]


Sebagai orang awam, kita memilih ‘alim atau mujtahid yang menurut kita memiliki faqahah (kedalaman ilmu agama) dan ‘adalah (berakhlak baik, teguh pendirian, dan ikhlas). Dalam pergaulan sehari-hari, kita tunjukkan sikap tasamuh kepada mereka yang memilih mazhab yang berlainan dengan kita. Menarik untuk mencatat sikap tasamuh di antara para sahabat dan para imam mazhab.


Diberitahukan kepada Ibnu Mas’ud bahwa Usman bin Affan melakukan salat zuhur di Mina empat rakaat. Maka Ibnu Mas’ud berkata: ‘Inna lillahi wainna Wathi raji’un’. Hal itu dianggapnya sebagai musibah, karena di Mina Rasulullah hanya salat dua rakaat. Suatu ketika Ibnu Mas’ud bermakmum di belakang Usman di Mina. Ternyata salatnya Usman adalah empat rakaat pula, dan orang yang melaporkan sebelum peristiwa itu merasa heran, dan ia berkata:”Kau pernah istirja, sekarang kau salat pula empat rakaat pula.” Kata Ibnu Mas’ud: “Sebetulnya, bertengkar itu jelek.”


Imam Ahmad berpendapat, wajib wudhu bagi orang yang berbekam dan mengeluarkan darah. Ia pernah ditanya: Jika imam mengeluarkan darah, kemudian ia tidak berwudhu, apakah Anda akan salat di belakang dia? Imam Ahmad menjawab: Bagaimana aku tidak salat di belakang Imam Malik dan Said bin Musayyab? (Kedua imam ini berpendapat tidak wajib wudhu bagi orang yang mengeluarkan darah).


Padahal Syafi’i pernah salat di dekat kuburan Abu Hanifah. Ia tidak qunut karena menghormatinya (Sebagaimana diketahui, Abu Hanifah tidak mensunnahkan qunut). Imam Abu Hanifah, Syafi’i bersedia salat di belakang para imam di Madinah yang tidak membaca basmalah, baik syir (perlahan) maupun jahar (keras), padahal kedua imam ini mengharuskan pembacaan basmalah pada Al-Fatihah.


Ketika kepada Imam Malik, Al-Manshur — Khalifah Abbasiah — mengusulkan supaya kitab Imam Malik disebarkan ke seluruh pelosok kerajaan dan mewajibkan umat Islam untuk mengikuti kitab itu, Imam Malik dengan tegas menolak: ”Jangan lakukan itu. Kepada mereka sudah datang berbagai qaul. Mereka telah mendengarkan hadis-hadis, meriwayatkan berbagai riwayat, mengambil dari kaum sebelum mereka, memilihnya dari yang diperselisihkan di antara manusia. Biarlah setiap negeri memilih buat diri mereka sendiri.”


Kadang-kadang terpikir di benak kita, kenapa sikap saling menghargai pendapat yang berlainan itu tidak dilanjutkan oleh orang-orang setelah Syafi’i, setelah Hambali, setelah para imam mazhab ini meninggal dunia? JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb


Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).



[1] Abdul Halim Jundi, Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq, Kairo: Majlisul ‘Ala, tanpa tahun.

[2] Lihat komentar Ibnu Hajar tentang Ja’far dalam As-Sawaiq al-Muhriqah, Kairo: Maktabah al-Qahirah,1385

[3] Ijab artinya perasaan takjub yang disertai dengan rasa bangga: dengan demikian cenderung merendahkan pendapat orang lain.

[4]Hadis riwayat Al-Khithabi, Thabarani, Abu Dawud, dan lain-lain. Lihat juga AsySyaukani, Nail al-4uthar, Juz III, Beirut: Dar al-Jail, 1973, h. 56.

[5] Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986, h. 376.

[6] Hadis ini dikeluarkan Muslim dalam bab “Tayamum,” Bukhari dalam bab Al mutayammim hal yunfakhu fihima, juga Abu Dawud, Ahmad, Baihagi, Ibnu Majah, dan An-Nasai.

[7] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Al-Maktabah al-Salafiyah, 1:443.

[8] M. Jawad Mugniyah, Al-Figh ‘alal Madzahib al-Khamsah, tanpa tahun dan penetbit, cet. ke-7, h. 31.

[9] Lihat Bukhari pada bab “Janaiz.” Hadis-hadis tentang ini diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, An-Nasai, Al-Baihaqi, Malik, dan Syaff’i.

[10] Amid Zanjani, AI Wifaq ‘la al-Sha’id al-Fiqhi,” At-Tauhid, “Adad VII Rabiul Awwal Tahun 2, 1404, hal. 42-45.

[11] Muhanimad bin Faramuz, Mirah al-Ushul, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah. Lihat Juga A. W. Al-Sya’rani, Al-Mizan, Kairo: Al-Azhariyah, 1317, 1:58.

[12] Hadis riwayat Ad-Dailami. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Jami’ ash-Shagi! pada huruf hamzah, Bandung: Al-Maarif, tanpa tahun.

127 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page