Akhi
Perspektif Sosiologis : Tindakan Kekerasan terhadap Anak
Ketika kekerasan anak-anak berakibat pada budaya kekerasan, kita meninggalkan dataran psikologis ke dataran sosial yang lebih luas. Kita berpindah dari problem personal ke problem sosial. Tindakan kekerasan adalah salah satu problem sosial yang besar pada masyarakat modern. Problem sosial adalah pola perilaku masyarakat atau sejumlah besar anggota masyarakat yang secara meluas tidak dihendaki masyarakat tetapi disebabkan oleh faktor-faktor sosial, dan memerlukan tindakan sosial untuk mengatasinya.
Kekerasan pada anak-anak hanya merupakan problem personal, jika hanya menimpa segelintir anak-anak. Sebab-sebabnya dapat dilacak pada sebab-sebab psikologis dari individu yang terlibat. Pemecahannya juga dapat dilakukan secara individual. Kita berikan saja terapi psikologis pada baik pelaku maupun korban. Tetapi, jika perilaku mempekerjakan anak kecil dalam waktu yang panjang, menelantarkan mereka, atau menyakiti dan menyiksa anak itu terdapat secara meluas di tengah-tengah masyarakat-walaupun tidak dimuat di media-kita berhadapan dengan masalah sosial. Penyebabnya tidak boleh lagi dilacak pada sebab individual. Kita harus melacaknya pada nilai, pola interaksi sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial.
Marilah kita mengambil sistem Ujian Nasional sebagai contoh. Dengan segala pro dan kontranya, saya menawarkan alternatif lain pada sistem ujian itu. Pemerintah menghendaki meningkatnya standar mutu pendidikan. Tetapi, yang terjadi di lapangan, ketidakjujuran mewarnai proses penilaian ini. Sebelumnya, anak-anak didik dihadapkan pada kekerasan mental selama setahun penuh. Beberapa di antaranya menumbuhkan tradisi tidak terpuji untuk dapat sekadar lulus, yang pada akhirnya perbuatan tidak terpuji itu akan menyertai langkah anak didik itu di kemudian hari.
Alternatif yang saya tawarkan adalah: Kelulusan dikembalikan kepada sekolah yang bersangkutan. Sebagai tolak ukur standar mutu pendidikan nasional, pemerintah mengadakan ujian dengan sistem sertifikasi berstruktur, untuk setiap mata pelajaran. Ujian pemerintah ini tidak memengaruhi lulus atau tidaknya anak didik kita. Ujian pemerintah ini dapat dijadikan tolak ukur bagi universitas dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi lainnya untuk menjadikannya sebagai kriteria penerimaan.
Ambillah contoh fakultas kedokteran yang mengharuskan Sertifikat Ujian Pemerintah dengan nilai pelajaran eksak di atas 80. Maka hanya mereka yang akan (dan punya minat) untuk masuk fakultas kedokteran yang akan mengambil sertifikasi itu. Hal ini sebetulnya selaras dengan prinsip Kecerdasan Majemuk yang belakangan ini dikembangkan di sekolah saya. Menurut saya, sistem seperti ini lebih dekat dengan rasa keadilan bagi setiap potensi yang Tuhan anugerahkan berbeda pada diri setiap anak.
Nah, pemecahan masalah seperti ini memerlukan tindakan kolektif dari seluruh anggota masyarakat.
Betulkah ketidakadilan pada anak-anak sekarang sudah menjadi problem sosial? Selain masalah pendidikan tadi, marilah kita lihat masalah-masalah lainnya. Apakah Anda menemukan bermacam-macam child abuse di tengah-tengah masyarakat? Pernahkah Anda melihat anak-anak kecil yang bekerja di jalan-jalan raya, di tempat-tempat berbahaya pada waktu kawan-kawannya yang lain belajar di sekolah? Seringkah Anda menyaksikan perkelahian di antara anak-anak di sekitar Anda? Apakah ada di antara keluarga Anda yang kecil-kecil menjadi korban pemerasan kawan-kawannya? Pernahkah Anda mendengar para mucikari secara rutin memasok "darah segar" ke tempat-tempat lokalisasi? Bila Anda menjawab "ya" untuk seluruh pertanyaan ini, kita harus berkata: kekerasan dan ketidakadilan pada anak-anak sudah menjadi problem sosial di negeri ini.
Dalam waktu yang singkat, kita dapat mendaftar beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab semua ini.
Pertama, norma sosial. Tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak. Bapak yang mencambuk anaknya dengan sabuk tidak akan dipersoalkan tetangganya, selama anak itu tidak meninggal dunia (lebih tepat lagi, selama tidak dilaporkan ke polisi). Sebagai bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. "Anak ini anakku sendiri. Kamu jangan ikut campur!" begitu bentak seorang bapak yang ditegur kawannya karena menyiksa anak.
Seorang guru mendisiplinkan anaknya dengan teguran-teguran verbal yang menyakitkan hati. Guru itu akan berkata: Saya sudah belajar ilmu pendidikan. Saya yang paling tahu bagaimana mendisiplinkan anak ini. Dalam situasi seperti itu, tidak ada aturan hukum yang dapat melindungi anak dari perlakuan buruk orangtuanya atau wali atau guru atau orang dewasa lainnya.
Belakangan ini, Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga telah sedikit banyak membantu korban-korban kekerasan dalam rumah tangga, tetapi ia belum mencakup kekerasan-kekerasan lainnya yang ada dalam struktur sosial masyarakat kita.
Saya teringat lelucon di keluarga saya. Ketika saya memeluk anak perempuan saya yang paling kecil, ia meronta. Ia dan kakak-kakaknya yang pernah hidup di Australia, berkata, "Bapak melakukan pelecehan seksual. Laporkan ke polisi." Saya tertawa dan mengingatkan mereka bahwa tidak ada aparat kepolisian di negeri ini yang mau menerima pengaduan anak-anak. Tidak ada juga lembaga khusus yang melakukan kegiatan advokasi untuk membela kepentingan anak-anak. Pranata hukum di Indonesia tidak sama dengan Australia. Tetapi, itu dulu. Sekarang pemerintah kita telah berupaya untuk keluar dari kubangan masalah ini dengan menyusun undang-undangnya, mendirikan Komisi HAM Anak, dan organisasi sejenis lainnya.
Ada contoh kasus yang lain. Sebagai guru, saya pernah memanggil seorang anak yang selalu bolos dari sekolah. Saya memanggil juga orangtuanya. Dengan sedikit bangga, orangtuanya bercerita bahwa ia mendidik disiplin anaknya mengikuti gaya TNI. Kegiatannya di rumah diatur sesuai dengan jadwal yang ditetapkan orangtuanya. Anak harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus bangun untuk menghafal sejumlah hal yang diperintahkan bapaknya. Bila anak itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Ia sama sekali tidak merasa bersalah. Toh, ia melakukan semuanya demi kebaikan anak. Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orangtua.
Ini membawa kita pada faktor sosial kedua, nilai-nilai sosial. Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hierarki sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru. Orangtua tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hierarki sosial seperti itu, anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun. Orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak. Inilah hambatan terbesar dalam mengembangkan kecerdasan mereka. Kita harus mengubah paradigma nilai-nilai sosial seperti itu. Alih-alih menempatkan anak-anak di tangga terbawah, kita harus meletakkannya pada posisi yang terhormat sebagai penerus keberlangsungan kehidupan yang diamanahkan Tuhan.
Pada masyarakat kita yang masih bergumul dengan nilai-nilai sosial seperti itu, orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak. Aparat keamanan dapat menahan mereka kapan saja di kantor koramil atau kepolisian tanpa ada tuntutan hukum sama sekali. Guru dapat menyuruh mereka untuk berlari telanjang, makan rumput, atau push up sebanyak-banyaknya tanpa mendapat sanksi hukum. Orangtua dapat menyiram anaknya dengan minyak goreng atau air dingin pada waktu yang lama tanpa merasa bersalah. Orang dewasa melihat anak-anak sebagai "bakal manusia" dan bukan sebagai manusia yang hak-hak asasinya tidak boleh dilanggar.
Faktor ketiga adalah ketimpangan sosial. Kita akan menemukan bahwa para pelaku dan juga korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stres yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberikannya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak dihadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik. Ia bisa memukuli anaknya atau memaksanya melakukan pekerjaan yang berat.
Dalam media massa kita, sering membaca ibu atau bapak menjual anaknya karena tekanan ekonomi. Gelandangan yang diperkosa preman jalanan terpuruk ke dalam nasibnya yang getir juga karena kemiskinan. Menurut UUD 45, fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Dalam kenyataan, banyak fakir miskin dan anak-anak ditelantarkan.
Apa pun penyebabnya, kita memerlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya. Di lingkungan rumah, orangtua memulainya dengan sedapat mungkin menghindari berbagai jenis tindak kekerasan, dan mulai menanamkan aspek-aspek yang dapat mengasah kecerdasan spiritual mereka. Dengan kecerdasan spiritual itulah, baik anak dan orangtua tumbuh berkembang bersama. Untuk itu, kita juga memerlukan proses pendidikan yang dapat mengakomodasi nilai-nilai ruhaniah, dan berlang sung terus-menerus untuk menyosialisasikan nilai-nilai itu, dan nilai-nilai demokratis dan penghargaan pada hak-hak anak. Kita harus berusaha menegakkan undang-undang yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang orang dewasa. Kita harus membangun lembaga-lembaga advokasi anak-anak. Ke situlah anak-anak malang dapat berlindung.
Yang paling penting dari semuanya, kita harus menghilangkan ketimpangan sosial dengan mereformasi sistem pendidikan, politik, dan ekonomi negeri ini. Sudah terlalu lama pemerintah mengabaikan derita lebih dari seratus juta rakyat Indonesia untuk kepentingan seratus orang pengusaha. Saya tidak tahu apakah semua anjuran ini hanya a cry in wilderness, sehingga banyak anak menahan deritanya sendirian, dalam keadaan tidak berdaya dan tanpa harapan, hapless dan hopeless.[]
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).
- www.smpplusmuthahhari.sch.id
- www.smaplusmuthahhari.sch.id