top of page
  • Writer's pictureAkhi

PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI DALAM AL-QURAN


"We cannot not communicate!" kata Watzlawick, Beavin, dan Jackson. Kita tidak dapat menghindari komunikasi. Bahkan ketika diam, Anda juga berkomunikasi. Ketika pejabat mengatakan "No comment," ia sebetulnya menyampaikan komentar. Begitu akrabnya komunikasi dengan kita, sehingga kita perlu berkomunikasi untuk menghindari komunikasi. Istri yang tidak ingin berkomunikasi dengan suaminya dapat memilih beberapa cara. Ia terus-terang tidak ingin berbicara dengan suaminya; atau ia dapat menanggapi suaminya dengan cara-cara yang membuat suaminya jera, misalnya dengan memberikan jawaban yang tidak relevan; atau ia membisu. Namun, apa pun yang dipilihnya, ia tetap berkomunikasi.


Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi sosial, dan mengembangkan kepribadiannya. Para pakar komunikasi sepakat dengan para psikolog bahwa kegagalan komunikasi berakibat fatal baik secara individual maupun sosial. Secara individual, kegagalan komunikasi menimbulkan frustrasi, demoralisasi, alienasi, dan penyakit-penyakit jiwa lain. nya. Secara sosial, kegagalan komunikasi menghambat saling pengertian, kerja sama, toleransi, dan merintangi pelaksanaan norma-norma sosial.


Al-Quran menyebut komunikasi sebagai salah satu fitrah. manusia:

Yang Mahakasih.

Mengajarkan Al-Quran.

Mencipta insan.

Mengajarkannya Al-Bayan. (QS 55:1-4)


Al-Syaukani dalam buku tafsirnya, Fath Al-Qadir, mengartikan al-bayan sebagai kemampuan berkomunikasi. Untuk mengetahui bagaimana orang-orang seharusnya berkomunikasi, kita harus melacak kata kunci (key-concept) yang dipergunakan oleh Al- Quran untuk komunikasi, Selain al-bayan, kata kunci untuk komunikasi yang banyak disebut dalam Al-Quran adalah al-qawl. Dengan memperhatikan kata "qawl" dalam konteks perintah (am), kita dapat menyimpulkan enam prinsip komunikasi: gawlan sadidan (QS 4:9); 33:70), qawlan balighan (QS 4:63), qawlan maysuran (QS 17:28), qawlan layyinan (QS 20:44), gawlan kariman (QS 17:23), gawlan ma'rufan (QS 4:5).


Prinsip Qawlan Sadidan

Kata gaulan sadidan disebut dua kali dalam Al-Quran. Pertama, Allah menyuruh manusia menyampaikan qawlan sadidan dalam urusan anak yatim dan keturunan: "Dan hendaklah orang-orang takut kalau-kalau di belakang hari, mereka meninggalkan keturunan yang lemah yang mereka khawatirkan (kesejahteraannya). Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berkata dengan qaulan sadidan."


Kedua, Allah memerintahkan qawlan sadidan sesudah takwa: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah qawlan sadidan. Nanti Allah akan membaikkan amal-amal kamu, mengampuni dosa kamu. Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya ia mencapai keberuntungan yang besar.


Apa arti qawlan sadidan? Qawlan sadidan artinya pembicaraan yang benar, jujur (Pickthall menerjemahkannya "straight to the point"), lurus, tidak bohong, tidak berbelit-belit. Prinsip komunikasi yang pertama menurut Al-Quran adalah berkata yang benar. Ada beberapa makna dari pengertian benar.


Sesuai dengan Kriteria Kebenaran

Arti pertama benar ialah sesuai dengan kriteria kebenaran. Untuk orang Islam, ucapan yang benar tentu ucapan yang sesuai dengan Al-Quran, Al-Sunnah, dan ilmu. Al-Quran menyindir keras orang-orang yang berdiskusi tanpa merujuk kepada Al-Kitab, petunjuk, dan ilmu: Di antara manusia ada yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab yang menerangi. (QS 31:20).


Al-Quran menyatakan bahwa berbicara yang benar ̶ menyampaikan pesan yang benar ̶ adalah prasyarat untuk kebenaran (kebaikan, kemaslahatan) amal. Bila kita ingin menyukseskan karya kita, bila kita ingin memperbaiki masyarakat kita, kita harus menyebarkan pesan yang benar. Dengan perkataan lain, masyarakat menjadi rusak bila isi pesan komunikasi tidak benar, bila orang menyembunyikan kebenaran karena takut menghadapi establishment. Rezim yang menegakkan sistemnya di atas penipuan atau penutupan kebenaran ̶ menurut Al-Quran ̶ tidak akan bertahan lama.


Alfred Korzybski, peletak dasar teori general semantics, menyatakan bahwa penyakit jiwa individual maupun sosial timbul karena menggunakan bahasa yang tidak benar. Makin gila seseorang makin cenderung ia menggunakan kata-kata yang salah atau kata-kata yang menutupi kebenaran. Ada beberapa cara menutupi kebenaran dengan komunikasi. Pertama, menutupi kebenaran dengan menggunakan kata-kata yang sangat abstrak, ambiguitas, atau menimbulkan penafsiran yang sangat berlainan. Bila Anda tidak setuju dengan pandangan kawan Anda, Anda segera menyebut dia "tidak Pancasilais". Anda sebetulnya tidak tahan dikritik, tetapi karena tidak enak menyebutkannya, Anda akan berkata, "Saya sangat menghargai kritik, tetapi kritik itu harus disampaikan secara bebas dan bertanggung jawab." Kata "bebas" dan "bertanggung jawab" adalah kata abstrak untuk menghindari kritik. Ketika seorang muballigh menemukan pendapat muballigh lain logis dan pendapatnya tidak logis, ia berkata, "Akal harus tunduk kepada agama." Ia sebetulnya mau mengatakan bahwa logika orang lain itu harus tunduk kepada pemahamannya tentang agama. Akal dan agama adalah dua kata abstrak. Karena itu menasihatkan agar kita berhati-hati dalam menggunakan kata-kata abstrak.


Kedua, orang menutupi kebenaran dengan menciptakan istilah yang diberi makna yang lain. Istilah itu berupa eufemisme atau pemutarbalikan makna sama sekali. Pejabat melaporkan kelaparan di daerahnya dengan mengatakan "kasus kekurangan gizi" atau "rawan pangan". Ia tidak dikatakan "ditangkap", tetapi "diamankan". Harga tidak dinaikkan tetapi "disesuaikan". Anak Bapak, kata Bapak Guru, tidak bodoh, cuma lambat belajar saja. Pemutarbalikan makna terjadi bila kata-kata yang digunakan sudah diberi makna yang sama sekali bertentangan dengan makna yang lazim. Operasi untuk menertibkan pedagang asongan kita sebut Operasi Esok Penuh Harapan, Proyek yang hanya menguntungkan segelintir orang kita katakan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Dan judi massal kita sebut sebagai sumbangan dana sosial berhadiah.


Al-Quran mengajarkan bahwa salah satu strategi memperbaiki masyarakat ialah membereskan bahasa yang kita pergunakan. Bahasa harus kita pergunakan untuk mengungkapkan realitas, bukan untuk menyembunyikannya.


Tidak Bohong

Arti kedua dari qawlan sadidan adalah ucapan yang jujur, tidak bohong. Nabi Muhammad saw. bersabda, "Jauhi dusta, karena dusta membawa kamu kepada dosa, dan dosa membawa kamu kepada neraka. Lazimkanlah berkata jujur, karena jujur membawa kamu kepada kebajikan dan membawa kamu kepada surga."


Ketika Abu Dzar masuk Islam, ia dibaiat Nabi untuk berkata benar walaupun pahit. Di zaman Utsman, ia mengkritik para pejabat yang korup. Ketika orang disuruh menyanjungkan pujian, Abu Dzar menyampaikan kecaman. Ia tidak mau berdusta. Ia diusir ke Rabadzah dan meninggal dunia di tempat pengasingan. "Di bawah kolong langit ini tidak ada lidah yang lebih jujur dari lidah Abu Dzar!" kata Nabi saw. Masih pada zaman Mu'awiyah, khatib-khatib dianjurkan untuk melaknat Ali. Ali bin Abi Thalib harus disebut sebagai orang murtad, pendusta, dan kafir. Hujur bin Adi dan kawan-kawan tidak mau melakukannya. Mereka tahu Ali sahabat Nabi yang mulia, pintu ilmu Rasulullah. Mu'awiyah kemudian menghukum mati mereka. Ada di antara mereka yang dikubur hidup-hidup.


Supaya kita tidak meninggalkan keturunan yang lemah, Al-Quran menyuruh kita selalu berkata benar. Anak-anak dilatih berkata jujur. Kejujuran melahirkan kekuatan. Kebohongan mendatangkan kelemahan. Biasa berkata benar mencerminkan keberanian. Bohong sering lahir karena rendah diri, pengecut, dan ketakutan. Abu Darda bertanya, "Ya Rasulullah, mungkinkah Mukmin mencuri?" Kata Nabi: "Ya, kadang-kadang". Ia bertanya lagi: "Mungkinkah mereka berzina?" Kata Nabi: "Mungkin saja." Ia bertanya lagi: "Mungkinkah ia berdusta." Nabi menjawab dengan ayat Al-Quran, "Yang membuat-buat kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka itulah pendusta" (QS 16:105)


Bahaya Bohong

Nabi Muhammad saw. ̶ dengan mengutip Al-Quran ̶ menjelaskan bahwa orang beriman tidak akan berdusta. Dalam perkembangan sejarah, umat Islam sudah sering dirugikan karena berita-berita dusta. Yang paling parah terjadi, ketika bohong memasuki teks-teks suci yang menjadi rujukan. Kebohongan tidak berhasil memasuki Al-Quran karena keaslian Al-Quran dijamin Allah (juga karena kaum Muslim hanya memiliki satu mushhaf Al-Quran). Tetapi kebohongan telah menyusup ke dalam penafsiran Al-Quran. Makna Al-Quran pernah disimpangkan untuk kepentingan pribadi atau golongan.


Kebohongan juga memasuki hadis-hadis Nabi saw. Walaupun berdusta atas nama Nabi diancam dengan neraka, sepanjang sejarah ada saja orang yang berwawancara imajiner dengan Nabi. Belakangan ada orang melakukan wawancara imajiner dengan para sahabat yang mulia. Mereka menisbahkan kepada Nabi dan sahabat-sahabatnya prasangka, fanatisme, dan kejahilan mereka. Para ahli hadis menyebut berita imajiner ini sebagai hadits maudhu'. Para penulisnya atau pengarangnya disebut al-wadhdha atau al-kadzadzab (pendusta). Pada zaman Nabi, mereka disebut al-fasiq.


Pada zaman sahabat, ada murid-murid sahabat yang terkenal pendusta. Di antaranya Ikrimah dan Muqatil bin Sulaiman. Ikrimah, misalnya, banyak menisbahkan pendapatnya kepada Ibnu Abbas. Karena Ibnu Abbas terkenal sebagai penafsir Al-Quran, banyak paham Ikrimah disebut sebagai tafsir Ibnu Abbas. Ka'ab Al-Ahbar banyak memasukkan mitos-mitos Yahudi dan Nasrani dalam tafsir. Kelak para ulama menyebutnya sebagai Israiliyyat.


Berita-berita dusta tentang Nabi sangat berbahaya, karena umat Islam merujuk kepada Nabi dalam perilaku mereka. Sunnah Nabi menjadi dasar hukum yang kedua setelah Al-Quran. Memalsukan hadis Nabi berarti memalsukan ajaran Islam. Menyebarnya hadits mawdhu' telah banyak mengubah ajaran Islam. Imam Syafi'i bercerita tentang Wahab bin Kays'an. Ia berkata: "Aku melihat Abdullah bin Zubayr memulai shalat (Jumat) sebelum khutbah. Semua sunnah Rasulullah saw. sudah diubah, bahkan shalat pun." (Al-Umm 1:208). Al-Zuhri ̶ seorang tabi'in ̶ menemukan sahabat Anas bin Malik menangis. Ketika ditanya mengapa ia menangis, Anas menjawab: "Sudah tidak aku kenal lagi agama Islam sekarang ini kecuali shalat saja. Itu pun sudah dilalaikan." (Duha Al-Islam 1:365). Begitu banyaknya perubahan ajaran Islam akibat pemalsuan hadis, sampai Hasan Al-Bashri memberi komentar tentang zamannya, "Sekiranya sahabat-sahabat Nabi itu keluar mendatangi kalian, mereka tidak akan mengenal kalian kecuali kiblatnya saja." (Jami' Bayan Al-'Ilm 2:244).


Untuk memperoleh ajaran Islam yang sejati, para ulama kemudian mengembangkan ilmu-ilmu hadis. Mereka melakukan kritik hadis lewat tiga kritik. Pertama, kritik rawi. Mereka memeriksa kejujuran dan daya hapal para periwayat hadis. Kalau periwayatnya hanya sejenis pewawancara imajiner, hadisnya disebut maudhu'. Bila periwayatnya kurang bagus daya hapalnya, hadisnya disebut dha'if. Kedua, kritik sanad. Urutan periwayat hadis itu haruslah bersambung, tidak terputus. Salah seorang saja hilang (missing link), hadisnya dinyatakan terputus (mungathi' atau mursal). Ketiga, kritik matan. Isi hadis harus diuji dengan Al-Quran atau diverifikasi dengan data historis lainnya. Hadisnya disebut hadits mutawatir.


Karena itu, ilmu-ilmu hadis sangat berharga untuk memelihara kemurnian Islam. Studi kritis terhadap sejarah Rasulullah akan disambut oleh setiap Muslim yang mencintai kebenaran; dan sekaligus dibenci oleh orang-orang yang mau mencemari Islam. Penelitian terhadap hadis harus dilanjutkan dalam rangka mempraktekkan prinsip qawlan sadidan.


Prinsip Qawlan Balighan

Berkatalah kepada mereka dengan qawlan balighan (QS 4: 63). Kata "baligh" dalam bahasa Arab artinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Bila dikaitkan dengan gawl (ucapan atau komunikasi), "baligh" berarti fasih, jelas maknanya, terang, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Karena itu, prinsip qawlan balighan dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif.


Al-Quran memerintahkan kita berbicara yang efektif. Semua perintah jatuhnya wajib, selama tidak ada keterangan lain yang memperingan. Begitu bunyi kaidah yang dirumuskan Ushul Fiqh. Dari sisi yang lain, Al-Quran melarang kita melakukan komunikasi yang tidak efektif. Keterangan lain memperkukuh kesimpulan ini. Nabi Muhammad saw. berkata: Katakanlah dengan baik. Bila tidak mampu, diamlah.


Rasulullah sendiri memberi contoh dengan khutbah-khutbahnya. Umumnya khutbah Rasulullah pendek, tetapi dengan kata-kata yang padat makna. Nabi menyebutnya "jawami' al-kalim". Ia berbicara dengan wajah yang serius dan memilih kata-kata yang sedapat mungkin menyentuh hati para pendengarnya. Irbadh bin Sariyah, salah seorang sahabatnya, bercerita, "Suatu hari Nabi menyampaikan nasihat kepada kami. Bergetar hati kami dan ber linang airmata kami. Seorang di antara kami berkata Ya Rasulullah. Seakan-akan baru kami dengar khutbah perpisahan. Tambahlah kami wasiat." Tidak jarang disela-sela khutbahnya, Nabi berhenti untuk bertanya kepada yang hadir atau memberi kesempatan kepada yang hadir untuk bertanya. Dengan segala otoritasnya, Nabi adalah orang yang senang membuka dialog.


Abu Hurairah dan Ibnu Abbas menceritakan khutbah terakhir Nabi, "Rasulullah berkhutbah kepada kami sebelum wafatnya. Inilah akhir khutbah yang disampaikannya di Madinah, sebelum ia menghadap Allah. Ia memberikan nasihat yang menumpahkan airmata kami, menggetarkan tubuh kami, mengguncangkan dada kami. Ia memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat jamaah. Setelah mereka berkumpul, ia naik ke mimbar. Ia berkata Hai manusia, mendekatlah dan lapangkan tempat bagi orang-orang di belakang kamu. Ketika orang melihat di belakang sudah lapang, Nabi masih juga menyuruh melapangkan tempat. Seorang sahabat bertanya: Kepada siapa lagi harus kami lapangkan tempat, ya Rasulullah? Nabi menjawab: Kepada para malaikat."


Dengan contoh-contoh di atas, kita melihat bahwa sukses dakwah Nabi bukan karena ia sebagai Nabi saja, tetapi karena ia menggunakan prinsip qawlan balighan. Tentu saja Nabi tidak pernah belajar ilmu komunikasi di universitas. Allah sendiri yang mendidiknya, "Allah mendidik aku dan menyempurnakan pendidikanku," ujar Nabi.


Bagaimana perincian Al-Quran tentang qawlan balighan? Pertama, qawlan balighan terjadi, bila komunikator menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya. Dalam istilah Al-Quran, ia berbicara "fi anfusihim" (tentang diri mereka). Dalam istilah Sunnah, "berkomunikasilah kamu sesuai dengan kadar akal mereka". Pada zaman modern, ahli komunikasi berbicara tentang frame of reference dan field of experience. Komunikator baru efektif, bila ia menyesuaikan pesannya dengan kerangka rujukan dan medan pengalaman khalavaknya. Al-Quran berkata, "Tidak kami utus seorang Rasul kecuali ia harus menjelaskan dengan bahasa kaumnya." (QS 14:4).


Ali Syari'ati pernah membedakan bahasa ilmuwan dan bahasa cendekiawan. Bahasa ilmuwan, universal. Newton tetap ilmuwan di mana pun ia berada. Para ilmuwan mempunyai konvensi-konvensi yang baku untuk melaporkan penemuan mereka. Bahasa cendekiawan, lokal dan temporal. Sartre adalah cendekiawan Barat. Ia menangkap keresahan kaumnya, menganalisisnya, dan menunjukkan (tidak adanya) jalan keluar. Sartre bukanlah cende kiawan Indonesia; karena ia tidak mengenal keresahan dan masalah orang Indonesia. Newton, sebaliknya, adalah ilmuwan di Inggris dan di Indonesia. Menurut Ali Syari'ati, para cendekiawan adalah pelanjut para Rasul, yang "harus menjelaskan dengan bahasa kaumnya" itu.


Kedua, qawlan balighan terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus. Aristoteles pernah menyebut tiga cara persuasi mempengaruhi manusia yang efektif: ethos, logos, dan pathos. Dengan ethos sebetulnya kita merujuk kepada kualitas komunikator. Komunikator yang jujur, dapat dipercaya, memiliki pengetahuan yang tinggi, akan sangat efektif untuk mempengaruhi khalayaknya. Dengan logos, kita meyakinkan orang lain tentang kebenaran argumentasi kita. Kita mengajak mereka berpikir, menggunakan akal sehat, dan membimbing sikap kritis. Kita tunjukkan bahwa kita benar, karena secara rasional argumentasi kita harus diterima. Dengan pathos, kita "bujuk" khalayak untuk mengikuti pendapat kita. Kita getarkan emosi mereka; kita sentuh keinginan dan kerinduan mereka; kita redakan kegelisahan dan kecemasan mereka.



Ethos: Kredibilitas Komunikator

Al-Quran memberikan contoh hidup dari ketiga prinsip persuasi ini. Dakwah Al-Quran dimulai dengan upaya menanamkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Surat pertama, Al-'Alaq, menyuruh Nabi membacakan kebenaran dengan menegaskan "kredibilitas" Sang Pencipta, Sang Pemelihara Yang Mahamulia, "yang mengajar dengan pena, yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya".


Sifat-sifat Allah yang pertama disampaikan adalah kemaha- muliaan dan kemahatahuan. Tuhan menegaskan kemahamuliaan-Nya dan kemahatahuan-Nya dalam hubungannya dengan kewajib. an manusia untuk mengikutinya. Urutan "ethos" Tuhan itu dapat dirangkaikan seperti ini:


Kemahamuliaan-Nya dapat dilihat dari limpahan anugerah-Nya kepadamu. Ia menciptakan kamu, kemudian memelihara kamu dengan penuh kasih. Ia menjadi langit, bumi, dan segala isinya untuk kebahagiaan kamu ("rizqan lakum"). Ia menjaga kamu sejak kamu hanya berupa segumpal daging yang melekat di dinding rahim ibumu. Ia memberikan kehidupan dan penghidupan bagimu. Lalu, setelah semua itu, la mengutus salah seorang di antara kamu untuk menunjuki jalan bagaimana seharusnya kamu mengatur hidupmu. Ia ingin kamu berada di jalan lurus, menuju puncak kebahagiaanmu. Bukankah Sang Mahamulia itu lebih layak kamu ikuti dari siapa pun? Kami telah menciptakan kamu, lalu mengapa kamu tidak mau membenarkan. (QS 56:57).


Kemudian, kamu tahu Allah Mahatahu; bahkan pengetahuan kamu sebenarnya bersumber pada kemahatahuan Allah. Malaikat saja berkata, "Mahasuci Engkau; tidak ada ilmu pada kami kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha tahu dan Mahabijaksana". Sekarang, Ia berbicara kepadamu tentang kehidupanmu. Ia tahu betul keadaanmu, sifat-sifatmu, apa yang baik dan apa yang jelek bagimu. Maka pembicaraan siapa lagi yang lebih benar dari Allah? (QS 4:87).


Akhlak Nabi Muhammad saw. menurut Aisyah r.a. ada. lah Al-Quran. Nabi pun mulai dakwahnya dengan menegaskan kemuliaan akhlaknya. Ketika Nabi berdakwah di depan orang- orang Quraisy di bukit Shafa, ia berkata,


"Apa pendapat kalian, seandainya aku katakan bahwa di lembah sana ada musuh yang akan menyerang kalian; apakah kalian akan membenarkan aku."


Serentak seluruh pendengar menjawab: "Tentu saja, kami menganggap semua yang engkau sampaikan itu benar."


"Karena itu, dengarlah", kata Nabi, "Aku sekarang memper. ingatkan kalian tentang azab yang pedih." (HR. Bukhari dan lain-lain).


Di sini, Nabi menggunakan ethos kemuliaan, yang terpencar dari kemahamuliaan Allah.


Nabi juga terkenal ꟷ bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi ꟷ sebagai orang bijak dan cerdas. Ia telah dikagumi orang karena keputusannya yang brilian dalam menyelesaikan konflik kabilah ketika membangun Ka'bah. Fathanah merupakan salah satu sifat yang wajib bagi para Rasul ꟷ artinya memiliki kecerdasan dan pengetahuan di atas orang-orang pada umumnya. Fathanah adalah ethos yang terpencar dari kemahatahuan Allah.


Setiap da'i Muslim adalah pelanjut para Rasul. Komunikasinya efektif hanya bila dan hanya bila (only if) ia menyerap sinar kemahamuliaan dan kemahatahuan Allah dalam dirinya. Dalam teori komunikasi modern, sifat mulia itu disebut trustworthiness; dan sifat tahu itu disebut expertness. Berbagai penelitian membuktikan bahwa orang cenderung mengikuit pendapat atau keyakinan orang yang dianggapnya jujur (tepercaya) dan memiliki keahlian. Orang yang berakhlak rendah, yang tidak memiliki integritas pribadi, sulit untuk menjadi komunikator yang berpengaruh. Begitu pula, orang yang jahil, yang kurang memiliki gairah ilmu, yang pengetahuannya lebih bawah dari rata-rata orang banyak, sukar untuk mengubah atau mengarahkan perilaku orang lain.


Boleh jadi kebanyakan muballigh kita sekarang memiliki akhlak yang mulia. Mereka dermawan, meniru kemahamuliaan Allah dan sifat pemurah Nabi. Mereka baik budi, meniru ketinggian akhlak Rasul. Dari segi ini mereka memiliki trustworthiness. Yang sering kita saksikan ialah kenyataan bahwa para muballigh sangat sibuk lebih-lebih di bulan Rajab, Maulud, dan Ramadhan. Makin dipercayai dan disenangi muballigh itu, makin banyak waktunya untuk para jamaah. Begitu banyak, sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk meningkatkan kualitas dirinya. Ia tidak sempat (dan kadang-kadang tidak dapat) membaca kitab-kitab rujukan. Dari segi ini, kesibukan membuatnya jahil dari perkembangan pengetahuan (keislaman atau bukan keislaman). Sementara itu, lewat keterbukaan informasi, umatnya makin lama makin pintar. Pada saatnya, suara muballigh menjadi teriakan sunyi di rimba raya, "a cry in the wilderness".


Logos: Pendekatan Rasional

Guru saya, K.H.R. Totoh Abdul Fatah pernah memuji saya (siapa yang tidak senang dipuji guru), "Kalau Anda berbicara, pembicaraan Anda menyentuh hati pendengar. Akang mah terlatih dalam manthiq. Ceramah Akang mah mengajak mereka berpikir." Ucapan itu sebetulnya lebih menunjukkan sikap tawadhu' daripada pujian kepada muridnya. Apakah betul pembicaraan yang menyentuh otak lebih baik daripada yang menyentuh hati?


Penelitian komunikasi menunjukkan bahwa perubahan sikap lebih cepat terjadi dengan imbauan (appeals) emosional. Tetapi dalam jangka lama, imbauan rasional memberikan pengaruh yang lebih kuat dan lebih stabil. Dengan bahasa sederhana, iman segera naik lewat sentuhan hati, tetapi perlahan-lahan iman itu turun lagi. Lewat sentuhan otak, iman naik secara lambat tetapi pasti. Dalam jangka lama, pengaruh pendekatan rasional lebih menetap daripada pendekatan emosional.


Al-Quran ternyata juga menyentuh otak sebanyak menyentuh hati. Di samping banyaknya ayat Al-Quran yang menyuruh berpikir, merenungkan, mentafakuri; terdapat ayat-ayat yang secara langsung membimbing manusia menggunakan akalnya. Perhatikan surat Al-Naml ayat 60-64, sebagai misal. Dalam hadis, sentuhan manthiq ini dapat dilihat pada dialog Nabi dengan para sahabatnya atau bahkan musuh-musuhnya. Seperti pernah kita sebutkan pada tulisan yang lalu, Nabi selalu mengundang pertanyaan dan perdebatan. "Tanyalah aku selama aku masih berada di tempat ini?" kata Rasulullah saw. suatu saat. Ketika Nabi membacakan ayat Allah bahwa surga lebarnya seluas langit dan bumi, seorang sahabat bertanya: "Kalau begitu, di mana neraka?" Nabi menjawab: "Bila malam datang, di mana siang". (Bukankah malam meliputi langit dan bumi?). Seseorang datang kepada nabi. Ia menceritakan orangtuanya yang bernazar haji, tetapi tidak sempat memenuhi nazarnya. Ia wafat. Anaknya bertanya apakah ia dapat menghajikan orangtuanya. Nabi menjawab dapat. Ketika orang itu belum paham, Nabi saw. mengajaknya berpikir: "Bila ayahmu berutang, maukah kamu membayarkan utangnya?" Orang itu menjawab: "Tentu saja." "Utang terhadap Tuhan lebih pantas lagi untuk dibayarkan", kata Nabi saw.


Dalam kitab Madinah Al-Balaghah, tulisan Abu Musa Al- Zanjani; juga dalam Muhammad Rasulullah, tulisan Sa'id Hawa, dimuat banyak contoh diskusi Nabi. Tidak mungkin kita memuatnya di sini. Melihat ajaran Al-Quran dan contoh Nabi saw., saya merasakan pujian guru saya itu sebagai cambuk.


Sekarang ini, terlalu banyak muballigh yang memanipulasikan emosi jamaah, dan kurang melatih daya kritis mereka. Keberagamaan yang emosional memang memberikan kehangatan dan gairah, tetapi ia biasanya tidak tahan banting. Dalam kompetisi pemikiran (al-ghazw al-fikriy), yang emosional mudah tersisih oleh yang rasional. Sayang, banyak di antara kita mencibirkan studi kritis dalam bidang keagamaan. Boleh jadi karena dalam bidang yang lain pun, kita tidak terbiasa berpikir logis. Di antara kita, manthiq sudah menthok. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb


Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum

***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

35 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page