top of page
  • Writer's pictureAkhi

Rahasia Otak Einstein


Walaupun ada jendela-jendela peluang yang memberikan batasan pada kelenturan otak, proses belajar yang menumbuhkan, melestarikan, dan mengembangkan sel-sel otak dapat berlanjut sampai usia tua. Kapan saja otak kita mempelajari sesuatu yang baru, atau menghadapi tantangan, atau membuat kebiasaan-kebiasaan baru seperti yang dilakukan Grandin pada awal bab ini akan menghasilkan cabang-cabang dendrit baru. Marilah kita ikuti kisah pembedahan otak Einstein, seperti yang dituturkan kepada kita oleh Khlasa dalam Brain Longevity:


Pada pertengahan tahun 80-an, Dr. Diamond, mantan Kepala Lawrence Hall of Science di Universitas California Berkeley yang prestisius, mendapat kehormatan untuk dipilih sebagai orang yang membedah dan mempelajari otak Albert Einstein. Kalangan pakar neurologi berharap bahwa Dr. Diamond dapat menjawab pertanyaan lama yang membingungkan: apakah otak para jenius berbeda secara fisik dengan otak kebanyakan orang?


Untuk menjawab pertanyaan ini, Dr. Diamond menggunakan petunjuk yang diberikan sendiri oleh Albert Einstein. Einstein pernah berkata bahwa ketika ia tenggelam dalam pikirannya, kata-kata tidak bermain dalam renungan batinnya. Bahkan, menurutnya, pikiran-pikirannya adalah kombinasi dari “tanda-tanda tertentu dan gambar-gambar yang kurang lebih jelas”. Dengan kata lain, pikiran Einstein yang paling produktif dihasilkan dari fungsi kognitif yang terkait secara visual dan sangat abstrak.


Karena itu, Dr. Diamond memutuskan untuk memusatkan studinya pada bagian khusus otak Einstein yang terkait erat dengan pencitraan dan pemikiran abstraknya: lobus prefrontal superior dan lobus parietal inferior.


Waktu mempelajari otak Einstein, Dr. Diamond juga membandingkannya dengan sebelas otak manusia lainnya yang, secara intelektual, dinilai rata-rata dan meninggal pada usia yang relatif sama dengan Einstein, 76 tahun.


Apa yang kemudian ditemukan Dr. Diamond adalah bahwa secara fisik tidak terdapat perbedaan yang berarti antara otak Einstein dengan sebelas otak lainnya—dengan satu pengecualian yang sangat menarik.


Bagian yang menarik itu adalah kenyataan bahwa pada satu daerah di otak Einstein, terdapat sejenis sel tertentu yang berjumlah sangat banyak. Daerah itu disebut dengan Area 39, terletak pada lobus parietal inferior (bagian dari neokorteks yang terletak di sebelah atas belakang otak kita).


Jelaslah bagi Dr. Diamond bahwa Einstein memiliki Area 39 yang sangat berkembang. Dia dan para peneliti lainnya percaya bahwa Area 39 adalah situs yang paling canggih dan paling berkembang (highly evolved) dalam otak kita. Jika ada kerusakan pada bagian ini, orang akan mengalami kesulitan dalam pencitraan abstrak, mengingat, perhatian dan kesadaran diri. Secara garis besar, mereka akan kesulitan dalam membaca, mengenali huruf, mengeja, atau menghitung. Mereka juga akan kesulitan dalam menyatupadukan masukan yang diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, atau perbuatan. Pendeknya, bila Area 39 ini rusak, orang akan kehilangan banyak potensi intelektualnya.


Sel spesial yang terdapat dengan jumlah yang sangat banyak pada Area 39 otak Einstein itu adalah sel glial. Bagi Dr. Diamond, inilah temuannya yang paling penting.


Sel glial sebetulnya sangat umum terdapat dalam otak. Bahkan, glial adalah sel “bagian rumah tangga” bukan sel “pemikir”. Tugasnya adalah mendukung proses metabolisme neuron-neuron “pikiran”.


Einstein memiliki sel pemelihara ini dalam jumlah yang sangat banyak, jauh lebih banyak daripada sel “pemikir”. Bagi Dr. Diamond, ini berarti sel “pemikir” pada Area 39 otak Einstein membutuhkan dukungan metabolis yang sangat besar. Untuk apakah dibutuhkan dukungan sebesar itu? Karena sel-sel itu melakukan pekerjaan yang teramat berat: banyak berpikir berat!


Jumlah sel glial yang sangat banyak ini secara signifikan memperbesar Area 39 otak Einstein.


Tampaknya, Einstein mungkin dilahirkan dengan otak yang brilian, sangat kaya dengan kecerdasan cair. Kecerdasan cair adalah ukuran efisiensi kerja otak bukan ukuran jumlah fakta yang tersimpan di dalamnya. Begitu juga, kejeniusan Einstein tampaknya bukan saja hasil dari anugerah Tuhan berupa kecerdasan cair yang ada dalam otaknya, tetapi juga adalah hasil dari apa yang diperbuat Einstein terhadap otaknya. Ia telah berhasil memaksimalkan bagian terpenting otaknya dengan melatihnya secara mental. Ia adalah seorang “atlit mental” yang “berlatih keras” sepanjang hidupnya.


Bila memang benar bahwa berpikir telah memperbesar Area 39 Einstein, maka—kata Dr. Diamond—gejala yang sama seharusnya berlaku juga pada binatang. Untuk menguji teori ini, Dr. Diamond membangun dua sangkar yang berbeda untuk tikus. Yang pertama sebuah sangkar kecil, kosong hanya berisikan seekor tikus betina dan tiga ekor anaknya. Yang lainnya sebuah sangkar besar yang diisi dengan aneka macam “permainan” yang merangsang pikiran. Pada sangkar yang lingkungannya diperkaya ini, Dr. Diamond menempatkan tiga tikus betina dengan masing-masing tiga anak.


Ketika tikus-tikus itu mati, otaknya dibedah dan diperiksa. Pada otak tikus yang tinggal di sangkar yang menarik dan merangsang pikiran, ukuran Area 39 tikus itu 1 persen lebih besar daripada tikus yang berada di sangkar lainnya—dengan melihat tambahan jumlah sel glialnya. Area lainnya pada otak tikus itu pun lebih besar ukurannya sekitar sepuluh persen.


Kemudian Dr. Diamond melakukan eksperimen yang sama terhadap tikus yang lebih dewasa. Lagilagi, sangkar yang dipenuhi dengan lingkungan yang memiliki banyak tantangan dan diperkaya, menghasilkan tikus yang memiliki otak yang lebih besar. Secara khusus, kelebihan itu terletak pada Area 39.


Dalam uji coba yang masih berhubungan dengan itu, Dr. Diamond sengaja menahan memberikan protein bagi sekumpulan tikus yang sedang hamil. Hasilnya, bayi yang dilahirkan menunjukkan tandatanda gangguan mental. Dr. Diamond lalu memisahkan sebagian bayi itu dan memberinya terapi nutrisi. Kelompok lain diberikan terapi yang sama tapi dengan lingkungan yang diperkaya. Dr. Diamond menemukan bahwa kelompok tikus yang diterapi dengan lingkungan yang diperkaya mengembangkan otak yang lebih besar ketimbang grup lainnya. Ini menunjukkan bahwa pengayaan seperti ini dapat menyembuhkan kerusakan fisik.


Dr. Diamond juga menemukan bahwa otak tikus dapat mengecil bila ia dihindarkan dari lingkungan yang menantangnya. Ketika sekelompok tikus dibiakkan di tengah lingkungan yang miskin, salah satu bagian dari cortex mereka (cortex dorsal) mengecil hingga sembilan persen. Bahkan, bagian otak yang berhubungan erat dengan memori (cortex entohorinal) mengecil hingga 25 persen. Dari percobaan ini, para peneliti menyiratkan bahwa gangguan memori yang dihubungkan dengan usia sebagiannya dapat disebabkan oleh kurangnya stimulasi intelektual.


Temuan lainnya yang menarik dari Dr. Diamond adalah bahwa neuron tikus yang dewasa dan sangat berkembang juga merespons pengayaan intelektual lebih baik daripada neuron tikus yang kurang berkembang. Sebagaimana yang Anda ingat, neuron berkembang perlahan seiring dengan kehidupan kita dengan cara meraih neuron lain yang memiliki ranting dendrit yang sama. Ketika kita menyerap informasi baru, dendrit kita membuat cabang-cabang baru. Setiap cabang ini akan mengembangkan lagi ranting-ranting lainnya. Dr. Diamond menemukan bahwa cabang dendrit yang pertama tidak lagi tumbuh berkembang dikarenakan pengayaan mental ini. Begitu juga cabang yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Tetapi cabang yang keenam, terlihat jelas bertambah panjangnya ketika merespons lingkungan mental yang diperkaya. Penemuan ini menegaskan pendapat Dr. Diamond bahwa “tidak pernah ada kata terlambat dalam belajar.” Belajar, tampaknya, lebih efektif bagi orang tua yang memiliki enam cabang dendrit, lebih banyak dari yang dimiliki orang yang lebih muda.


Bahkan, menurut Dr. Diamond, “Apakah kita tua atau muda, kita bisa terus belajar. Otak bisa berubah pada usia apa saja. Kita memulainya dengan sel saraf, yang berawal dari embrio dalam bentuk seperti lingkaran. Ia akan mengembangkan cabang pertama untuk melawan kejahilan. Semakin ia berkembang, ia mengumpulkan banyak pengetahuan yang menjadikannya kreatif. Kemudian kita menjadi sedikit idealis, dermawan, dan altruis; tetapi adalah dendrit enam cabang kita yang memberikan kita wisdom, kearifan.”


Karena itu, mengacu pada percobaan ini, pengayaan secara mental dapat memberikan kepada kita kapasitas fisik yang lebih luas bagi kecerdasan intelek dan emosi. Dan tipe kecerdasan seperti inilah yang ditunjukkan begitu indah oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, yang sering kali lebih penting dibandingkan kecerdasan intelektual.


Tetapi apakah setiap temuan dari uji coba binatang ini juga berlaku terhadap manusia? Tampaknya memang demikian.


Premis dasar Dr. Diamond—bahwa pengayaan mental menambah kecerdasan cair pada usia berapa pun—telah dibuktikan dengan studi terhadap manusia dalam skala luas dengan jangka waktu yang lama. Yang paling meyakinkan adalah sebuah kajian selama 30 tahun yang dikepalai oleh peneliti amat disegani, Dr. K. Warner Schaie.


Pada tahun 1956, di awal kariernya, Dr. Schaie meneliti perkembangan mental sekelompok orang yang tinggal di Seattle. Pada pertengahan tahun 80an, banyak peserta penelitiannya ini yang merasa seolah-olah bertabrakan dengan “dinding memori” yang besar. Mereka tidak bisa mengingat apa yang terjadi terhadap mereka selama tahun 50-an dan 60-an. Mereka juga menunjukkan gejala penurunan mental. Secara khusus, mereka menderita penurunan yang tajam dalam nalar induktif dan orientasi spasial mereka, kemampuan mental yang paling sering menurun pertama kali seiring dengan pertambahan usia.


Ketika subjek penelitiannya mengalami penurunan dalam kemampuan kognitif mereka, Dr. Schaie menawarkan program training mental singkat, terdiri dari lima sesi dengan lama masing-masing sesi satu jam. Setiap sesi ditujukan secara spesifik untuk memperbaiki nalar induktif dan orientasi spasial. Para subjek diajar “bagaimana cara berpikir”. Hasilnya, kemampuan kognitif para subjek meningkat 50 persen! Dari hasil penelitian ini, Dr. Schaie menyimpulkan bahwa “tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak”.


Beberapa peneliti lainnya juga menegaskan temuan Dr. Schaie. Mereka mendukung premis dasarnya, bahwa kecerdasan cair dalam diri manusia dapat bertambah, pada usia berapa pun, dengan melatih pikiran kita.


Baru saja kita membaca beberapa paragraf dari buku Brain Longevity. Dharma Singh Khalsa, penulis buku itu, adalah dokter yang membuka praktik latihan mental untuk memelihara usia otak. Pemeliharaan otak dimaksudkan bukan hanya untuk mempertahankan kualitas intelektual kita, tetapi juga untuk menghindari pengausan otak seperti penyakit Alzheimer. Program ini ditujukan kepada empat macam pasien: (1) pasien yang ingin menghindarkan penurunan kemampuan otak (degenerasi otak), (2) pasien yang ingin mencapai kemampuan berpikir optimal (optimal cognitive function), (3) pasien yang mengalami penurunan daya ingat karena usia, (4) pasien yang menderita demensia ketuaan seperti Alzheimer. Ia mendirikan pusat pengobatannya di Tucson, Arizona, Amerika Serikat.


Khalsa berkeyakinan bahwa neurogenesis, menumbuhkan sel-sel otak baru, dapat berlangsung sampai usia tua sekali pun. Selain pengaturan makanan dan gerak badan, Khalsa menyusun program keawetan otak dengan melatih para pasiennya untuk mengingat dan memecahkan soal—pendeknya untuk berpikir keras seperti Einstein. Kita tidak mungkin mengutip kisah-kisah keberhasilan programnya seperti yang diceritakannya dalam buku Brain Longevity. Tetapi, untuk memperkuat keyakinan kita bahwa otak dapat dikembangkan sampai usia tua sekali pun, saya ingin menceritakan kisah para biarawati di School Sisters of Notre Dame, di pedesaan Mankato, Minnesota, Amerika.


Para biarawati di sana mencapai usia yang sangat lanjut. Banyak yang berusia lebih dari 90 tahun. Sebagian besar mencapai seratus lebih. Jelas, mereka berusia lebih panjang dari rata-rata penduduk dengan otak yang jauh lebih sehat. Dr. Snowdown, yang mengamati mereka bertahun-tahun, ingin mengetahui apa resep “awet otaknya” itu. Inilah hasil temuannya.


Didorong oleh keyakinan bahwa “Jiwa yang malas adalah mainan setan”, para biarawati terus-menerus memberikan tantangan pada otaknya dengan kuis kata-kata, teka-teki, dan debat tentang pemeliharaan kesehatan. Setiap minggu mereka menyelenggarakan seminar dan sering menulis dalam jurnal. Sister Marcella Zachman, yang ditampilkan dalam majalah Life tahun 1994, tidak pernah berhenti mengajar di biaranya sampai usia 97. Sister Mary Esther Boor, juga ditokohkan dalam Life, masih bekerja di kantor resepsionis sampai usia 99. Snowdown, yang telah meneliti lebih dari 100 otak para biarawati di Mankato dan lokasi sekolah-sekolah biarawati di seluruh Amerika Serikat, menyebutkan bahwa akson dan dendrit yang biasanya mengecil karena usia, tetap bercabang-cabang dan membuat koneksi-koneksi baru jika mendapat cukup stimulasi intelektual, dengan menciptakan sistem cadangan yang lebih besar jika beberapa jaringan otak gagal.


Snowdown juga menemukan bahwa biarawati yang memperoleh gelar akademis, mengajar, dan selalu melatih otaknya untuk menghadapi tantangan sampai usia tua, hidup lebih lama dan terhindar dari penyakit Alzheimer lebih baik dari biarawati yang punya pendidikan formal lebih rendah serta menghabiskan waktunya membersihkan kamar dan menyiapkan makanan. Snowdown dan ilmuwan lainnya yang meneliti penuaan dan otak menyimpulkan bahwa setiap kegiatan yang menantang secara intelektual mendorong pertumbuhan dendrit, yang menambah koneksi-koneksi saraf di dalam otak. Biarawati yang mendapat tantangan mental lebih banyak, mempunyai koneksi saraf lebih banyak juga. Dengan begitu, koneksi-koneksi neural mengalihkan jalan pesan-pesan ketika otak rusak karena stroke atau penyakit, sehingga menjaga otak dari efek yang merusak. Karena itulah otak mereka menjadi lebih sehat dan lebih aktif dalam waktu yang lebih lama. Apalagi para biarawati itu hidup dalam lingkungan yang sama selama berpuluh tahun sehingga pengaruh faktor lainnya menjadi sangat berkurang.


Teori yang menyatakan bahwa lebih banyak tantangan akademis membuat otak tua lebih fleksibel didukung oleh gerontologis (ahli ketuaan), Denis Evans, yang meneliti orang tua pada komunitas pekerja di Boston Timur, Massachusets. Ia memberikan kepada mereka serangkaian tes memori dan status mental, serta mengulangi tes itu tiga tahun kemudian. Makin sedikit pendidikan formal yang diperoleh, makin besar penurunan mental dalam score test, tanpa memperhatikan usia, tempat lahir, pekerjaan, pendapatan, atau bahasa yang dipergunakan (Ratey, 2005).


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam)dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari, SMP Plus Muthahhari, SMP Bahtera, dan SMA Plus Muthahhari).

- www.scmbandung.sch.id

- www.smpbahtera.sch.id

- www.smpplusmuthahhari.sch.id

- www.smaplusmuthahhari.sch.id

15 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page