top of page
  • Writer's pictureAkhi

Revolusi Sosial Sang Rasul


Allah swt berfirman dalam Al-Ahzab (33): 36

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا Tidak boleh lelaki mukmin maupun perempuan mukmin kalau Allah Dan RasulNya sudah memutuskan perkaranya untuk mempunyai pilihan mereka sendiri. Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka dia sudah sesat dengan kesesatan yang sejelas-jelasnya


Rasulullah saw punya budak yang sangat setia sejak zaman Khadijah. Namanya Zaid bin Haritsah. Ia mengikuti Nabi saw dalam suka dan duka. Ia termasuk di antara angkatan perintis Islam.


Dalam daftar orang-orang pertama yang masuk Islam, Zaid ada pada nomor tiga setelah Khadijah dan Ali. Ayahnya pernah datang ke Mekah setelah pencarian panjang selama bertahun-tahun. Ia mau membeli kembali anaknya. Nabi saw mau memberikan Zaid kepada orangtuanya tanpa tebusan apa pun.


Tapi beliau menawarkan Zaid apakah ikut ayahnya atau ikut Rasulullah saw. Zaid memilih ikut Rasulullah saw. Bapaknya berkata, “Engkau dahulukan perbudakan di atas orangtuamu!” Zaid menjawab, “Aku mendahulukan Utusan Allah di atas keluargaku, bahkan di atas diriku sendiri.”


Di Madinah, Nabi saw menyuruh Zaid untuk berkeluarga dan menawarkan kepadanya Zainab, seorang perempuan bangsawan dari keluarga Nabi saw.


Zaid menolak mengingat posisinya sebagai budak. Rasulullah saw mendesaknya. Beliau berangkat sendiri kerumah Zainab. “Aku ingin menikahkan kamu dengan Zaid bin Haritsah. Sungguh, aku sudah rido kepadanya, “ kata beliau. Zainab yang menduga Rasulullah saw melamarnya untuk diri beliau dengan ketus menjawab, “Tapi aku tidak rido, ya Rasul Allah! Aku janda kaumku dan keponakanmu. Aku tidak mau.”


Maka turunlah ayat ini: (tidak boleh lelaki mukmin) yakni Zaid (maupun perempuan mukmin) yakni Zainab (kalau Allah dan RasulNya sudah memutuskan perkaranya) dalam hal ini nikah (untuk mempunyai pilihan mereka sendiri) yakni, mereka tidak boleh memilih perkara yang bertentangan dengan apa yang telah Allah putuskan (dan barang siapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka dia sudah sesat dengan kesesatan yang sejelas-jelasnya).


Begitu mendengar ayat itu, Zainab berkata: “Aku patuh padamu. Lakukanlah apa yang kaumau” (Tafsir al-Durr al-Mantsûr, 6:610)


Rasulullah saw kemudian mengawinkannya kepada Zaid, seraya berkata, “Aku nikahkan Zainab binti Jahasy kepada Zaid bin Haritsah, budakku; aku nikahkan Dhiba’ah binti Zubayr kepada Al-Miqdad supaya kalian tahu bahwa yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bagus keislamannya” (Kanz al-‘Ummâl, hadis 313).


Di balik perintah Nabi saw dalam kasus Zainab ada revolusi sosial yang mungkin tidak dipahami oleh mereka pada zaman itu; revolusi yang meruntuhkan tembok-tembok feodal. Baik Zainab maupun Zaid, baik umat Islam terdahulu maupun kemudian, tidak punya pilihan lain di luar yang telah ditentukan Allah dan RasulNya.


Ukuran kemuliaan bukanlah nasab atau status sosial. Ukuran kemuliaan adalah kesalehan dan kepasrahan kepada Allah swt. Bukankah di majlis Nabi saw, yang paling mulia adalah orang yang paling banyak membantu sesamanya.


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

64 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page