Akhi
RISIKO PEMBANGUN JEMBATAN
Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali bin Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut Hukum Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk Surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basrah.
Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basrah, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan airmatanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Kemudian dia mengangkat tangan dan berdoa:
“Ya Allah, yang memelihara langit dan apa-apa yang dinaunginya, yang memelihara bumi dan apa-apa yang ditumbuhkannya. Wahai Tuhan pemilik `arasy nan agung. Inilah Basrah. Aku mohon kepada-Mu kebaikan kota ini. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya. Ya Allah, masukkanlah aku ke tempat masuk yang baik, karena Engkaulah sebaik-baiknya yang menempatkan orang. Ya Allah, mereka telah membangkang aku, menentang aku dan memutuskan bay’ah-ku. Ya Allah, peliharalah darah kaum Muslim.”
Ketika kedua pasukan sudah mendekat, untuk terakhir kalinya Ali ra. mengirim Abdullah bin Abbas menemui pemimpin pasukan pembangkang, mengajak bersatu kembali dan tidak menumpahkan darah. Ketika usaha ini pun gagal, Ali berbicara di hadapan sahabat-sahabatnya, sambil mengangkat Al-Quran di tangan kanannya:
“Siapa di antara kalian yang mau membawa mushhaf ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama Al-Quran, jika tangannya terpotong peganglah Al-Quran ini dengan tangan yang lain; jika tangan itu pun terpotong, gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia terbunuh.”
Seorang pemuda Kufah bangkit menawarkan dirinya. Karena melihat usianya terlalu muda, mula-mula Ali ra. tidak menghiraukannya. Lalu dia menawarkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Namun, tak seorang pun menjawab. Akhirnya Ali ra. menyerahkan Al-Quran kepada anak muda itu, “Bawalah Al-Quran ini ke tengah-tengah mereka. Katakan: Al-Quran berada di tengah-tengah kita. Demi Allah, janganlah kalian menumpahkan darah kami dan darah kalian.”
Tanpa rasa gentar dan dengan penuh keberanian, pemuda itu berdiri di depan pasukan Aisyah ra. Dia mengangkat Al-Quran dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara ukhuwwah. Teriakannya tidak didengar. Dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus. Dia mengambil mushhaf dengan tangan kirinya, sambil tidak henti-hentinya menyerukan pesan perdamaian. Untuk kedua kalinya tangannya ditebas. Dia mengambil Al-Quran dengan gigi-giginya, sementara tubuhnya sudah bersimbah darah. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara darah kaum Muslim. Akhirnya orang pun menebas lehernya.
Pejuang perdamaian ini rubuh. Orang-orang membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib ra. Ali mengucapkan doa untuknya, sementara airmatanya deras membasahi wajahnya.
“Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. jangan membuka aurat mereka, jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan masuki rumah tanpa izin, jangan mengambil harta mereka sedikit pun. jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka, karena mereka adalah orang-orang yang lemah akalnya.”
Sejarah kemudian mencatat kemenangan di pihak Ali. Seperti yang dipesankannya, pasukan Ali berusaha menyembuhkan luka ukhuwwah yang sudah retak. Ali sendiri memberikan ampunan massal. Sejarah juga mencatat bahwa tidak lama setelah kemenangan ini, pembangkang-pembangkang yang lain muncul. Mu`awiyah mengerahkan pasukan untuk memerangi Ali ra. Ketika mereka terdesak dan kekalahan sudah di ambang pintu, mereka mengangkat Al-Quran, memohon perdamaian. Ali, yang sangat mencintai ukhuwwah, menghentikan peperangan. Seperti kita ketahui bersama, Ali ra. dikhianati. Karena kecewa, segolongan dari pengikut Ali ra. memisahkan diri. Golongan ini, kelak terkenal sebagai Khawarij, berubah menjadi penentang Ali. Seperti biasa, Ali mengirimkan utusan untuk mengajak mereka berdamai. Seperti biasa pula, upaya tersebut gagal.
Mengapa Gagal?
Dalam ukuran politisi modern, Ali ra. gagal. Musuh-musuhnya telah mengambil keuntungan dari kecintaannya kepada perdamaian. Sebagian dari kawan-kawannya kemudian menjadi musuh karena kesalahpahaman. Apa pun yang terjadi, sebuah pelajaran sejarah telah kita peroleh.
Pertama, strategi apa pun untuk memelihara ukhuwwah Islamiyyah akan gagal, kalau tidak ada itikad baik dari kedua belah pihak. Bila yang satu membangun jembatan dan yang lain membuat benteng, maka keduanya tidak akan bertemu. Khutbah, ceramah, seminar, bahkan tindakan kekerasan tidak akan mempersatukan dua pihak yang berbeda kepentingan. Bila satu pihak berusaha mengalah demi ukhuwwah dan membuka dirinya untuk memahami yang lain; sementara lawannya berusaha memanfaatkan sikap mengalah itu dan menutup diri untuk memahami yang lain, maka ukhuwwah tidak pernah akan tenwujud. Dewasa ini, di Indonesia, berbagai golongan mulai melakukan pendekatan. Berbagai seminar telah diadakan untuk membahas strategi ukhuwwah. Sayang sekali masih ada golongan yang menyambut uluran persahabatan dengan kecurigaan, dan seruan ukhuwwah dengan buruk sangka. Mereka berusaha mencari-cari perbedaan ketika pihak yang lain mengajak untuk memperhatikan persamaan. Mereka membongkar aib golongan yang lain, sebagian besar dengan memanfaatkan kemampuan imajinasi yang disalahgunakan. Sebagai pengganti jembatan, mereka membangun benteng yang kukuh.
Kedua, sejarah mengajarkan bahwa ketika kepentingan agama ditundukkan pada kepentingan politik, ukhuwwah tidak pernah dapat tercapai. Skisma besar — antara Sunnah dan Syi`ah — lebih banyak disebabkan oleh kepentingan politik daripada karena perbedaan teologis. Pengalaman kita di Indonesia juga menunjukkan bahwa agama lebih sering diatasnamakan ketimbang direalisasikan. Imbauan agama hanyalah kemasan yang didesain untuk menutupi (baca: “melegitimasi”) kepentingan politik.
Ketiga, menghadapi manuver politik, umumnya pembangun jembatan tidak populer. Musuh-musuh sudah jelas akan mencurigainya. Sahabat-sahabat akan mengkhianatinya. Seperti jembatan, penyeru perdamaian harus siap diinjak orang-orang yang mau menyeberang dari kedua tepian. Pada masyarakat Islam yang sudah terpecah-pecah dalam berbagai kubu, orang yang tidak memihak satu golongan ditolak oleh semuanya. Kebiasaan sebagian umat untuk mengidentifikasi orang dari “bajunya” menyebabkan mereka sulit untuk menempatkan seorang yang menjadi penghubung berbagai golongan.
Pahala Pembangun jembatan
Mungkin karena beratnya risiko pembangun jembatan, Islam menghargai upaya memelihara ukhuwwah sebagai amal saleh yang utama.
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian, sebuah amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat, puasa, dan haji?” tanya Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya. Ketika para sahabat mengiyakannya, Nabi melanjutkan, “Mendamaikan orang-orang yang bertengkar di antara kamu.” (Hadis Riwayat Al-Bukhari).
Ubadah bin Al-Shamir menceritakan: Pada suatu hari Nabi berkata: “Maukah kalian aku tunjukkan hal-hal yang menyebabkan Allah mengangkat derajatnya.” Ketika sahabat-sahabatnya menjawab, “Na’am. ” Nabi berkata, “Kau maklumi orang yang menentangmu karena ketidaktahuannya, engkau maafkan orang yang menganiayamu, kau berikan rezekiku kepada orang yang mengharamkan hartanya untukmu, dan engkau sambungkan persaudaraan dengan orang yang memutuskannya.” (Al-Targhib wa Al-Tarhib 3:342).
Pada saat yang sama, Al-Quran mengutuk orang yang memutuskan persaudaraan sampai tiga kali (QS 13:21 dan 47:22). Dalam sebuah hadits qudsiy, Allah berkata kepada Nabi Dawud: “Sampaikanlah kepada hamba-hamba Kami yang berbuat zalim (dengan memutuskan silaturahim) untuk tidak berzikir menyebut nama-Ku. Sudah menjadi kewajiban untuk menyebut nama orang yang menyebut nama-Ku. Karena itu setiap kali orang zalim itu menyebut nama-Ku, Aku menyebut namanya dengan melaknatnya. ” (Kanz Al-Ummal, hadis ke-7615).
****
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).