top of page
  • Writer's pictureAkhi

RUH, QALB, NAFS, DAN 'AQL


Kita akan membahas ruh, qalb, nafs, dan 'aql. Imam Al-Ghazali berusaha membedakan keempat istilah ini. Tetapi, setelah saya perhatikan, perbedaan itu berakhir tidak jelas. Walaupun begitu, kita akan mencoba membicarakannya juga. Saya membacanya dari Ihya Ulum Al-Din, bab "Aja'ib Al-Qalb".


Sejak zaman Al-Ghazali, orang-orang ingin sekali shalat dengan khusyuk, dan sejak masa itu pula mereka diberi tahu bahwa agar shalat mereka khusyuk, hendaklah mereka memperbanyak zikir. Sebab, dengan berzikir kepada Allah, setiap hati akan tenang. (QS Al-Ra'du: 28). Kalau seseorang ingin shalat dengan khusyuk, sebelum shalat, hendaklah ia membaca berbagai zikir terlebih dahulu. Namun, orang ternyata masih mengeluh: "Zikir sudah dibacakan tetapi shalat tetap tidak khusyuk." Artinya, meskipun zikir sudah banyak dibaca, setan tetap saja bisa masuk dan menggoda orang shalat. Kalau begitu, apakah zikirnya yang salah?


Menurut Al-Ghazali, zikir saja tidak cukup untuk mengusir setan. Ia memberi contoh dengan perumpamaan berikut: Kalau kita di pinggir jalan, lalu ada anjing yang hendak mengganggu kita dan kita membentaknya, maka anjing itu akan lari. Tetapi bila di sekitar kita banyak makanan anjing, misalnya tulang dan daging, maka anjing itu tidak akan pergi meskipun dibentak. Kalaupun dia pergi, paling hanya sebentar untuk kemudian mengintai lagi, menunggu kita lengah. Jadi, zikir itu seperti sebuah gertakan terhadap setan. Zikir baru akan efektif kalau hati kita bersih dari makanan setan. Kalau hati kita seperti itu, zikir kita akan berhasil menghardik setan. Namun, bila hati kita masih dipenuhi makanan setan, zikir sebanyak apa pun tidak akan sanggup mengusir setan. Bahkan, setan akan ikut berzikir di dalam hati kita. Oleh sebab itu, bila kita ingin zikir kita mempunyai kekuatan, kita harus membersihkan hati kita dari makanan-makanan setan.


Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, hati kita ini mempunyai dua jenis pintu. Pertama, pintu yang ke dalamnya masuk cahaya Tuhan (nur rabbani); dan kedua, pintu yang ke dalamnya setan masuk. Pintu cahaya Tuhan hanya satu sedangkan pintu setan amat banyak. Karena itu, Al-Quran menyebut jalan Tuhan itu, sebagai shirath. Kata itu tidak memiliki bentuk jamak. Misalnya terdapat dalam ayat: "Wa anna hadza shirathi mustaqiman fattabi'uhu wa la tattabi'u al-subula fatafarraqa bikum ’an sabilih; Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah Aku dan janganlah kalian mengikuti banyak jalan, karena kelak kalian akan bercerai-berai dari jalan-Nya." (QS Al-An'am: 153).


Al-Quran menyebutkan shirat itu satu. Ketika menyebutkan jalan Tuhan, ia tidak menyebut subul (jalan-jalan), tetapi sabilih (jalannya). Abdullah bin Mas'ud berkata, "Suatu hari Rasulullah pernah membuat satu garis panjang. Lalu, ia berkata, 'Inilah jalan Allah'. Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan kiri garis yang panjang itu. Setelah itu, ia bersabda, 'Inilah jalan-jalan'. Pada setiap jalan terdapat setan yang menyeru kita ke dalamnya. Setelah itu, Nabi membaca Surat Al-An'am ayat 153 di atas.


Dalam hati kita hanya ada satu jalan untuk masuknya cahaya Tuhan. Tapi jalan setan itu banyak. Oleh karena itu, tugas kita memang berat. Kita harus membuka satu pintu dan menutup sejumlah pintu yang banyak.


Sebelum Imam Al-Ghazali menjelaskan hal itu, ia bercerita tentang seseorang yang bertanya kepada Hasan Al-Bashri tentang setan, "Hai Abu Sa'id, apakah setan tidur atau tidak?" Al-Bashri tersenyum dan berkata, "Sekiranya setan bisa tidur, pasti bisa istirahat." Jadi, kita tidak bisa istirahat, karena setan selalu mengintai kita dan kebetulan kita menyediakan pintu yang banyak untuk masuknya setan itu.


Makna Keempat Istilah


Menurut Al-Ghazali, keempat istilah di atas (ruh, qalb, nafs, dan 'aql) mempunyai dua makna. Kata qalb, misalnya, bermakna hati dalam bentuk fisik dan hati dalam bentuk nonfisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting; karena melalui hatilah, darah dialirkan ke seluruh tubuh. Darah ini pula yang membawa kehidupan. Oleh sebab itu, Nabi Saw bersabda, "Sesungguhnya dalam diri manusia itu terdapat segumpal daging (mudghah). Jika gumpalan daging itu bagus, baguslah seluruh anggota tubuhnya; dan jika gumpalan daging itu rusak, rusaklah seluruh bagian tubuh. Ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (qalb)." Berdasarkan hadis ini, sebenarnya tidaklah tepat kalau qalb diartikan dengan hati. Qalb lebih tepat diartikan sebagai jantung.


Lalu muncul hati yang bisa sedih, menangis, dan tersinggung. Hati seperti inilah yang menentukan seluruh kepribadian kita. Kalau hati kita bersih, maka bersihlah seluruh akhlak kita. Ini bukanlah hati dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian ruhani. Oleh sebab itu, menurut Al-Ghazali, ada makna membuat hati yang kedua, yaitu lathifah rabbaniyyahruhaniyyah atau sesuatu yang lembut yang berasal dari Tuhan. Lathifah itulah kita mengetahui atau merasakan sesuatu. Hati adalah bagian dari ruhani yang kerjanya memahami sesuatu. Itulah yang disebut qalb.


Menurut para sufi, hati juga merupakan bagian dari kita yang dapat menyingkapkan ilmu-ilmu gaib. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa kita mempunyai dua pasang mata, yaitu mata lahir di kepala dan mata batin - dalam hati. Jadi, hati adalah lathifah yang mempunyai mata untuk bisa melihat atau menembus hal-hal gaib, Dengan hati juga, kita dapat melihat Tuhan.


Kata Imam Al-Ghazali, hati bisa membawa kita kepada ilmu mukasyafah; yaitu ilmu untuk menyingkapkan hal-hal gaib. Berkenaan dengan ini, hati itu erat kaitannya dengan ruh. Ruh juga mempunyai dua arti. Pertama, ruh yang berkaitan dengan tubuh. Ruh yang ini erat hubungannya dengan jantung. Ia beredar bersama peredaran darah. Kalau darah tidak beredar lagi dan jantung kita sudah berhenti, ruh itu pun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmaniah yang terikat dengan jasad. Kedua, ruh yang ajaibnya - definisinya sama dengan hati, yaitu ruh sebagai lathifahrabbaniyah ruhaniyyah. Walhasil, secara abstrak atau secara maknawi, ruh sama dengan hati. Ruhlah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang Barat menyebutnya mind. Kita menyebutnya jiwa.


Selanjutnya adalah persoalan hati. Menurut Al-Ghazali, yang menjadi perhatian kita bukanlah hati dalam arti fisik. Biarlah itu menjadi urusan dokter saja. Yang menjadi urusan kita adalah lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah. Lathifah seperti disebutkan di atas - adalah sesuatu yang amat lembut. Tuhan juga adalah Al-Lathif; Maha lembut. Lathifah juga berarti luthf yang berarti anugerah. Jadi, Al-Lathif berarti Zat Yang memberi anugerah.


Berikutnya adalah 'aql (akal). Ia juga mempunyai dua makna. Pertama, akal sebagai ilmu tentang sesuatu. Orang yang berakal berarti orang yang mempunyai ilmu tentang sesuatu. Dalam makna ini, akal sama dengan ilmu. Kedua, akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. Akal bisa disebut sebagai ilmu itu sendiri, bisa juga sebagai alat untuk memperoleh ilmu. Itu berarti sama artinya dengan hati, yaitu lathifah rabbaniyyah ruhaniyyahmudrikah 'alimah 'arifah. Jadi, bagian dari diri kita untuk mengetahui sesuatu itu berarti akal.


Walhasil, ternyata tidak ada perbedaan antara ruh, hati, dan akal. Ketiganya merupakan sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaitan dengan jasmani. Orang bisa merasa sangat sedih tanpa harus mengalami gangguan fisik sedikit pun, Tubuhnya normal tetapi ia mengalami kepedihan yang luar biasa.


Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasakan sakit di tubuh kita sebetulnya bukan organ tubuh kita, tetapi ruh. Dalam dunia yang tidak modern juga, orang-orang mengetahui bahwa kalau seseorang tidak memiliki ruh, ia tidak akan merasakan sakit apa pun walaupun tubuhnya dikerat-kerat. Hal ini membuktikan bahwa yang merasakan sakit sebenarnya bukan tubuh kita, melainkan ruh kita, atau qalb, atau akal -- dalam definisi lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah.


Orang-orang modern mencoba membuktikan hal ini dengan hipnotisme. Misalnya, seseorang menghipnotis Anda dan menyuruh Anda tidur. Kemudian ia memberikan post-hypnotic suggestion (sugesti pos-hipnotis) kepada Anda sehingga ketika Anda bangun, Anda tidak merasakan apa-apa meskipun tubuh Anda disakiti. Meskipun Anda sadar, Anda tidak merasa sakit. Sebab, ruh Anda sudah diperintahkan untuk tidak merasakan sakit. Jadi, yang merasakan sakit itu bukan tubuh kita tetapi ruh kita. Jika ruh Anda tidak mau merasakan sakit, Anda pun tidak akan merasakannya. Kalau Anda dikejar ular lalu lari dengan cepat dan menginjak pecahan kaca, Anda tidak akan merasakan sakit. Setelah Anda selamat, saat Anda tidak memperhatikan ular lagi, barulah ruh Anda akan memerhatikan kaki Anda. Semula tidak terasa; kini terasa amat sakit. Immanuel Kant berkata, "Bila seseorang mendengar jam, yang mendengar itu bukanlah telinganya. Telinga hanyalah alat. Yang mendengar adalah ruh." Ketika sepasang manusia sedang berpacaran, detak jam dinding tak terdengar lagi. Begitu pacaran selesai, dan mereka merenung sendirian, detak jam akan mulai terdengar.


Berikutnya adalah nafs. Di kalangan ulama, nafs bermakna dua. Pertama, nafs dalam arti jelek, yakni al-hawa, yang dalam bahasa Indonesia sering digabung menjadi satu, yakni hawa nafsu. Tugas kita adalah membersihkan hati kita dari nafsu. Hati yang bersih dari nafsu, disebut oleh Al-Quran dengan istilah qalbun salim.


Al-Hawa adalah makanan setan. Kalau kita shalat, lalu kita datang kepada Allah dengan hati yang dipenuhi makanan setan, maka zikir yang kita ucapkan tidak akan mengusir setan itu. Setan akan tetap bertengger di sekitar kita. Begitu kita lengah, ia akan masuk dan bersarang di hati kita. Ia akan memakan makanannya di antaranya adalah al-hawa. Diceritakan bahwa suatu ketika setan datang kepada Ibn Al-Hajjaj dan berkata, "Dulu aku masuk ke dalam dirimu dalam keadaan gemuk. Sekarang aku keluar dari dirimu dalam keadaan kurus kering." Maksudnya, ketika masuk, ia tidak menemukan makanan dalam diri orang yang saleh-karena orang saleh itu menghancurkan hawa nafsunya - sehingga setan keluar dalam keadaan kurus.


Kedua, nafs yang berarti manusia secara keseluruhan. Hakikat diri kita adalah nafs kita, ego atau diri kita. Dalam Al-Quran, pengertian nafs bermacam-macam. Paling tidak ada tiga: (1) nafs ammarah, (2) nafs lawwamah, dan (3) nafs muthma'innah.


Ammarah berasal dari kata amara. Dalam surat Yusuf disebutkan, "Inna al-nafs la'ammaratun bi al-su'; Sesungguhnya nafsu itu menyuruh berbuat jelek". (QS Yusuf: 53). Ammarah artinya "yang memerintahkan, yang mendesakkan, atau yang mengajak". Nafsu jenis ini merupakan nafsu dalam tingkatan yang paling rendah, yakni nafsu yang masih suka menyuruh orang mengikuti hawa nafsunya, yang tunduk kepada ghadhab dan syahwat, pada sifat-sifat kebinatangannya.


Kemudian nafsu yang lebih tinggi adalah nafsu lawwamah. Jika seseorang mengetahui dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya, lalu ia menyesali dan mengadili dosa-dosanya, maka ia disebut nafsu lawwamah. Allah bersumpah dengan dua macam pengadilan: "La uqsimu bi yaum al-qiyamah wa la uqsimu bi al-nafs al-lawwamah; Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan nafsu lawwamah." (QS Al-Qiyamah: 1-2)


Menurut Muthahhari, ada tiga macam pengadilan ketika seseorang bersalah atau mengikuti hawa nafsunya. Tiga macam pengadilan itu berurutan, dari yang paling tidak adil hingga yang paling adil. Pengadilan yang paling tidak adil adalah pengadilan di dunia. Mungkin pengadilan di dunia ini merupakan pengadilan yang paling banyak tidak adilnya, sebab di sini keadilan diukur dengan seberapa kuat atau lemahnya seseorang. Lalu ada pengadilan yang agak adil, yakni pengadilan hati nurani, yang disebut nafsu lawwamah. Diri kita menjadi hakim yang mengadili kita, yang membuat kita gelisah dan merasa bersalah. Di situ kita tidak bisa lagi berbohong. Tetapi, nafsu lawwamah ini hanya bisa mengecam saja. Ia tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersangkutan. Karena itu, ada pengadilan yang paling adil, yaitu pengadilan pada hari kiamat. Di situ orang tidak bisa lagi berdusta dan menghindar. Di situ juga akan ditetapkan hukuman yang seadil-adilnya. Tak satu pun orang yang luput dari pengadilan Tuhan. Sebab itulah, pertama kali Allah bersumpah dengan hari kiamat.


Yang terakhir, yakni diri atau nafs yang paling tinggi, yaitu diri yang sudah tunduk pada kehendak Tuhan dengan meninggalkan hawa nafsunya. Diri itulah yang kelak, ketika kembali kepada Tuhan, akan disapa oleh Tuhan dengan penuh kemesraan: "Ya ayyuha al-nafs al-muthma'innah irji'i ila rabbiki radhiyatan mardhiyyah" (QS Al-Fajr: 27-28). Nafsu yang muthma'innah adalah orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.

***


KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

160 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page