Akhi
SEKALI LAGI:PERAN WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM

"Wanita adalah saudara kandung laki-laki."
-Nabi Muhammad Saw.
"Alkitab mengatakan bahwa Tuhan menciptakan wanita sebagai afterthought, untuk menjadi penolong pria. Tetapi, peran yang rendah ini kini ditolak oleh semakin banyak wanita. Status wanita berbeda-beda sepanjang zaman. Bila diukur dengan kekuatan dan partisipasinya dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat, status mereka agak tinggi pada akhir Kekaisaran Romawi, kemudian sangat menurun dengan penyebaran agama Kristen, begitu kata Horton dan Leslie, mengawali penulisannya tentang diskriminasi seks sebagai masalah sosial. Orang boleh setuju atau tidak dengan pendapatnya. Tetapi yang jelas, pandangan bahwa wanita adalah makhluk rendah bukanlah milik orang Yahudi saja. Konghucu (Confucius) menyatakan bahwa ada dua jenis manusia yang sukar diurus, yaitu turunan orang rendahan dan wanita. Aristoteles, tokoh logika yang terkenal itu, malah menyebut wanita sebagai manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah. "Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada kenyataannya, hati wanita adalah sarang serigala,” begitu dinyatakan dalam Rig Weda.
"Pada zaman jahiliah," ucap Umar bin Khattab, "kami tidak pernah memberikan hak apa pun kepada wanita, sampai Allah yang Mahatinggi menurunkan perintah yang penting buat mereka, dan memberikan kepada mereka bagian yang tepat." Memang ketika Islam datang, nasib wanita di Arabia tidak jauh berbeda dengan nasib rekan-rekan mereka di tempat lain. Mereka tidak mendapat hak waris, bahkan boleh diwariskan dari ayah seseorang kepada anak-anaknya bila si ayah memiliki istri lebih dari satu. Memiliki anak wanita dianggap aib, sehingga mereka banyak melakukan pembunuhan atas anak-anak wanita. Al-Quran merekam perilaku jahiliah ini dalam peringatan abadi, Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh (QS 81: 8-9). Islam mengakhiri praktik-praktik ini, dan sekaligus melakukan usaha emansipasi yang pertama dalam sejarah. Will Durant, seorang pencatat sejarah umat manusia, menulis tentang jasa Muhammad dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita:
Dia mengizinkan kaum wanita untuk mendatangi masjid, tapi dia percaya bahwa "rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka"; namun, bila mereka datang menghadiri khutbah-khutbahnya, dia memperlakukan mereka dengan baik, meskipun mereka membawa bayi-bayi mereka; jika, kata sebuah hadis, dia mendengar tangisant seorang bayi, maka dia akan memperpendek khutbahnya agar sang ibu tidak merasa risau. Dia mengakhiri praktik pembunuhan terhadap bayi oleh orang-orang Arab. Dia menempatkan kaum wanita sejajar dengan kaum pria dalam hal hukum dan kebebasan finansial; mereka (kaum wanita) boleh melakukan profesi sah apa pun, memiliki perolehannya, mewarisi kekayaan, dan menggunakan miliknya sesukanya. Dia telah menghapus adat Arab memindahtangankan kaum wanita sebagai hak milik dari ayah kepada anak laki-laki.
Petikan tulisan Durant di atas tentu saja tidak menggambarkan seluruh pandangan Islam tentang wanita. Paling tidak, petikan itu menunjukkan pengakuan sejarawan Barat tentang kedudukan wanita yang tinggi setelah kehadiran Islam. Di sini akan dijelaskan lebih lanjut tentang kedudukan wanita dalam kehidupan sosial menurut Islam; lebih sempit lagi, akan dibicarakan tentang peran wanita dalam pembangunan bangsa, serta dilema yang dihadapinya. Membatasi persoalan hanya pada pandangan Islam, sama sekali tidaklah berarti meremehkan pandangan agama lain. Hal ini semata-mata dilakukan karena pertimbangan praktis dan keterbatasan pengetahuan penulis.
Pria dan Wanita: Persamaan dan Perbedaan
Di dalam bahasa Arab, kata benda dibedakan antara kata benda maskulin (mudzakkar) dan kata benda feminin (muannats). Tetapi, bila satu pernyataan ditujukan untuk wanita dan pria sekaligus, biasanya digunakan kata-kata mudzakkar. Kum, misalnya, berarti "kamu" laki-laki, tetapi bisa juga digunakan untuk laki-laki dan wanita secara umum -"Assalamualaikum", misalnya. Kata Muslimin menunjukkan orang. Islam laki-laki, tetapi dapat dipergunakan untuk menyatakan orang-orang Islam secara umum. Begitulah, banyak ayat Al-Quran diturunkan dengan menggunakan kata-kata mudzakkar, walaupun yang dimaksud adalah kedua jenis kelamin. Tetapi tak urung, satu saat wanita-wanita Islam menyampaikan pertanyaan kepada Nabi Muhammad Saw., "Ya Rasulullah, laki-laki saja yang disebut dalam segala hal, sedangkan kami tidak disebut?" Maka, Allah kemudian menurunkan ayat:
Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS 33:35)
Peristiwa tersebut, yang diriwayatkan oleh beberapa pencatat hadis, menunjukkan tidak hanya persamaan hak-hak wanita dan pria dalam memperoleh hasil kerja, tetapi juga menggambarkan kesadaran wanita- wanita "primitif" Arab akan identitasnya setelah menerima Islam. (Kesadaran akan bahasa yang sexist, baru diributkan di Amerika pada akhir abad ke-20.) Bahwa hasil usaha seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya disebutkan dalam ayat lain Al-Quran, ...dan bagi orang laki- laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan... (QS 4:32).
Pada saat lain, wanita Muslim di zaman Rasulullah Saw. meminta agar diadakan pertemuan khusus buat mereka dalam mempelajari ilmu, dan Nabi memenuhi kehendak mereka dengan memberikan waktu khusus. Islam mewajibkan menuntut ilmu bagi wanita dan pria; Nabi Muhammad Saw. mewasiatkan agar orangtua mengutamakan pendidikan anak perempuannya, "Barang siapa mempunyai anak perempuan, kemudian mendidiknya, berbuat baik kepadanya, dan mengawinkannya, baginya surga.” Karena dorongan mencari ilmu inilah, wanita dan pria dalam Islam bersaing dalam mereguk ilmu. Siti Aisyah dikenal pada zaman permulaan Islam sebagai "orang yang paling ahli tentang fikih, kedokteran, dan puisi". Dalam ilmu hadis, Ibnu Asakir menyebutkan lebih dari delapan puluh wanita ahli hadis. Pada saat lain lagi, seorang gadis mengadu kepada Nabi Saw. karena dinikahkan oleh bapaknya dengan pria yang tidak disukainya. Nabi Saw. melarang pernikahan paksa itu. "Pergilah, nikahilah orang yang kamu kehendaki," ujar Nabi. Tetapi, mengejutkan sekali, wanita muda itu berkata, "Sesungguhnya aku sudah merelakan perbuatan bapakku. Aku hanya ingin mengajarkan kepada kaum wanita bahwa bapak-bapak mereka tidak berhak sedikit pun atas mereka."
Dari hadis ini, para ahli fikih mengambil kesimpulan bahwa salah satu rukun nikah ialah kerelaan kedua belah pihak. Ketika seorang istri mengadu bahwa ia tidak tahan lagi hidup dengan suaminya dan takut tidak dapat melayani suaminya sebagaimana sepatutnya, Rasulullah Saw. menyuruh wanita itu untuk mengembalikan maskawinnya dan menceraikannya. Peristiwa ini memberikan hak bagi wanita untuk "menceraikan” suaminya dengan ketentuan hukum yang disebut khulu.
Pada suatu hari, Amirul Mukminin mengeluarkan keputusan hukum yang melarang wanita menetapkan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita tiba-tiba protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat dalam Al-Quran. Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata. "Perempuan ini benar, dan Umar salah. Ini menunjukkan kebebasan wanita untuk melakukan protes politik, jauh sebelum Betty Friedan memimpin gerakan wanita di Amerika Serikat, bahkan jauh sebelum Revolusi Prancis yang meneriakkan "Liberté. Égalité, et Fraternité".
Yang baru disebut bukanlah contoh-contoh lengkap tentang persamaan hak antara pria dan wanita dalam kehidupan sosial. Menurut Islam, seperti pria, wanita juga berhak atas hasil usahanya, atas perlindungan hukum yang sama, dan atas kesempatan meningkatkan kualitas diri dengan mencari ilmu pengetahuan. Bukanlah di sini tempatnya untuk melukiskan semua hak wanita yang diakui Islam. Cukuplah di sini dimuatkan kembali tulisan Muhammad Quthb.
Seandainya wanita menginginkan taraf kemanusiaan yang sama dengan pria, hak persamaan seperti itu telah diberikan Islam kepada: mereka, baik dari segi teori maupun praktis, di depan undang-undang. Seandainya kaum wanita menginginkan kebebasan ekonomi dan kebebasan berhubungan langsung dengan masyarakat, hak-hak kebebasan seperti itu telah diakui Islam, malah Islam merupakan agama yang pertama mengakui hak-hak itu. Seandainya kaum wanita menginginkan hak untuk belajar, hak itu bukan saja telah diberikan Islam, malah Islam telah menjadikannya suatu tugas wajib atas mereka. Seandainya wanita tidak mau dikawinkan tanpa izin dia dan menuntut hak untuk melamar sendiri suami yang disukainya, seandainya mereka menuntut diberi layanan yang baik selama mereka menjalankan tugas-tugas yang wajar sebagai istri dan menuntut hak bercerai apabila mereka diperlakukan buruk, maka seluruh hak itu bukan saja telah diberikan dan dijamin Islam kepada kaum wanita, malah Islam telah mewajibkan hal-hal itu atas kaum lelaki. Seandainya kaum wanita menginginkan hak bekerja di luar rumah, hak itu juga telah diizinkan Islam.
Walaupun Islam memberikan hak yang sama kepada wanita, Islam juga memperingatkan bahwa pria dan wanita tidaklah sama (QS 3: 36). Rasulullah Saw. melarang wanita yang meniru-niru laki-laki, seperti juga laki-laki yang meniru-niru wanita. Wanita berbeda dengan laki-laki, baik fisiologis maupun psikologis. Perbedaan ini dimulai sejak minggu keenam dalam periode perkembangan janin. Wanita memiliki hormon estrogen dan progesteron yang dominan, sedangkan laki-laki memiliki hormon androgen. Laki-laki memiliki tubuh yang rata-rata lebih besar (sexual dimorphism). Karena itu, sebanding dengan tubuhnya, otak laki-laki rata-rata lebih besar daripada otak perempuan. Laki-laki cenderung bertindak instrumental, sedangkan wanita cenderung ekspresif. Dengan menggunakan tes kepribadian, Terman dan Miles menemukan perbedaan antara wanita dan pria sebagai berikut:
Dari mana pun kita melihat, laki-laki ... menunjukkan perhatian yang khusus untuk mengeksploitasi dan bertualang, untuk tertarik pada luar rumah dan pekerjaan yang menuntut energi fisik, pada mesin dan peralatan, pada sains, gejala fisik, dan penemuan ... Kelompok wanita yang kami teliti menunjukkan minat khas pada urusan rumah dan pada benda-benda serta pekerjaan estetis, dan mereka menyukai pekerjaan yang lebih menetap atau di rumah serta pekerjaan yang sifatnya mengurus, seperti mengurus orang muda, orang tak berdaya, atau orang yang malang. Sejalan dengan ini adalah perbedaan yang lebih subjektif - yakni, dalam kecenderungan emosional. Laki-laki, langsung atau tidak langsung, menunjukkan sikap menonjolkan diri dan agresif yang lebih tinggi: mereka menunjukkan kekerasan, keberanian, dan lebih kasar dalam perilaku, bahasa, dan perasaan. Wanita menyatakan dirinya lebih pengiba dan simpatik, lebih pemalu, lebih perasa, dan secara estesis lebih sensitif, umumnya lebih emosional (atau, paling tidak lebih ekspresif dalam empat emosi yang diteliti), lebih bersifat moralis, tetapi mengakui lemah dalam mengendalikan emosi, dan (tidak begitu kelihatan) juga lemah dalam fisik.
Udry mengutip penelitian di atas pada bukunya yang pertama (1965). Pada bukunya yang terakhir (1974), Udry memperkuat pendapat ini dengan menunjukkan hasil-hasil penelitian mutakhir. Untuk membantah kaum relativis (antropologis), ia menyimpulkan, "Kita sekarang harus yakin bahwa jika membesarkan anak laki-laki dan perempuan sekaligus adalah mungkin, maka mereka akan tetap berbeda.”
Dalam pandangan Islam, perbedaan ini tidak menunjukkan bahwa yang satu lebih rendah daripada yang lain. Perbedaan ini dipandang sebagai pembagian peran manusia dalam proses kehidupan. Islam bahkan memandang fungsi "keibuan" (maternal function) seorang wanita sebagai sesuatu yang vital bagi kehidupan manusia. Seorang ibu menentukan dan memberikan pengaruh yang penting pada saat-saat paling kritis dalam kehidupan manusia.
Tubuh ibu menyuplai zat-zat kimia yang menentukan pada saat kehamilan, menyusukannya dalam waktu dua tahun, pada saat-saat ketika anak manusia sangat mudah dibentuk. Dengan melihat perbedaan ini, marilah kita teliti pandangan Islam tentang peran wanita dalam kehidupan sosial, serta dilema yang dihadapinya pada masa kini.JR
Bersambung pada pembahasan selanjutnya (Peran Wanita dalam Pembangunan Bangsa dan Dilema yang Dihadapinya)
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).