Akhi
SESAMBANG KENANG UNTUK KANG JALAL
“Innaa lillaahi wa inna ilaihi roojiuun, Kang Jalal sudah berpulang”. Demikian terbaca dalam sebuah grup wa. Ya Alloh, badan langsung bergetar. Waktu itu penulis sedang di lapangan, Surade, pelosok Sukabumi Selatan. Kepergian mubalig yang sekaligus ilmuwan, cendekia yang juga ulama besar ini seakan menyusul kepulangan isteri tercintanya, Ceu Euis Kartini, empat hari sebelumnya. Mohon izin dalam tulisan ini, almarhum Alamah Ustadz Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc akan lebih banyak disebut “Kang Jalal”, sebuah panggilan yang berbasis akar-budayanya dan populer.
Berita wafatnya Kang Jalal ke rahmatulloh sungguh menyayat hati. Seorang pelita bagi berbagai kalangan umat, kini telah berpulang. Meminjam frasa dari puteranya, Ustadz Miftah, penerusnya, “perjalanan pulang tanpa kembali”. Namun demikian, kita harus merelakannya, karena pemilik sejati Kang Jalal sudah memanggilnya. Semoga Alloh senantiasa merahmati almarhum Kang Jalal, menyucikan ruhnya dan meninggikan derajatnya
Beruntung penulis, dalam hidup yang sudah lebih dari setengah abad ini, sempat mengenal beliau cukup dekat, terutama pada 1982-1986. Tulisan ini berusaha memotret kenangan terindah dalam hidup dapat mengenal almarhum dari dekat pada masa ketika awal almarhum berda’wah kepada masyarakat banyak, sekembalinya dari studi S2 di Amerika Serikat (AS).
Awal mengenal Kang Jalal
Lupa persisnya, tanggal dan jam berapa penulis mengenal beliau. Yang jelas, saat itu di 1982, kami sedang mengikuti suatu pelatihan bagi calon dai di lingkungan Masjid Salman. Latihan Mujahid Dakwah (LMD), namanya, tepatnya LMD Angkatan ke-65. Waktu itu, LMD yang ciptaan bang Imad ini sangat terkenal di kalangan aktivis masjid. Bang Imad atau Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, wafat pada 2 Agustus 2008, adalah tokoh yang sangat dikenal Kang Jalal. Keduanya bersahabat, terutama saat mereka sama-sama berada di Iowa, AS.
Salah satu materi kuliah dalam LMD adalah "Kepemimpinan dalam Islam". Kang Jalal langganan membawakan materi ini pada setiap LMD, sampai saat LMD dilarang oleh pihak keamanan, tak lama setelah LMD ke-65. Masih teringat, dalam kuliah itu, kang Jalal membawakan kisah kelompok satu jenis serangga yang begitu mematuhi pemimpinnya. Dengan sangat piawai, almarhum melukiskan kemampuan pemimpin serangga dan kepatuhan rakyatnya. Kuliah diakhiri dengan closing yang sangat memukau, kl.: “Jika serangga saja bisa hidup dengan sistem kepemimpinan, masa umat Islam tidak bisa?”. Para peserta LMD begitu terpesona dan antusias. Selanjutnya, beliau menyampaikan kekagumannya pada sebuah negeri (boleh dibaca: madzab dalam Islam) yang begitu kuat sisi kepemimpinannya. Para pembaca sudah bisa menebak, negeri apa (madzhab mana) yang dimaksud. Inilah salah satu kepiawaian beliau berdakwah.
Tidak lama setelah LMD 65, kebetulan penulis mendapat kesempatan menjadi penghuni Asrama Salman di lingkungan Masjid Salman ITB. Pada saat yang sama, getar-getar kekaguman kepada Kang Jalal mulai tumbuh. Apalagi ketika penulis lebih banyak berkesempatan bergaul dengan almarhum tersebab penulis di Masjid Salman ditunjuk sebagai panitia Sholat Jumat dan Ceramah Duha setiap Ahad pagi, sekitara 1983-1984. Pada 1983 penulis juga berkesempatan menjadi asisten beliau dalam mata kuliah “Etika Islam” untuk mahasiswa ITB dari beberapa jurusan MIPA Angkatan 1983. Terimakasih ya Alloh atas kesempatan ini.
Seiring dengan seringnya penulis menjemput kang Jalal ke rumahnya atau tempat lain yang sudah dijanjikan, untuk ceramah atau sebagai khatib pada jumatan di masjid Salman, makin banyak penulis bergaul dan menyerap ilmu beliau. Berkunjung ke rumah beliau pun menjadi sering penulis lakukan, baik untuk mengaji atau sekedar ingin bertemu beliau untuk mendapatkan informasi baru. Kekaguman penulis akan sosok kang Jalal pun semakin tumbuh. Inilah sosok ulama yang mampu mencerahkan umat. Ia mampu membawakan Islam tradisional dengan ilmu-ilmu modern. Ia mampu menghadirkan Islam yang tidak ketinggalan zaman, tanpa mengorbankan kemurniannya, bahkan mengembalikan ke sumber aslinya.
Teman-teman yang seperti penulis, diam-diam mengunjungi pengajian Kang Jalal di mana pun adanya, atau bekunjung ke rumahnya untuk bertemu beliau dan menyerap ilmu atau “informasi baru” tentang Islam dari beliau, pada waktu itu ada sekitar 10 orang. Di masa itu, Kang Jalal pun membuka pengajian kecil yang dilakukannya di tepas (ruang depan rumah) beliau. Waktunya setelah sholat subuh. Maka, yang diam-diam menemui beliau atau mendatangi ceramah beliau pun semakin banyak. Mereka yang sudah mulai tertarik kepada beliau, selalu mengejar-ngejar ceramah atau pengajian kang Jalal, dimana pun beliau lakukan.
Selama bergaul dan mengikuti pengajiannya atau sekedar menyimak obrolan-obrolan beliua, penulis merasakan dan berfikir, betapa banyak informasi tentang Islam yang selama ini seolah disembunyikan, jungkir balik, atau saling bertolak-belakang (idhtirob). Kang Jalal mampu membedah dan menjawab semua kebingungan itu. Ia memberikan alternatif pemecahan berbagai persoalan agama yang banyak anak muda rasakan dan tanyakan, secara rasional, tapi juga sangat “tradisional” dengan gaya komunikasinya yang khas.
Dimulai dari hal yang mungkin dianggap sederhana: berwudlu. Dalam Al Qur’an jelas-jelas dibedakan antara perintah membasuh wajah dan kedua tangan (faghsiluu wujuuhakum wa aidiikum ilal maroofiqi) dengan mengusap rambut dan kedua kaki (wamsahuu biruusikum wa arjulakum ila al ka’bain). Hanya dari beliau, selama hidup penulis memperoleh perbedaan dua kosa kata yang digunakan oleh Al Qura’an dan penerapannya dalam berwudlu sehari-hari itu. Demikian juga perihal shaum, perintah “sempurnakanlah puasamu hingga malam” (tsumma atimmuu ash shiaamu ila al lail). Dari sejak kecil hingga umur 21 tahunan, penulis melaksakanan puasa secara bertolak-belakang dengan ayat tersebut. Almarhum lah yang mengajarkan bahwa “malam” itu bukan pas adzan magrib tiba seperti selama ini, namun…bla…bla dst (silahkan di-googling sendiri perihal ini).
Dalam bidang kemepimpinan Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), lebih banyak lagi yang penulis kagumi dari kang Jalal. Tentang penerus nabi sebagai pemimpin umat– inilah akar atau benang merah yang meninggikan nama beliau, sekaligus menyebabkan kebencian dari musuh-musuh pembenci Ahlul Bayt – banjir informasi mengguncang kesadaran dan pemikiran. Saat itu, jiwa ini benar-benar eundeur (goyang). Kok bisa seperti itu ya sejarah Islam itu? Namun, akhirnya penulis harus menerima kenyataan itu. Bahwa ada satu fase dalam sejarah Islam dimana haus akan kekuasaan dari sekelompok orang menyebabkan pemegang hak dilupakan dan akhirnya terlupakan, kecuali sedikit yang terus mengingat. Kang Jalal adalah satu diantara yang mengingat itu dan merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ingatan penting itu ke tengah umat.
Dalam bidang iptek, penjelasan kang Jalal tentang Keluarga Berencan (KB), program pemerintah yang sangat popular waktu itu , menjadi penerang akan ketidakjelasan status hukumnya bagi penulis. Tentang logika berpikir yang salah yang menjadi awal kesalaha berpikir, dan seterusnya, menjadi kesesatan bersikap dan bertindak, Kang Jalal menjelaskannya dengan sangat gamblang melalui serangkaian kuliah tak resmi. Kuliah itu cukup unik. Awalnya, diselenggarakan di sebuah rumah seorang ukhti aktivis masjid Salman di jl. Caladi dan diberi judul “Rekayasa Sosial”. Ya, untuk melakukan rekayasa sosial, dalam pandangan kang Jalal, harus diawali dengan menggunakan logika yang benar, sehingga, kesalahan-kesalahan logika perlu diajarkan terlebih dahulu. Demikian juga tentang komunikasi yang belakangan terbit bukunya yang termashur itu “Psikologi Komunikasi”, yang mana tentang topik ini sudah banyak sekali yang membahasnya.
Demikianlah, awal penulis mengenal kang Jalal. Akhirnya, kami (penulis dan beberapa teman seperti kang Abdi, Kang Sutrisno, dll), selalu mencari-cari kesempatan agar bisa menghadiri pengajian ba’da shubuh di tepas rumahnya. Ceramah atau khutbah Jumat Kang Jalal senantiasa dikejar dimana pun beliau diundang untuk melakukannya. Rumah beliau menjadi tempat yang nyaman untuk belajar dan menyerap informasi tentang “Islam yang baru”, yang bagi kami waktu itu cukup menghebohkan dan mengguncang, namun juga selalu penasaran ingin terus mengetahuinya. Keluarga kang Jalal menjadi sering terganggu oleh kedatangan kami, tentunya (mohon maaf, kang, juga kepada seluruh keluarga alm). Namun, di mata kami, kang Jalal dan almarhumah ibu Euis, isteri kang Jalal tercinta, serta keluarga (teh Feli, Ustadz Miftah, Ilman, Iqbal, dan Ami, waktu itu masih masa kanak-kanak) tak sedikikitpun terlihat merasa terganggu.
Sosok Berilmu Tinggi yang Rendah Hati dan Dermawan
“Ya Alloh, aku bermohon kepada-Mu, denga rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu”, demikian kalimah bagian pertama dari Do’a Kumayl yang terkenal itu. Doa ini termasuk doa awal yang diajarkan Kang Jalal pada bagian permulaan dakwahnya tentang madzhab Ahlul Bayt. Pada saat itu, 1982-1983, juga seingat penulis, juga sudah disampaikan beliau tentang kisah “Saqifah Bani Saidah” dan hak-hak Imam Ali as, Ahlul Bayt Nabi as, cara-cara berwudu, konsep wilayatul faqih atau kepempinan dalam Islam, dan lainnya. Kang Jalal, sudah tak diragukan lagi, seorang yang berilmu tinggi. Beliau menguasai dengan sangat baik ilmu-ilmu dari Timur maupun ilmu-ilmu dari Barat. Namun, selain berilmu tinggi, beliau pun seorang yang rendah hati dan dermawan.
Sebelumnya, pengajian di masa awal itu pun dipindah, baik waktu maupun tempatnya. Dari bakda subuh menjadi waktu duha, dari tepas rumah, menjadi masjid di belakang rumah, Mesjid Al Munawaroh, namanya. Namun, rumah kang Jalal tetap ramai oleh mereka yang berkunjung, ingin bertemu, termasuk kami (penulis dan beberapa mustami’ pengajian duha beliau). Sambil bertemu, sebenarnya kami ingin mendengar kelanjutan “informasi baru” tentang Islam itu.
Kerendah-hatian Kang Jalal tampak dalam menerima para muridnya atau mustami’-nya yang berkunjung ke rumahnya, baik kunjungan setelah pengajian duha, maupun bertamu yang disengaja, berangkat dari rumah, tak kenal waktu, kecuali malam hari. Pada waktu itu, 1982-1984, rumah beliau adalah oase bagi para pencari ilmu dan informasi baru tentang Islam. Umumnya mereka adalah para mahasiswa atau anak muda. Kami hampir setiap hari Ahad, selesai pengajian pagi hari itu, berkunjung ke rumahnya; dan hari-hari lainnya jika ada kesempatan. Kang Jalal tak sekalipun menolak kami. Alih-alih menolak, malah beliau menerima kami dan memberikan apa yang kami harapkan: tambahan pengetahuan atau informasi yang baru bagi kami tentang Islam.
Dalam menghadapi semua yang menemuinya itu, Kang Jalal sangat rendah hati, demikian pula ibu. Keduanya tak pernah membiarkan tamu tanpa hidangan, walau sekedar minuman teh atau kopi dan kudapan. Tak jarang, kami diajak serta sarapan pagi. Sarapan Kang Jalal sering telat, karena pengajian yang kepanjangan tersebab banyaknya tanya jawab materi pengajian; dan …sarapan yang telat itu diganggu pula oleh kami yang haus akan informasi baru tentang Islam. Sarapan yang semestinya bersama keluarga, berganti dengan para jamaah pengajian anu teu dulur, teu baraya (yang bukan saudara, bukan famili), kecuali dipersatukan dalam Islam. Namun, beliau menghadapi semua itu dengan wajah ramah, siap berbagi ilmu juga rezeki makanan.
Keluarga Kang Jalal di saat permulaan dakwah beliau adalah keluarga muda. Kang Jalal 30 tahunan, demikian juga Ceu Euis, tidak terpaut jauh. Dengan 5 putera-puteri yang masih kecil-kecil, biasanya sebuah keluarga muda akan begitu “egois”, fokus pada bagaimana membesarkan anak-anak, dan tidak mau ketengangan rumah banyak terganggu tamu. Namun, kami menyaksikan sebuah keluarga yang harmonis setiap kami berkunjung ke rumah beliau. Kang Jalal, isteri dan anak-anak selalu welcome kepada yang dating menemuinya. Tak pernah pula kami sekali pun mendengar pertengkaran di keluarga itu. Kang Jalal yang berilmu tinggi itu sungguh rendah hati. Demikian pula Ceu Euis sang isteri tercinta. Yang selalu tampak di wajah beliau saat kami berkunjung untuk menjumpai kang Jalal adalah senyuman yang tulus dan penerimaan yang ramah.
Selain menerima tamu para mustami’ di rumah pada pagi hari seusai mengaji, kerendah-hatian dan kedermawanan Kang Jalal tampak pula pada kerelaanya, bahkan ketulusan beliau untuk mengajak diantara kami menemani perjalanan da’wah beliau. Kadang satu orang saja dari kami, tapi, tak jarang dua sampai lebih dari tiga orang. Pada waktu itu, mulai 1982-an, sudah menjadi kebiasaan kami selalu mengejar-ngejar Kang Jalal, dan kepo alias ingin tahu, dimana dan kapan saja beliau akan berceramah atau berdakwah. Tujuanya: ingin diajak serta oleh beliau untuk menemani perjalanan atau hadir di tempat acara pada waktunya. Kang Jalal sendiri selalu memberi peluang kepada kami atau grup yang seperti kami untuk ikut serta atau hadir di acara-acara dakwah beliau.
Pada waktu itu, masjid-mesjid sedang tumbuh dengan kegiatan remaja mesjidnya, atau legiatan lain yang dimotori para anak muda/ mahasiwa, terutama masjid kampus. Beberapa masjid yang waktu itu sudah biasa diisi oleh kang Jalal sebagai penceramah/khatib: Mesjid Salman, Mesjid Istiqomah, Mesjid ITT, Mesjid IKIP, Mesjid IAIN, dll, selain di Al Munawaroh itu sendiri. Sementara itu, dua perjalanan bersama Kang Jalal, tepatnya Kang Jalal yang mengajak kami, diantara yang penulis masih ingat, adalah perjalanan dakwah ke Yogyakarta dan Lembaga Pendidikan Asy Syafiayah di Jakarta, pimpinan Dra. H. Tutty Alawiyah AS.
Waktu itu, lupa persisnya, apakah 1982 atau 1983, perjalanan ke Yogyakarta Kang Jalal lakukan dalam rangka memenuhi undangan dari Panitia Ramadhan Masjid Salahuddin, yaitu masjid kampus biru UGM (Universitas Gajah Mada) dan masjid lainnya (UII dan Taman Siswa). Sepanjang perjalanan tentu saja Kang Jalal bercerita tentang “informasi baru” tentang Islam yang penulis nanti-nantikan itu. Sebagaimana para muridnya saksikan, salah satu metode pendidikan beliau adalah mempraktekannya sendiri apa yang diperolehnya (dari bacaan dan pengalaman) dan diyakinya sebagai benar, kemudian menda’wahkannya kepada sahabat, jamahaah dan masyarakat luas dengan gaya komunikasinya yang khas. Singkat cerita, di Yogyakarta penulis diminta menemani ibu diantar supir (alm. Kang Odang, kakak Kang Jalal), jalan-jalan ke Borobudur. Dan waktu itu bulan puasa, penulis memakasakan diri berpuasa selama perjalanan itu sampai langlayeuseun (kelelahan). Para pembaca sudah bisa menebak: penulis “dikritik” oleh Kang Jalal dengan caranya yang khas berikut dalil-nya yang kuat bahwa ketika safar (kurang dari 10 hari) mestilah berbuka. Ini pelajaran pertama dari beliau tentang kaharusan berbuka Ketika safar.
Kesempatan lain bepergian bersama Kang Jalal adalah kunjungan ke Universitas Islam Asy Safiiyah di Jatiwaringin, Jakarta Timur, sekitar 1984. Perguruan tinggi ini sejak 1984 berada di bawah Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi'iyah (YAPTA) pimpinan Dra. Hj. Tuty Alawiyah Abdullah Syafi'ie (30 Maret 1942 –4 Mei 2016). Kenangannya masih tersisa dalam ingatan, walau detailnya sudah lupa. Saat itu, pendiri dan pimpinan atau kiyai sepuh di As Syafiiyah, yaitu KH. Abdullah Syafi'i, yang lebih dikenal dengan nama “Kiai Dulloh” (10 Agustus 1910-3 September 1985), masih ada. Yang masih teringat sekali dari kunjungan ini adalah kejadian setelah kang Jalal memberikan ceramah di depan jajaran pimpinan dan para mahasiswa perguruan tinggi tersebut. Seperti biasanya, ceramah beliau memuakau dan mengundang banyak tanya jawab. Setelah selesai sesi ceramah, kemudian Kang Jalal diundang secara khusus oleh kiyai sepuh untuk berbincang-bincang dengannya. Pada saat pertemuan itulah penulis menyaksikan untuk pertamakali kefasihan Kang Jalal berbahasa Arab, sebab, kiyai sepuh ini hampir sepanjang obrolan menggunakan Bahasa Arab. Masih terngiang di telinga, “Masmuk?”, kata kiyai sepuh saat perkenalan yang segera dijawab oleh Kang Jalal: “Jalaluddin Rakhmat”, dan seterusnya terjadi perbincangan dalam Bahasa Arab.
Mengajarkan Doa sejak Awal Dakwah
“Dengan nama Alloh, nama yang paling baik. Dengan nama Alloh, Tuhan Penguasa langit dan bumi. Dengan nama Alloh, yang berkat naman-Nya, racun dan penyakit tidak akan membahayakan…“. (kutipan dari kumpulan “Doa Pagi dan Sore” karya Kang Jalal).
Salah satu yang diajarkan Kang Jalal sejak awal dakwahnya adalah membiasakan berdoa. Dan, beliau mengajarkannya dengan praktek. Kumpulan “Doa Pagi dan Sore” adalah contohnya. Rangkaian doa-doa indah dari berbagai khazanah mulia yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh Kang Jalal (diedit oleh Mas Sa’di) ini terbit dalam buku kecil ukuran saku jubah, dengan jilid warnah hijau lumut. Sebelum doa tersebut (demikian juga doa-doa yang lainnya) diterbitkan, Kang Jalal membahasnya terlebih dahulu pada pengajian Ahad di masjid di belakang rumah beliau itu. Tak berapa lama setelah buku kumpulan do’a-doa tersebut terbit, banyak para mahasiswa yang mendawamkannya, dan tak sedikit yang hafal doa-doa tersebut.
Sudah sama-sama kita ketahui, dakwah Kang Jalal sedari awal banyak menyentuh para mahasiswa dari UNPAD, ITB, ITT, dan lainnya. Hal ini seiring dengan masa tumbuhnya aktivitas masjid kampus dengan para mahasiswa sebagai motornya. Kang Jalal dengan ilmunya yang luas dan kemampuan komunikasinya yang hebat, tak berapa lama sekembalinya dari studinya di AS, telah menjadi penceramah atau khatib yang populer dan ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa. Maka, disini terdapat potret bagaimana keberhasilan Kang Jalal mengajarkan kepada para mahasiswa, selain doa, juga tema fiqih, tasawuf, filsafat, logika, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Banyak diantara para mahasiswa itu adalah mahasiswa sains dan teknik. Mereka kemudian jadi menyukai ilmu-ilmu sosial. Beberapa diantaranya bahkan mendalami, menggeluti, dan berkarya bidang tersebut di kemudian hari.
Demikian, tak lama setelah atau malah berbarengan dengan “Doa Pagi dan Sore”, Kang Jalal pun mengajari kami tentang doa yang termasyhur di kalangan pemeluk madzhab Ahlul Bayt, yaitu “Doa Kumayl”. Doa ini seingat penulis sudah diajarkan dengan diam-diam sejak pengajian masih di tepas rumah beliau, bakda subuh. Mula-mula doa tersebut berupa fotokopian dibagikan kepada kami, sebelum diajarkan. Setelah mengisahkan asbabun nujul doa itu, membacakannya, beliau pun menasihati kami agar mengamalkan doa tersebut minimal setiap malam Jumat. Para pembaca sudah sama-sama maklum akan kedalaman makna doa ini, sebagaimana diajarkan oleh Kang Jalal, baik secara lisan melalui pengajian/ceramah, maupun – belakangan - tertulis dalam beberapa buku beliau. Demikian pula, dalam masa ini telah diajarkan pula oleh Kang Jalal perihal tabaruk dan tawasul, lengkap dengan argumen-argumennya. Sebuah topik yang berhadapan langsung dengan tuduhan musyrik dari kelompok yang bersebrangan.
Waktu-waktu selanjutnya, sudah tak terbendung lagi, rangkaian doa-doa semakin deras berasal atau diajarkan dari Kang Jalal. Doa-doa yang sumbernya berasal dari khazanah yang paling asli, terpercaya, dan tersaleh: kangjeng Nabi Muhammad saw, para Ahlul-Baytnya as, dan para imam as. Beberapa doa dari sumber doa termasyhur, “Mafaatih Al-Jinan”; diterjemahkan dengan sangat indah oleh Kang Jalal, dan diterbitkan dengan judul “Rintihan Suci Ahlul Bayt Nabi”. Dengan garapan di bidang dakwah doa ini, Kang Jalal memberikan pesan yang kuat bahwa kekuatan doa sangat berperan dalam kehidupan. Doa menjadi bagian tak terpisahkan dari ikhtiar. Kelak tema ini lebih diperdalam lagi oleh beliau melalui bahasan tentang filsafat doa dan aspek lain dari berdoa hingga kebahagian diri ketika berdoa sebagai (salah satu) tujuan dari berdoa itu sendiri. Di periode 1990-an, salah satu karya beliau yang sangat penting dalam kaitan ini adalah buku “Tafsir Sufi Al-Fatihah Mukadimah” (Terbitan Pertama oleh PT. Remaja Rosda Karya, 1999), karena berkenaan dengan “Ummul Kitab” yang membacanya merupakan syarat -sahnya sholat.
Maka, menjadi kebiasaan di Masjid Al Munawaroh, masjid kecil di belakang rumah Kang Jalal itu, setiap sebelum pengajian Ahad dimulai, selalu diawali dengan membaca doa, yaitu doa “Hari Ahad” dari Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau sendiri meminta perwakilan dari jamaah agar ke depan membacakan doa tersebut (seingat penulis, Abdullah, mahasiswa Fikom waktu itu yang paling sering membacakan doa). Demikian pula, setiap malam “Nishfu Sya’ban”, malam-malam “Lailatul Qodr” di bulan Ramadhan, dan hari-hari besar lainnya, di masjid itu rutin diselenggarakan acara doa bersama. Dan…banyak sekali diantara peserta acara doa itu adalah para mahasiswa. Maka, pada masa-masa awal dakwah Kang Jalal itu, “Doa Kumayl” sudah biasa terdengar dilantunkan oleh kelompok-kelompok kecil para mahasiswa hingga sarjana yang baru bekerja dari rumah atau rumah kontrakan salah seorang anggota kelompok pada setiap malam Jumat, terkadang ditambah porsinya dengan setiap malam Rabu. Acara doa tersebut biasa diawali dengan pembacaan Al Quran surah Yaasin, dan lainnya; serta tawasulan.
Diantara yang dibekalkan kepada para mustami’ atau para muridnya oleh Kang Jalal adalah musthola al hadist. Ilmu yang secara singkat diartikan sebagai alat untuk menentukan sebuah hadist apakah shahih atau dhaif ini, mau tidak mau memang harus beliau ajarkan sejak awal dakwah. Sebab Kang Jalal mendakwahkan sebuah madzhab yang baru bagi masyarakat, terutama kalangan muda/mahasiswa. Bukan hanya baru, bahkan mengandung potensi pagedrug (idltirob = berbenturan) dengan pendapat yang sudah ada, jika belum dipahami, sehingga mereka yang didakwahi perlu dibekali argumen-argumen yang kuat. Untuk itu, ilmu musthola hadist adalah salah satu bekalnya. Maka, para murid yang kebanyakan mahasiswa, banyak diantaranya mahasiswa sains dan teknik, kemudian tidak asing lagi dengan istilah sanad, matn, rowi; bahkan takhrij al hadist, rijal al hadist, kayfa simaa al hadist, dan lainnya. Dalam kaitan ini pula, kritik Kang Jalal atas hadist yang tidak hanya dari segi rawi, sanad, dan matan, melainkan pula sejarah (kritik histori), mulai dibangun. Bahkan Kang Jalal sempat juga membahas kitab-kitab alat pencarian hadist semisal “Concordance et indices de la Tradition Musulmane” (meskipun kebanyakan kami tidak paham dengan bahasanya, tentu saja).
Kepemimpina Islam termasuk yang disampaikan pada periode awal, khususnya konsep marja’u taqlid (marja’)dan wilayatul faqih. Hal ini wajar, mengingat keberhasilan Revolusi Iran pada 1979 telah begitu memikat Kang Jalal. Maka, beliau pun mendalami kedua konsep terkait kepemimpina Islam di negeri para Mulloh itu. Bukan kapasitas penulis untuk membahas kedua hal tersebut, namun yang ingin disampaikan disini adalah refleksi dari konsep tersebut dan hubungannya dengan kegiatan dakwah di lingkungan Mesjid Salman yang penulis menjadi salah seorang penggiatnya: kaderisasai. Dari persyaratan untuk menjadi marja’, kita ketahui betapa ketatnya, meliputi syarat akhlaq tertentu dan syarat penguasaan ilmu-ilmu agama, serta – sebut saja- ilmu-ilmu duniawi, seperti ilmu hukum, psikologi, komunikasi, dan lainnya. Dan, turunan dari ini, ketat juga, yaitu syarat untuk bisa mengajarkan Al Quran, jelas, tidak cukup hanya dengan modal terjemahan. Inilah yang dimaksud dengan refleksi atas kegiatan penulis di Mesjid Salman.
Pada waktu itu, penulis baru saja tinggal di Asrama Salman ITB. Satu kewajiban bagi yang tinggal di asrama itu adalah aktif di salah satu unit kegiatan yang dilaksanakan oleh Mesjid Salman ITB, di bawah Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB. Penulis memilih berkegiatan di bidang kaderisasi. Bidang ini antara lain menyelenggarakan pelatihan seperti LMD (belakangan setelah dilarang berubah namanya menjadi SII = Studi Islam Intensif), dan pembinaan alumni LMD/SII melalui mentoring. Nah dalam kegiatan mentoring ini, penulis merasakan apa yang disampaikan Kang Jalal tentang syarat penerjemah Al Quran itu selalu menggelitik, bahkan menggedor nurani, sedemikian keras. “Benarkah apa yang dilakukan ini?”, “Pantaskah hanya dengan modal terjemahan Al Quran, seorang di usia muda berani membahas dan mengajarkan kandungan dan maksud kitab suci umat Islam kepada sesama yang haus akan kebenaran?”, dst. Singkat kata, perkenalan dengan Kang Jalal yang luas dan lengkap ilmunya itu, penulis menjadi banyak berinstropeksi atas “dakwah” yang dilakukan selama ini di Mesjid Salman. Singkat cerita, seiring dengan Kang Jalal pada waktu itu juga mengalami pelarangan ceramah/ khutbah di Mesjid Salman (juga di masjid-mesjid dan lembaga dakwah lainnya), dengan tuduhan beliau adalah syiah, maka penulis pun berhenti dari berkegiatan di Mesjid Salman tersebut, dan keluar dari Asrama Salman alias tidak lagi menjadi penghuni asrama tersebut. Ini terjadi di sekitar 1985-1986.
Ceramah Wada’ tentang Kebahagiaan
“Dengan menyebut nama Alloh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, aku memulai pekerjaan ini. Dengan menyertakan nama Alloh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, aku memulai pekerjaan ini. Dengan memohon pertolongan dengan nama Alloh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, aku memulai kegiatan ini”. (makna bathin “Bismillaahirrohmaanirrohiim” sebagaimana yang penulis terima dari Kang Jalal).
Dalam ceramah-ceramahnya, Kang Jalal berdakwah sepenuh hati. Dakhwahnya sering melalui cerita atau dialog, sedemikian, sehingga pesan-pesan yang dibawakannya meresap di hati pemirsa. Bahkan, sepulang dari pengajian atau ceramah Kang Jalal, banyak jamaah yang langsung hafal inti dari materi pengajian atau ceramah yang baru saja diikutinya itu dan mampu menuturkannya kembali kepada yang lain. Salah satunya, makna batin dari “Bismillahirrohmanirrohiim” di atas.
Pembicaraan yang menghujam sampai mudah dihafal inti materinya, demikian kira-kira rumusan salah satu kehebatan Kang Jalal dalam berdakwah. Pada bagian ini lebih lanjut, disampaikan beberapa contohnya berdasarkan yang dialami penulis. Contoh-contoh yang juga memperkuat kesimpulan sebelumnya. Bahwa salah satu keberhasilan komunikasi Kang Jalal adalah membuat ilmu-ilmu agama dan sosial tidak asing lagi, bahkan disenangi, didalami, hingga digeluti oleh murid-muridnya. Murid-murid atau pengikut beliau yang banyak diantaranya mahasiswa sains dan teknik. Bagian ini ditutup dengan satu kenangan ceramah yang seingat penulis itu merupakan “ceramah wada’” (perpisahan) Kang Jalal dari lingkungan Mesjid Salman ITB.
Kuliah atau ceramah Kang Jalal tentang cinta dan pentingnya tenggangrasa dengan tetangga yang dibawakan atau memakai pengantar berupa cerita, masih membekas dalam ingatan. Kisah dari India tentang tiga raja yang mencitai seorang puteri, menjadi prolog yang sangat menarik untuk pelajaran penting tentang mencinta, yaitu bahwa “cinta itu walaupun, bukan karena”. Terimakasih Kang Jalal, pelajaran ini sangat indah dan bermanfaat sepanjang hidup. Demikian pula kisah yang Kang Jalal bawakan yang berasal dari sang sufi yang menari, Maulana Jalaluddin Rumi. Ya, tentang suara adzan yang buruk, yang bahkan membuat tetangga yang non muslim menjadi benci atau tidak simpati lagi terhadap Islam, sungguh merupakan pesan penting akan toleransi.
Kang Jalal juga sangat kreatif dalam meciptakan frasa kalimah yang bersastra dengan kandungan makna yang tepat. Misalnya, kl: “…rupanya, di kalangan ulama kita, manthiq sudah menthok”, untuk menggambarkan kondisi kebanyakan ulama yang lebih suka cepat menuduh, ketimbang menggunakan nalar, khususnya ilmu manthiq. Ungkapan lainnya, kira-kira: “para elite sudah tidak memperhatikan lagi rakyat alit”. Tentu, banyak dari para pembaca yang masih mengingat kepiawaian Kang Jalal di bidang bahasa ini.
Pengajaran lainnya dari Kang Jalal yang masih membekas adalah tentang “rekayasa sosial”. Seri kuliah ini dimulai dengan pelajaran tentang kesalahan berpikir (logical fallacy). Kuliah atau ceramah tentang dasar-dasar filsafat juga sudah mulai disampaikan pada masa ini. Penulis tidak akan membahas isi dari logical fallacy, sebab bukan ahlinya. Namun, yang menarik di sini adalah semangat Kang Jalal pada waktu itu. Dalam keadaan beliau dilarang berceramah di lingkungan masjid dan beberapa institusi, beliau dan para jamaahnya tak kehabisan akal. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, kuliah tentang logika itu dilaksanakan di ruang depan yang sempit di sebuah rumah milik seoarang jamaah di Jl. Caladi. Dan, Kang Jalal tidak keberatan, bahkan gembira berceramah di tempat seperti itu. Terimakasih Kang Jalal, sedekah ilmu yang penting ini.
Pada pertengahan dasawarsa 80-an, yang masih penulis ingat dari ceramah atau pengajian Kang Jalal adalah konsep atau pandangan manusia terhada harta, yaitu “kepemilikan” vs “kepemanfaatan”. Kang Jalal mewanti-wanti bahwa keyakinan yang berguna atas harta kekayaan itu bukan perkara “kepemilikan”-nya, melainkan “kemanfaatan”-nya. Bahasa sederhananya, percuma banyak harta, namun tak bermanfaat. Namun, harta yang sedikit bila dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, itu lebih membahagiakan. Terimakasih, Kang Jalal, telah mengajari kami prinsip hidup yang sangat penting ini.
Berkat Kang Jalal, kami juga jadi mengenal - meski selintas - tentang “medan makna” dari Toshihiko Izutsu. Teori dan tokoh ini tentu sangat terkenal di kalangan para ahli bahasa, komunikasi, dan ilmu-ilmu terkait, hingga filsafat dan tasawuf. Penulis masih ingat bagaimana Kang Jalal menerapkan teori itu terhadap beberapa kosa kata dalam Al Qur’an. Dari karyanya beliau ini, penulis menjadi tahu perbedaan antara atau untuk apa saja digunakan kata-kata: basyar, insan, dan an-naas dalam Al Qur’an. Kata-kata yang dalam terjemahan kita diartikan sama saja, "manusia". Demikian pula, beliau membukakan pengetahuan kita tentang cara komunikasi Islam, seperti diajarkan Al Qur’an. Di sini Kang Jalal menerapkan teori itu untuk menjelaskan kepada siapa atau kapan setiap cara atau istilah komunikasi dari AL Qur’an berikut ini digunakan: qaulan sadidan, qaulan balighan, qaulan ma’rufan, qaulan kariman, qaulan layyinan; dan qaulan maisuran.
Satu ilmu lagi dari Kang Jalal, yang penulis terima di masa awal dakwah beliau, ketika beliau masih boleh menjadi penceramah atau khatib di lingkungan Mesjid Salman, tentang teknik menulis buku. Beliau menyebutkan dua kunci utama dalam menulis buku, yaitu “format” dan “formula”. Alhamdulillah, dengan mendalami dua unsur utama yang harus dikenali terlebih dahulu sebelum menulis itu, pernah menulis buku dan editor majalah untuk lingkungan pemerintahan. Yakni, “terbitan plat merah”, alias terbitan yang pembuatannya dibiayai oleh pemerintah, dan tidak untuk dijual, melainkan untuk dibagikan kepada pihak-pihak terkait (instansi pemerintah lainnya, dll). Kang Jalal-lah yang memberikan teladan dan dorongan untuk mencintai buku dan menulis buku.
Dengan semangat menulis yang ditularkan oleh Kang Jalal, penulis, alhamdulillah, menjadi pemimpin redaksi (pemred) untuk majalah “Warta Geologi” (2006-2010) dan "Geomagz Majalah Geologi Populer (2011-2016) yang masing-masing terbit setiap tiga bulan sekali. Dalam kesemua terbitan tersebut, penulis mendapat tugas untuk menulis editorial; kadang-kadang juga menulis artikel. Selain majalah, penulis juga menulis beberapa buku terkait geologi, lebih khusus lagi berkenaana dengan keragaman geologi, warisan geologi, konservasi geologi, dan geopark; total lebih dari 10 buku. Dengan semangat ingin meniru Kang Jalal, juga motivasi untuk memanfaatkan anggaran pemerintah agar berbekas menjadi terbitan bermutu, alhamdulillah kedua majalah popular di bidang geologi tersebut mendapat sambutan dari mahasiswa dan penggiat bidang geologi, bahkan bidang geografi, planologi, pariwisata dan lainnya.
Yang paling penting dari cerita pengalaman ini tiada lain, penulis merasa dan mengaku bahwa semangat untuk menulis ini tersebab pergaulan penulis dengan almarhum Kang Jalal. Beberapa ajaran langsung dari beliau terabadikan dalam formula tulisan penulis, terutama di editorial majalah “Warta Geologi” dan “Geomagz”. Salah satunya, misalnya, dalam sebuah editorial majalah Geomagz, penulis memisalkan keadaan geologi (baca: alam) yang mengandung potensi memberikan kesejahteraan dan sesekali memberikan bahaya yang menjadi bencana, seakan dua sisi wajah Tuhan: “Jamaliyyah” dan “Jalaliyyah”. Tentu saja, pengetahuan tentang “Jamaliyyah” dan “Jalaliyyah” itu penulis peroleh dari Kang Jalal. Sungguh cara beliau menyampaikan materi pengajian atau ceramah sangat khas sehingga membekas dan menginspirasi.
Salah satu ciri khas Kang Jalal dlm berkomunikasi atau, secara umum, bergaul adalah beliau selalu memberikan sisi optimis atau semangat atau dorongan agar tidak putus asa, kepada kawan bicara atau jamaah. Di awal-awal dakwah Kang Jalal biasa mengisi kuliah subuh di Mesjid Salman, bahkan pernah pula beberapa kali memberikan pengajian tafsir Al Maroghi. Pada waktu itu, sering pula diadakan latihan pidato atau berceramah, dimana Kang Jalal sebagai penilainya. Dalam setiap penilaian tersebut, Kang Jalal selalu memberikan semangat yang memotivasi kami.
Di pertengahan dasaawarsa 80-an itu, tibalah masa dimana dunia keterbukaan di lingkungan Kota Bandung menjadi suram. Kang Jalal dilarang untuk berceramah atau khutbah di masjid-mesjid dengan alasan beliau penganut syiah. Ini termasuk di lingkungan mesjdi Salman. Namun, beliau menerimanya dengan lapang dada dan tetap tersenyum. Bahkan, tidak menolak untuk tetap mengisi giliran ceramah terakhir sesuai jadual, sebelum larangan itu diberlakukan. Seingat penulis, ceramah beliau tentang kebahagian adalah ceramah perpisahan (ceramah wada’, demikian kami saat itu menyebutnya). Ceramah ini juga menunjukkan bahwa perhatian beliau tentang jalan mencapai kebahagian sudah muncul sejak periode awal dakwah beliau.
Pagi, sekitar pk 08-an, hari Ahad itu, di mimbar Mesjid Salman, terdengar Kang Jalal mulai mengutip hadist dari Imam Hasan as yang disampaikan saat sang imam duduk diatas kudanya. "Thubaa liman tsagola 'aibuhaa 'an uyuubin an naas" …dst, demikian bunyi awal hadist tersebut sebagaimana penuturan Kang Jalal, masih terngiang dalam pendengaran. Berikutnya, dengan sangat pasih dan mempesona, berebet Kang Jalal memaparkan ke-10 rukun kebahagian yang terkandung dalam hadist itu. Diantaranya yang masih ingat: "Berbahagialah orang-orang yang disibukkan oleh (memikirkan) aibnya sendiri ketimbang aib orang lain. Berbagialah orang-orang yang baik kasabnya, baik apa yang tampak dari luarnya, baik pula apa yang ada di dalamnya, dan istiqomah jalan hidupnya. Berbahagialah orang-orang yang menyayangi kaum miskin dan papa, dan sering bergaul dengan alim ulama dan ahli hikmah. Berbahagialah orang-orang yang menginfakkan kelebihan hartanya, dan menahan kelebihan pembicaraannya". Kemudian, dengan mengutip perawi hadist itu yang menyebutkan bahwa Imam Hasan as setelah menyampaikan hadist tersebut lalu turun dari kudanya, beliau pun menutup (closing) ceramahnya dengan berujar: “…maka saya pun turun dari mihrab ini, wassalaamu a’alaikum warohmatullohi wa barokaatuh”.
Ulul-Albab, para Hafidz dan Satu Truk Beras untuk Garut Selatan
“Seandainya kemiskinan berujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya” (ucapan Imam Ali as, dikutip dari buku Kang Jalal, “Islam Alternatif”)
Kutipan diatas adalah favorit Kang Jalal di awal dakwahnya. Ya, sejak awal, Imam Ali as adalah model “sahabat” yang menjadi panutan dan rujukan Kang Jalal. Dan, lebih-lebih lagi ketika dan setelah Kang Jalal mempelajari Islam “baru”, Islam madzhab Ahlul Bayt. Imam Ali as, bukan saja sahabat terunggul, beliau as bahkan adalah seorang imam yang Nabi saw telah berpesan untuk mengikutinya. Tentu saja, Imam Ali as adalah ulul-albab yang paling depan, teladan kita semua.
Ulul-Albab termasuk tema yang sejak awal dakwah sudah disentuh alm Kang Jalal. Tema ini berkelindan dengan etika Islam dalam sains, epistemologi Islam, dll, sebagaimana dibahas dalam satu bab khusus di dalam buku "Islam Alternatif" (IA). Beberapa isi bab itu adalah bahan kuliah beliau atau pernah beliau bahas dalam kuliah "Etika Islam" yang diampu beliau di ITB pada 1984. Tentang maksud ulul-albab, penulis tak perlu membahasnya lagi, karena khawatir salah. Selain itu, di buku IA dan buku lainnya karya Kang Jalal, pembahasan tentang hal itu sudah lengkap. Di sini penulis hanya ingin memberikan kesaksian tentang representasi ulil-albab dalam diri Kang Jalal.
Kang Jalal, penulis saksikan sehari-hari, beliau memenuhi kelima ciri-ciri ulul-albab yang beliau sarikan dari Al Qur’an dan hadist Nabi saw dalam buku IA. Pertama, bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS 3:7 dan QS 3:190). Kedua, mampu memisahkan yang jelak dari yang baik, kemudian ia memilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan sekian banyak orang (QS 5:100). Ketiga, kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS 39:18). Keempat, bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya; bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat akan adanya ketimpangan dan ketidakadilan (QS 14:52 dan QS 13: 19-22). Kelima, tidak takut kepada siapa pun kecuali Alloh (QS 2:197, QS 5:179, dan QS 65:10).
Salah satu buktinya, saat-saat ketika Kang Jalal semacam diadili dalam forum-forum yang sengaja diadakan untuk itu, karena dianggap menganut madzhab syi’ah. Misalnya, peristiwa di kantor MUI, Jl. RE Martadinata, Bandung pada medio dasawarsa 1980-an (lupa lagi persisnya, mohon maaf). Kami saksikan Kang Jalal dengan gagah berani, tanpa rasa takut walau sendirian (kecuali jika kami, para pengantar, dihitung sebagai pendukungnya), mempertahankan argumentasi dengan teknik komunikasi yang sangat baik. Dalam beberapa forum “pengadilan” seperti ini, di medio dasawarsa 1980-an itu, tak pernah sekalipun Kang Jalal kalah dalam berdiskusi atau debat. Walau pada akhir acara, tetap saja Kang Jalal dituduh sesat, karena menganut syi’ah yang mereka anggap sesat itu. Namun demikian, forum-forum seperti itu terkadang membawa hikmah, karena tak jarang, dari forum-forum seperti itu justru lahir pengikut Kang Jalal yang setia.
Selain ulul-albab, istilah atau kosa kata yang menjadi fokus Kang Jalal di awal dakwahnya adalah “mustadafin”, lebih tepatnya lagi, keberpihakan kepada kelompok “mustad’afin”. Ini adalah suatu istilah yang berarti kelompok tertindas atau golongan yang dilemahkan oleh sistem yang ada. Terkait aspirasi pembelaan kepada kaum mustadafin ini, selain tokoh Imam Ali as yang menjadi panutan dan model, ada tokoh lainnya yang dikagumi dan menjadi favorit Kang Jalal: Abu Dzar Al Gifhari (Abu Dzar). Banyak ceramah Kang Jalal terkait tema peduli kepada yatim piatu, fakir miskin dan mereka yang papa, atau secara umum, pentingnya ibadah sosial, sering diberi pengantar atau memuat kisah Abu Dzar. Kisah heroik seorang sahabat Nabi saww yang juga pecinta Ahlul Bayt-nya as dalam memperjuangkan hak-hak kaum kecil atau pun mengkritik pemerintah (raja), bahkan para sahabat, yang abai kepada kaum fakir miskin.
Di masa awal-awal dakwahnya, dalam kondisi ekonomi yang boleh dikatakan belum mapan, Kang Jalal tidak hanya pandai menceramahi yang lain, namun beliau memberi contoh langsung bagaimana kepedulian sosial itu dibangun. Beliau sering membantu yang kekurangan, siapa pun yang mendatangi beliau menyampaikan keluh-kesahnya, seolah tak mau sedikitpun ada cerita ada penduduk di sekitarnya atau sahabat dan kenalan, bahkan mereka yang dari jauh sekalipun. Penulis sendiri menyaksikan di masa awal dakwah beliau itu, ada warga di sekitar rel keretaapi, di Kiaracondong; ada juga pengurus anak yatim dari Maja, Majalengka, dan lainya, kesemuanya rutin dibantu oleh Kang Jalal. Cerita tentang Kang Jalal yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi ini sudah bertaburan di berbagai wa ataupun tulisan mengenang beliau.
Seringkali Kang Jalal memperoleh kisah-kisah hikmah atau sufistik dari pergaulan dengan kaum papa atau mereka yang mendatangi Kang Jalal untuk meminta bantuan tersebut. Dan Kang Jalal adalah seorang pencerita yang hebat dalam hal yang “happening” yang bermanfaat. Kisah perjuangan para penghapal Al Qur’an (hafidz) berikut ini misalnya. Suatu hari saat saya menemui Kang Jalal, beliau bercerita bahwa belum lama ini beliau kedatangan beberapa calon hafidz yang memohon infaq atau bantuan Kang Jalal untuk biaya hidup sehari-hari di pondok tempat mereka menghapal Al Qur’an. Para hafidz itu mengatakan bahwa mereka hanya butuh biaya hidup untuk beberapa hari saja sebab dalam beberapa hari tersebut mereka akan lulus hafalan Al Qur’an-nya. Lalu, Ketika Kang Jalal bertanya, “Nanti bagaimana biaya sehari-hari untuk makan dll, setelah hafal Al Qur’an?”. Mereka menjawab: “In syaa Alloh, Alloh akan menjamin kehidupan para panghafal Alqur’an sebagaimana Alloh menjamin Al Qura’an tetap terpelihara” (merujuk kepada Al Qur’an surah Al Hijr ayat ke-9 ).
Kembali kepada kepedulian sosial ala Kang Jalal. Pembelaan atau keberpihakan kepada kaum mustad’afin yang dilakukan beliau sejak masa awal dakwah, diberinya argumentasi yang kuat dan tak terbantahkan. Kang Jalal mengemukakan dalam beberapa ceramahnya (belakangan juga dalam bukunya), bahwa dimensi sosial adalah dimensi yang paling penting di dalam agama Islam. Masih terngiang di pendengaran, pembicaraan beliau di mimbar masjid Salman, dalam sebuah kuliah Ahad pagi, tentang hal itu. Katanya, “Ada lima dimensi dalam beragama: ideologikal, intelektual, mistikal, ritual, dan sosial. Jika agama Kristen kuat di dimensi intelektual, agama Hindu dimensi mistikal, lalu (paham) agama lain menguatkan aspek ideologi, nah, dalam Islam semestinya dimensi apa yang paling menonjol?”. Beliau sendiri menjawab: “dimensi sosial!”, katanya.
Kemudian, derekdek beliau menyampaikan sejumlah argumentasi berdasarkan banyak ayat Al Qur’an dan beberapa hadist berikut analisisnya yang menunjukkan bahwa ibadah sosial adalah dimensi paling penting dalam Islam. Argumentasi itu akan memakan tempat (dan waktu untuk membacanya), jika dituliskan semua. Para pembaca yang belum tahu (dan penasaran ingin tahu) dapat merujuk kepada buku-buku beliau (IA, misalnya). Yang penting disampaikan di sini adalah keberpihakan Kang Jalal kepada kaum mustad’afin atau urusan sosial sudah beliau perjuangkan sejak awal dakwahnya. Dan, untuk semua itu, beliau langsung memberikan contoh. Dengan kata lain, dakwah bil hal. Salah satunya, pembentukan Divisi Mustad’afin dalam Yayasan Muthahhari dan mengirimkan bantuan beras untuk mereka yang rawan daya beli di Garut selatan.
Yayasan Muthahhari merupakan perwujudan keberpihakan Kang Jalal kepada penyelesaian masalah-masalah sosial, selain juga untuk mewujudkan ulul-albab atau intelektual plus itu (sejatinya, sebagaimana pembahasan Kang Jalal dalam buku-bukunya, para ulul albab juga banyak membenahi masalah-masalah sosial). Masih membekas dalam ingatan, bagaimana tanah dan bangunan Gedung utama/pertama yayasan itu dibangun. Untuk mewujudkan hal itu, Kang Jalal tak kehilangan akal, beliau dan jajaran yayasan, menerbitkan semacam sertifikat untuk para para calon pewakaf. Wakaf dibuka dengan minimal (seharga) satuan meter persegi. Alhamdulillah, akhirnya terwujud juga gedung (pertama) tempat kegiatan Yayasan Muthahhari itu.
Di dalam Yayasan Muthahhari juga dibentuk divisi khusus yang menangani urusan sosial, khususnya bantuan kepada kaum mustad’afin. Namanya divisi Imdad Mustad’afin (IM). Masih terkenang dalam ingatan, Kang Jalal melalui divisi ini memberikan bantuan sebanyak satu truk beras ke daerah Garut Selatan. Waktu itu, di medio 1980-an, terjadi kasus "Rawan Daya Beli" (RDB) di daerah Pakenjeng, Garut Selatan. Istilah RDB sebenarnya - meminjam pelajaran dari Kang Jalal - sebuah efimisme atau penghalusan bahasa dari istilah "kelaparan".
Kang Jalal, begitu mendengar ada berita bahwa di Pakenjeng terdapat masyarakat yang kelaparan, akibat kekeringan dan faktor lainnya, beliau segera menyiapkan 1 truk beras untuk dikirimkan ke masyarakat yang kelaparan di Pakenjeng. Divisi IM diberi tugas untuk mengantarkan beras tersebut ke tujuan. Kebetulan penulis sendiri dengan beberapa teman (kalau tak lupa, a.l pak Yani) yang ditugaskan mengawal dan mewakili Kang Jalal untuk menyampaikan beras tersebut kepada yang berhak di sana, melalui aparat desa setempat. Alhamdulillah, tidak sampai setengah hari, kiriman sampai dan segera dibagikan kepada yang berhak di Pakenjeng, Garut Selatan.
***
Demikian sesambang kenang (satu kunjungan singkat kenangan) untuk almarhum alamah ustads kita semua, Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc (Kang Jalal) yang telah mendahului kita meninggalkan alam fana ini pada 15 Februari 2021, empat hari setelah ditinggal almarhumah ceu Euis Kartini, isteri tercintanya. Memang tak banyak yang dapat saya tuliskan, Kang, rumaos abdi tambelar ka salira (diri ini merasa tak banyak memperhatikan engkau selama ini). Bral, tangtos caang padang poe panjang salira. Neda tawakufna, mugia ulah kirang ngahapunten ka abdi sadaya; sareng neda kahemanna, dina dintenan qiyamah engke, mugia maparin syafaat ka abdi sadaya (Selamat jalan, tentu terang benderang hari panjang engkau di alam sana. Mohon dimaafkan kami semua atas kurangnya pengkhidmatan kami kepada akang selama ini; dan mohon belas kasihnya, pada hari qiyamah nanti, semoga akang berkenan memberikan syafaat kepada kami semua. Aamiin. Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad, Al Faatihah ma’a ash sholawat untuk alm Kang Jalal dan almh isteri tercintanya).***
Bandung, 3 Maret 2021/ 19 Rajab 1442 H.