top of page
  • Writer's pictureAkhi

SUKSES YANG BERACUN


Napoleon envired Caesar, Caesar envied Alexander,

and Alexander, I daresay, envied Hercules, who never existed.

You cannot, there fore, get away from envy by means

of success alone, for there will always be in history

or legend some person even more succesful than you are.

Bertrand Russel


Saya seorang suami yang, setidaknya menurut pendapat saya, tidak banyak menuntut yang bukan-bukan. Istri saya seorang yang bergerak di bidang bisnis sedangkan saya pegawai negeri biasa, golongan tiga. Selama ini kehidupan perkawinan kami biasa-biasa saja, sampai kira-kira setengah tahun yang lalu ketika saya mulai menyadari bahwa saya kurang mendapat perhatian dari istri saya. Soalnya, kalau saya pulang dari kantor, istri saya sering tidak ada di rumah. Mula-mula memang saya memahami hal itu, sebab ia seorang yang sibuk berbisnis, tetapi lama-kelamaan saya menjadi sedikit curiga dan sakit hati. Bukankah seorang suami itu berhak mendapatkan perhatian dari istrinya: setidaknya diterima dengan salam atau ditanya apa saja yang saya lakukan hari itu? Saya sadar bahwa rumah tangga kami boleh dikatakan sepenuhnya bergantung pada penghasilan istri, namun apakah memang sama sekali tidak tersedia waktu bagi istri saya untuk, katakanlah, mengurus saya misalnya saja menemani makan atau sekadar menyediakan minuman. Tidak usahlah ia melepaskan sepatu saya seperti yang dikerjakan nenek saya terhadap suaminya beberapa puluh tahun yang lalu, atau mencium saya seperti yang sering kita saksikan di sinetron.


Kalau saya memberanikan diri untuk bertanya, jawabnya enteng saja, "saya kan ngurus bisnis dengan Bu Dadap atau Pak Waru; Ayah mestinya maklum, dong" la memanggil saya Ayah, meskipun kami belum punya anak dan menginginkan. kehadiran seorang bayi yang mungil. Jika kebetulan saya. sudah pulang pun, ia sering sekali inta izin untuk pergi ke rumah Bu Anu mengurus bisnis: "Dekat saja, kok. Paling setengah jam." Dan ia baru pulang dua atau tiga jam kemudian. Saya tidak berhak mengusut apa-apa meskipun ada juga rasa cemburu jangan-jangan la telah begini atau begitu.


Penghasilan saya sebagai pegawai negeri memang kecil dibanding dengan pendapatannya berbisnis ke sana ke mari, tetapi lama-kelamaan saya tidak bisa menerima keadaan serupa itu. Saya tidak menuduhnya main ini atau main itu, tetapi hanya mengharapkannya sedikit memberikan perhatian pada saya. Jika saya kemukakan hal itu jawabnya enteng juga, "Saya kan sudah menyediakan makan untuk Ayah. Makan dululah, saya nanti saja kalau urusan dengan Pak Anu sudah selesai." Dan ia pun kabur begitu saja. Ia memang tidak begitu suka memasak, jadi kami makan rantangan.


Istri saya memang tidak pernah menyinggung pekerjaan saya sebagai pegawai negeri, apalagi merendahkan gaji saya yang memang rendah. Saya juga tidak pernah memasalahkan kegiatannya sebagai makelar. Tetapi, entah karena apa, akhir-akhir ini saya suka merasa sangat tersinggung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa terhadap istri saya. Tidak usah diperdebatkan, saya mencintainya. Hanya saja sisi perasaan saya yang lain tidak bisa juga disembunyikan, dan tidak mungkin dibendung jika sudah meluap. Mungkin saya ini seorang suami yang berpandangan kuno, tidak begitu memahami perubahan zaman. Jadi, saya merasa sampai pada jalan buntu. Saya akhirnya memendam keinginan yang hampir tak terbendung untuk membunuhnya saja supaya masalahnya beres. Saya benar-benar mencintainya dan karenanya tidak bisa berpisah darinya, tetapi juga tidak rela diperlakukan demikian. Jadi biar saja ia mati di tangan saya agar saya dijatuhi hukuman mati. Bunuh diri? Maaf, saya tidak memiliki nyali untuk itu, bukan terutama perkara dilarang agama. Dan membunuhnya akan menandakan bahwa lelaki makhluk yang lemah, bukan? Namun, kalau saya terus-terusan diam saja begini, apa itu bukan tanda lebih jelas lelaki memang makhluk yang lemah?


Ini masalah pribadi, namun dengan menyampaikannya kepada Anda saya setidaknya bisa merasa agak lega-jadi tidak begitu perlu Anda menjawab surat ini. Biar sajalah segala sesuatunya berlangsung seperti yang sudah direncanakan-Nya. Terima Kasih.


Kutipan di atas bukan konsultasi psikologis. Saya mengambilnya dari kumpulan cerpen Sapardi Djoko Damono, Membunuh Orang Gila. Dengan ketajaman mata dan pena sastrawan, Sapardi menangkap gejala psikologis yang disebut oleh Paul Pearsall, doktor psikologi pendidikan, sebagai toxic success, sukses yang beracun. Gejala ini begitu banyak menyebar di dunia modern sehingga orang menganggapnya sebagai normal.


Baru saja kita membaca seorang suami yang menderita karena istrinya sudah tidak memperhatikan dia lagi setelah bisnisnya sukses. Tengoklah di sekitar Anda. Anda melihat seorang eksekutif muda yang berhasil mengelola bisnisnya. la sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak sempat memperhatikan anak-istrinya. Setiap akhir pekan, ketika eksekutif muda itu sibuk mengurus perusahaannya, istrinya mencari PIL untuk mengobati kesepiannya. Dan anaknya harus dititipkan kepada siapa saja yang mau menerimanya.


Pada tempat lain, seorang ilmuwan yang sukses menghabiskan waktu di laboratoriumnya. Hampir setiap hari, ia pulang larut malam (Itu pun kalau pulang). Istrinya mengeluh, "Tampaknya ia tidak melihatku. Sekali melihat, ia tampak terkejut seakan-akan melihat hantu yang baru muncul dari kegelapan, la sangat telaten memperhatikan pekerjaannya; tetapi seringkali tidak menghiraukan aku dan anakku. la tidak mau memberikan waktu dan perhatian yang khusus kepadaku sebagai istrinya. Kayaknya, kalau tidak perlu-perlu amat, ia tidak mau Melihatku.”


Secara tidak sengaja, saya menyaksikan wawancara dengan artis pada televisi di rumah makan Padang, artis tersebut, dengan kepolosan anak desa yang masih tersisa, mengusap airmatanya. la merindukan berkumpul dengan orangtuanya, menikmati nasi dengan tempe dan tahu goreng. Ia merasa suksesnya dalam "menari" telah melukai hatinya. Untuk memuaskan penontonnya, ia pernah menahan rasa sakit yang amat pedih pada kakinya. Di situ, di atas panggung ia berputar-putar dengan gembira; padahal jauh dalam lubuk hatinya, ia menangis pilu. la merasa sudah tidak mampu lagi melakukan apa yang ia inginkan. Ia harus tunduk pada keinginan penontonnya. Jadwalnya begitu padat, sehingga ia tidak punya waktu bahkan untuk dirinya sendiri.


Joe Kita, penulis pada majalah Men's Health memasang iklan pada situs webnya: "kami sedang mencari orang yang hidup sempurna tetapi tidak bahagia. Jika Anda punya pekerjaan besar rumah besar yang penuh dengan barang besar, tetapi Anda merasa tidak bahagia, dan sewaktu-waktu, malah menderita, kami ingin mendengarnya dari Anda." Segera saja Kita menerima ratusan respon. Rupanya, orang sukses yang tidak bahagia bukan kekecualian, tetapi aturan. "Dysthymia, kata Pearsall, "perasaan sedih yang kronis dan hilangnya energi kehidupan di tengah-tengah kehidupan sukses dan tampak bahagia, kelihatan makin normal.”


Untuk mengantarkan buku Pearsall, Toxic Success: How to Stop Striving and Start Thriving, Matt Biondi, peraih medali emas dalam olimpiade menulis:


Tidak pernah aku begitu tidak bahagia selain ketika pada akhirnya aku mencapai tingkat sukses yang untuk mencapainya aku telah menghabiskan seluruh hidupku. Aku telah menjadi hanya pemenang kedua dalam sejarah yang memperoleh tujuh medali dalam satu olimpiade. Aku telah meraih sebelas medali pada tiga olimpiade dan secara keseluruhan, delapan medali emas. Tetapi aku melihat bahwa setiap kali sebuah medali olimpiade baru dilingkarkan di leherku, pikiran aneh terbersit dalam benakku: bahwa sukses seperti yang telah aku pikirkan sepanjang hidupku hanyalah ilusi...


Selama detik-detik yang paling menegangkan pada upacara penyematan medali, bahkan ketika aku merasakan beratnya medali emas yang menekan dadaku, aku takut bahwa pengarah acara drama ini dalam setiap menit akan berteriak, "Hentikan! Keluarkan anak ini dari sini! Dan kirim ke kampung halamannya!". Aku ingat kenangan masa kecil ketika aku jatuh, mengusap daguku dan lari ketakutan untuk dihibur ibuku. Aku ingat bagaimana rasanya menunjukkan kelemahanku secara bebas dan bukan menunjukkan betapa aku tidak terkalahkan. Aku tidak ingin menjadi pahlawan – aku ingin menunjukkan kebutuhanku yang biasa-biasa seperti orang lain. Aku ingin bebas berbagi hidup yang bermakna dan bahagia dengan orang-orang yang aku cintai, untuk menikmati perasaan menjadi saudara yang baik, anak yang penuh kasih, dan pada suatu hari seorang suami dan ayah yang membahagiakan anak-anakku sendiri, serta berbagi kekacauan hidup yang menakjubkan dengan seseorang yang mencintaiku bukan karena, tetapi, walaupun, aku berhasil.


Dalam peran baruku sebagai pahlawan olimpiade. hidupku menjadi lebih rumit, lebih membingungkan, dan lebih lepas dari diriku sendiri. Sebagaimana kebanyakan orang dalam kebudayaan modern, dahulu aku percaya bahwa berjuang mencapai tingkat sukses setinggi-tingginya akan mengubah segala hal dalam hidupku menjadi lebih baik. Aku telah mengejar sukses karena, seperti kebanyakan orang, aku berpikir bahwa keberhasilan akan mengangkatku di atas semua yang lain dan bahwa aku akan merasa berada di atas dunia. Tetapi bersamaan dengan sukses yang aku rindukan, datanglah kesadaran bahwa berada di atas dunia membuat aku tidak lagi menjadi bagian dari dunia. sebenarnya -bahkan aku merasa hilang di dalamnya.


Aku pernah beranggapan bahwa sukses akan membuatku kebal pada derita sehari-hari. Pada akhirnya perjuanganku yang terus-menerus itu tidak menghasilkan perasaan bahagia. Aku pernah menduga sukses akan memberikan kepadaku kebebasan untuk menikmati hidup yang penuh keistimewaan dan keberhasilan. Sebaliknya, sukses telah memperbudak aku, karena begitu aku tampak memilikinya, sukses akhirnya memiliki aku.


Sekarang aku mengerti dengan kesadaran bahwa sukses mengandung racun. Datanglah kesadaran lain bahwa semua uang dan keberhasilan di dunia ini tidak dapat membeli kehidupan sebenarnya, yang merupakan dasar hakiki dari sukses yang sejati. Aku telah belajar bahwa kebahagiaan menjalani kehidupan yang biasa itu tidak ternilai harganya. Kebahagiaan itu tidak dapat dibeli atau direbut. Seperti kata Dr. Pearsall, kebahagiaan harus diperhatikan.


Ternyata uang dan sukses tidak dapat membeli kebahagiaan. Umumnya kita yakin bahwa kita bahagia, apabila kita sukses, kaya, atau dapat menikmati macam-macam kesenangan. Keyakinan itu begitu kuat sehingga kita terpesona melihat orang yang memiliki salah satu atau ketiga-tiganya. pun seringkali merenung, "kapan kita seperti mereka?" lalu, kita habiskan waktu dan umur kita untuk mengejarnya. Bersamaan dengan kehilangan waktu, tidak jarang kita kehilangan orang-orang yang kita cintai. Sukses, kekayaan, dan kesenangan tidak dengan sendirinya mendatangkan kebahagiaan, seperti dikisahkan Sa’di. Semuanya hanyalah alat untuk mencapai kebahagiaan seperti dibahas Aristoteles. Marilah kita mulai dengan melihat gejala sukses yang beracun. Setelah itu, kita akan menyaksikan bagaimana kekayaan menurunkan kebahagiaan; dan bagaimana kesenangan bisa membuat kita menderita kejenuhan.



KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

27 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page