Akhi
TAFSIR AYAT HUKUM PUASA

Diantara kitab tafsir, ada yang secara khusus membahas tentang ayat-ayat hukum di dalam Al-Quran. Seperti kitab tafsir yang ditulis oleh Muhammad Ali Al-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam. Inilah kitab tafsir yang mengumpulkan dan memilih khusus ayat-ayat hukum saja, dan tidak membahas seluruh ayat Al-Quran.
Jumlah ayat hukum dalam Al-Quran berbeda-beda sesuai dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Ada yang menyebutkan jumlah ayat hukum hanya enam puluh ayat; ada juga yang mengatakan ratusan ayat; tetapi ada pula yang berpendapat bahwa seluruh ayat Al-Quran itu mengandung implikasi hukum. Misalnya Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Iklil, menunjukkan bahwa semua ayat Al-Quran mengandung implikasi hukum, dengan dasar ayat Al-Quran itu sendiri. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah... (QS Al-Ma'idah [5]: 49).
Al-Suyuthi juga mengatakan bahwa ayat 6 dan 7 Surah Al- Fatihah [Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat] mengandung implikasi hukum, yaitu hendaknya kita mengikuti orang-orang terdahulu yang baik dan tidak mengikuti orang-orang terdahulu yang jelek. Atau kita harus mengambil pelajaran yang baik dan meninggalkan yang jelek dari masa yang lalu.
Semua ayat (termasuk sejarah) mengandung implikasi hukum juga. Sebagai contoh, kisah Ashhabul Kahfi. Ashhabul Kahfi memasuki gua, tidur, dan meninggal dunia di situ. Lalu ada orang mukmin yang mengatakan, "Bagaimana kalau kita bangun di atas kuburan mereka sebuah masjid?" Kemudian orang-orang mukmin membangun masjid di atas kuburan Ashhabul Kahfi. Dan peristiwa ini menjadi ketentuan hukum dalam Al-Quran perihal membangun masjid di atas kuburan.
Sebagian mengatakan boleh membangun masjid di atas kuburan orang-orang saleh sebagai peringatan. Tetapi, menurut sebagian lagi, hukum seperti itu bertentangan dengan hadis yang mengatakan tidak boleh shalat di atas kuburan. Sebagian lagi berpendapat hukum ini ditunjang hadis lain yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah shalat di atas kuburan. Misalnya, Rasulullah Saw. pernah shalat di atas kuburan Al-Kharqa, seorang perempuan penyapu masjid yang meninggal dunia, yang baru diketahui Rasulullah Saw. ketika beliau mendatangi masjid. Rasulullah meminta sahabat-sahabatnya untuk menunjukkan di mana letak kuburan perempuan itu. Dan beliau shalat di atas kuburannya.
Jadi, ayat ini mempunyai implikasi hukum yang bertentangan dengan hadis yang satu dan sesuai dengan hadis yang lain. Tetapi dalam ilmu hadis, ketika kita memilih hadis mana yang lebih kuat, maka kita memilih hadis yang paling sesuai dengan Al-Quran.
Ketika ingin mengelompokkan ayat-ayat hukum, kita sering mengalami kesulitan apakah ayat ini ayat hukum, ayat sejarah, atau ayat akidah. Pada kenyataannya, ayat yang sama bisa mengandung akidah, sejarah, dan juga hukum. Walaupun mengalami kesulitan seperti itu, Al-Shabuni berusaha mengelompokkan ayat- ayat hukum dalam rangkaian kuliahnya tentang ayat-ayat hukum. Ayat tentang puasa, misalnya, beliau cantumkan pada kuliahnya yang kesembilan.
Ayat Al-Quran yang dipakai sebagai ayat hukum puasa adalah ayat 183-185 Surah Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamun agar kamu bertakwa. Yaitu pada hari-hari yang telah ditentukan. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan dalu ia berbuka, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menja lankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu). memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerela an hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petron juk itu dan pembeda Karena itu, barang siapa di antara kamn hadir di bulan itu, dan barang siapa sakit atan dalam perjalanan (lalu ia berbukal, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesakaran bagimu, dan hendaklah kamn mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Kata-Kata Kunci Ayat Puasa. Mari kita mulai membahas beberapa kata kunci dari ayat tentang puasa itu:
Al-Shiyam. Berasal dari kata shima-yashimur-shaman wa shiyaman. Al-Shiyam menurut bahasa pada mulanya berarti meninggalkan diri dari sesuatu. Kalau kendaraan atau binatang tunggangan tidak mau jalan, orang Arab menyebutnya shámar al-khail idza amsakat 'an al-sair Kuda itu berpuasa, mogok, dan tidak mau jalan). Kalan angin yang bertiup kemudian tiba-tiba berhenti, orang Arab menyebutnya shamat al-ril tangin berpuasa). yang artinya berhenti bergerak.
Dalam Kitab Al-Roghib, yang disebut shaun berarti tidak melakukan sesuatu, baik makanan, pembicaraan, maupun perja lanan. Karena itu, kuda yang tidak mau berjalan disebut "kuda itu berpuasa". Kata Abu Ubaidah, setiap orang yang meninggalkan makan, tidak man bergerak, dan tidak man berbicara (di dalam bahasa Arab) disebut shaim. Sedangkan menurut istilah syarak. yang dimaksud dengan shiyam adalah menahan diri dari makan. minum, dan bercampur dengan istri/suami dengan niat, dari terbit fajar sampai tenggelam matahari.
Pengertian di atas memujukkan beberapa hal. Pertama, itulah syarat minimal puasa. Kedua, puasa itu harus disertai niat. Waktu nya dari terbit fajar sampai tenggelam matahari. Dan sempurnanya puasa, yaitu meninggalkan hal-hal yang tercela dan tidak melaku kan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Ma’dudát. Berasal dari kata 'adda-ya'nddu, yang artinya menghitung. Seperti kata wa 'addadah dalam Surah Al-Humazah. yang artinya mengumpul ngumpulkan harta dan menghitung- hitunganya. Kata ayyaman ma'didat, dalam ayat puasa berarti hari-hari yang dihitung waktunya. Yang dimaksudkan di sini, yaitu bulan Ramadhan. Al-'iddah juga berarti bilangan tertentu.
Yuthiqunahu. Artinya melakukan sesuatu, tetapi dengan berat sekali. Sesuatu yang sangat berat kita memikulnya, tetapi masih bisa kita lakukan disebut thogah. Sehingga ada sebuah doa yang berbuyi, "Wa là tulammila mà là thảouta kani bih"(Jangsan engkau bebankan kepada kami apa yang tidak bisa kami pikul).
Fidyah. Fidyah berasal dari kata fada. Fidyah artinya menebus. Orang Arab kadang-kadang bersumpah dengan kata-kata ini. Misalnya: Ju’iltu fidala ya Rasulallah biarlah diriku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah).
Syahr. Berasal dari syahara, yang berarti muncul. Kalau suatu perkara muncul ke permukaan, orang Arab mengatakan syahara al-am (perkara itu tampak jelas). Kalau ada orang mencabut pedangnya dari sarungnya, mereka mengatakan syahara al- saif (dia membuka pedangnya).
Digunakan kata syahr karena ada sesuatu yang terbuka dan yang dikenal. Oleh karena itu, kita kenal pula kata masyhur- yang sering kita pergunakan-yang berarti terbuka.
Mengapa bulan disebut syahr? Karena bulan diketahui lewat penglihatan yang masyhur. Secara bahasa menunjukkan bahwa datangnya bulan ini harus berdasarkan berita yang kemudian tersebar secara masyhur. Dan hal ini merupakan salah satu dalil baliwa bulan puasa harus berdasarkan ruyat. Artinya, ada orang yang melihat bulan, kemudian menyampaikannya kepada orang banyak.
Ramadhan. Ramadhan merupakan schnah kata mahni (yang tak berubah bentuk) pada fathah. Ia harus selalu dibaca ramadhana, bukan ramadhanu atan ramadhani Kata ramadhan berasal dari kata al randlat yang artinya membakar sesuatu.
Menurut riwayat, kata Al-Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf, dahulu ketika orang Arab memindahkan nama bulan-bulan itu ke dalam bahasa Arab-karena yang menamai bulan-bulan itu sebetulnya adalah bukan bangsa Arab, tetapi bangsa Babilonia yang telah mengenal perhitungan peredaran bulan-mereka menggantinya berdasarkan waktu ketika mereka mengalami bulan- bulan itu. Sehingga ada nama Rabi' Al-Awwal dan Rabi' Al-Akhir. Rabi' artinya musim semi, karena kebetulan waktu itu Rabi' Al-Awwal jatuh pada musim semi. Akan tetapi, karena perhitungan bulannya memakai peredaran bulan, bukan peredaran matahari, maka bulan Rabi' Al-Awwal dan Rabi' Al-Akhir tidak selalu jatuh pada musim seni.
Pada waktu pengalihan nama-nama bulan itu, Ramadhan jatuh pada musim panas sehingga disebut Ramadhan, musim sangat panas. Sekarang, walaupun Ramadhan jatuh pada musim dingin, tetap saja disebut Ramadhan. Dalam hadis, disebut Ramadhan karena bulan ini membakar dosa-dosa kita.
Setelah kita melihat kata-kata kunci di atas, kita akan melihat segi-segi hukum ayat ini.
Makna dan Implikasi Hukum Ayat Puasa. Ayat ini mengandung beberapa makna. Pertama, puasa sebenarnya juga diwajibkan atas umat-umat terdahulu. Umat-umat sebelum kita, termasuk kaum Nasrani dan Yahudi. Kalau Anda mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, Anda akan menemukan bahwa puasa terdapat dalam semua agama, juga dalam agama Hindu dan Buddha. Tentu bentuk puasanya bermacam-macam. Ada sebagian ahli tafsir yang mengatakan bahwa orang-orang terdalalu juga diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Hanya saja, kata mereka, kewajiban ini diubah dan mengalami perkembangan.
Menurut saya, yang dimaksud dengan ungkapan "sama seperti diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu" bukan berarti sama segalanya. Karena setiap agama mempunyai syariat tertentu.
Kedua, puasa yang diwajibkannya ditentukan pada hari-hari tertentu, yaitu pada bulan Ramadhan.
Ketiga, dipilihnya bulan Ramadhan ini adalah karena bulan Ramadhan bulan yang paling mulia. Pada bulan ini Al-Quran diturunkan.
Keempat, ayat puasa ini bersambung terus sampai ayat 187 Surah Al-Baqarah. Ayat pertama berakhir pada kalimat "supaya kamu bertakwa". Ayat terakhir tentang puasa diakhiri dengan "mudah-mudahan mereka bertakwa". Jadi, intinya diwajibkan puasa adalah supaya orang-orang menjadi takwa. Tentang apa itu takwa, akan diuraikan kemudian.
Adapun implikasi hukum dari ayat-ayat tentang puasa ini adalah:
Hukum yang pertama yang dibicarakan para ahli fiqih ialah apakah kaum Muslimin diwajibkan puasa sebelum turun ayat tentang puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dahulu kaum Muslim diwajibkan berpuasa, tetapi hanya selama tiga hari. Itu pun boleh memilih antara melakukan puasa dan membayar fidyah. Yang mau berpuasa tidak usah membayar fidyah, dan yang tidak mau berpuasa hanya diwajibkan membayar fidyah kepada orang miskin. Tetapi kemudian-kata mereka-ayat ini dihapus oleh ayat berikutnya. Yang berpendapat seperti ini misalnya, ialah seorang ulama tabi'in yang bernama 'Atha".
Suatu saat ada tamu yang berkunjung ke rumah "Atha" siang hari. Dan 'Atha' sedang asyik makan. Kemudian ia ditanya, "Kenapa kamu makan di siang hari?" Lalu "Atha" mengatakan, "Dahulu puasa itu diwajibkan tiga hari dan kamu boleh memilih. Yang mau berpuasa, puasalah, yang tidak mau berpuasa, hendaknya membayar fidyah. Tetapi kemudian ayat ini dihapus dengan ayat itu juga, yaitu bahwa puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan. dan yang disebut dengan orang yang tidak mampu melakukan puasa ialah orang yang sakit seperti aku ini. Karena aku sudah tua, aku dibebaskan dari puasa itu dan aku harus membayar fidyah. (Riwayat ini dapat Anda temukan dalam Tafsir Jami Al Bayan dan Tafsir Durr Mantsir, juz I.)
Dalam satu riwayat disebutkan, Rasulullah datang ke Madinah dan puasa pada hari Asyura dan tiga hari di setiap bulan. Riwayat ini dijadikan sebagai dasar bahwa sebetulnya orang Islam diwajibkan berpuasa hanya pada hari Asyura dan tiga hari setiap bulan. Kemudian turun ayat puasa di bulan Ramadhan. Itu pun masih boleh memilih. Yang mau puasa boleh, dan yang tidak puasa boleh dengan membayar fidyah. Kemudian itu pun juga masih dihapus lagi dengan ayat yang mengatakan bahwa semua orang wajib berpuasa kecuali orang tua, orang sakit, dan seterusnya.
Pendapat ini sangat sukar kita terima, karena hadisnya tidak kuat. Hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah datang ke Madinah dan berpuasa Asyura, itu masih dipersoalkan. Karena ketika Rasulullah datang ke Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa. Puasa apa ini? Puasa Asyura. Mengapa? Karena pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa dari Fir'am. Lalu Rasulullah bersabda, "Aku lebih berhak berpuasa," maka berpuasalah beliau pada hari itu.
Hadis ini tentu saja tidak lolos dari studi kritis kita. Pertama, Rasulullah datang pertama kali ke Madinah pada bulan Rabi' Al- Awwal. Jadi tidak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan Rabi' Al-Awwal. Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksud datangnya Nabi ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahun terakhir ketika Nabi mengetahui kebiasaan orang Yahudi. Itu pun tidak ungkin bahwa Rasulullah tidak mengetahui kebiasaan orang Yahudi dan baru tahu setahun terakhir saja.
Walhasil, sebelum turun perintah puasa di bulan Ramadhan, kaum Muslim tidak diwajibkan berpuasa. Kata Ibn Jarir Al-Thabari, "Inilah pendapat (qaul) yang paling benar menurut pendapatku." Jadi, yang dimaksud dengan kata ayyaman ma'didat (hari-hari tertentu) itu bukan tiga hari di setiap bulan, melainkan maksudnya adalah bulan Ramadhan.
Implikasi hukum yang kedua adalah dari ayat, "barang siapa yang sakit di antara kamu, atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sekelompok jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang sakit dan orang yang bepergian boleh berbuka dan juga boleh berpuasa. Sebagian mazhab mengatakan bahwa orang yang sakit atau dalam perjalanan, harus meng-qadha puasanya. Menurut pendapat yang terakhir ini, kalau Anda sedang sakit atau dalam bepergian, Anda boleh berpuasa, tetapi Anda juga harus meng-qadha. Itulah dua pendapat yang masing-masing mempunyai beberapa alasan.
Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang sakit dilarang berpuasa karena akan memberatkan puasanya. Al-Quran menyebutkan: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." Oleh karena itu, orang yang sakit boleh berbuka puasa (QS Al Baqarah [2]:185).
Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa orang yang sakit itu ada dua macam. Kalau puasa akan memperparah sakit, orang seperti ini wajib berbuka. Dan yang kedua, bagi orang yang sanggup berpuasa dalam keadaan sakit, disunatkan baginya berbuka, tetapi dia juga boleh berpuasa. Mazhab yang lain mengatakan bahwa puasa dalam keadaan sakit in haram, karena itu wajib berbuka. Ini adalah mazhab Al-Zhahiri.
Di antara pendapat yang mengatakan wajib berbuka dalam keadaan sakit adalah Umar bin Khaththab, "Abdullah bin 'Abbas, "Abdullah bin Umar, 'Abdullah bin 'Auf, Abu Hurairah, 'Urwah bin Zubair, dan juga para imam Ahlul Bait.
Dalil ini juga berkenaan dengan tidak bolehnya berpuasa ketika bepergian. Yang masih menjadi perdebatan adalah penentuan jenis sakit dan ukuran jarak bepergian.
"Umar bin Khaththab pernah memerintahkan seorang laki-laki yang puasa dalam perjalanan untuk mengulangi puasanya. Kata Yusuf bin Hakam, "Aku bertanya kepada Ibn 'Umar tentang puasa dalam perjalanan. Lalu Ibn 'Umar berkata bahwa kalau kamu bersedekah kepada seseorang tetapi orang itu menolak sedekah kamu, apakah kamu marah? Nah, ketahuilah bahwa buka di dalam perjalanan itu adalah sedekah dari Allah, dan Allah akan marah bila Dia ditolak sedekahnya."
"Abdurahman bin 'Auf berpendapat bahwa tidak boleh berpuasa dalam perjalanan, baik itu perjalanan sulit atau gampang. Orang yang berpuasa dalam perjalanan hukumnya sama dengan orang yang buka dan tidak bepergian. Artinya, haram hukumnya bagi orang yang tidak berpuasa dalam kondisi tidak sedang bepergian. Ibn Abbas mengatakan bahwa berbuka di dalam perjalanan adalah kewajiban.
Para imam Ahlul Bait, berdasarkan riwayat dari Abu Abdillah, yang sama seperti riwayat 'Abdurrahman bin 'Auf, mengatakan bahwa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan di perjalanan sama hukumnya dengan orang yang tidak berpuasa, tetapi tidak bepergian. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan pula bahwa Abu Abdillah mengatakan, "Kalau aku menemukan orang yang mati ketika berpuasa dalam perjalanan, aku tidak akan menshalatkannya."
Riwayat-riwayat dari Ahlus Sunnah, Muslim dan Turmudzi, dalam Kitab Taisir Al-Washil ila Jami Al-Ushil fi Hadits Al- Rasil, dari Jabir ra, berkata, "Rasulullah Saw. keluar di bulan Ramadhan ke Kota Makkah, kemudian berpuasa sampai di tempat yang namanya Qira' Al-Ghanim. Orang-orang dalam keadaan berpuasa semua. Waktu itu Rasulullah meminta sebuah pinggan, wadah air, dan Rasulullah mengangkat pinggan itu tinggi-tinggi kemudian meminumnya di hadapan orang banyak. Kemudian dilaporkan kepada Rasulullah sesudah itu, ada orang yang terus saja berpuasa. Lalu Nabi berkata, "Mereka itu orang-orang yang durhaka. Mereka itu orang-orang yang durhaka." Nabi Saw menyebutnya sampai dua kali.
Berdasarkan hadis ini sebagian ulama berpendapat bahwa puasa dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan, hukumnya haram. Kita belum menceritakan ukuran jarak perjalanan yang mengharuskan kita tidak berpuasa, tetapi pada prinsip umumnya, menurut sebagian ulama, berpuasa dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan hukumnya haram. JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).