Akhi
TAK CUKUP HANYA AL-QURAN DAN HADIS

Dalam upaya memahami Islam, kita tidak bisa hanya dengan menguasai Al-Quran dan hadis saja. Kita juga perlu mempelajari ilmu-ilmu bantu Islam. Kedudukan ilmu bantu Islam terhadap Islam dapat kita analogikan dengan kedudukan ilmu bantu astronomi terhadap ilmu astronomi.
Jika seseorang ingin mempelajari astronomi, ada beberapa ilmu yang bukan termasuk ilmu astronomi, tetapi ia harus menguasainya. Dalam astronomi, kita harus mengetahui benda- benda astral atau benda-benda yang berada di luar angkasa. Kita juga harus mempelajari kecepatan cahaya. Untuk memahami itu, ilmu fisika merupakan keharusan. Dalam ilmu astronomi juga kita akan dihadapkan pada perhitungan-perhitungan yang astronomis. Maka kita pun harus mempelajari ilmu matematika.
Seperti itulah ilmu-ilmu Islam yang saya bayangkan. Jadi, untuk mempelajari Islam, kita memerlukan ilmu bantu yang mesti kita pelajari jika kita ingin memahami Islam dengan benar. Orang yang mempelajari astronomi tanpa mengetahui matematika, fisika, dan ilmu-ilmu bantu lainnya, bisa saja mempelajari astronomi tetapi pengetahuannya akan sangat terbatas. Paling-paling ia hanya bisa menyebutkan jumlah planet dalam tata surya; tidak akan bisa menyebutkan hal-hal yang lebih mendalam dari itu. Begitu pula halnya dengan orang yang ingin mempelajari Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw tetapi tidak mempelajari ilmu-ilmu bantu. Dia kemungkinan akan menjadi penafsir dan lain. Kita berlindung menyesatkan orang yang sesat kepada Allah dari keadaan ini.
Saya berikan sebuah contoh bagaimana orang yang tidak memiliki ilmu bantu Islam akan terjebak dalam kesesatan. Dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 42 Allah Swt berfirman: "Pada hari ketika betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa." Bila Anda mempunyai kitab Shahih Bukhari, akan Anda lihat bagaimana penafsiran ayat ini menurut hadis tersebut. Begitu juga dapat ditemukan dalam Shahih Muslim pada kitab Al-Iman, bab Ma'rifat Al-Thariq Al-Ru'yat, hadis nomor 299.
Penafsiran dalam Shahih Bukhari ialah sebagai berikut:
"Di hari akhirat nanti, Allah akan berfirman, "Siapa yang menyembah sesuatu, maka ikutilah sesuatu itu." Di antara manusia ada yang mengikuti matahari, bulan; ada juga yang mengikuti thaghut. Tinggallah umat Islam, yang di dalamnya terdapat juga orang munafik. Lalu, datanglah Allah dalam bentuk yang tidak mereka kenal. Allah berfirman, "Aku Tuhanmu." Mereka berkata, "Kami berlindung kepada Allah darimu. Ini tempat kami di sini sampai Tuhan kami datang kepada kami. Nanti kalau Tuhan kami datang, kami akan mengenali-Nya." Kemudian datanglah tuhan dalam bentuk yang mereka ketahui. Tuhan kembali berfirman, 'Aku Tuhanmu. Dan mereka berkata, "Engkau Tuhan kami."
Adapun dalam hadis riwayat Muslim, penafsiran ayat di atas ialah sebagai berikut:
... sampai tidak ada yang tersisa kecuali orang-orang yang menyembah Allah, baik orang yang durhaka maupun orang yang saleh. Kemudian Tuhan Rabbul Alamin datang dalam bentuk yang paling rendah yang pernah mereka lihat. Dikatakan kepada mereka, 'Apa yang kalian nantikan?" Setiap umat mengikuti apa yang disembahnya. Mereka berkata, "Kami menunggu Tuhan yang kamu sembah." Lalu Allah berfirman, 'Aku Tuhanmu."Mereka berkata, "Kami tidak musyrik kepada Allah sedikit pun."Kemudian Allah bertanya, Apa perlu Aku tunjukkan satu ciri yang membedakan Aku dengan kamu, yang dengan itu kamu kenal Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'As-Saq; betis.' Dan disingkapkanlah betis itu."
Bayangkan, jika Anda membaca hadis itu, boleh jadi penafsiran Anda keliru. Bahkan, tidak mustahil, Anda sampai berkata, "Siapa bilang Al-Quran tidak pornografi?" Jika Anda lebih maju sedikit, dengan membaca hadis tentang penafsiran ayat ini, boleh jadi Anda mengatakan bahwa Tuhan mempunyai betis. Tuhan datang tetapi tidak dikenal umat-Nya, sehingga terpaksa Tuhan menyingkapkan betis-Nya supaya orang mengenal-Nya. Hadis ini, menurut riwayat Muslim, termasuk sahih. Contoh-contoh itu saya berikan untuk menunjukkan betapa tidak cukupnya kita mempelajari Islam hanya dengan merujuk kembali kepada Al-Quran dan hadis Rasulullah Saw.
Sekarang banyak orang yang begitu bangga mengajak orang "Kembali kepada Al-Quran dan hadis". "Tidak perlu kembali kepada ulama, lebih baik kepada sumbernya yang asli!" Bahkan, ada yang berpendapat lebih hebat lagi: "Cukuplah Al-Quran saja! Dengan Al-Quran saja, kita bisa belajar tentang Islam."
Setiap kali bertemu, mereka membawa Al-Quran dengan daftar silsilah ayat. Al-Quran tertentu. Ayat ini merangkai ke sini dan ayat itu merangkai ke sana. Demikian seterusnya. Kalau mereka memberi pengajian, setelah 20 atau 30 kali, rangkaian ayat itu sudah habis. Sekali lagi, betapa tidak cukupnya kita mempelajari Islam hanya dengan Al-Quran dan hadis, tanpa memiliki ilmu-ilmu bantu Islam dengan baik. Ternyata ilmu-bantu itu tidak sedikit, seperti yang akan diuraikan selanjutnya.
Walaupun demikian, bukan berarti kita harus berhenti membaca dan mempelajari Al-Quran dan hadis, tetapi kita perlu menggunakan ilmu-ilmu bantu itu untuk mempelajari Al-Quran dan hadis dengan baik. Apabila ilmu-ilmu bantu itu tidak kita miliki, maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu bantu itu. Kita boleh merenungkan (tadabbur) Al- Quran, tetapi jangan coba-coba berijtihad dan memberikan fatwa kepada orang lain bila kita tidak memiliki ilmu-ilmu bantu itu.
Dewasa ini banyak pemikir Islam yang hadir di panggung pemikiran Islam Indonesia dengan ilmu bantu yang minimal. Ada yang datang mempelajari Islam dengan latar belakang ilmu ekonomi, ilmu kedokteran dan sebagainya. Ilmu-ilmu itu bukan ilmu-ilmu bantu Islam, walaupun kita bisa juga memahami Al- Quran dengan baik lewat ilmu kedokteran untuk ayat-ayat tertentu. Ilmu-Ilmu bantu dalam mempelajari Islam itu adalah 'ulûm Al-Quran, 'ulûm al-hadîts, ushl al-fiqh, bahasa Arab, dan tarikh Islam.
Saya akan berikan contoh beberapa hadis yang menjelaskan mengapa 'ulûm Al-Quran perlu dipelajari. Hadis yang pertama: "Suatu hari, Marwan bin Hakam menemukan ayat Al-Quran yang artinya, “Janganlah sekali-kali engkau menyangka orang-orang yang senang dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka senang dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa. Dan untuk mereka siksa yang pedih." (QS Ali-Imran [3]:188). Marwan berpikir, "Semua orang itu senang dengan apa yang telah mereka kerjakan dan semua orang senang dipuji. Kalau begitu, semua orang tidak akan selamat dari siksa Allah."
Ayah Marwan adalah Hakam. Ia mempunyai penyakit yang agak aneh. Hakam masuk Islam pada peristiwa Futuh Makkah. Ia termasuk kelompok yang diberi amnesti oleh Rasulullah Saw. Ia juga ikut ke Madinah dan sering menghadiri pengajian Rasulullah Saw. Namun, ia datang ke pengajian itu hanya untuk mencemoohkan Rasulullah. Ketika Rasulullah Saw berbicara, ia suka meniru-niru pembicaraan Rasulullah atau mencibirnya. Ia hanya berani bertindak semacam itu tatkala Rasulullah Saw tidak melihatnya. Satu waktu, ketika ia sedang mencibir, Rasulullah Saw mengetahui perbuatannya. Pada saat bibirnya bergerak mengejek, Rasulullah Saw bersabda, "Kun kadzâlik. Jadilah engkau seperti itu." Sampai akhir hayatnya, bibirnya mencibir-cibir terus. Meskipun demikian, ia belum kapok. Ia sering mengintip apa yang dilakukan Rasulullah Saw bersama istri-istrinya. Ia buntuti Rasulullah Saw ke mana pun beliau pergi. Hasil intipannya ia sebarkan kepada orang banyak. Rasulullah Saw marah dan mengusir Hakam beserta anaknya, Marwan, dari Madinah.
Pada zaman Abu Bakar, Utsman bin Affan datang menemui Abu Bakar - Hakam masih bersaudara dengan Utsman - dan meminta supaya Marwan dan ayahnya dipanggil ke Madinah, Abu Bakar tidak mengizinkannya. Ketika Umar memerintah, Utsman datang lagi dan mengajukan permohonan yang sama. Umar marah, "Kamu melanggar sesuatu yang telah ditetapkan Rasulullah." Baru pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan, Marwan bin Hakam dipanggil lagi ke Madinah dan diangkat menjadi orang penting. Ia menjadi sekretaris negara.
Menurut Thaha Husein, dalam bukunya, Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam, Marwan termasuk orang yang mempunyai andil dalam menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam di zaman Utsman bin Affan. Dengan latar belakang tersebut, kita ketahui bahwa ilmu Marwan tentang Islam sangatlah minim walaupun ia sahabat Nabi. Hal ini dikarenakan Marwan tidak sempat belajar dengan Rasulullah. Boleh jadi seorang aktivis masjid UNPAD lebih tinggi ilmunya daripada Marwan. Saya tidak bermaksud mencela sahabat dan tidak pula untuk memujinya.
Kembali kepada ayat di atas. Setelah membaca ayat itu, Marwan pergi ke tempat Ibn Abbas, dan berkata, "Kalau setiap orang yang senang dengan apa yang diberikan Tuhan dan senang dipuji untuk sesuatu yang tidak ia lakukan akan disiksa, maka kita semua akan disiksa."
Ibn Abbas digelari Turjumânul Qurân (Penerjemah Al-Quran). Rasulullah Saw pernah membacakan doa untuknya, "Ya Allah, fakihkan dia dalam agama, dan pahamkan dia terhadap tafsir" Dialah yang menyusun Tafsir Ibn Abbas. Ia menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang datang kepada Nabi Saw. Nabi Saw bertanya kepada mereka tentang sesuatu.
Namun, mereka menyembunyikan walaupun mereka mengetahuinya. Mereka kabarkan kepada Nabi Saw hal lain selain itu. Mereka senang dengan apa yang telah mereka miliki, yaitu kitab Taurat. Mereka menyembunyikan hal itu dari Rasulullah Saw. Mereka ingin dipuji dengan mengatakan kabar lain yang dari apa yang Rasulullah Saw maksud. Mereka ingin dianggap ahli dalam agama. Itulah yang dimaksud Al-Quran dengan "Yuhmadu bimâ lam yaf'alû; Ingin dipuji atas sesuatu yang tidak mereka lakukan." (QS Ali-Imran [3]: 188). Jadi, ayat ini turun untuk mencela orang-orang Yahudi. Demikian kata Ibn Abbas seperti diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim.
Contoh lain yang menyatakan pentingnya pengetahuan tentang 'ulûm al-Quran adalah hadis tentang Urwah Ibn Jubair: Suatu waktu, ia membaca ayat yang berbunyi, “Innash shafâ wal marwata min sya'âirillah. Fa man hajjal baita awi'tamara fa lâ junâha 'alaihi ayyatawwafa bihimâ." (QS Al-Baqarah [2]: 158). Ayat ini biasa diucapkan oleh jamaah haji ketika sa'i di antara Shafa dan Marwah. Arti ayat itu ialah, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah syiar- syiar Allah. Dan barang siapa yang berhaji ke Al-Bait atau umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk tawaf di antara Shafa dan Marwah."
Secara zahir, ayat ini menunjukkan bahwa sa'i itu tidak wajib, karena ada kata la junaha, "tidak ada dosa." Jadi, sa'i itu hukumnya sunnah. Urwah bin Jaubari datang kepada Aisyah, bibi Urwah. la berkata, "Wahai Bibi, Allah Swt berfirman bahwa tidak ada dosa untuk berkeliling di antara Shafa dan Marwah. Kalau begitu, tidak apa-apa kalau kita meninggalkan sa'i."
Aisyah berkata, "Jelek sekali ucapanmu itu, Urwah. Seandainya perkara seperti itu yang kamu putuskan, tentu Allah tidak akan berkata. "Tidak ada dosa bagi orang yang berkeliling di antaranya." Dan Allah akan berkata, “Tidak ada dosa bagi orang yang tidak berkeliling diantaranya."
Kemudian Aisyah menceritakan asbabun nuzûl ayat ini: "Dahulu, ketika zaman Jahiliyah, orang-orang melakukan sa'i di antara Shafa dan Marwah. Mereka sa'i untuk dua berhala yang bernama Isaq dan Nailah. Setelah mereka masuk Islam, para sahabat berpikir bahwa melakukan sa'i di antara Shafa dan Marwah adalah dosa. Maka turunlah ayat, fa la junâha 'alaihi ayyatawwafa bihimâ." (QS. Al-Baqarah [2]: 158)
Ada pula ayat yang berbunyi, "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu tentang masa iddah-nya, maka iddah mereka adalah bulan." (QS tiga Al-Thalaq [65]:4). Terhadap ayat ini, suatu kelompok Zhahiriyyah menafsirkan bahwa ketentuan iddah yang 3 bulan itu berlaku kalau kita ragu-ragu. Jika tidak ragu-ragu, kita tidak memerlukan iddah; padahal tidak demikian. Sebetulnya, ayat ini berkenaan dengan para sahabat Nabi yang semula ragu-ragu tentang wanita haid.
Semua keterangan di atas menunjukkan kepada kita tentang pentingnya memahami asbabun nuzûl yang ada dalam Al-Quran.
Ilmu bantu yang kedua setelah 'ulûm Al-Quran adalah 'ulûm al-hadîts. Dalam 'ulûm al-hadits ada yang disebut dengan musthalah al-hadits atau Ilmu Dirayah, yaitu bidang ilmu untuk mengetahui keotentikan sebuah hadis. Misalnya, hadis-hadis yang menyatakan bahwa Abu Thalib itu seorang kafir. Jika Anda belajar ilmu musthalah al-hadits dan menyelidiki para perawi hadisnya, Anda akan menemukan bahwa hadis-hadis itu sangat dha'if. Kalau Anda tidak mempelajari ilmu ini, boleh jadi Anda berpegang kepada hadis-hadis dha'if hanya karena hadis itu ada dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Lihat saja bagaimana para jamaah haji Indonesia mati-matian mengejar shalat 40 kali di Masjid Nabawi, hanya karena ada Hadits Arba'in yang mengharuskannya; padahal hadis itu dha'if.
Ilmu bantu ketiga adalah ushl al-fiqh. Ilmu ini mempelajari bagaimana mengambil kesimpulan hukum dari sebuah hadis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa hadis itu bermacam-macam. Ada hadis yang mujmal, ada juga hadis yang mubayyan. Ada ayat yang 'am dan ada yang khash.
Contohnya bila kita menemukan satu ayat yang artinya, "Pada hari itu tidak ada jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat." (QS Al-Baqarah [2]: 254). Tapi kemudian kita juga menemukan ayat, "Pada hari akhir tidak ada persaudaraan, kecuali orang yang bertakwa." (QS Al-Zukhruf [43]: 67) Teman- teman pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian lain kecuali orang-orang yang bertakwa.
Bagaimana kita "mendamaikan" kedua ayat ini? Kita memerlukan ushl al-fiqh yang di dalamnya menjelaskan kaidah- kaidah ushl al-fiqh. Salah satu dari kaidah itu ialah prinsip "mâ lâ yudraku kulluh lâ yudraku kulluh; jika tidak bisa dicapai seluruhnya, janganlah meninggalkan seluruhnya." Maksudnya, bila seluruh kaidah yang ideal itu tidak bisa terpenuhi, maka janganlah meninggalkan seluruh kaidah itu. Misalnya, jika kita tidak sanggup berkurban satu kambing untuk satu orang, maka janganlah kita tidak berkurban sama sekali. Kita bisa berkurban dengan beriuran bersama-sama untuk membeli seekor kambing.
Ilmu bantu selanjutnya ialah ilmu bahasa Arab. Kalau tahu tentang lafaz-lafaz yang hakiki dan yang majazi, orang tidak akan mudah mengkafirkan atau memusyrikkan orang lain. Contohnya kalau kita menemukan ayat yang artinya, "Janganlah kamu menyeru kepada selain Allah," (QS Yunus [10]: 106). Maksud ayat itu ialah bahwa di dalam shalat, kita tidak boleh memanggil atau menyeru kepada selain Allah. Bila tidak tahu ilmu bahasa Arab, kita bisa menjadi musyrik jika kita menyeru kepada selain Allah. Padahal dalam shalat pun kita menyeru kepada selain Allah, yaitu pada saat kita mengucapkan: "Assalâmu 'alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh; Salam bagimu, wahai Nabi." Orang yang tidak mengetahui ilmu bahasa Arab, akan menganggap pada saat attahiyat itu kita telah musyrik.
Dari uraian ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa mempelajari Islam ternyata tidak semudah yang kita duga. Kita perlu menguasai ilmu-ilmu bantu Islam seperti 'ulûm Al-Quran, 'ulûm al-hadîts, ushl al-fiqh, bahasa Arab, dan tarikh Islam. Apabila tidak memiliki ilmu-ilmu bantu tersebut, sebaiknya kita tidak melakukan ijtihad; ikutilah orang-orang yang menurut kita faqih. Hal itu jauh lebih aman daripada membuat kesimpulan- kesimpulan sendiri.JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).