Akhi
Teologi Kemiskinan dan Pemiskinan Teologi

Saya akan memulai dengan ilustrasi yang saya ambil dari Tafsir Al-Fakhrurrazi ketika menjelaskan ayat dari Surah Al-Qadr. Al-Fakhrurrazi bercerita bahwa para malaikat sering berusaha melihat amal-amal yang dilakukan oleh manusia di bumi pada Lauh Al-Mahfuzh, tetapi sering kali ketika malaikat ingin mengetahui amal jelek manusia, tirai tiba-tiba ditutupkan sehingga malaikat tidak bisa melihatnya lagi. Setelah itu malaikat berkata, "Mahasuci Tuhan yang menampakkan yang indah-indah dan menutup yang jelek-jelek." Para malaikat pun ingin sekali turun ke bumi, untuk menjenguk realitas yang sebenarnya di bumi. Apakah semua di bumi itu indah.
Setelah turun ke bumi, mereka menemukan dua amalan yang dilakukan oleh penduduk bumi, tetapi tidak dilakukan oleh penduduk langit. Kalau penduduk bumi melakukan thawaf, maka penduduk langit juga melakukannya. Kalau penduduk bumi bertasbih, maka penduduk langit juga bertasbih. Akan tetapi, ada amalan yang hanya dilakukan oleh penduduk bumi dan tidak bisa dilakukan oleh penghuni langit. Pertama, membantu orang-orang miskin yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Kedua, jeritan pendosa yang menyesali kemaksiatannya. Padahal Tuhan berfirman, "Tangisan pendosa lebih Aku cintai daripada gemuruhnya suara orang bertasbih."
Peristiwa itu bercerita tentang malaikat yang ingin melihat amalan yang tidak ada di langit, sehingga malaikat minta izin kepada Allah untuk melihat amalan itu.
Saya ingin mengajak agar amalan itu kita laksanakan lebih-lebih pada bulan Ramadhan untuk menyambut Lailatul Qadar. Yaitu amalan melepaskan penderitaan orang dari kemiskinan dan mengisi Lailatul Qadar dengan tangisan penyesalan atas segala dosa yang kita lakukan.
Ilustrasi itu menggambarkan, sebutlah, sebuah dasar teologis Islam untuk mengatasi kemiskinan. Kita selalu melihat amalan malam Lailatul Qadar itu hanya dihubungkan dengan memperbanyak zikir dan ibadah ritual.
Kita mengisi masjid untuk melakukan ibadah ritual, dengan harapan supaya kita dikunjungi oleh malaikat yang turun pada malam itu dengan mengucapkan salam.
Kita mengira bahwa malaikat itu hanya mengucapkan salam kepada orang yang menghabiskan malam itu dengan ruku' dan sujud di hadapan Allah Swt. Padahal banyak keterangan dan hadis-hadis yang mengatakan bahwa para malaikat itu akan datang kepada mereka yang melakukan kegiatan sosial, misalnya, membantu meringankan penduduk dari kemiskinan mereka. Banyak sekali saudara kita yang termasuk dalam garis kemiskinan sehingga hampir setiap saat mereka mengalami kesulitan.
Saya pernah membaca bahwa Sri Bintang Pamungkas menulis tentang jumlah orang yang tergolong miskin dengan menggunakan ukuran lain. Ternyata dari beliau kita dapati jumlah orang miskin jauh lebih banyak daripada apa yang dinyatakan dari pernyataan resmi Pemerintah. Ini bukan berarti tidak benar. Karena Pemerintah menggunakan ukuran garis kemiskinan yang begitu longgar, maka yang seharusnya miskin masih dihitung kaya.
Melihat kenyataan seperti itu, biasanya kita menggunakan tunjangan teologis untuk membenarkan adanya kemiskinan dan usaha untuk melestarikan kemiskinan itu. Secara fitri, manusia akan merasa berdosa dan selalu tidak tenteram hidupnya bila ia melakukan perampasan atas hak-hak orang lain. Tetapi para teolog memberikan pembenaran teologis untuk usaha pemiskinan itu, sehingga yang merampas hak orang itu akan menjadi lebih tenang.
Saya ingin memberikan contoh untuk pernyataan ini. Dalam suatu seminar tentang kemiskinan yang diadakan di Universitas Indonesia, kita membicarakan "Bagaimana Pandangan Islam tentang Kemiskinan". Hadir pada pembicaraan itu seorang profesor, yang karena penghormatan kepadanya, saya tidak akan menyebutkan namanya. Beliau mengatakan, "Tidak mungkin kemiskinan itu dihilangkan karena itu sudah merupakan ketentuan Allah", lalu ia membacakan sebuah ayat, "Allahlah yang memperluas rezeki dan Allahlah yang menahan rezeki itu." Dengan kata lain, kalau ada orang yang miskin, maka hal itu sudah merupakan kehendak Allah.
Ada seorang lagi yang juga profesor mengatakan, "Kemiskinan itu adalah giliran saja yang Allah gilirkan di antara mereka." Kemudian beliau mengutip sebuah ayat, "Dan hari-hari itu Kami pergilirkan di antara manusia." "Oleh karena itu kita sabar saja menunggu giliran kapan kita makmur," kata profesor itu menegaskan.
Masih ada satu orang lagi yang juga telah bergelar profesor. Beliau mengatakan hal yang sama. Beliau mengatakan, "Yang kita pikirkan sebenarnya bukanlah bagaimana kita mengatasi kemiskinan. Itu sudah tidak bisa diatasi. Itu sudah ada sepanjang sejarah. Yang kita pikirkan sekarang adalah bagaimana kita menanamkan kepada mereka itu kesediaan menerima kemiskinan yang mereka alami; dan bagaimana caranya supaya mereka merasa tenteram dengan kemiskinan mereka, serta tidak ada unsur memberontak, tetapi mereka puas dengan keadaan seperti itu. Atau dengan kata lain, kita sebagai kaum Muslim mesti berusaha menyebarkan ilusi kepada mereka, supaya mereka merasa kaya dengan kemiskinannya."
Saya hampir tidak dapat bicara waktu itu. Saya merasa sedih luar biasa. Kalau para profesor saja sudah mempunyai pemikiran yang demikian, bagaimana pemikiran umat secara keseluruhan.
Pernyataan itu menunjukkan adanya dasar teologis untuk kemiskinan yang kita derita sekarang. Kita mempunyai pembenaran dari agama untuk semua proses pemiskinan umat. Jadi, ada teologi kemiskinan. Kalau saya mengatakan teologi kemiskinan, maka yang saya maksudkan adalah segala upaya pembenaran terjadinya kemiskinan dan proses pemiskinan umat dengan pembenaran teologis.
Sekarang apa yang dikatakan pembenaran teologis? Istilah teologis tidak seberapa dikenal dalam kalangan pemikir Islam. Teologis sebenarnya berasal dari orang Kristen. Bukankah dalam sejarah Islam ada beberapa jalur pemikiran. Pertama, orang yang mengonsentrasikan pikirannya pada masalah filsafat, khususnya pada filsafat peripatetik dari Aristoteles. Kelompok ini disebut Ahlul Hikmah dan falsafahnya dinamakan hikmah. Kedua, kelompok orang yang memusatkan pemi kirannya pada ilmu riwayah yang kemudian kelompok ini dinamakan para fuqaha, yang ilmunya disebut fiqih. Ketiga, kelompok yang mengambil logika Yunani untuk membahas keyakinan agama (ushuluddin) yang tidak hanya berkaitan dengan masalah Tuhan, tetapi juga berkenaan dengan masalah perilaku manusia. Kelompok ini menamakan kelompok mutakalimin dan ilmunya disebut ilmu kalam.
Ilmu kalam ini, dalam perkembangan terakhirnya, khususnya bagi saudara kita di IAIN, ternyata tidak lagi disebut ilmu kalam. Mereka lebih senang menyebutnya dengan istilah teologi, walaupun bidang ilmu kalam sebenarnya jauh lebih luas daripada teologi. Kalau kita berbicara mengenai teologi kemiskinan, maka yang saya maksud adalah bagaimana ushuluddin dipakai untuk membenarkan terjadinya kemiskinan dan proses pemiskinan itu.
Ambillah salah satu masalah di kalangan mutakalimin, misalnya, masalah jabr dan ikhtiyar (mungkin kalau kedua istilah itu kita bahas tidak akan selesai seluruhnya pada waktu ini). Kalau kita amati, pembicaraan masalah ini begitu ramai sehingga muncul kalam Asy'ariyah yang kecenderungan besarnya mengarah kepada Jabariyah; dan kalam Mu'tazilah yang cenderung kepada Qadariyah.
Walhasil apa yang dikatakan oleh para profesor yang saya katakan tadi merupakan cerminan dari teologi Asy'ari, bahwa kemiskinan itu sudah merupakan kehendak Allah dan kita tidak bisa mengatasinya. Paling-paling kita hanya bisa membantu bagaimana orang miskin itu menerima kemiskinannya dengan penuh ketenangan dan tidak ada sedikit pun unsur memberontak dari jiwanya. Hiburlah mereka dengan memberikan keutamaan menjadi seorang miskin dan keutamaan dari kemiskinan itu. Memang teologi Asy'ari cenderung membenarkan terjadinya kemiskinan dan proses pemiskinan itu.
Kita sering mengkritik ajaran Kristen yang mengatakan, "Kalau bajumu dirampas, maka berikan jubahmu; dan kalau pipi kirimu ditampar, maka berikan pipi kananmu." Akan tetapi dengan membiarkan kemiskinan yang diderita oleh orang miskin itu, diam-diam telah terjadi Kristenisasi di kalangan kita.
Ini terjadi ketika perbincangan teologi Al-Asy'ariyah dikukuhkan oleh penguasa. Setiap teologi yang bertentangan dengan kalam itu bukan hanya dinafikan, tetapi dimatikan. Orangnya bisa dibunuh. Inilah yang dikatakan pemiskinan teologi.
Pernah ada ulama yang berpendapat bahwa sebetulnya kezaliman itu bukan kehendak Allah, tetapi itu terjadi karena kita membiarkan dan menerima kezaliman tersebut serta tidak berjuang melawan kezaliman itu. Akan tetapi, ulama itu ditangkap dan dihukum mati di zaman Bani Umayah. Kemudian dia dianggap sebagai tokoh mazhab Qadariyah di kemudian hari.
Hal ini berjalan sampai beratus tahun sampai kemudian muncul kelompok baru ̶ saya kira dari masa kelompok reformasi ̶ seperti Muhammad Abduh yang mencoba meninjau kembali teologi Asy'ari itu. Apakah betul kemiskinan itu ke- hendak Allah dan kita harus menerima kemiskinan itu?
Belakangan ini tampak, khususnya pada para aktivis Dunia Islam, timbul kesadaran baru bahwa sekarang ini Islam harus tampil mengatasi kemiskinan yang berada di negerinya. Oleh karena itu, banyak gerakan Islam yang sekarang ini mempunyai orientasi yang kental dengan masalah kemiskinan.
Banyak orang mengatakan bahwa fundamentalisme Islam di dunia sekarang ini lebih banyak didasari oleh protes mereka terhadap kegagalan model-model pembangunan modern; yakni, pembangunan yang mengambil model dari Barat untuk diterapkan di negeri mereka. Akan tetapi, pembangunan itu ternyata gagal dan tetap saja menimbulkan kemiskinan bahkan terjadi penggusuran dan peminggiran orang-orang miskin.
Pada gilirannya, terjadilah ketidakpuasan di seluruh Dunia Islam. Lalu mulailah mereka menengok Islam. Mereka mulai merekonstruksi kembali ajaran Islam.
Al-Ikhwan Al-Muslimun yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna sangat dekat dengan orang miskin, bahkan sempat mendirikan pabrik dan usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin. Seandainya tidak ada alasan politik dan Hasan Al-Banna tidak dibunuh, mungkin Al-Ikhwan Al-Muslimun adalah kelompok gerakan Islam yang pertama yang bisa membuktikan sistem ekonomi Islam waktu itu.
Ketika Revolusi Islam di Iran terjadi, ulama berupaya membebaskan kaum mustadh'afin untuk keluar dari garis kemiskinannya. Teologi mereka sangat sarat dengan upaya pembebasan kaum miskin. Kemiskinan mungkin masih dipuji-puji, tetapi dipuji dalam upaya mereka untuk selalu bertahan dalam proses penzaliman yang terjadi berabad-abad. Mereka tidak kehilangan semangat juang walaupun mereka terus-menerus dimiskinkan. Kemiskinan bukan lagi dipuja karena penerimaan kemiskinan itu, tapi karena resistensinya untuk terus melawan penindasan sepanjang sejarah. Sehingga kalau kita baca buku-buku yang ditulis oleh Ali Syari'ati, Muthahhari, atau para pencetak ideologi di Iran sekarang ini, kita akan melihat sejarah Islam ini seakan-akan sejarah perlawanan orang miskin melawan orang kaya. Oleh sebab itu, ketika revolusi ini terjadi, banyak anggapan bahwa revolusi ini sangat Marxian.
Contoh terakhir, pada bulan Ramadhan yang lalu para aktivis Islam di Mesir sibuk membagi-bagikan bantuan kepada orang miskin; tetapi para aktivis gerakan itu ditangkap oleh pemerintah karena dianggap sebagai gerakan yang melawan pemerintah. Padahal mereka hanya merasa terpanggil untuk membebaskan penderitaan saudara-saudaranya.
Dalam Surah Al-A'raf ayat 157 disebutkan bahwa ada tiga tugas Nabi yang mungkin jarang, bahkan tidak, disebut orang. Di situ disebutkan tugas-tugas tersebut sebagai berikut: Pertama, amar ma'ruf nahi munkar. Kedua, menjelaskan halal dan haram. Ketiga, membebaskan umat dari beban yang menghimpit dan belenggu yang memasung mereka. Dalam pembicaraan masalah teologi ini tampaknya kita harus menghidupkan bagian yang ketiga ini. Para pembawa risalah harus melepaskan umat dari beban yang mengimpit mereka dan belenggu yang memasung mereka. Tugas itu memang sangat revolusioner dan oleh sebab itu jarang dibicarakan oleh para muballigh. Tapi saya kira, ini perlu kita hidupkan kembali. Kita harus meninjau kembali teologi Asy'ariyah dan menghubungkannya dengan masalah kekinian yang menyangkut masalah kemiskinan umat. JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).