top of page
  • Writer's pictureAkhi

UDZUNUN WA’IYYAH


Allah swt memuji telinga-telinga yang baik. Dalam Al-Qur’an surat Al-Haqqah ayat 12, Allah menyebut telinga yang baik itu dengan istilah udzunun wa’iyyah, artinya telinga-telinga yang bisa menyimpan dan memelihara. Telinga yang baik ialah telinga yang dapat menyimpan dan memeliha­ra pembicaraan dan nasihat. Telinga yang baik ialah telinga yang dapat menyimpan dan memelihara ayat-ayat Allah dan sunnah-sunnah Rasulullah.


Allah swt juga menjelaskan paling sedikit ada dua macam telinga yang dicerita-kan dalam Al-Qur’an. Pertama, telinga yang baik seperti tersebut di atas dan kedua, telinga yang tidak berfungsi. Telinga yang kedua ini, jangankan menyimpan ayat Allah dan sunnah Rasulullah, mendengar pun tidak bisa. Mereka punya telinga tapi telinga mereka tidak bisa mendengar. Di dalam Surat Al-Baqarah Allah bercerita tentang orang-orang yang ditutup telinganya,”. Khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim. Allah menutup hati mereka dan Allah menutup pendengaran mereka.”(QS.2:7) Allah menutup pendengaran setelah menutup hati.


Dalam Surat Al-A’raf ayat 179, Allah bercerita tentang orang yang mempunyai telinga tapi tidak bisa mendengar, ” Wa lahum adzanul Ia yas ma’una biha.” Dalam Surat Al-Baqarah tadi disebutkan bahwa biasanya telinga yang tidak bisa mendengar itu ialah telinga orang-orang yang hatinya ‘sudah tertutup. Ini ditegaskan pula dalam Surat Al-A’raf ayat 100, “Wanathba’u ‘ala qulu bihim fahum Ia yasma’un. Kami tutup hati mereka sampai mereka tidak bisa mendengar. Orang-orang yang punya telinga tapi tidak bisa mendengar oleh Al-Qur’an disebut shummun atau orang yang tuli. “Shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un (QS:2:18). Mereka tuli, mereka bisu, mereka buta, dan mereka tidak bisa kembali ke jalan yang benar.” Semua itu sifat-sifat inderawi, tetapi yang pertama disebut ialah shummun (tuli).


Dalam QS. Al-Anbiya ayat 45, Allah bercerita tentang orang-orang yang punya telinga tetapi tidak bisa mendengcr dan mengingatkan bahwa orang-orang seperti itu tidak akan bisa mendengar dakwah walaupun mereka diberi peringatan. “Wala yasma’us shummud du’a idza ma yundzarun”. Yang dimaksud dengan du’a dalam ayat itu adalah seruan atau dakwah. Orang yang tuli tidak dapat mendengar seruan atau dakwah.


Dalam QS Al-‘Araf:198, Allah berfirman, ” Wa in tad’uhum ila al-huda Ia yasma’u. Kalau kamu seru mereka kepada petunjuk, mereka tidak mendengar.”


Saya sebutkan beberapa ayat Al-Qur’an tentang orang-orang yang tidak bisa mendengar:

  1. Yunus:42, “Afa anta tusmi’u shumma walaw kanu Ia yubshirun. Apa engkau bisa membuat mendengar orang yang tuli walaupun mereka tidak berakal atau berpikir.” Ayat ini menunjukan orang-orang yang tidak bisa mendengar atau tuli. Pertama, tadi disebut bisa terjadi karena hatinya sudah tertutup, kalau hati sudah tertutup telinganya tidak bisa mendengar. Kedua, orang yang telinganya tidak berfungsi atau tidak mendengar ialah orang-orang yang tidak mau berpikir atau tidak mau menggunakan akal sehatnya. Walaupun diberikan argumentasi dan nasihat, dia tidak akan mendengar. Sehingga Allah berfirman, “Afa anta tushmi’u shumma. Apa mungkin kamu bisa membuat orang tuli itu mendengar, walaw kanu la ya’qilun, kalau mereka tidak berpikir.” Allah menyindir orang-orang yang tidak bisa mendengar itu dengan sebutan Al-Mauta, orang-orang yang sudah mati atau bangkai yang gentayangan, meskipun mereka masih hidup.

  2. Dalam surat Al-Naml ayat 80 Allah swt berfirman, “Innaka Ia tusmi’ul mauta wa la tusmi’ush shummaa du’a idza walaw mudbirin. Sesungguhnya kairru tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar dan tidak pula dapat menjadi­kan orang-orang yang tuli itu mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling ke belakang. Malahan dalam ayat yang lain, Allah menyindirnya dengan kata-kata yang sangat keras, tidak lagi disebut sebagai Al-Mauta, tapi disebut dengan man fil qubur, orang sudah berada dalam kubur. ” Wa ma anta bimusmi’in man fil qubur. Engkau tidak bisa menjadikan orang yang berada dalam kubur mendengar.” (QS. Al-Fathir 22) Yang dimaksud terkubur disini bukan dalam arti sebenarnya, melainkan terkubur dalam kebatilan, sehingga dia tidak bisa mendengar. Al-Qur’an selalu mengingatkan orang yang tidak menggunakan telinganya untuk mendengar dengan baik itu, dengan peringatan siksa. Di dalam ujung ayat-ayat tentang itu Allah menjelaskan, “… bagi mereka siksa.” Seperti dalam ayat, “Khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim wa ‘ola absharihim ghisyawatun walahum ‘adzabun ‘alim. Allah telah menutup hati, pendengaran, dan peng-lihatan mereka. Dan bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. 2:7).

  3. Dalam QS. 67:10, Allah menceritakan orang-orang yang menyesal di akhirat nanti karena dulu tidak terlatih untuk mendengarkan dengan baik. Mereka tidak mau ; mendengar dan tidak mau berpikir. Mereka berkata, ” Wa qalu law kunna nasma’u au na’qilu ma kunna fi ashhabis sa’ir. Sekira-nya dulu kami mendengarkan atau memijkirkan peringatan itu, niscaya tidaklah\kami termasuk penghuni-penghuni neraka ; yang menyala-nyala.” Jadi, mereka masuk neraka karena kesalahan mereka yang tidak mau mendengar dan tidak mau berpikir.


Itulah ayat-ayat Al-Qur’an yang menceritakan telinga-telinga yang tidak dipakai untuk mendengar. Dalam hal ini, tidak mendengar pelajaran, petunjuk, atau ayat-ayat Allah. Sebenarnya telinga yang seperti itu, menurut Al-Qur’an, hanya tidak mendengar petunjuk atau cahaya saja. Mereka sebetulnya mendengar segala hal kecuali yang benar. Misalnya mereka mendengar ucapan yang kotor yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Al-Laghw. Mereka pun mendengar hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata maksiat. Itulah yang mereka dengarkan, mereka ber-ghibah (membicara-kan orang lain). Padahal mestinya mereka tutup telinga dari hal-hal yang seperti itu.


Kalau kita menutup telinga kita dari hal-hal yang jelek atau hal-hal yang maksiat dan hanya mau mendengarkan yang baik-baik saja, telinga seperti itulah yang disebut oleh Al-Qur’an sebagai udzunun wa’iyyah. Telinga-telinga yang bisa menyimpan atau telinga yang baik. Pada setiap pengajian hendaknya kita berdo’a, ” Allahummasdud asma’ana ‘annilaghwi wal ghibah. Ya Allah palingkanlah pendengaran kami dari ucapan yang sia-sia dan umpatan.”


Imam Ali kw berkata, “Idza lam takun ‘aliman nathiqa fakun mustami’an wa’iyyan, Kalau kamu tidak bisa jadi orang alim yang bisa bicara, jadilah kamu pendengar yang bisa menyimpan atau jadilah pendengar yang baik.” Dalam salah satu khutbahnya, Imam Ali kw berkata, “Rahimallah man sami’a hikaman fa wa’a du’iya ila rasyadin fa ‘adna wa ukhidza bilhujjati fa naja. Allah itu menyayangi seseorang yang suka mendengar hikmah atau ucapan-ucapan yang baik, kemudian menyimpannya, kemudian ketika dipanggil kepada kebenaran dia mendekat, kemudian dibimbing oleh seorang yang membawa petunjuk, lalu dia selamat.”


Kalau kita perhatikan beberapa ayat Al-Qur’an yang telah disampaikan tadi, kita lihat bahwa mendengar itu ialah salah satu amal shaleh yang besar. Allah memuji telinga yang sanggup mendengar dengan baik. Allah membuat telinga kita dua kali jumlahnya dari lidah kita. Lidah kita hanya satu tetapi telinga kita ada dua, supaya kita lebih banyak mendengar daripada berbicara.


Kalau kita tetap mau bicara, bicaralah dengan membawa ilmu. Sebagaimana Imam Ali tadi menyatakan, “Kalau kamu tidak bisa menjadi seorang alim atau orang berilmu yang bisa berbicara dengan ilmunya, maka jadilah kamu pendengar yang baik atau pendengar yang bisa menyimpan.” Imam Ali berkata “Man ahsanal istima’ ta’azzalal intifa’. Siapa yang baik mendengarkannya, dialah yang paling cepat memperoleh manfaat. Ada ucapan Imam Ali Zainal Abidin, “Li kulli syaiin fakilaah wa fakihatu sam’i alkalamul hasan. Segala sesuatu itu ada pestanya atau ada makanannya, dan makanan pendengaran adalah pembicaraan yang baik-baik.” Jadi kalau kita bisa mendengarkan pembicaraan yang baik-baik, telinga kita itu sedang berpesta atau sedang menikmati hidangan dan itulah seharusnya hidangan pendengaran kita.


Sebuah buku tentang pelajaran berkomunikasi menyatakan bahwa kita ini sering seperti mendengarkan, tapi sebetulnya tidak. Walaupun mata kita hadapkan dan wajah kita arahkan ke arah orang yang berbicara, kita ini tidak mendengarkan. Hal ini karena ternyata seperti yang disebutkan Al-Qur’an, bahwa sebenarnya yang men­dengar itu bukan telinga, melainkan hati. Kalau hati sudah tidak mendengar, walaupun telinganya normal, dia tidak akan mendengar. Kalau hati kita simpangkan kepada yang lain, telinga kita tidak mendengar. Hati itu disebut sebagai hati karena seringnya ia berubah-ubah “Sumi’a al-qalbu li taqollubiha”.


Berdasarkan penelitian, kalau kita mendengarkan suatu pembicaraan, bagi orang-orang yang kurang terlatih mendengar­kan, paling efektif rata-rata dia hanya mampu mendengar 15% dari seluruh pembicaraan. 85% lagi tidak kedengaran. Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris yang menya­takan, “You hear me but you don’t listen to me. Anda mendengar saya, tapi tidak mendengarkan saya.” Mengapa? Karena sebenar­nya yang mendengar itu adalah hati dan yang melihat juga adalah hati. Mata dan telinga itu hanya alat luarnya saja. Dengan demikian boleh jadi ada orang punya telinga, tapi ia tidak mendengar, karena hatinya tidak mau.


Barangkali kita cukup paham, kita sering mengalami atau menyaksikan orang-orang yang sepertinya mendengarkan, tapi tidak mendengar. Karena itulah, banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh agar kita melatih pendengaran dan belajar mendengarkan yang baik. Sebagaimana Sayyidina Ali kw menyata­kan, “Man ahsana al istima’ ta’ajjalal intifa’. Siapa yang baik mendengarkannya ia akan cepat memperoleh manfaat.”


Ada orang yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia ini baru meningkat dari tahap pertama menuju tahap kedua. Dulu, bangsa yang paling sederhana adalah bangsa yang hanya senang melihat saja. Bangsa yang suka menonton (watching society). Bangsa ini memperoleh pelajaran dari menonton. Menonton atau melihat lebih mudah daripada mendengarkan. Kalau tahapnya sudah tinggi sedikit, meningkat dari watching society kepada listening society, bangsa yang suka mendengarkan. Bangsa kita ini sekarang sedang berada pada posisi suka mendengar­kan. Tahap yang lebih tinggi dari mendengar­kan adalah reading society, bangsa yang suka membaca. Tampaknya bangsa kita ini belum tergolong kepada bangsa yang suka membaca. Misalnya, ibu-ibu di Bandung akhir-akhir ini sering menghadiri pengajian untuk men­dengarkan. Walaupun belum diteliti berapa persen yang mampu didengarkan, yang penting ialah mereka sudah senang men­dengarkan.


Tentang para pendengar ini, Allah berfirman,” Wa min hum man yastami’u ilaika waja’alna’ ala qulubihim akinnatan an yafqahuhu waif adzanihim waqra. Dan di antara mereka ada orang yang seperti mendengarkanmu, lalu Kami jadikan pada hati mereka itu penghalang untuk mema-haminya.” (QS. 6:25) Dengan demikian termasuk amal soleh yang besar kalau kita berusaha melatih mendengar yang baik. Bangsa Indonesia belum termasuk .bangsa pembaca. Bangsa Amerika termasuk bangsa pembaca, namun kegiatan komunikasi terbesar yang mereka lakukan ialah men­dengarkan. Jadi mendengarkan tetap menduduki jumlah terbesar kegiatan komunikasi mereka. Menurut penelitian terbukti banyak terjadi kesalahpahaman, pertengkaran atau kegagalan karena salah mendengarkan. Kita sering menyebutkan, “Kamu salah paham!”. Sebenarnya kalimat itu tidak tepat. Karena sebelum salah paham, terjadi salah mendengar. Kita salah paham karena kita tidak mendengarkan dengan baik.


Sekali lagi, berdasarkan ayat Al-Quran dan hadits-hadits itu kita diingatkan untuk membiasakan melatih pendengaran kita. Barangkali yang bisa kita latih pertama bila ingin menguasai teknik mendengar yang baik, ialah belajarlah mendengarkan pembicaraan yang tidak menyenangkan hati kita. Mendengarkan pembicaraan yang mengenakkan hati kita mudah dan tidak usah dilatih. Misalnya kalau datang seseorang, kemudian memuji-muji diri kita, telinga kita langsung mendengarkan dengan baik. Tetapi ketika seseorang datang dan memberi nasihat atau membetulkan perbuatan kita yang salah, maka telinga itu segera menjadi disfungsional (kurang berfungsi).


Karena itu, latihan pertama kalau kita mau melatih pendengaran, ialah belajar mendengarkan pembicaraan yang tidak kita kehendaki.


Pada zaman dahulu, bila ahli-ahli tasawuf memilih isteri, mereka akan memilih isteri yang cerewet dan suka marah dan mereka akan mendengarkan dengan baik. Kalau semua kemarahan isteri itu terdengar, itu pertanda bahwa sudah tinggi tingkat tasawufnya. Dengan mudah dia akan dapat mendengarkan hal-hal yang baik dan bisa menyimpannya, karena dia sudah terlatih mendengarkan hal-hal yang menyakitkan hatinya.


Ada orang mengatakan, kalau kita dimarahi, anggap saja itu radio butut (jelek). Anggapan itu tidak tepat. Itu berarti tidak mendengarkan. Jangan anggap radio butut, anggap saja lagu cengeng. Suatu hari, ketika Imam Ali Zainal Abidin as berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, ia didatangi seseorang, lalu dicaci maki. Imam mendengarkannya dengan baik, ia tidak membantahnya. Setelah orang itu pergi, Imam menyusulnya dan berkata, “Tadi engkau telah mengatakan apa yang engkau katakan. Kalau apa yang engkau katakan itu memang ada pada diriku, mudah-mudahan Allah mengampuniku dan kalau apa yang engkau katakan itu tidak ada pada diriku, mudah-mudahan Allah mengampuni dirimu.”


Kemudian, latihan kedua ialah belajar mendengarkan orang yang membicarakan tentang dirinya sendiri —yang biasanya tidak menarik.


Mendengarkan hal-hal yang menarik bagi kita tidak perlu dilatih. Karena hal itu sesuatu yang otomatis. Kalau ada orang yang membicarakan dirinya, itu biasanya tidak menarik bagi kita, tetapi menarik bagi orang yang berbicara.


Menurut para psikolog, banyak penderita gangguan jiwa, ketika menemukan telinga yang mau mendengarkan, goncangan jiwanya berkurang. Kita telah membantu meringankan beban penderitaan dia, dengan mendengarkannya saja baik-baik. Memang hal itu, tidak menarik karena cerita itu ialah tentang dirinya, bukan cerita tentang kita sendiri.


Tetapi kalau kita mau mendengarkan baik-baik, kemudian ikut memikirkan kesulitan hidupnya, walaupun kita tidak membantu, itu sudah membantu meringan­kan penderitaan dia. Itu sudah termasuk amal shaleh yang besar. Itulah udzunun wa’iyyah yang dipuji oleh Allah swt.


Dulu ada seorang bintang televisi yang sering memerankan ibu yang baik; ibu yang ideal. Sehingga ketika dia meninggal dunia, ribuan orang mengantar jenazahnya. Mereka ialah para penonton televisi yang merasa kehilangan contoh ibu yang ideal. Para psikolog mengatakan bahwa ibu yang kelihatan ceria di depan kamera itu sebetulnya menyimpan segudang penderitaan. Dan salah satu hal yang menyebabkan dia tidak sanggup menanggung penderitaan itu ialah ternyata ibu itu tidak menemukan telinga yang mau mendengarkan penderitaannya. Mengapa? Karena semua penonton televisi hanya ingin mendengarkan tentang kebahagiaan dia. la ibu ideal. Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa dalam hati ibu itu tersimpan seluruh penderitaan. Dia tidak menemukan telinga yang sabar yang mau mendengarkan penderitaan dia.


Kita perlu berlatih untuk mendengar­kan hal-hal yang tidak mengenakkan kita. Hal itu banyak manfaatnya. Setelah itu, biasakan telinga kita untuk memperoleh hidangan yang baik, yaitu dengan mendengarkan al kalamul hasan (ucapan-ucapan yang bermakna). Kualitas telinga kita ditentukan oleh apa yang kita dengar. Jadi kalau kita sering mendengar ucapan-ucapan yang bergizi tinggi, maka telinga kita pun mempunyai kualitas yang tinggi. Kalau telinga kita dibiasakan men­dengarkan ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits Nabi, dan pembicaraan-pembicaraan yang bermutu, maka ada side effect (efek samping) yang baik. Telinga kita menjadi tidak betah mendengarkan yang jelek-jelek dan yang kualitasnya rendah, yang mutunya tidak baik. Kalau kita sering mendengarkan pembicaraan yang yang bermanfaat, yang isinya mendalam dan yang ilmunya tinggi, ketika kita men­dengar yang dangkal dan tidak ada manfaatnya, maka telinga kita sudah otomatis tidak begitu betah mendengarkannya. Hal ini memang agak jelek, tapi itu kejelekan yang baik.


Telinga kita hanya menyimpan hal-hal yang baik saja dan tidak bisa menyimpan hal-hal yang jelek. Menurut para ahli komunikasi, mendengarkan itu selektif; kita cenderung tidak mendengar seluruh pem­bicaraan, kita memilih-milih. Kita hanya mau mendengar pendapat yang sesuai dengan pendapat kita dan tidak mau mendengarkan pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat kita. Bila kita sudah yakin betul bahwa kita kita ini benar, lalu ada orang lain yang pendapatnya berbeda dengan kita, maka kita tidak mau mendengarkannya. Walaupun telinga kita berfungsi, tapi kita tidak men­dengarkannya, telah tertutup hati kita.


Oleh karena itu, Al-Qur’an mengingatkan bahwa di antara ulul albab itu ialah mereka yang mendengarkan dengan baik. “Orang-orang yang mendengar seluruh pembicaraan.” (QS. 39:18) Dalam catatan kaki Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama, tertulis bahwa mendengarkan seluruh pembicaraan itu artinya mendengarkan ajaran Al-Qur’an dan juga mendengarkan ajaran yang bukan Al-Qur’an tetapi dia mengikuti yang baik-baiknya saja. Jadi tanda mendengarkan yang baik ialah mendengarkan seluruh pembicaraan, tetapi mengikuti yang baik-baiknya saja.


Memang salah satu tanda pendengar yang baik adalah pendengar yang kritis, mendengarkan seluruh pembicaraan kemudian dia berpikir kritis. Pada umumnya hati kita ini sudah tertutup. Kita hanya mau mendengar apa yang sesuai dengan pendapat kita. Di Amerika, kalau orang membeli surat kabar, maka orang itu hanya mau membaca surat kabar, yang sealiran dengan dia. Misalnya, kalau kita ini anggota Golkar, kita hanya ingin mendengar berita-berita dari Suara Karya. Kalau kita anggota PDI, kita akan lebih senang membaca surat kabar Merdeka daripada Suara Karya.


Demikian juga kalau kita mendengar­kan radio atau mendengarkan penceramah, kita hanya ingin mendengarkan penceramah yang pendapatnya sama dengan kita. Kalau penceramah itu berbeda pendapatnya dengan kita, maka kita dengar juga tapi tidak mendengarkan. Jadi ditutup hati kita dan kita kehilangan berpikir kritis. Bahkan ada aliran yang sengaja mengajarkan pada jamaahnya untuk tidak mendengarkan orang lain yang berbeda pendapatnya dengan dia. Jadi, setelah kita tidak terlatih mendengarkan yang berbeda, kemudian kita malah dianjurkan untuk tidak mendengarkan, maka lengkap sudah seluruh penderitaan itu.


Dengan demikian kita harus belajar mendengarkan berbagai pendapat, bukan hanya satu pendapat saja supaya kita tidak termasuk orang yang ditutup hatinya sebagai-mana yang dimaksud oleh QS. 2:7 dan QS. 7:100.


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

167 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page