Akhi
Umat Islam Belum Jadi Kekuatan Islam

Menurut Anda, apa makna dan pengertian kemerdekaan?
Dulu, para pejuang kita berjuang untuk meraih kemerdekaan. Saya melihatnya sebagai pelepasan umat dari penindasan. Ukuran kemerdekaan itu adalah sejauh mana penindasan itu terjadi. Untuk itulah mereka menentang Belanda. Saya kira ini bukan karena nasionalistis, tetapi karena mereka melihat Belanda adalah orang kafir yang menindas orang Islam.
Begitu juga ketika orang Jepang datang. Mula-mula mereka disambut, sampai-sampai kehadiran PETA didukung oleh para ulama. Tetapi, kemudian mereka juga menentang dan melakukan perlawanan, misalnya, ulama dari Tasik, KH. Zainal Mustafa. Pemberontakan PETA juga dipimpin oleh para ulama. Kenapa awalnya Jepang disambut tetapi kemudian dilawan? Karena para pejuang kita tahu bahwa Jepang juga sama dengan Belanda, melakukan penindasan.
Sekarang, kita sudah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang. Tetapi saya yakin, orang Islam tidak akan mengatakan perjuangan sudah berakhir. Kita bisa dikatakan merdeka penuh kalau sudah tidak ada lagi penindasan dalam segala cara dan bentuk.
Karena itu, Gus Dur mengatakan, "Sebenarnya perjuangan kita bukan menyuruh semua orang harus salat atau puasa. Perjuangan kita adalah berusaha menegakkan sistem yang adil, distribusi kekuasaan yang adil dan sebagainya" Penegakan keadilan adalah penentangan terhadap penindasan, dan di situlah esensi dari kemerdekaan. Satu hal lagi, kemerdekaan itu terjadi bila Hak Asasi Manusia dihargai dan dihormati.
Menurut Anda bagaimana kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia?
Bicara tentang HAM tentunya tidak dibatasi oleh budaya tertentu. Kita sering mendengar para pejabat menyatakan menghargai HAM namun harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya kita, sebab kita tidak mendukung HAM yang berasal dari nilai budaya asing.
Saya berpendapat HAM sangat asasi, universal, dan tidak dipengaruhi oleh budaya setempat. Misalnya, tidak boleh menahan seseorang secara semena-mena, apalagi memenjarakannya tanpa melalui pengadilan. Ini tidak dipengaruhi oleh budaya manapun. Orang berhak berbicara dan berkumpul dengan organisasi yang ia sukai, itu juga hal yang asasi dan universal, juga tidak dibatasi oleh nilai-nilai budaya setempat. Yang dibatasi, mungkin hanya pelaksanaannya saja.
Bagaimanakah HAM perspektif Islam?
Menurut ushul fiqh, ada lima pokok pemeliharaan yang harus diperhitungkan dalam satu perumusan hukum Islam: pemeliharaan jiwa, keluarga, kekayaan, kehormatan, dan agama. Dalam Al-Qur'an, HAM itu disebut sebagai ushul atau dasar, pokok yang harus diperhitungkan dalam perumusan hukum-hukum Islam. Kalau kita simpulkan hasil deklarasi universal tentang HAM yang panjang lebar itu, hampir seluruhnya bermuara pada lima pokok ushul fiqh tadi.
Pertama, memelihara jiwa. Ini berarti tidak boleh menganiaya orang secara fisik, atau membunuhnya, dan tidak boleh membatasi dirinya tanpa alasan yang hak. Bahkan di dalam Al-Qur'an, kita dilarang membunuh diri (qat'un nafs), kecuali dengan cara yang hak. Demikian juga prinsip HAM sekarang. Kedua, menjaga harta kekayaan. Setiap orang berhak memiliki hak kekayaan atas pengha- silannya sendiri. Tidak boleh seorang pun mengambil, atau memindahkan, atau menyita harta kekayaan itu tanpa hak. Bahkan sebenarnya tidak boleh ada undang-undang yang mengizinkan seorang penguasa mengambil kekayaan warga negara tanpa persetujuan mereka.
Dalam Islam, seseorang diberi kebebasan untuk menyembunyikan atau menampilkan kepercayaannya. Tidak boleh memaksa orang menceritakan keyakinan atau ideologinya. Misalnya, dalam pemilu kita mencurigai seseorang lalu menginterogasi dan memaksa dia menceritakan alasan memilih lambang tertentu. Orang berhak mempropagandakan dan me- nyembunyikan keyakinannya demi melindungi diri dan keluarganya. Di masa Nabi Saw. 'Amr bin Yasir pernah dipaksa orang Quraisy dan dianiaya. Ia melihat ibunya dibunuh agar dia meninggalkan ideologinya. Akhirnya ia mengakui ideologi Quraisy, tetapi ia menyembunyikan keyakinannya. Ketika bertemu dengan Nabi Saw. 'Amr bin Yasir tertunduk malu, lalu Nabi menyuruhnya berdiri dan berkata, "Kalau mereka kembali memaksamu, maka kamu pun kembali menyembunyikan keyakinanmu" Lalu turunlah ayat, "Illa man ukriha wa qalbuhu muth-mainnu bil iman, kecuali orang yang terpaksa, sedang hatinya tetap mantap beriman" (Q.S. An-Nahl:106)
Sekarang ini, peran apa yang harus dilakukan umat Islam?
Buat orang Islam, bukan bagaimana mengisi kemerdekaan, tetapi bagaimana menyempurnakan kemerdekaan kita ini. Saya kira perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan yang terus menerus. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa penjajahan atau penindasan di dunia harus dihapus. Jelas, para perumus kemerdekaan kita pun mengakui bahwa kemerdekaan adalah pembebasan dari penindasan yang ada di dunia. Jadi, pertanyaannya bukan bagaimana cara mengisi kemerdekaan, tetapi apakah kita betul-betul bebas dari penindasan. Karena, kemerdekaan bukanlah sesuatu yang harus diisi, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan. Tujuan akhir perjuangan kita adalah kemerdekaan, membebaskan orang dari keterbelakangan dan kemiskinan. Kemerdekaan bukan aja pembebasan orang dari penjajahan politik dan ekonomi, tetapi juga pembebasan dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Bagaimana Anda melihat potret peran umat Islam kita dewasa ini?
Kata Gus Dur, umat Islam jangan merasa puas karena sudah banyak yang puasa dan haji, tetapi kita harus melihat apakah keadilan itu sudah ditegakkan dan apakah kemerdekaan itu sudah disempurnakan. Kalau Muhammadiyah membangun proyek- proyek ekonomi dan sosial, itu bukan berarti mengisi kemerdekaan, tetapi adalah perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan, paling tidak untuk meraih kemerdekaan dari kemiskinan.
Menurut Anda, sejauh mana posisi umat Islam dalam dinamika politik dan ekonomi saat ini?
Ada persepsi bahwa umat Islam berada pada posisi yang menguntungkan, terutama secara politik. Memang ada beberapa indikasi ke arah itu seperti maraknya simbol-simbol ritual seperti haji sampai-sampai pemerintah kewalahan menghadapinya. Dari segi ritual, kita melihat kesadaran beragama seakan makin meluas, tetapi dari segi sosial tidak terlihat perbedaan dan perubahan yang berarti. Lalu, apa betul orang-orang yang salat itu tidak pernah melakukan kolusi dan korupsi? Betulkah orang berhaji itu tidak pernah merampas hak orang lain? Saya kira ada benarnya si Cepot, tokoh wayang golek, berkata bahwa STMJ bukan susu, telor, madu dan jahe, tapi 'salat terus maksiat jalan'. Kita bisa melihat kolusi dan korupsi jalan terus di kantor-kantor tanpa membuat pelakunya risi.
Jadi, umat Islam belum menjadi kekuatan moral. Kekuatan politik umat Islam juga meragukan, karena perpecahan di antara kita. Apalagi, umat Islam itu bisa berada di mana-mana, sehingga sulit mengidentifikasi aspirasi apa yang diperjuangkannya dan bisa saja semua golongan mengatasnamakan Islam. Demikian juga, bila kita ukur dalam bidang ekonomi, malah amat menyedihkan. Dulu, ada pusat-pusat ekonomi Islam. Misalnya, batik di Pekalongan, pabrik tenun di Majalaya dan Bandung. Tetapi, sekarang semuanya habis, bahkan ada analisa orang Barat bahwa di masa Orde Baru ini ekonomi umat Islam mengalami kemunduran.
Hanya saja, umat Islam sering menderita ilusi. Begitu ada Bank Muamalat yang beridentitas Islam, lantas kita berpikir bahwa sekarang sedang terjadi kebangkitan ekonomi Islam.
Kalau begitu, benarkah sekarang ini umat Islam sedang mengalami depolitisasi?
Dari realitas tadi, justru umat Islam sedang mengalami politisasi. Umat Islam sedang dipolitisasi. Sampai-sampai kegiatan ritual saja, seperti tahlilan, sekarang menjadi kegiatan politik. Kunjungan ke pesantren-pesantren, safari tarawih, ibadah haji, pertemuan dengan ulama dan masih banyak lagi.

Dampak untung ruginya?
Saya melihatnya bukan untung malah banyak ruginya. Pertama, politisasi itu menimbulkan konflik di kalangan umat Islam sendiri. Orang yang seiman akhirnya harus berbenturan visi politik yang berbeda. Ini terlihat pada kasus di NU antara Abul Hasan dengan Gus Dur. Padahal kedua-keduanya sama Ahlus Sunnah. Karena politik masuk maka terjadilah konflik.
Kedua, politisasi itu mengakibatkan terhambatnya saling pengertian antara berbagai kelompok Islam. Maksud saya, di kalangan ulama banyak terdapat perbedaan pendapat, dan itu biasa saja. Tetapi, ketika politik masuk, maka perbedaan itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Misalnya, Gus Dur sekarang dianggap orang liberal. Ia mencoba memasukkan pembaruan pemikiran untuk memperluas wawasan para ulama di NU. Ia malah dituduh Syi'ah dan menyebarkan paham Syi'ah di kalangan NU. Ini terjadi karena kepentingan politik. Dalam permainan politik, orang sering memberi label-label yang tidak menyenangkan kepada lawan politiknya. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).