top of page
  • Writer's pictureAkhi

WANITA PUN MENJADI KORBAN


Untuk apa perempuan diciptakan? Untuk menyenangkan laki-laki, kata kawan saya yang sarjana fisika. Lihat saja berbagai tempat hiburan. Perempuan-perempuan "dijual" untuk memuaskan selera laki-laki. Tak ada tempat hiburan yang menjual laki-laki. Demosthenes pernah berkata, "Kita perlukan gundik untuk memuaskan kesenangan kita dan istri untuk melahirkan keturunan kita." Tak ada gundik atau istri yang laki-laki.


"Tidak ada satu masyarakat pun yang perempuannya dominan," kata Peter Farb dalam Humankind. Bila ratunya perempuan, orang-orang penting di sekitarnya -bahkan kadang-kadang yang mengendalikannya di belakang- adalah laki-laki. Karena itu, norma, etika, hukum, bahkan aturan alokasi kekayaan dibuat untuk memenangkan laki-laki. Wanita yang berani menyatakan cintanya lebih dahulu disebut agresif, laki-laki tidak. Istri yang menyeleweng menjadi gunjingan sekampung, laki-laki yang "jajan" dianggap normal. Bila wanita secara sukarela menyerahkan dirinya kepada laki-laki, kecelakaan yang terjadi sering menjadi tanggung jawab wanita seorang. Bila bayi -yang merupakan hasil berdua- lahir, yang merasakan sakit hanya sang ibu. Bila suami-istri diberi kesempatan mempunyai anak satu orang saja, besar kemungkinan mereka memilih anak laki-laki. Perempuan selalu nomor dua.


Pada zaman jahiliah, pembunuhan anak perempuan disebut wa'dul banât; pada zaman modern, kita menyebutnya abortus provocatus (karena penelitian menunjukkan bahwa anak-anak perempuan lebih cenderung digugurkan daripada anak laki-laki). Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita didirikan, tetapi nasib TKW (tenaga kerja wanita) dan buruh-buruh pabrik baru akan diperjuangkan.


Beberapa waktu yang lalu, di Bekasi ditemukan bayi merah yang ditinggalkan ibunya. Ibunya ditangkap. Ia menangis dan menceritakan deritanya. Ia telah lama menyembunyikan kandungannya (hasil dari hubungan sah dengan suami yang menelantarkannya), agar ia tetap diterima bekerja di pabrik. Ia bertahan untuk tidak memperlihatkan beratnya kandungan. Bahkan, ia tidak menangis ketika anaknya lahir. Ia khawatir tetangganya akan membawanya ke rumah sakit dan ia tidak tahu dari mana ia harus membayar biaya perawatan. Ia tinggalkan bayi merah yang ia sayangi, hanya karena ia ingin mempertahankan hidupnya. Masih dengan darah yang memercik di balik pakaiannya, ia meneruskan pekerjaannya di pabrik.


Ia berhasil tetap hidup, padahal banyak orang seperti wanita itu mati karena melahirkan. Setiap tahun ada setengah juta ibu meninggal ketika melahirkan; sembilan puluh sembilan persen kematian ibu ini terjadi pada bangsa-bangsa yang miskin. Di Indonesia, sekitar 80 sampai 1.009 orang ibu mati dari 100.000 ibu yang melahirkan. Secara nasional, 450 orang ibu mati di antara 100.000 persalinan hidup di Indonesia. (Bandingkan dengan Malaysia, 59; Sri Langka, 60; Thailand, 50.) Setiap tahun ribuan ibu di Indonesia mati karena melahirkan, tetapi tidak ada hari berkabung nasional.


Kita tidak mempunyai Menteri Peranan Laki-Laki; tetapi jika ada, 450 orang saja laki-laki meninggal ketika bertugas, negara akan berdukacita. Dunia kita memang dunia kaum laki-laki. Ketika Nabi yang mulia ditanya siapa manusia yang paling layak memperoleh perkhidmatan (pelayanan) kita, Nabi menyebut ibu sampai tiga kali. Baru setelah itu, bapak disebut. Tetapi, itu dunia dalam persepsi Nabi, bukan dunia yang kita huni sekarang. Setiap tahun kita memperingati Hari Ibu, tetapi pelayanan kesehatan dan kesejahteraan ibu tidak pernah mendapatkan prioritas. JR


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

25 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page