Akhi
WARA': NILAI KESUCIAN

Sekian tahun yang lalu, nama seorang mahasiswa diabadikan Taufiq Ismail dalam salah satu puisinya. Kosim dipuji penyair bukan karena ia memimpin demonstrasi atau mendukung OPP. Bukan juga karena prestasi akademis atau olahraga yang menonjol. Kosim mungkin tidak akan dikenal, kalau bukan karena puisi Taufiq. Lalu apa "keanehan" Kosim? Ia pergi ke sebuah dusun terpencil, hidup bersama rakyat kecil, berusaha berbagi rasa dengan mereka, dan akhirnya mencintai mereka. Ia tidak tertarik lagi dengan gelar akademis, padahal jutaan anak Indonesia berebutan meraihnya dengan belajar serius, merayu dosen, atau apa saja. Ia juga tidak lagi menggubris karier di kota besar dalam ruang ber-AC, meja ber-PC, dan sekretaris yang KC (baca: kécé). Padahal untuk itu, jutaan kawula muda kini tengah berlomba.
Yang membedakan Kosim dari orang lain adalah nilai yang dianutnya. Nilai adalah ukuran untuk menentukan makna, keutamaan, "harga", atau keabsahan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa gagasan atau tindakan. Nilai menentukan bentuk, alat, dan tujuan tindakan, kata Kluckhohn (1954: 395). Karena Kosim tidak meletakkan nilai pada gelar akademis dan karier, ia memilih tinggal di desa. Pada mulanya ia ikut KKN, tetapi ia melakukan tugasnya dengan tujuan tindakan yang berbeda dari kawan-kawannya.
Nilai bukan saja membedakan tindakan manusia. Nilai juga membedakan kualitas manusia. Dahulu Plato mem bagi manusia berdasarkan tiga nilai (walau Plato tidak menyebutnya nilai): keberanian, kesenangan, dan kebijaksanaan. Nilai pertama dianut prajurit, nilai kedua dianut pedagang, dan nilai ketiga dianut filosof.
Spranger, psikolog Jerman, menyebut enam tipe manusia berdasarkan nilai yang paling menguasai dirinya. Pertama, manusia teoretis. Nilai utama baginya adalah menemukan kebenaran. Ia senang mengumpulkan informasi, menganalisis, mengkritik, menggunakan nalarnya. Ia tahan tidak tidur di malam hari ketika merenung atau membaca buku. Ia boleh menjadi ilmuwan atau filosof.
Kedua, manusia ekonomis. Bagi orang ini baik-buruk diukur dari segi keuntungan. Perhatian utamanya pada pemilikan kekayaan, pada materi yang dapat dilihat. Ia juga sanggup melek sepanjang malam, selama ia mengerjakan sesuatu yang menghasilkan uang banyak.
Ketiga, manusia estetis. Baginya nilai tertinggi terletak pada bentuk dan harmoni. Ia tidak perlu harus seniman, tetapi ia tertarik pada pengalaman-pengalaman artistik, pada keindahan. Ia mau mengorbankan apa pun untuk menikmati keindahan yang dikaguminya.
Keempat, manusia sosial. Ia meletakkan nilai terbesar pada kasih-sayang dan cinta. Demi persahabatan, ia rela mengorbankan kekayaannya; bahkan keyakinannya. Ia tidak sanggup sendirian. Ia senantiasa ingin "in". Ia menemukan kenikmatan dalam penghargaan dan popularitas. Umumnya manusia sosial itu simpatik dan menarik.
Kelima, manusia politis. Orang ini tidak selalu bekerja sebagai politisi atau penguasa. Siapa saja yang terutama sekali tertarik pada kekuasaan dan pengaruh adalah manusia politis. Ia memperoleh kenikmatan dalam mengalahkan saingan atau kontestan lain. Untuk kekuasaan, ia bisa saja mengorbankan persahabatan (yang diutamakan manusia sosial), atau kekayaan (yang dirindukan manusia ekonomis), atau keindahan (yang disenangi manusia estetis).
Terakhir, keenam, manusia religius. Orang ini memperoleh kebahagiaan dalam mendekati Tuhan, dalam berpadu dengan kosmos, dalam pengalaman mistikal. Ia tidak lagi menghiraukan ilmu, kekayaan, keindahan, kasih-sayang,
atau kekuasaan. Ia memandang semuanya sebagai hal-hal yang duniawi.
Walaupun klasifikasi Spranger ini lebih lengkap dari Plato, kita masih merasakan kekurangannya. Misalnya, manusia religius hanya dilihat dari pengalaman mistikal saja, mengabaikan segi-segi etis. Lagi pula, bila manusia religius adalah manusia yang mengatur hidupnya berdasarkan nilai-nilai agama, setiap agama mempunyai hirarki nilai yang berbeda. Agama Kristen menekankan nilai kasih (cinta). Agama Yahudi mungkin mengutamakan nilai takut (pada Yahweh). Agama Islam, bagaimana?
Belum ada ulama yang mencoba menyusun hirarki nilai-nilai Islam. Tulisan ini juga tidak bermaksud membuat sistematika nilai. Saya hanya ingin menunjukkan salah satu nilai, yang saya duga mendasari nilai-nilai Islami. Para ulama Islam menyebutnya wara'.
Kata wara' tidak terdapat dalam Al-Quran. Secara harfiah, wara' artinya menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Ibn Qayyim Al- Jawzi, dalam Madarij Al-Salikin, mengutip Al-Quran surah Al-Muddatstsir ayat 4, sebagai perintah untuk wara': Dan pakaian kamu bersihkanlah. Kata Qatadah dan Mujahid, makna ayat ini ialah hendaknya kamu membersihkan dirimu dari dosa. Para mufasir sepakat bahwa pakaian adalah kata kiasan untuk diri. Ibnu Abbas sendiri menjelaskan ayat ini seperti ini: "Janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan pengkhianatan."
Secara singkat, wara' adalah nilai kesucian diri. Orang Islam mengukur keutamaan, makna, atau keabsahan gagasan dan tindakan, dari sejauh mana keduanya memproses penyucian diri. Berbahagialah orang yang menyucikan dirinya, dan celakalah orang yang mencemari dirinya (QS 91: 9-10). Salah satu misi Nabi Muhammad Saw. adalah "menyucikan kamu" (QS 2: 151; lihat juga QS 62: 2 dan 3: 164).
Islam menyeru semua orang untuk berlomba-lomba menyucikan dirinya. Anda dipersilakan mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, selama kekayaan itu tidak mencemari diri Anda, dan selama Anda dapat mempergunakannya untuk menyucikannya. Tuntutlah ilmu yang dapat meningkatkan kualitas kesucian Anda.
Carilah cinta yang suci, nikmatilah keindahan yang suci, peganglah kekuasaan yang suci. Allah adalah Al-Quddus, Sang Mahasuci. Ia hanya dapat didekati oleh yang suci lagi. Sebagai model manusia suci, Al-Quran menyebut Ahli Bayt yakni, Rasulullah Saw. dan keluarganya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala hal yang kotor dari kalian, hai Ahli Bayt, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya (QS 33: 33). Ahli Bayt adalah orang yang paling dikasihi Allah, bukan karena hubungan darah dengan Nabi, tetapi karena kesucian diri mereka. Siapa pun yang mencapai kesucian setelah perjuangan yang berat berhak untuk dihitung sebagai ahli bayt.
Dalam perang Khandaq, ketika kelompok-kelompok menggali parit, kaum Muhajir berkata, "Salman minna." (Salman dari golongan kami). Anshar juga berkata, "Salman minna." Rasul yang mulia segera berkata, "Salman minna, Ahlul Bayt." Salman mendapat kehormatan dihitung sebagai ahli bayt, karena ia dikenal wara'. Ia meninggalkan keluarganya dan tanah airnya, menjelajah berbagai negeri, sampai menerima posisi sebagai budak belian, hanya karena ia ingin mendekati manusia suci yang dijanjikan dalam Kitab-kitab Suci terdahulu.
Ketika ia diangkat menjadi gubernur pada zaman pemerintahan Umar, ia ditemukan orang memikul barang buat yang lain. Ia tidak mau memakan tunjangan jabatannya. Bukan karena gaji itu haram. Ia memilih makan dari hasil keringatnya sendiri. Ia merasa itulah hartanya yang paling bersih. Karena kebersihan dirinya, Salman mendapat kehormatan dihitung sebagai ahli bayt. Bila Anda kini memilih hidup yang bersih, walaupun harus mengorbankan keuntungan, kekuasaan, popularitas, dan sebagainya, berbahagialah. Di sana Nabi yang mulia memanggil Anda, "Anta minna, Ahlul Bayt!"
Wara' dan Kesehatan Jiwa
Di antara ayat-ayat Al-Quran yang turun pada awal kenabian adalah Al-Muddatstsir ayat 4: "Wa tsisyabaka fa thahhir" (Dan pakaianmu bersihkanlah). Para mufasir --seperti Ibn Abbas, Qatadah, Mujahid, Ad-Dhahhak, Al- Syu'bi, dan lain-lain--sepakat bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah perintah membersihkan diri dari dosa dan maksiat. Inilah perintah Allah kepada Nabi sebagai pembawa risalah, sebelum perintah-perintah lainnya. Sebelum Nabi Saw. menyeru manusia kepada Islam, ia disuruh membersihkan dirinya dari segala dosa (padahal ia manusia suci). Al-Quran sebelumnya menegaskan siapa pun yang ingin menyucikan orang lain, harus memulai dengan penyucian dirinya lebih dahulu. Bagaimana mungkin orang yang kotor menyampaikan firman-firman suci?
Bertolak dari ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw., para sufi merumuskan tiga tahap dalam perjalanan (suluk) mendekati Allah Swt.: Takhalli, tahalli, dan tajalli. Tajalli adalah pengalaman puncak yang dicari para pencinta Tuhan. Inilah tahap ketika Allah tidak lagi merupakan abstraksi, bukan pula Zat yang hanya diketahui melalui ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya. Dia "disaksikan", dan dirasakan kehadiran-Nya. Keagungan-Nya tidak lagi dibaca, tetapi "dilihat".
Keindahan-Nya tidak lagi dibuktikan, tetapi "dinikmati". Ibn 'Arabi hanya membagi yang ada menjadi dua macam saja: Huwa dan La Huwa, Dia dan Bukan Dia. Sekarang tengoklah ke sekitar Anda. Apa yang Anda saksikan? Matahari, pepohonan, hewan, orang lain, atau diri Anda. Semuanya La Huwa. Allah Swt. berfirman: Ke mana pun kamu hadapkan wajahmu di sana ada wajah Allah (QS 2: 115). Sekarang hadapkan mukamu ke mana pun, apa yang kamu lihat? Wajah-wajah selain Allah, La Huwa.
Al-Quran sudah pasti tidak salah. Yang salah dirimu. Karena ihwalmu yang kotor, karena dirimu belum dihias dengan sifat-sifat Tuhan. Dia tidak tampak padamu. "Penampakan" Tuhan itu disebut tajalli. Ketika tajalli, ke mana pun Anda arahkan muka Anda, Anda hanya akan melihat Huwa. Karena itu bersihkan diri Anda lebih dahulu. Kemudian hiasi diri Anda, dengan akhlak Tuhan. Yang pertama disebut takhalli, yang kedua disebut tahalli. Dalam literatur tasawuf, yang pertama lazim disebut wara'.
Jadi, wara' adalah langkah pertama, langkah kecil bagi kekasih Tuhan, tetapi langkah besar bagi pemula.
Tahap-tahap Wara'
Ibn Qayyim Al-Jawziyah, dalam Madarij Al-Salikin 2: 23, membagi wara' dalam tiga tahap: tahap meninggalkan kejelekan, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan karena kuatir jatuh pada hal dilarang, dan tahap menjauhi apa saja yang membawa orang kepada selain Dia. Menurut Ibn Qayyim juga, tahap yang pertama mempunyai tiga fungsi: perlindungan diri, peningkatan kebaikan, dan pemeliharaan iman (Madarij Al-Salikin 2: 24).
Marilah kita lihat secara psikologis ketiga fungsi ini. Setiap kejelekan yang kita lakukan akan berbekas dalam hati. Ia akan menjadi noktah hitam yang mengotori hati, makin banyak kejelekan, makin kotor hati; sehingga apabila kejelekan itu dilakukan terus-menerus, hati bukan saja kotor, tetapi bahkan telah menjadi kotoran itu sendiri. Apa yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka (QS 83: 14).
Pada permulaan abad ini, Sigmund Freud menemukan hal yang menarik dalam perkembangan manusia. Ia melihat anak-anak kecil bertindak secara impulsif. Mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan, tanpa kendali. Mereka hanya mengejar kesenangan. Mereka menjadi budak-budak nafsu.
Setelah agak besar, anak-anak mulai memperhatikan hukuman dan ganjaran dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Perilakunya tunduk pada kontrol dari luar. Ia akan melakukan apa saja yang mendatangkan kesenangan dan menghindari apa saja yang mengakibatkan kesusahan. Setelah lebih besar lagi, anak-anak mulai mengembangkan kontrol dari dalam. Ia menyerap –menginternalisasikan-- nilai, moral, dan etika masyarakatnya. Ia berperilaku bukan karena takut siksaan atau karena mengharapkan ganjaran. Ia berperilaku apa yang "seharusnya" ia lakukan.
Untuk tiga tahap perkembangan ini, Freud menciptakan tiga konsep. Pada tahap pertama, anak sepenuhnya diatur oleh id sumber hasrat, keinginan, dan nafsu. Pada tahap kedua, ia melihat realitas di sekitarnya; perilakunya diatur oleh ego. Pada tahap ketiga, ia diatur oleh hati-nuraninya (Freud menyebutnya superego). Setiap kali manusia menentang superego-nya, setiap kali ia melakukan pelanggaran nilai-nilai etik atau moral (dalam istilah sufi, setiap kali ia melakukan kejelekan atau dosa), ia akan mengalami kege- lisahan (kaum psikoanalisis menyebutnya moral anxiety). Konflik dengan superego akan menimbulkan luka psikologis yang dalam. Mungkin luka ini dibenamkan dalam bawah sadar kita, tetapi ia tidak akan hilang. Ia akan menghantui seluruh hidup kita. Perasaan berdosa (guilty feeling) menimbulkan gangguan fisik dan psikologis.
Diri Anda rusak. Para psikolog menyebut kerusakan ini sebagai anxiety disorder. Seorang penderita anxiety disorder menceritakan perasaannya sebagai berikut:
Aku seringkali terganggu dengan detakan jantungku.
Gangguan kecil saja merangsang sarafku dan menyiksaku.
Seringkali aku tiba-tiba ketakutan tanpa alasan yang jelas.
Aku terus-menerus cemas yang menyebabkan aku putus asa.
Seringkali aku merasa sangat lelah dan betul-betul kehabisan tenaga.
Aku selalu sulit mengambil keputusan.
Sepertinya aku selalu takut pada segala hal.
Aku merasa nervous dan tegang terus-menerus.
Aku tidak dapat mengatasi kesulitanku.
Aku terus-menerus merasa tertekan.
Bersamaan dengan gangguan psikologis ini, pasien kita ini juga menderita gangguan fisik seperti kesulitan konsentrasi, keluar keringat dingin, tidak bisa tidur, kelelahan, sesak nafas, kepala pusing, dan sebagainya.
Bila Anda mengalami hal yang sama seperti pasien di atas. Anda menderita anxiety disorder. Anda sedang mempercepat kehancuran diri Anda. Salah satu penyebab semua gejala itu adalah perasaan bersalah.
Perasaan bersalah timbul bila Anda banyak melakukan kesalahan, kejelekan, atau dosa. Karena itu, menjauhi perbuatan jelek pada hakikatnya menjaga diri Anda dari kerusakan fisik dan psikologis.
Inilah fungsi pertama menjauhi kejelekan (tahap pertama wara'): pemeliharaan diri (tajannub al-qabaih li shawn al-nafs). Di samping pemeliharaan diri, upaya menjauhi kejelekan akan membantu peningkatan kebaikan. Dosa atau kesalahan dapat menghapuskan kebaikan. Bila Anda melakukan banyak kebaikan, dan pada saat yang sama melakukan banyak dosa, kebaikan Anda akan hilang. Anda rajin bangun tengah malam, senang membaca Al-Quran, suka menghadiri majelis taklim. Tetapi Anda juga biasa menggunjing orang lain, menyebarkan cacian (atau fitnah) tentang orang-orang yang tidak sepaham, mengambil sebagian amanat tanpa hak.
Menurut ajaran Islam, semua kejelekan yang Anda lakukan itu menghapuskan semua kebaikan Anda. Anda membangun dan sekaligus menghancurkan. Inilah yang diperingatkan oleh Al-Quran, Janganlah berperilaku seperti perempuan yang mengurai tenunannya setelah dipintal teguh (QS 16: 92).
Karena itu, bila Anda menghentikan kejelekan Anda, Anda memperbanyak kebaikan Anda. Tanaman amal saleh Anda tidak rusak karena hama kesalahan Anda. Inilah fungsi kedua menjauhi kejelekan: peningkatan kebaikan (tajannub al-qabaih li tawfir al-hasanat). JR
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).