top of page
  • Writer's pictureAkhi

Warak: Rukun Takwa Pertama dan Paling Utama


Waktu itu, Bang Buyung ꟷ semoga Allah merahmatinya ꟷ baru saja pulang umrah. Ia mengajak saya untuk berbincang tentang agama di restoran Jepang di Hotel Le Meridien, Jakarta. Sambil dengan santai menyeruput teh di cangkir kecil, Abang bercerita tentang pengalaman umrahnya. "Abang sering pergi ke luar negeri. Di Inggris, jika kita menginjak kaki orang, sebelum kita minta maaf, ia lebih dahulu berkata, Sorry! Di depan Ka'bah, ketika Abang sujud di Maqam Ibrahim, serombongan orang mendesak posisi Abang sehingga miring menjauhi Ka'bah. Sebagian malah ada yang menendang kepala Abang. Tidak seorang pun mengatakan, Sorry.


Abang saksikan jemaah dari berbagai negeri, kebanyakan dari negara-negara Dunia Ketiga, maaf, seperti kurang beradab. Mereka tidak bisa antri dengan tertib. Mereka saling dorong, saling sikut, saling desak untuk memperebutkan kesempatan mencium Hajar Aswad atau mengambil tempat di masjid yang suci. Para pedagang di sekitar masjid mematok harga yang mahal tanpa pelayanan yang ramah. Para penjaga masjid membentak tamu-tamu Tuhan dengan suara yang keras. Dan seterusnya.


Perilaku peziarah di Tanah Suci seakan- akan merepresentasikan umat Islam di negerinya. Negara-negara Islam menduduki ranking tertinggi dalam korupsi, tindakan kekerasan, penindasan pada perempuan, kerakusan para elit, dan kebodohan orang alit.


Untuk pengajian kita yang pertama, tolong jawab mengapa agama besar seperti Islam tidak berhasil mendidik umatnya untuk berakhlak mulia."


Saya tidak bisa menjawab. Bukan karena pertanyaan itu berasal dari ahli hukum yang mempersembahkan hidupnya untuk keadilan, tetapi memang karena saya tidak punya jawabannya.


Akhirnya, saya bawa pertanyaan itu ke majelis-majelis pengajian saya yang lain. Di al- Markaz al-Islami Makassar, seorang dokter (atau doktor) menjawab pertanyaan saya dengan bercerita, “Kami pernah menyelesaikan suatu proyek besar. Usai proyek, kami ternyata (memang disengaja dan direncanakan) memperoleh kelebihan uang. Kami bagikan uang itu kepada para peserta proyek. Semuanya menerima... kecuali seorang Hindu Bali. Ia menolak dengan mengatakan bahwa ia sudah digaji sebelumnya sesuai dengan kontrak-kerjanya. Sementara teman-teman Muslim saya tak menolak tawaran itu."


Saya katakan, "Pak Dokter bukan menjawab pertanyaan Bang Buyung. Bapak bahkan memperkuat pertanyaannya. Mengapa agama yang besar ini tidak berhasil mendidik umatnya untuk berakhlak mulia."


Di berbagai majelis, saya sampaikan pertanyaan yang sama. Pertanyaan itu malah dijawab dengan pertanyaan lagi. Bahkan ada yang menyebut ayat Al-Quran, lalu bertanya, “Mengapa orang yang khusyuk dalam salatnya juga khusyuk dalam mengambil hak orang lain? Mengapa salatnya tidak mencegah pelakunya dari kekejian dan kemunkaran? Mengapa ada pengajar agama yang tidak segan-segan mengambil duit jemaah dan menggunakan uang zakat dan infak untuk memperkaya dirinya?"


Ah, Anda bisa menambahkan contoh-contoh lainnya dalam kehidupan Anda. Dari renungan yang panjang, dari pembacaan kembali teks-teks suci, dari khazanah para Sufi, saya menemukan jawabannya. Mereka seenaknya melakukan dosa, karena mereka percaya amal-amal salehnya, terutama ibadah-ibadah ritualnya, akan menghapuskan dosa-dosa itu. Bisa saja di sini disebutkan ratusan hadis penghapus dosa.


Melakukan puasa, haji, zikir, salat, baca Al- Quran, dan doa akan menghapuskan dosa masa lalu dan masa yang akan datang. Jadi, berbuat dosalah, lalu kamu putihkan dengan beribadah sebanyak-banyaknya. Jadi, berbuat maksiatlah, nanti kamu bersihkan maksiatmu dengan istighfar yang banyak.


Inilah paradigma yang populer. Maka, agama pun menjadi pembenaran dan penghibur bagi pelaku pelaku kezaliman. Maka, agama pun menjadi pameran kesalehan untuk menutupi akhlak yang buruk. Dalam paradigma ini, fokus keberagamaan adalah melakukan ibadah dan amal saleh. Inilah agama yang menina-bobokan pengikutnya dalam akhlak yang buruk. Inilah agama yang tidak berhasil mendidik pengikutnya untuk berakhlak baik.


Buku ini (Jangan Bakar Taman Surgamu) ditulis untuk mengantarkan Anda pada paradigma baru. Dosa-dosa akan menghapuskan pahala amal-amal saleh Anda, bukan sebaliknya. Menyakiti orang akan menghilangkan pahala puasa, haji, zikir, baca Al- Quran dan doa, bukan sebaliknya. Makan yang haram akan menghilangkan dampak positif salat, bukan sebaliknya. Dalam paradigma ini, fokus keberagamaan adalah menghindari dosa. Inilah agama yang akan mendidik pengikutnya untuk berakhlak baik.


Dua Rukun Takwa

Menghindari dosa dan melakukan ibadah dua-duanya adalah komponen takwa. Ada dua rukun takwa: pertama, menjauhi apa yang dibenci atau dimurkai Tuhan. Dengan kata lain, menjauhi keburukan. Kedua, melakukan apa yang dicintai dan diridhai Tuhan, yakni, melakukan kebaikan.


Selama ini, untuk bertakwa, kita fokus pada berbuat kebaikan: melakukan salat, mengeluarkan zakat, menjalankan puasa, mengerjakan ibadah haji dan umrah; ditambah dengan berzikir, salat malam, baca Al-Quran, bayar infak, hadir di pengajian, dan sejenisnya. Semuanya itu rukun kedua takwa.


Mana yang lebih baik? Mana yang harus didahulukan? Rukun yang pertama! Menjauhi keburukan. Imam Ali berkata, “Ijtinâb as-sayyi'ât aulâ min iktisab al-hasanât. Menjauhi keburukan harus didahulukan dari melakukan kebaikan."


Dalam hadis lain, disebutkan, “Bersungguh-sungguhlah dan rajin-rajinlah beramal. Jika tidak sanggup beramal baik, janganlah berbuat maksiat. Karena orang yang membangun dan tidak merusaknya, walaupun perlahan-lahan, bangunannya akan tinggi juga, tetapi orang-orang yang membangun sambil merusak bangunannya, ia tidak akan menjadi tinggi."


Dengan contoh yang sangat menyentuh, Nabi Saw bersabda, "Ibadah sambil makan yang haram seperti mendirikan bangunan di atas pasir atau air." Atau hadis lain dari Imam Ja'far ash-Shadiq, "Akhlak yang buruk merusak amal seperti cuka merusak madu."


Pada suatu hari, Nabi Musa melewati orang yang sedang menangis, merintih memohon ampunan. Ketika Musa kembali ke tempat yang sama, ia masih menemukan orang itu sedang menangis. "Tuhanku, hamba-Mu menangis karena takut kepada-Mu," kata Kalimullah. Tuhan menjawab langsung.


"Wahai Musa, seandainya otaknya mengalir bersama linangan airmatanya sekalipun, Aku tidak akan mengampuninya, karena ia sangat cinta dunia."


Bukankah kecintaan kepada dunia bertakhta dalam hatimu? Apakah engkau putus asa dari kasih sayang Tuhan? Maukah kamu mengaku terus terang bahwa selama hidup ini, kamu digerakkan oleh kecintaan kepada dunia. Jadi, kalau kamu menangis bertobat, dengan airmata bercampur darah sekalipun, Tuhan tidak akan memaafkan kamu. Ini paradigma buku ini.


Jika hatimu menjerit karena hadis di atas, bacalah hadis qudsi yang lain.


Tuhan berkata kepada Musa, “Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba-Ku yang dosa-dosa dan kesalahannya mengisi seluruh sudut langit. Tapi Aku ampuni dia. Aku tidak peduli dengan dosa-dosanya."


"Ya Rabb, kaifa la tubâlî? Tuhanku, kenapa Engkau tidak peduli?"


Karena satu perkara mulia yang ada pada diri orang itu, yang Aku cintai. Karena kecintaannya kepada mukmin yang miskin. Ia bergaul dengan mereka, menyamakan dirinya dengan mereka, tidak menyombongkan dirinya di atas mereka, dan ketika ia berbuat begitu, Aku ampuni dosa-dosanya. Aku tidak peduli."


Setelah dengan susah payah kamu jatuh lagi pada dosa, berbuatlah baik, tidak dengan amal-amal yang hanya menguntungkan dirimu, tapi dengan amal yang menyebarkan kasih sayang kepada sesamamu, rahmatan lil-'âlamîn. Ini paradigma buku ini. Ini pesan utama buku ini!


Arti Warak

Menjauhi keburukan dalam tasawuf disebut warak. Menurut kamus bahasa Arab, seperti Mu'jam al-Ma'ânî al-Jâmi', warak (Arab: wara') berarti menjauhkan diri dari dosa dan mengendalikan diri untuk tidak melakukan yang samar-samar (syubuhat) serta tidak berbuat maksiat dalam menjalankan ketakwaan. KBBI menjelaskan warak dengan penjelasan yang keliru dan memberi contoh dengan kalimat yang benar:


warak/wa.rak/a Isl patuh dan taat kepada Allah: kita harus -- berpantang segala larangan


Di antara perintah-perintah Tuhan yang pertama kepada Nabi yang mulia pada awal kenabian adalah warak: berpantang dari segala larangan, menjauhi segala keburukan. Itu rukun takwa yang pertama. Segera setelah membesarkan asma Tuhan, Nabi diperintahkan untuk "membersihkan pakaianmu" dan "dari perbuatan buruk menjauhlah" (silakan lihat Qs al-Muddatstsir [74]: 4-5). Ibn Qayyim al-Jauziyah memasukkan warak dalam salah satu stasiun awal dalam perjalanan menuju Allah.


Menurut Ibn Qayyim, dalam ungkapan Arab, pakaian menunjukkan jiwa atau hati. Untuk orang yang setia dan tulus, orang Arab berkata: Pakaian dia bersih. Untuk orang yang berbuat dosa dan berkhianat: Pakaian dia kotor. Dalam tafsir mimpi, pakaian berarti hati. Jika Anda bermimpi memakai pakaian kotor, hati Anda sedang keruh, kelam, penuh dengan noktah-noktah dosa. Jika pakaian Anda sobek-sobek, hati Anda sedang carut-marut. Jika Anda bermimpi sedang mencuci pakaian, bersyukurlah. Anda sedang menjalani proses penyucian diri. Sebagaimana pakaian dibersihkan dengan air, maka hati dibersihkan dengan warak.


Sekarang, cucilah jiwamu dan hatimu dengan warak. Kedekatan dengan Tuhan hanya dicapai dengan proses penyucian diri. Lâ yamassuhu illâ al-muththahharun. Bagaimana mungkin langkah kamu ringan untuk mendekati Dia jika seabrek dosa meremukkan punggungmu? Bagaimana mungkin ilmu ilahi datang padamu, karena-kata Imam Syafi'i anugerah Tuhan "lâ ya'tî lil-'âshi, tidak datang kepada ahli maksiat". Dengarkan nyanyian Rumi:


Semua orang melihat yang tak terlihat

Sesuai dengan kejernihan hatinya

Dan sesuai dengan seberapa banyak ia mengkilapkannya

Siapa saja yang lebih banyak mengkilapkan

Ia akan lebih banyak melihat,

Lebih banyak lagi yang tak terlihat tampak kepadanya


Menggosok cermin hatimu lebih banyak akan memudahkan Cahaya Tuhan masuk dalam hatimu. Membersihkan karat-karat dosa dari kalbumu akan memantulkan kembali cahaya ilahi ke segenap penjuru bumi. Menggosok hati dan membersihkan karat-karat dosa untuk menyerap cahaya adalah warak.


Apa Akibat Beramal tanpa Warak, Menurut Al-Quran

Sudah banyak perbincangan dan buku tentang hukum-hukum Tuhan dalam Al-Quran. Tapi Muhammad Abdullah Draz ingin meneliti ajaran moral Al-Quran. Sudah waktunya umat Islam memberikan perhatian pada doktrin moral dalam Al-Quran, sesuai dengan misi Nabi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Jika ada kitab-kitab tafsir dengan judul Ahkâm al-Qur'ân, kenapa tidak ada kitab besar yang menghimpun ayat-ayat moral dalam Al-Quran. Abdullah Draz ingin menunjukkan kepada dunia modern keunggulan akhlak Islam. Di Perancis, pada waktu Perang Dunia II, ia mempersembahkan kepada akademia di Sorbonne karya utamanya, La Morale du Coran, dan memperoleh gelar Ph.D. tahun 1947.


Pada bagian bukunya yang diberi judul 'Uqübât akhlaqiyyah salbiyyah, sanksi moralitas negatif, atau hukuman bagi pelaku perbuatan buruk, Muhammad Abdullah Draz menyebutkan akibat- akibat buruk karena tidak menjalankan warak.


(Saya hanya menyebutkan surat dan ayatnya dan tidak menyalin kalimat aslinya atau terjemahannya. Saya juga hanya menyalin sebagian dari rujukan ayat. Untuk melengkapinya merupakan pekerjaan rumah buat Anda. Maaf!)


Berikut ini adalah hal-hal yang akan terjadi kalau kita beramal tanpa warak:


Amal-amal kita akan dihapuskan atau sia-sia: 2:217, 264, 276; 3:22, 117; 5:5, 53; 7:147; 9:17; 52, 53, 69; 11:16; 14:18; 18:105; 24:39; 25:23; 33:19; 39:65; 47:9, 28, 32; 49:2.

  1. Kita akan putus asa dari rahmat Allah: 29:23.

  2. Allah tidak akan mengampuni dosa kita: 4:137, 168; 47:34.

  3. Kita akan dihijab untuk bisa melihat-Nya: 83:15.

  4. Allah tidak akan memberikan perhatian kepada kita dan tidak menyucikan kita: 2:174; 3:77.

  5. Kita kehilangan cahaya (ruhani): 57:13

  6. Kita dibutakan, dibisukan, dan ditulikan pada hari kiamat: 17:76, 97; 20:124.

  7. Kita akan tertipu dan tercela: 8:7, 15; 45:34.

  8. Kita masuk neraka jahannam dalam keadaan tercela dan terusir: 17:15.

  9. Kita tidak akan punya pembela dan penolong: 42:8.

  10. Pintu langit akan ditutupkan kepada kita:7:40.

  11. Kita menderita kerugian besar: 2:27, 121; 3:85, 149; 4:119; 5:5, 52; 6:31, 140; dst.


Dalam idiom Al-Quran, tanpa warak, kita mengurai tenunan yang sudah kita rajut dengan kuat. Pada ungkapan Nabi yang mulia, dengan ibadah dan amal saleh, kita membangun taman-taman di surga. Tetapi tanpa warak, kita mengirimkan api ke taman-taman itu dan membakarnya.


Jika pelukis Yunani ꟷ dalam cerita Rumi ꟷ melukis tembok dengan panorama yang mempesona, kita akan ikut dengan pelukis Cina yang membersihkan tembok dengan pembersihan yang sempurna. Biarkan tembok hati kita yang bersih itu memantulkan lukisan Yunani dengan cahaya yang lebih gemerlap. Pelukis Yunani itu melakukan rukun takwa yang kedua: amal saleh. Perupa Cina menjalankan rukun takwa yang pertama: warak. JR wa mā taufīqī illā billāh, 'alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli 'alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ'atahum


***

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

57 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page