Akhi
ZAKAT FITRAH DAN MITOS-MITOS KEMISKINAN

Anda mendengar seorang remaja terjatuh ke mesin penggilingan. Tubuh-kecilnya tercabik-cabik. Seharusnya memang ia tidak berada di pabrik, tetapi di sekolah. Pada punggungnya sepatutnya tidak dionggokkan karung beras yang berat, tetapi tas sekolah yang sarat buku. Semua tragedi itu harus dijalani karena ia miskin. Kemiskinan tidak menyebabkan hina; tetapi yang pasti, kemiskinan membuat Anda menderita. Boleh jadi kemiskinan tidak menghalangi orang untuk bahagia, tetapi kemiskinan jelas mengurangi kualitas hidup Anda. Karena miskin, Anda tidak dapat melanjutkan sekolah. Karena pendidikan rendah, pendapatan Anda kurang. Karena pendapatan kurang, Anda tidak dapat memelihara kesehatan dan menjaga gizi makanan Anda. Tubuh Anda digerogoti penyakit dan Anda akan meninggal dunia lebih cepat. Dan kemiskinan ditularkan kepada generasi berikutnya.
Inilah lingkaran-setan kemiskinan. Sudah sepakat semua orang bahwa kemiskinan adalah masalah sosial. Yang tidak disepakati adalah penyebabnya. Ketika kita ingin menghilangkan kemiskinan, kita perlu melacak sebab-sebabnya. Mengatasi kemiskinan dengan bantuan karitatif tanpa mengindahkan sebab-sebabnya hanyalah memperlambat proses kematian. Sayangnya, justru ketika kita membicarakan sebab musabab itu, kita sering terjebak mitos. Seperti yang Anda ketahui, mitos adalah kepercayaan tak berdasar yang diterima orang sebagai kebenaran.
Mitos-Mitos Kemiskinan
Dalam mengatasi kemiskinan, yang pertama harus dilakukan adalah mengatasi kekeliruan berpikir. Apa yang Anda lakukan bergantung pada apa yang Anda pikirkan. Menurut pikiran Anda, mengapa orang menjadi miskin? Mengapa para petani itu menjual sisa tanahnya yang terakhir untuk membayar tunggakan pajak buat tanah yang sudah dijualnya? Mengapa buruh-buruh itu hanya memperoleh penghasilan yang rendah, padahal mereka bekerja dari pagi sampai petang? Mengapa para pemulung itu mengais sampah-sampah yang terbuang dan tidur di atas tumpukan sampah yang dikumpulkannya?
Sebagian di antara Anda akan berkata, "Kemiskinan itu tidak usah dipersoalkan sungguh-sungguh. Bila orang mau bekerja keras, ia akan kaya juga akhirnya. Miskin itu hanya periode dalam perjalanan hidup mereka. Bukankah almarhum Mas Agung, konglomerat Muslim itu, dahulu hanya pedagang asongan? Bukankah pemilik perusahaan Gudang Garam itu dahulu tidur di gudang? Bukankah pejabat X itu dahulu pernah kuliah sambil mengayuh becak? Ketika Anda memberikan jawaban tadi, Anda sudah terjebak pada satu mitos: overgeneralisasi. Para pakar logika menyebutnya fallacy of dramatic instance. Di sini Anda mengambil beberapa contoh, lalu melakukan generalisasi. Apa yang terjadi kepada Mas Agung juga terjadi kepada setiap orang miskin. Mitos ini juga sering diucapkan oleh orangtua ketika memberi nasihat kepada anaknya, "Boy, kamu harus prihatin. Dahulu bapakmu itu hanya makan sekali sehari. Bapakmu berjalan ke sekolah puluhan kilometer. Sekarang kamu lihat sendiri. Bapak hidup berkecukupan. Karena apa? Karena bapakmu mau prihatin." Orangtua itu lupa bahwa apa yang berlaku bagi bapak (pada zaman bapak) belum tentu berlaku juga kepada anaknya (pada zaman yang berbeda)
Biasanya bersamaan dengan mitos overgeneralisasi adalah mitos blaming the victim (menyalahkan korban). Para pakar logika menyebutnya argumentum ad hominem. "Habis, sih, salah mereka sendiri. Mereka malas. Mereka tidak mau bekerja keras," ujar seorang tokoh masyarakat ketika dihadapkan kepadanya kemiskinan di sekitar kampungnya. Mitos itu sangat populer - dianut tidak saja oleh para pejabat, tetapi tragisnya juga oleh para ilmuwan. Matza (1966) pernah melaporkan bagaimana orang miskin di berbagai bangsa dikategorikan sebagai kelompok yang tidak terhormat. Kaum fakir miskin bukannya mendapat simpati, tetapi sebaliknya harus menanggung semua cacian. Ryan (1971) pernah melaporkan bagaimana para ilmuwan "menjelaskan" kemiskinan: "Kesehatan orang miskin yang menyedihkan dijelaskan sebagai akibat karena korban kurang memiliki motivasi atau sedikit sekali memperoleh informasi kesehatan. Masalah perumahan kumuh timbul karena karakteristik penyewa rumah yang disebutnya sebagai 'migran kampung dari Selatan, yang belum mampu 'berakulturasi' dengan kehidupan kota. Orang miskin yang mengalami banyak problem, menurut mereka, menderita efek psikologis akibat kemiskinan, 'budaya kemiskinan' (culture of poverty), dan nilai-nilai sosial yang menyimpang dari kelas rendah masyarakat. Akibatnya, mereka sendirilah yang menjadi penyebab dari penderitaan mereka."
Karena itu, yang bertanggung jawab atas kemiskinan adalah orang-orang miskin itu sendiri. Bila Anda cukup beruntung, Anda dapat berlepas tangan dan menghindari tanggung jawab sosial Anda. Di samping mitos ad hominem ini, untuk menghindari tanggung jawab, Anda juga menerima mitos determinisme-retrospektif: "Kemiskinan itu sudah ada sepanjang sejarah. Kita miskin akibat proses sejarah yang panjang. Sistem kolonial telah menguras sendi-sendi perekonomian kita. Para petani sepanjang sejarah memang selalu ditindas. Tidak mungkin kita mengatasi kemiskinan yang sudah dibentuk sejarah selama berabad-abad," komentar seorang pakar.
Determinisme-retrospektif memandang kemiskinan sebagai tragedi yang tak terhindarkan. Mitos ini jugalah yang tampak dipegang oleh seorang pejabat sewaktu berkata, "Pelacuran tidak perlu diberantas, karena sudah ada sepanjang sejarah." Dengan menuding sejarah sebagai penyebab malapetaka, orang dengan mudah menjadi fatalis. Kemiskinan itu ibarat nasib atau takdir yang tidak dapat diubah.
Mitos itu biasanya dicarikan legitimasinya pada sumber-sumber yang otoritatif. Karena itu, Anda kemudian mengembangkan mitos otoritas. Para pakar logika menyebutnya argumentum ad verecundiam. Orang menyebutnya iman kepada takdir sebagai penerimaan dan kepasrahan pada problem kemiskinan. Pada sebuah seminar tentang kemiskinan, seorang profesor keislaman mengutip ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa Allah yang mengatur luas dan sempitnya rezeki manusia. Profesor yang lain menyatakan bahwa kemiskinan itu hanya giliran, seraya mengutip ayat Al-Quran, Dan hari-hari (kejayaan) itu Kami pergilirkan di antara manusia (QS 3: 140). Untuk apa kita memberantas kemiskinan, padahal Al-Quran sudah menegaskan bahwa kemiskinan itu kehendak Allah juga.
Zakat Fitrah
Ketika Anda sekarang ini mengeluarkan zakat fitrah, adakah tebersit di dalam hati Anda mitos-mitos yang saya sebutkan tadi? "Saya keluarkan zakat fitrah ini karena kewajiban agama saja. Saya tahu orang-orang miskin itu tidak akan berubah nasibnya karena zakat fitrah saya. Tuhan sudah menakdirkan mereka begitu. Lagi pula bila semua orang kaya, siapa yang berhak menerima zakat fitrah?" Bila Anda berkata begitu, Anda sudah terjebak ke dalam salah satu mitos tadi. Anda terlepas dari mitos-mitos itu bila Anda berkata, “Saya keluarkan zakat fitrah ini, walaupun ini belum cukup untuk memenuhi kewajiban saya kepada mereka. Saya tahu, mereka miskin karena hak-hak mereka saya sia-siakan. Mereka miskin karena sebagian saudara-saudara saya memanfaatkan kemiskinan untuk memperkaya diri mereka. Mereka miskin karena kita sudah bersama-sama mengeksploitasi mereka. Ya Allah, terimalah sebagian kecil kewajiban saya ini dan bantulah saya untuk membantu saudara-saudara saya melepaskan diri dari belenggu kemiskinan mereka." JR

***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).