
Setelah Allah Swt. mengisahkan perjuangan Nabi Ibrahim as sebagai teladan yang utama, contoh orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan; setelah Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Tuhan untuk membangun kembali Kabah; setelah keduanya berdoa agar dijadikan orang-orang Islam, Dia memanggil Ibrahim. “Ketika Tuhannya berkata kepadanya, ‘Islamlah kamu’. Ibrahim berkata, ‘Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam’,” (QS. Al-Baqarah [2]: 131).
Bukankah Nabi Ibrahim sudah Islam, dengan mematuhi semua perintah Allah Swt.? Mengapa ia disuruh ber-Islam lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini, Thabathaba’i menulis tentang tingkatan keislaman dan keimanan. Saya mengutipnya agak lengkap di bawah ini: Orang-orang berbeda dalam tingkat kepasrahannya kepada aturan Tuhan. Mereka juga berbeda dalam tingkat keislamannya.
Pertama, tingkat pertama Islam adalah menerima dan mematuhi perintah dan larangan dengan membaca dua kalimat syahadat, tidak menjadi soal apakah iman sudah atau belum memasuki hatinya. Allah Swt. berfirman, “Orang Arab dari dusun itu berkata, ‘Kami beriman’. Katakan, ‘Kamu tidak beriman’. Tapi katakanlah, ‘Kami Islam; karena iman belum masuk pada hati kamu’,” (QS. Al-Hujurat [49]: 14).
Kedua, Islam tingkat ini diikuti dengan tingkat pertama iman yaitu penyerahan dan kepasrahan hati untuk menerima keyakinan yang benar secara terperinci dengan dii kuti oleh amal-amal saleh; walaupun sewaktu-waktu mungkin saja berbuat salah. Allah Ta’ala berfirman tentang sikap orang yang takwa, “Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka itu Muslim,” (QS. Al-Zukhruf [43]: 69). Dia pun berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara keseluruhan,” (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Jelaslah Islam yang datang setelah iman ini bukanlah Islam pada tingkat yang pertama. Setelah Islam ini, datanglah tingkat kedua dari iman; yaitu keyakinan yang penuh kepada hakikat agama. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman dengan tulus,” (QS. Al-Hujurât [49]: 15).
Dalam ayat lain disebutkan pula, “Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang akan menyelamatkan kalian dari azab yang pedih. Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri kamu,” (QS. Ash-Shâff [61]: 10-11). Di sini, kaum Mukminin diberi petunjuk kepada iman yang bukan iman sebelumnya.
Ketiga, tahap kedua iman itu membawa kita kepada Islam pada tingkat yang ketiga. Ketika jiwa sudah dipenuhi dengan iman tersebut di atas dan mulai berakhlak dengan akhlak berdasarkan iman itu, maka tunduklah kepadanya semua kekuatan hewani, yaitu semua kecenderungan ke arah dunia dan segala godaannya. Sekarang manusia menyembah Allah seakan-akan ia melihatnya dan jika ia tidak melihatnya sekalipun, ia meyakini bahwa Allah melihatnya. Di dalam batinnya dan dirinya yang paling dalam, tidak ada lagi apa pun yang tidak tunduk kepada perintah-Nya dan larangan-Nya atau kecewa kepada ketentuan-Nya.
Allah Swt. berfirman, “Maka demi Tuhanmu, tidak beriman mereka sampai mereka mengambil kamu sebagai pemutus untuk apa-apa yang mereka pertikaikan di antara mereka. Lalu mereka tidak dapatkan dalam diri mereka keberatan atas apa-apa yang engkau tentukan dan pasrah dengan kepasrahan yang sebenarnya,” (QS. An- Nisa’ [4]: 65).
Setelah tingkat keislaman ini, sampailah orang kepada tingkat iman berikutnya. “Berbahagialah orang-orang yang beriman,” sampai kepada firmannya, “Dan orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak berguna,” (QS. Al-Mu’minûn [23]: 1-3). Begitu juga firman Allah, “Ketika Tuhannya berkata kepadanya, ‘Islamlah kamu’. Ibrahim berkata, ‘Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam,” (QS. Al-Baqarah [2]: 131). Akhlak- akhlak yang mulia seperti ridha, kepasrahan, keteguhan hati, kesabaran dalam menaati perintah Allah, kesempurnaan zuhud dan wara’, cinta dan benci karena Allah termasuk akhlak orang yang mencapai tingkat ini.
Keempat, tingkat Islam yang keempat datang setelah tingkat iman yang ketiga. Pada tingkat iman sebelumnya, hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan budak dengan tuannya. Karena ia melakukan sebenar-benarnya pengabdian dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuannya, menerima apa yang dicintainya dan diridainya. Memang tidak bisa dibandingkan antara kepemilikan dan kekuasaan seorang tuan atas budaknya dengan kepemilikan dan kekuasaan Allah atas semua makhluk-Nya. Kepemilikan Allah adalah kepemilikan yang sebenarnya. Selain Allah, tidak ada yang memiliki wujud yang mandiri secara zat, sifat, maupun perbuatan. Kadang- kadang setelah manusia sampai pada tingkat kepasrahan yang ketiga ini, bantuan Ilahi menariknya dan menampakkan kepadanya hakikat yang sebenarnya, bahwa seluruh kerajaan kepunyaan Allah semata. Tidak sesuatu pun dapat memiliki sesuatu kecuali karena Dia. Tidak ada Tuhan kecuali Dia.
Pengungkapan realitas seperti ini adalah sebuah anugerah yang Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Orang tidak akan sampai kepada tingkat ini semata-mata karena kemauannya. Mungkin inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang digambarkan dengan doa Ibrahim dan Ismail, “Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang pasrah kepada-Mu dan jadikan juga keturunan kami orang yang pasrah kepada-Mu. Dan tunjukkan kepada kami, cara pengabdian kami kepada-Mu,” (QS. Al- Baqarah [2]: 128).
Bandingkanlah ini dengan ayat, “Ketika Tuhannya berkata kepadanya, Islamlah kamu’. Ibrahim berkata, ‘Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam,” (QS. Al-Baqarah [2]: 131). Ayat ini secara lahiriah menunjukkan perintah tasyri’i bukan takwini; perintah legislatif bukan perintah kreatif. Nabi Ibrahim sudah Islam dengan pilihannya sendiri, memenuhi panggilan Tuhannya dan menjalankan perintah-Nya. Inilah perintah yang ia terima pada awal hidupnya. Kemudian, dalam ayat yang baru saja disebut, pada akhir hayatnya, Ibrahim dan anaknya Ismail berdoa memohonkan Islam dan agar ditunjuki cara pengabdian. Permohonan Ibrahim ini jelaslah bukan sesuatu yang sudah dimilikinya. Ia memohonkan sesuatu yang tidak berada di dalam kemampuannya. Pendeknya, Islam dalam doa Ibrahim dan Ismail adalah Islam pada tingkat yang keempat, dan yang paling tinggi.
Tingkat Islam ini diikuti dengan tingkat iman yang keempat. Pada tingkat ini, seluruh keadaan dan perbuatannya dipenuhi oleh keadaan yang disebut di atas. Allah Swt. berfirman, “Ketahuilah bahwa para kekasih Allah itu, tidak ada takut pada mereka dan tidaklah mereka berduka cita,” (QS. Yunus [10]: 62). Kaum Mukminin yang disebutkan dalam ayat ini, sudah berada pada tingkat keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari Allah. Tidak ada suatu peristiwa pun terjadi tanpa seizin Allah, karena itu mereka tidak berduka cita karena hal yang dibenci menimpa mereka. Tidak juga takut karena ancaman bahaya yang menghadang mereka. Inilah iman yang datang setelah Allah melimpahkan anugerahnya. Renungkanlah.
Penutup
Marilah kita kembali pada pertanyaan awal kita, “Apakah hanya Islam agama yang diterima Allah?” Jawaban kita bisa “ya” dan “tidak”. Ya, apabila yang kita maksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuh hati kepada kebenaran, yang kita peroleh melalui proses pencarian yang tulus dan sungguh-sungguh. Tidak, apabila yang dimaksud dengan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang tercantum dalam kartu identitas kita. Jika pertanyaan ini kita sampaikan lebih spesifik, “Apakah orang yang beragama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Budha, akan diterima di sisi Allah?” Jawabannya tergantung kepada ideologi yang Anda anut. Sebagai al-mutasyaddidun, Anda hanya akan mengatakan Islam saja yang diterima Allah. Sebagai al-mustanîrun, Anda akan berkata bahwa agama adalah jalan menuju Tuhan. Seperti dikatakan para sufi, jalan menuju Tuhan sebanyak napas manusia. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi langit dan bumi.
Ketika menjelaskan orang yang “spiritually intelligent”, Zohar dan Marshall menulis, “Sebagai orang Masehi, Muslim, Budha atau siapa saja yang cerdas secara spiritual, saya mencintai dan menghormati tradisi saya, akan tetapi saya mencintainya karena ia adalah salah satu di antara banyak bentuk untuk mengungkapkan potensialitas dari inti jiwa kita. Saya memiliki penghormatan yang mendalam dan setia pada tradisi-tradisi dan bentuk-bentuk keberagamaan lainnya.”. Boleh jadi saya juga membayangkan diri saya mampu menghayati bentuk-bentuk keberagamaan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi, sufi abad ke-13:
“Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk:
padang gembala rusa atau biara pendeta Kristen,
dan kuil berhala, Kabah tempat peziarah,
dan Kitab Taurat dan Al-Quran, aku mengikuti agama cinta;
ke mana pun unta cinta membawaku,
ke situlah agamaku dan keimananku.”
JR Wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).