Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

ULUL-ALBAB: PROFIL INTELEKTUAL MUSLIMMay 23, 2025Ulul-albab disebut enambelas kali dalam Al-Quran. Menurut Al-Quran, ulul-albab adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Di antara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan ̶ di samping pengetahuan yang diperoleh mereka secara empiris: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pe- lajaran kecuali ulul-albab.” (QS. 2:269) Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa: “Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia.” (QS. 12:111) Dipelajarinya sejarah berbagai bangsa, kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. “Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dan mereka itulah ulul-albab.” (QS. 3:7) Ulul-Albab dan Konsep Barat mengenai Intelektual Sebelum berbicara lebih jauh tentang ulul-albab, saya akan meninjau terlebih dahulu beberapa istilah lain dalam bahasa Indonesia, yaitu sarjana, ilmuwan, intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya banyak, karena setiap tahun universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan ialah orang yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Di antara sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan rutin, dan menjadi tukang-tukang profesional. Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli atau aspal). Mereka juga bukan sekadar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah. Memang, istilah ini biasa diberi bermacam-macam arti. Begitu beragamnya definisi intelektual, sehingga Raymond Aron sepenuhnya melepaskan istilah itu. Tetapi James Mac Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership, berkata bahwa intelektual ialah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan dan data analitis adalah seorang teoritisi; orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis; orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur adalah seorang intelektual,” kata Burns. Jadi, intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan-gagasan analitis dan normatifnya. Sedang menurut Edward A. Shils, dalam International Encyclopaedia of the Social Science, tugas intelektual ialah “menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan ketrampilan masyarakatnya, melancar kan dan membimbing pengalaman estetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat…” Di dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan saja seorang yang memahami sejarah bangsanya, dan sanggup melahir kan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang, melainkan juga menguasai sejarah Islam ̶ seorang Islamologis. Untuk pengertian ini, Al-Quran sebenarnya mempunyai istilah khusus: ulul-albab. Al-Quran dan Terjemahannya Departemen Agama Republik Indonesia mengartikan ulul-albab sebagai “orang-orang yang berakal”, “orang-orang yang mempunyai pikiran” ̶ terjemahan yang tidak terlalu tepat. Terjemahan Inggris men of understanding, men of wisdom, mungkin lebih tepat. Tanda-Tanda Ulul-Albab Apa tanda-tanda ulul-albab? Selain beberapa keistimewaan yang diberikan Allah kepada mereka seperti yang telah saya sebutkan di muka di bawah ini akan saya tampilkan lima tanda lagi menurut Al-Quran. Tanda pertama: bersungguh-sungguh mencari ilmu, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan, mengembangkannya dengan seluruh tenaganya, sambil berkata: ‘Kami percaya, ini semuanya berasal dari hadirat Tuhan kami,’ dan tidak mendapat peringatan seperti itu kecuali ulul- albab.” (QS. 3:7) Termasuk dalam bersungguh-sungguh mencari ilmu ialah kesenangannya menafakuri ciptaan Allah di langit dan di bumi. Allah menyebutkan tanda ulul-albab ini sebagai berikut: “Sesungguhnya, dalam proses penciptaan langit dan bumi, dalam pergiliran siang dan malam, adalah tanda-tanda bagi ulul- albab.” (QS. 3:190). Abdus Salam, seorang Muslim pemenang hadiah Nobel, berkat teori unifikasi gaya yang disusunnya, berkata, “Al-Quran mengajarkan kepada kita dua hal: tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, kemudian me nangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang sekarang disebut sebagai science. Tasyakur ialah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran, sehingga kenikmatan itu makin bertambah; dalam istilah modern, tasyakur disebut teknologi. Ulul-albab merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, dan berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian rupa, sehingga karunia Allah ini dilipatgandakan nikmatnya. Tanda kedua: mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang. Allah berfirman: “Katakanlah, tidak sama kejelekan dan kebaikan, walaupun banyaknya kejelekan itu mencengangkan engkau. Maka takutlah kepada Allah, hai ulul-albab.” (QS 5:100) Tanda ketiga: kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah ulul-albab.” (QS. 39:18) Tanda keempat: bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya; bersedia memberi kan peringatan kepada masyarakat: diancamnya masyarakat, diperingatkannya mereka kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium; dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan; dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat. “(Al-Quran) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Maha- esa dan agar ulul-albab mengambil pelajaran.” (QS. 14:52) “Hanyalah ulul-albab yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak per janjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. 13:19-22) Tanda kelima: tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Berkali-kali Al-Quran menyebutkan bahwa ulul-albab hanya takut kepada Allah: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai ulul-albab.” (QS 2:197) “… maka bertakwalah kepada Allah hai ulul-albab, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS 5:179) “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka ber- takwalah kepada Allah hai ulul-albab.” (QS. 65:10) Ulul-Albab: Intelektual Plus Sampai di sini, tampaknya seorang ulul-albab tak jauh ber beda dengan seorang intelektual; ini jika dilihat dari beberapa tanda ulul-albab yang telah disebutkan seperti: bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun dalam ayat lain, Allah dengan jelas membedakan seorang ulul- albab dengan intelektual: “Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharap- kan rahmat Tuhannya; samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. 39:9) Dengan merujuk kepada firman Allah di atas, inilah “tanda khas” yang membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelek- tual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan ruku di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah SWT, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya. “Tanda khas” yang lain disebutkan dalam Al-Quran: “Dia zikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan dalam keadaan berbaring.” (QS 3:191) Kalau dapat saya simpulkan dalam satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah SWT. Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul- albab. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Etika Dan SainsMay 22, 2025Dalam sebuah kamar, seorang wanita sedang merenung sedih di atas ranjang. Tiba-tiba ia berdiri, menoleh seperti mencari sesuatu, dan meloncat marah dengan muka berang dan bengis. Sesaat kemudian wanita itu tenang kembali, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan rasa puas yang luar biasa. Wanita ini tidak gila, tetapi perilakunya dikontrol dari jauh oleh seorang ilmuwan penggarap otak (brain prober). Dalam otaknya telah dimasukkan jarum-jarum mini elektris dalam posisi tertentu. Dengan suatu remote control, seorang ilmuwan dapat menentukan perilaku yang dikehendakinya, hanya dengan menekan tombol. Ini bukan science fiction. Inilah yang disebut behavior engineering, dirintis oleh sarjana fisika Spanyol, José M.R. Delgado. Bertahun- tahun ia meneliti faal otak, dan berhasil menyusun peta otak. Ia menemukan pusat-pusat kesenangan (pleasure centre), kesedihan, kesakitan, agresi, kegelisahan, dan pusat gerak motoris. Dalam otak subjek, ia tanamkan alat yang disebutnya transdermal stimoceiver, dikontrol dengan perangkat radio penekan tombol dari jarak jauh. Bersama ilmuwan lainnya, Delgado juga mengembangkan apa yang disebut psychotropic drugs, zat-zat kimia yang dapat mengatur tingkah laku manusia, zat-zat yang dapat membuat manusia tenang, agresif, bahagia, tertawa, menangis, muntah, bingung, tidur, dan lain- lain. Lebih jauh Delgado meramalkan kemungkinan penggunaan teknologi untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat manusia. Bukan tidak mungkin, suatu saat seorang manusia jahat, seorang diktator, seorang Frankenstein memanfaatkan pengetahuan ini untuk kepentingan dirinya. Ribuan manusia dapat diubahnya menjadi robot-robot yang mengerikan. Dikabarkan bahwa penguasa- penguasa komunis telah menggunakan cara-cara seperti itu dalam mencuci otak para pembangkangnya. Banyak negara sudah memiliki senjata biokimia yang dahsyat; virus yang dapat mengubah kota yang ramai menjadi kumpulan bangkai, atau spesies baru yang dapat menghancurkan ribuan hektare padi dalam sehari. Untuk menaklukkan suatu negara atau kota, cukuplah orang memasukkan 500 gram LSD-25 ke dalam pusat air minum, dan seluruh penduduk kota menjadi gila. Sampai di sini kita patut merenung, bolehkah ilmu pengetahuan jalan terus dengan mengesampingkan nilai-nilai luhur? Bolehkah sains tetap netral etika? Di sisi lain, para ilmuwan sosial telah mencapai pula teknik-teknik mengendalikan manusia melalui teori-teori motivasi, proses persuasi, dan ketaksadaran manusia (lazim disebut depth approach). Pengetahuan mereka telah dimanfaatkan oleh produsen untuk menyeret jutaan manusia kepada pola konsumtif yang irasional, kepada apa yang disebut oleh Reinhold Niebuhr sebagai “perbudakan proses produksi”. Di sini kita berhenti lagi. Dapatkah sains dengan polos cukup berkata seperti perkataan Nicholas Samstag dalam The Engineering of Consent: “Dapat dikatakan bahwa memanfaatkan kemudah- percayaan orang, mengeksploitasi ketidakmengertiannya, dan menekankan kebodohannya secara moral adalah tercela. Mungkin inilah yang terjadi…. Saya sepenuhnya tak tahu.” Ataukah dengan rendah hati kita harus berkata bersama Emil Dovifat bahwa semua perkembangan ini akhirnya merupakan “Die vollige Vernichtung der geistigen Freiheit”? (Penghancurbinasaan kemerdekaan ruhaniah?) Pada 1969, satu tim peneliti dari Harvard University, yang terdiri atas tiga orang ilmuwan muda, berhasil mengisolasi gen untuk pertama kalinya. Dunia memujinya, tetapi dalam konferensi pers mereka menyatakan, “Kami tidak merasa bahagia, karena dalam jangka panjang penemuan ini akan lebih banyak menimbulkan kejelekan ketimbang kebaikan.” Ucapan ini tentu saja menggusarkan para ilmuwan senior. Mereka disuruh diam atau keluar. James A. Shapiro, salah seorang di antaranya, akhirnya meninggalkan karier cemerlang dalam biologi molekuler dan menjadi pekerja sosial. Ilmuwan lainnya, Leon R. Kass, meninggalkan biokimia dan mendalami bioetika. Kass kemudian menjadi kepala Committee on the Life Sciences and Social Policy of the National Academy of Sciences. Jon Beckwith, kepala tim peneliti ini, ketika menyampaikan pidato ilmiah dalam rangka penerimaan Eli Lily Awards dalam bidang genetika, mengejutkan American Society for Macrobiology. Ia mengatakan bahwa peneliti ilmiah dan para ilmuwan sendiri sudah memihak dan tidak objektif lagi, karena “sains ada di tangan orang, dan menindas orang di seluruh dunia dan di negara ini.” Pada 1975, 140 biolog dari 17 negara berkumpul di Asilomar, sebuah kota kecil yang indah di tepi Lautan Teduh, di negara bagian California. Mereka ingin membicarakan serangkaian peraturan untuk melindungi bahaya yang bakal timbul dari penelitian DNA rekombinan. Pada dua hari pertama, hampir tidak seorang pun memperhatikan bahaya-bahaya penelitian itu bagi masyarakat. Baru pada hari ketiga, Profesor Harold H. Greene, dari Fakultas Hukum George Washington University, mengingatkan peserta akan bahaya- bahaya sosial dari penelitian mereka yang dapat dituntut ganti rugi jutaan dolar. Para ilmuwan itu terkejut dan akhirnya merumuskan semacam kode etik untuk mengatur penelitian DNA rekombinan. “Pengawal Moral” Sains Di seluruh dunia, akhirnya timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan lembaga-lembaga “pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal, misalnya, Institute of Society, Ethics and the Life Sciences di Hastings, New York. Kini telah disadari, seperti kata Sir Macfarlane Burnet, biolog Australia, bahwa “Sulit bagi seorang ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata, sains tidak bisa dibiarkan lepas dari etika, kalau kita tidak ingin senjata makan tuan.” Sekarang kita tampaknya sepakat bahwa sains harus dilandasi etika, tapi etika macam apa? Sebelum hal itu kita jawab, persoalan pertama yang harus kita jawab ialah apakah etika itu? Istilah etika berasal dari Aristoteles, ketika ia membagi antara kebajikan teoretis (dianoetika) dan kebajikan praktis (etika). Banyak definisi tentang etika. Sebagai keterangan yang paling sederhana, kita ambil saja tulisan Dr. W. Banning dalam Typen van zedeleer: In de ethiek is dus de vraag: wat is het juiste levensgedrag, wat behoor ik te doen en te laten, wil dit gedrag zakelijk goed kunnen heten. Jadi, dalam etika dipersoalkan tata tertib, cara hidup yang paling baik, apa yang harus dan jangan dilakukan, apa yang disebut baik dan jahat. Sampai di sini kita memasuki filsafat moral. Untuk menjawab etika macam apa yang harus mendasari sains, kita dihadapkan pada banyak aliran filsafat. Sebanyak aliran, sebanyak itu pula ukuran. Akhirnya, sains terkatung-katung dalam relativisme. Lebih celaka lagi, karena sains dan penghayatan manusia tentang etika tidak berkembang serasi. Kita sudah meraksasa dalam sains dan teknologi, tetapi masih merayap dalam etika. Penemuan segi budaya bendawi timbul begitu cepat, sementara segi bukan bendawi berjalan begitu lambat. Ini yang disebut William F. Ogburn sebagai kesenjangan budaya (cultural lag). Masyarakat kehilangan keseimbangan. Akibatnya, manusia diantarkan ke situasi yang mencemaskan. Bukan saja terjadi peluruhan sosial, melainkan juga peluruhan kepribadian. Ironisnya, di negara yang bersains tinggi, terjadi kemunduran ruhani dan kehancuran mental. Porak-porandanya lembaga ke- luarga, hilangnya pegangan hidup (anomie), revolusi seksual, ke- jahatan, alkoholisme, eskapisme, sadisme, penyakit mental, adalah beberapa sisi nyata kehidupan modern. Tidak aneh bila kemudian timbul pesimisme di kalangan ilmuwan yang beberapa di antaranya telah menjurus pada sikap antisains sama sekali. Biolog Harvard, Everett Mendelsohn, misalnya, berkata, “Sains, sebagaimana kami ketahui, telah melewati masa gunanya.” Sebetulnya, bukan saja sains sudah lewat masa gunanya, malah sudah memasuki masa bencananya. Ilmu-ilmu semacam neuropsychopharmacology dan psychoneurobiochemistry mengancam kemanusiaan dengan depersonalisasi dan dehumanisasi. Fisika nuklir tidak hanya akan menghantui kita dengan semacam “jamur Hiroshima”, tetapi juga kepunahan lingkungan hidup. Biokimia telah sampai pada tahap penggunaan perang kuman (biochemical warfare) yang mengerikan. Genetika telah mengisyaratkan manipulasi gen, yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk kehidupan yang membawa bencana. James Watson, seorang biolog, meramalkan “dunia, secara politis dan moral, akan mengalami bencana.” Etika Islam Adakah jalan keluar? Mengembangkan penghayatan kita tentang etika? Telah kita sebutkan bahwa hal ini akan membawa kita pada relativisme. Banyak aliran etika, dan kita harus menetapkan pilihan. Etika mesti merupakan sesuatu yang mutlak supaya tidak membingungkan. Sebagai orang Islam, tentu kita menjatuhkan pilihan pada etika Islam. Hal ini bukan karena konsekuensi iman saja, melainkan juga karena etika Islam sanggup menjawab tantangan kehidupan modern. Etika Islam bukan sekadar teori, melainkan juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga mereka muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Etika Islam, berbeda dengan etika lain, mempunyai sosok dalam diri Nabi Muhammad Saw. Nabi telah menjadi contoh indah etika Islam. Etika Islam juga bersumber pada Al-Quran, wahyu Allah yang tidak diragukan keaslian dan kebenarannya, dengan Nabi Muhammad Saw. sebagai The Living Quran. Semua pengikut Muhammad Saw. juga harus dicelup dengan “celupan Al-Quran”; semua Muslim harus menjadi duplikat Muhammad Saw. Betulkah ini jalan keluar? George Bernard Shaw, sastrawan Inggris terkenal, menulis dalam Getting Married: “Jika seorang seperti Muhammad menguasai dunia modern, ia akan berhasil membawa dunia pada perdamaian dan kebahagiaan yang sangat dibutuhkan itu.” Itu kata Shaw. Benar, dan itu pula yang diyakini jutaan umat Islam di dunia. Bila begitu, sedang dicari “seorang seperti Muhammad”. Anda tidak usah mencarinya di sudut dunia lain. Carilah itu dalam diri Anda sendiri. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Pilih Bahagia Supaya Cerdas Dan Baik!May 21, 2025Elevation termasuk sekelompok emosi yang seringkali lolos dari perhatian para peneliti psikologi – emosi moral. Ada emosi moral negatif seperti marah, malu, merasa bersalah; dan ada emosi moral positif seperti takjub, bersyukur, kagum. Emosi moral negatif merupakan unsur yang membentuk penderitaan; dan emosi moral positif adalah bagian utama dari kebahagiaan. Jonathan Haidt menjelaskan emosi ini: Emosi biasanya dianggap sebagai alat untuk memo nitor kepentingan diri. Emosi memaksa pikiran dan tubuh kita untuk memperhatikan apa yang baik untuk diri kita. Tetapi ada satu kenyataan tentang tabiat manusia yang mengherankan, indah, dan kurang diteliti, ketika kita sangat terharu melihat seorang yang asing melakukan kebaikan kepada orang yang asing lainnya. Saya sudah mempelajari respons emosional ini selama beberapa tahun belakangan ini. Saya menemukan cukup kesamaan pada cara orang. memperbincangkannya, sehingga saya menamainya elevation Elevation mempunyai hampir semua ciri emosi dasar: Ada kondisi yang melahirkannya (tindakan keindahan moral), efek fisiologisnya (seperti perasaan di dalam dada yang mungkin melibatkan syaraf vagus, yang memberikan perasaan hangat, terbuka, dan menyenangkan), dan kecenderungan tindakan (keinginan untuk menjadi orang yang lebih baik untuk bisa lebih penyayang. atau mau menolong orang lain). Elevation bisa dianggap sebagai lawan kemuakan sosial (social disgust). Elevation memang hampir sulit diungkapkan dalam air muka yang tertentu (mungkin karena itulah selama ini tidak dipelajari), dan tidak terpisah tegas seperti emosi negatif (sering kali tumpang tindih dengan kekaguman, cinta, dan rasa terima kasih). Jadi elevation lebih sulit diteliti daripada emosi seperti marah dan takut. Tetapi emosi ini dapat diteliti… Penelitian emosi positif seperti elevation, kekaguman, dan rasa terima kasih adalah bidang yang sangat penting untuk diperhatikan psikologi positif dalam membentuk kembali dan menerangi gambaran tabiat manusia. Menurut Haidt, elevation mendorong orang mendekati orang lain; sebagaimana rasa takut menyebabkan orang menjauhi orang lain. Elevation timbul karena orang yang tulus kepada orang lainnya. yang menyebabkan orang melakukan melihat perhatian Inilah emosi tindakan altruis (dari bahasa latin alter = orang lain; lawan dari egois, dari kata ego aku). Menurut Fredrickson, bukan hanya elevation yang mendekatkan kita dengan orang lain. Semua emosi positif begitu. Ia mengembangkan teori broaden and build, memperluas dan membangun: Emosi positif memperluas pikiran dan tindakan serta membangun sumberdaya personal. Emosi negatif mempersempitnya. Saya paling tidak suka menjelaskan teori ilmiah dengan istilah-istilah teknis. Ketika membaca paragraf di atas, jangan merasa bodoh kalau Anda tidak mengerti. Saya juga tidak. Saya senang dengan contoh yang diberikan Fredrickson. Ketika Anda marah, Anda punya pilihan yang sedikit untuk berpikir atau bertindak; misalnya, lari, menyerang, atau mengusir. Pilihan itu sedikit karena ketika marah, kita harus segera mengambil tindakan darurat. Ketika saya diserang fitnah yang keji, saya memilih keputusan yang cepat – membalas dendam, atau menghindar. Tidak banyak pilihan. Hari itu, saya pulang dengan setumpuk emosi negatif marah, jengkel, kecewa (sejenis semua sih), sakit hati, sedih, merasa terhina dan sebagainya. Ketika saya berkumpul bersama keluarga, pikiran saya masih berpusat pada membalas dendam. Saya tidak bisa. membayangkan tindakan lainnya. Salah seorang anak saya, mungkin dalam keadaan ceria karena pengalaman indah sebelumnya, berkata enteng, menasihati saya, “Living well is the best revenge!”, katanya. Hidup bahagia itu adalah tindakan balas dendam yang baik. Untuk hidup bahagia terbuka berbagai pilihan. Saya mulai memikirkan berbagai rencana, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Inilah yang disebut broadening hypothesis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang bahagia berpikir fleksibel dan inklusif, kreatif dan reseptif. Jadi, misalnya, Anda menciptakan emosi positif -dengan membuat humor- di tengah-tengah rapat penting. Lalu keriangan menyebar di antara para peserta rapat. Segera Anda akan melihat kawan Anda yang ngotot mulai mengalah dan mau mendengarkan pendapat yang lain. Wawasan mereka menjadi luas. Keputusan yang dihasilkan juga berkualitas baik. Keriangan memperluas kemampuan berpikir dan bertindak kita.    Mungkin karena bersikap terbuka, orang yang bahagia bersedia menerima kritik tanpa merasa tersinggung. la juga mampu memecahkan persoalan dengan santai. Bandingkan dengan orang yang menderita. la bersikap dogmatis, mudah tersinggung, sukar mendengarkan (dan sibuk mengoceh), serta agresif. Emosi negatif memang menyempitkan. Ketika saya sedang dipenuhi emosi negatif – seperti marah dan sedih – saya menghabiskan energi saya. Pikiran dan tindakan saya diarahkan pada membalas dendam. Saya kelelahan. Tetapi ketika saya sedang bahagia, saya membangun sumberdaya intelektual, fisik dan sosial. Inilah building hypothesis. Ketika Anda bahagia Anda membangun sumber daya intelektual dengan berpikir lebih kreatif, toleran dengan perbedaan, terbuka pada ide-ide baru, dan belajar lebih efektif. Masukkan keriangan (fun) di ruangan kelas, dan anak-anak akan cepat mengerti, mudah mengingat, dan lancar. berkreasi. Learning must be fun, kata para pendidik mutakhir. Sambil mengingat lagi teori humor, kita menyaksikan bahwa guru yang banyak membuat humor, dan membuat suasana belajar ceria, adalah guru yang paling berhasil mencerdaskan murid-muridnya. Ketika Anda bahagia, Anda juga membangun sumber daya fisik Anda. Ketika Anda bahagia, Anda mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Seperti humor, kebahagiaan memperkuat sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kebugaran jasmani, dan menghilangkan pengaruh buruk emosi negatif. Yang terakhir ini disebut Fredrickson sebagai undoing hypothesis. Fredrickson mengumpulkan orang untuk menonton film yang menimbulkan rasa takut dan cemas. Detak jantungnya diukur. Setelah itu mereka menonton film yang menghibur. Detak jantungnya diukur lagi. Ternyata emosi positif, yang timbul karena merasa terhibur, mempercepat pemulihan jantung pada kondisi awal sebelum dirangsang emosi negatif, atau istilah teknisnya faster cardiovascular recovery from arousal. Kembali pada emosi negatif. Emosi negatif membatasi pikiran dan tindakan. Ketika kita marah, kita memusatkan perhatian pada membalas dendam, pada menyerang balik saja. Ketika kita cemas atau takut, kita terus menerus berpikir tentang cara-cara menghindar atau melarikan diri. Ketika kita sedih, pikiran kita terserap habis untuk apa-apa yang menyedihkan kita. Bagaimana supaya pikiran kita terbuka, tidak terpojok hanya pada pikiran sempit? Carilah hiburan atau berbuatlah sesuatu yang membuat hati kita bahagia. Emosi positif akan membuka kembali pintu pikiran dan tindakan kita lebih lebar. Inilah undoing hypothesis, sekali lagi. Kebahagiaan juga membuka dan membangun sumber daya sosial Anda. Ketika Anda bahagia, Anda tertarik untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar Anda. Anda menjadi ramah dan baik hati. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang yang bahagia umumnya hangat dalam pergaulan, menyayangi dan disayangi, mempercayai dan dipercayai, menyukai dan disukai. Sebaliknya, orang menderita cenderung untuk mengasingkan diri, menghindari pergaulan, kaku, sukar dipercaya dan sukar mempercayai. Konon menurut cerita Kristiani, jika St Francis datang pada satu tempat, segala jenis binatang berkumpul mengitarinya. Itu karena jiwa St Franscis dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika Anda menderita stres berat, segala macam binatang akan menghindarinya. Tampaknya, kalau kamu lagi bete, anakku, nyamuk pun tidak akan menggigit kamu! Sampai sekarang, jika saya datang ke rumah orang yang memelihara kucing, saya selalu digelendoti kucing. Orangtua mengatakan bahwa kucing hanya senang menggelendoti orang-orang yang dermawan. Saya senang mendengar cerita itu. Saya merasa terpuji. Tetapi belakangan saya pikir kucing mendekati saya karena saya bahagia. Saya lebih bangga lagi karena saya merasa menjadi St Francis. Belakangan para peneliti psikologi menunjukkan bahwa dalam keadaan bahagia orang-orang juga lebih penyayang, lebih senang membantu, lebih dermawan ketimbang orang yang menderita. “Sebelum aku melihat data penelitian, aku pikir orang-orang yang tidak bahagia – yang merasakan penderitaan yang mereka kenal- akan lebih altruistik tulis Martin Seligman, mantan Presiden American Psychological Association. “Jadi, aku tercengang ketika penemuan tentang mood dan menolong orang lain tanpa kecuali memperlihatkan bahwa orang bahagia. lebih cenderung memperlihatkan perilaku menolong itu. Di laboratorioum, anak-anak dan orang dewasa yang dibikin bahagia menunjukkan lebih banyak empati, lebih bersedia menyumbang lebih banyak uang pada mereka yang membutuhkan. Ketika kita bahagia, kita kurang terfokus pada diri sendiri, kita lebih menyenangi orang lain, kita ingin berbagi keberuntungan kita bahkan dengan orang asing sekalipun” Robert Browning menyimpulkan penelitian di atas ketika ia berkata, “Oh, make us happy and you make us good“. Walhasil, kebahagiaan membuat orang berakhlak mulia. Emosi positif melahirkan karakter positif. Orang bahagia senang menolong orang lain. Bagaimana kalau dibalik, apakah dengan kenyataan ini mengundang kenyataan yang sebaliknya: Ternyata karakter positif melahirkan emosi positif. Maksudnya, kalau saat ini Anda dirundung penderitaan berbuatlah baik. Anda akan berbahagia. Dr. Dan Baker, Direktur Program Peningkatan Kehidupan, menulis tentang keajaiban hubungan antara kebahagiaan dengan perbuatan baik kepada orang lain (altruisme): Altruisme telah disebut sebagai paradoks besar: jika Anda memberikan sesuatu kepada seseorang, Andalah yang merasa paling bahagia. Memberi adalah menerima. Penelitian menunjukkan bahwa orang bahagia bersikap altruistik. Dan orang altruistik berbahagia. Tetapi tidak ada peneliti yang dapat menentukan. sifat mana yang datang lebih dahulu. Altruisme dan kebahagiaan berkaitan satu sama lain. Aku tahu Anda pernah mengalaminya. Menjelang hari raya, manakah yang Anda tunggu dengan kesenangan yang lebih besar-hadiah yang akan Anda terima atau hadiah yang akan Anda berikan? Memberi adalah bentuk apresiasi yang paling murni. Inilah apresiasi dalam tindakan. Bukan filsafat, tetapi pengalaman. Pengalaman memberi membawa Anda keluar diri Anda. Dan menjauhkan Anda dari masalah Anda, ketakutan Anda, dan kesibukan Anda untuk memikirkan diri sendiri. Selama melakukan tindakan altruisme, Anda tidak mencemaskan lagi keuangan Anda, atau kesehatan Anda, atau apa saja. Sebagian psikolog menyatakan – aku kira secara sinis-bahwa altruisme didasarkan kepada hubungan timbal-balik: Anda bantu aku, dan aku akan bantu Anda. Tetapi penjelasan itu mengaburkan yang sudah jelas: melakukan yang baik membuat kita merasa baik, dengan sendirinya. Berbuat baik membangkitkan cinta dan mengikat kita dengan orang lain. Ketika ikatan ini terbentuk, kita bukan saja merasa lebih baik pada orang yang kita tolong, tetapi juga semua orang pada umumnya. Apapun rasa tidak percaya yang ada pada diri kita tentang umat manusia menjadi kurang. Kita kurang takut lagi. Ketika cinta bertambah, takut berkurang. Bahkan cintamu pada dirimu bertambah. Sebagian karena Anda lebih menyenangi diri Anda dan sebagian lagi karena Anda memiliki lebih banyak limpahan cinta. Dalam satu eksperimen tentang altruisme di The Harvard Medical School, peneliti memutarkan film dokumenter tentang Bunda Teresa untuk menimbulkan perasaan altruisme. Peneliti kemudian mengukur salah satu komponen sistem imun subjek (immunoglobulin A) yang berkurang karena kecemasan. Tingkat IgA naik. Jadi altruisme mengatasi rasa takut. Karena altruisme adalah bentuk apresiasi paling murni, ia mendorong Anda untuk mencintai orang walaupun orang itu tidak mencintai Anda. Ketika aku masih muda, aku pernah mengeluh pada ibuku. bahwa perempuan yang aku cintai setengah mati tidak merasakan kecintaannya kepadaku seperti kecintaanku kepadanya. Aku selalu ingat apa yang ia katakan: kata ibuku, “tidak ada dua orang yang saling mencinta pada tingkat yang sama-dan siapa saja yang paling mencinta, itulah yang paling bahagia.” En toch, Anda tidak akan mampu benar-benar merasakan kecintaan orang kepada Anda. Cinta itu pengalaman mereka, bukan pengalaman Anda. Anda hanya dapat merasakannya jika Anda mencintainya. Perasaan itu milik Anda. Itulah perasaan terbaik di dunia ini, dan itulah satu-satunya perasaan yang selalu dapat mengalahkan rasa takut Anda, and makes you happy! Mungkin karena itulah semua agama menganjurkan kita berbuat baik – menolong, berkhidmat pada, dan membahagiakan orang lain karena agama ingin membawa Anda pada kebahagiaan. “Serta berbuatlah kebaikan supaya kamu berbahagia”, firman Tuhan dalam Al-Quran (22:73). Lihat lagi Bab 1 untuk agama-agama yang lain. Di sini saya kutipkan kepada Anda Kitab Dhammapada, 5. Silavagga, tentang kebajikan: 43. Puññam eva so sikkheyya ayataggam sukhundrayam danañca samacariyafica mettacittańca bhavaye.    Train yourself in doing good that lasts and brings happiness. Cultivate generosity the life of peace, and a mind of boundless love.   JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Pilih Bahagia Supaya Hidup Sehat!May 20, 2025Deeg dan van Zonneveld (1989) meneliti 3149 orang Belanda yang berusia 65 tahun ke atas. Mereka menemukan bahwa orang yang berusia 70 tahunan mempunyai kemungkinan hidup lebih lama (secara statistik 20 bulan lebih lama) bila skor kebahagiaan mereka di atas rata-rata. Walhasil, apa pun yang terjadi kepada Anda pilihlah bahagia demi usia panjang Anda. Berusia panjang sekaligus menunjukkan tingkat kesehatan yang baik. Karena kebahagiaan memperpanjang usia, dan karena usia yang panjang menunjukkan kesehatan, maka secara tidak langsung kita dapat menyimpulkan bahwa kebahagiaan memengaruhi kesehatan. Tetapi karena paradigma kesehatan yang dominan berpusat pada asal-usul penyakit (pathogenetis), kita menemukan banyak sekali penelitian tentang pengaruh penderitaan (misalnya stres, kecemasan, kemarahan, rasa takut) pada berbagai penyakit, mulai flu sampai kanker. Sedikit sekali tetapi mulai tumbuh belakangan ini penelitian tentang pengaruh kebahagiaan pada kesehatan fisik maupun mental. Di antara yang sedikit itu pun, hubungan di antara kebahagiaan dan kesehatan diperoleh secara tidak langsung. Di antara ciri orang bahagia ialah adanya emosi positif. Fredrickson yang akan kita bahas sebentar lagi menyebutkan empat emosi positif: joy (keceriaan), interest (ketertarikan), contentment (kepuasan), dan cinta. Telah lama peneliti menemukan betapa besarnya pengaruh. cinta pada kesehatan; dan sebaliknya, betapa parahnya pengaruh putus cinta pada kesakitan (Masih ingatkan Anda cerita Marguerite dan Armand di muka?). Tanpa sengaja Harry Balkwin menemukan hal yang menakjubkan di Rumah Sakit Bellevue tahun 1931. Semula, sebagaimana kebiasaan rumah sakit waktu itu, bayi dilarang disentuh karena alasan higienis. Balkwin menghapuskan larangan itu dan menyuruh para perawat menyentuh dan menggendong bayi. Ajaib, tingkat infeksi menurun dengan drastis. Sebetulnya bukan sentuhan itu sendiri yang menyembuhkan tetapi rasa bahagia (dalam pengertian emosi positif) yang dinikmati bayi-bayi kecil itu. Lima puluhan tahun yang lalu, Harriet Harlow melakukan eksperimen pada monyet Rhesus (tampaknya dari Indonesia). Anak-anak monyet dipisahkan dari ibunya sejak kecil. Seekor anak monyet ditempatkan pada sangkar yang di dalamnya ada boneka berlapis bulu dan boneka yang menyimpan tempat menyusu. Beberapa ekor monyet dimasukkan ke dalam sangkar tanpa boneka apa pun. Seekor lagi menyendiri pada sangkar juga tanpa apa pun. Setelah melewati periode tertentu semua monyet itu sangat rentan dengan penyakit. Monyet yang hidup sendiri tanpa ibu sebenarnya dan tanpa “ibu” boneka menjadi paling rentan. Sebetulnya bukan kesepian itu yang membuat mereka sakit, tetapi penderitaan karena berpisah dari ibu yang merawat dan mengasihinya. Pada tahun-tahun yang sama 126 orang mahasiswa Harvard ditanya tentang hubungannya dengan orangtua mereka, apakah mereka mempunyai hubungan yang bahagia atau tidak. Tiga puluh lima tahun kemudian kesehatan mereka diteliti. Mereka yang happy dengan orangtuanya setengah kali lebih sedikit kemungkinannya (45 persen) untuk menderita penyakit yang parah ketimbang mereka yang kurang happy (91 persen). Mereka yang pada waktu mahasiswanya menyebut hubungan dengan orangtuanya dingin atau jauh mempunyai resiko empat kali lipat untuk menderita penyakit kronis, bukan saja depresi dan alkoholisme, tetapi juga penyakit jantung dan diabetes tipe II. Dengan kata lain, orang yang punya hubungan hangat dengan orangtuanya, yang happy dilindungi dari penyakit sampai 75 persen. Dalam penelitian lainnya, yang waktunya berlangsung selama lima puluh tahun, hubungan buruk dengan orangtua menjadi satu-satunya prediktor paling tepat untuk kemungkinan mengidap kanker. Jadi kalau saya melihat Anda tidak punya hubungan yang hangat dengan orangtua Anda, saya dapat meramalkan bahwa besar kemungkinan Anda menderita kanker kemudian hari. Jelas hubungan yang kurang baik dengan orangtua membuat orang tidak bahagia. Ketidakbahagiaan menyebabkan orang sakit. Tetapi adakah bukti-bukti yang lebih konkret bahwa kebahagiaan mempercepat penyembuhan atau membuat orang lebih sehat? Pertama, kita harus mengidentifikasi dahulu kebahagiaan. Sebelumnya kita telah mengambil cinta sebagai salah satu ukuran kebahagiaan. Sekarang kita mengambil joy (keriangan, keceriaan, kegembiraan) supaya bisa kita teliti, kita harus membatasi keriangan ini lebih khusus lagi. Ambillah, humor atau tertawa. Judul penelitian kita sekarang ialah apakah tertawa menyehatkan? Dengan bahasa Reader’s Digest, betulkah Laughter is the best Medicine? Atau dalam kata-kata Jeffrey Goldstein – A Laugh a Day: Can Mirth Keep Disease at Bay? Satu ketawa satu hari: Bisakah keriangan bikin penyakit lari? Goldstein (1982) mengumpulkan pendapat pada dokter dan ilmuwan sejak abad 13 sampai abad 19 tentang pengaruh humor terhadap kesehatan. Ia mengutip pendapat seorang dokter bedah abad ke-13, Henri de Mondeville, yang mengatakan bahwa tertawa dapat digunakan untuk membantu mempercepat penyembuhan setelah pembedahan: “Dokter bedah harus melarang marah, benci, dan sedih pada pasiennya, dan mengingatkan dia bahwa tubuh tumbuh subur karena keriangan dan mengurus karena kesedihan” Pada abad 16 Jubert menyatakan bahwa tertawa menghasilkan kelebihan aliran darah yang membentuk air muka yang tampak sehat dan menumbuhkan vitalitas pada wajah. Karena itu tertawa dihubungkan dengan daya penyembuh yang sangat penting untuk kesehatan pasien. Kesaksian lainnya diberikan oleh seorang dokter abad ke 16, Richard Mulcaster, yang percaya bahwa tertawa adalah latihan fisik untuk meningkatkan kesehatan. Ia menulis bahwa tertawa dapat membantu menyembuhkan tangan dingin, dada dingin, dan melancholia. Karena tertawa memasukkan banyak udara ke dalam dada dan mengeluarkan spirit yang lebih hangat. Pada permulaan abad ke-20 seorang profesor kedokteran di Fordhem University yang bernama Walsh menulis buku Laughter and Health (1928). Disitu ia menulis: “Rumus terbaik bagi kesehatan individu diungkapkan secara matematis: kesehatan bervariasi sesuai dengan jumlah tertawa… efek yang baik pada pikiran ini memengaruhi berbagai fungsi tubuh dan membuatnya lebih sehat ketimbang hal-hal lainnya.” Tampaknya walaupun banyak filusuf dan teolog, yang bergulat dengan moralitas dan agama dari abad-abad terdahulu, mengecam humor dan tertawa sebagai kesenangan yang jahat di atas penderitaan orang lain, para dokter lebih melihat manfaat tertawa dan humor bagi kesehatan. Pandangan demikian ini telah mendapat dukungan pada tahun-tahun terakhir ini, pada tulisan Norman Cousins. Dalam Anatomy of an Illness, Cousins (1979) menggambarkan peranan humor yang sangat penting dalam proses penyembuhan ketika ia sendiri berjuang melawan penyakit yang mengancam nyawanya. Dalam kasus Cousins, penggunaan humor. mungkin telah membantunya untuk mengubah arah penyakit; sebuah pendapat yang ia tegaskan dalam dua buku berikutnya berkaitan dengan proses penyembuhan selama persentuhan dengan berbagai penyakit. Norman Cousins terkenal sebagai pendiri psikoneuroimunologi sebuah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari pengaruh gejala-gejala mental terhadap sistem imun. Dan Norman Cousins juga yang membawa healing power of humor kepada perhatian masyarakat luas. Pada 1964, ketika ia menjadi redaktur majalah Saturday Review, ia jatuh sakit. Para dokter menyebut penyakitnya ankylosing spondylitis, sejenis arthritis yang melumpuhkan dan menimbulkan rasa sakit luar biasa. Menurut mereka, sangat kecil kemungkinan ia bisa sembuh lagi. Mungkin di tengah-tengah sakitnya, ia membaca buku Hans Selye, The Stress of Life. Di situ ditunjukkan bahwa emosi negatif dapat menimbulkan senarai gejala penyakit. Bila emosi negatif membuat orang sakit, pikir Cousins, apakah emosi positif membantu proses penyembuhan. la tertarik untuk meneliti sejauh mana keriangan yang dirasakan karena tertawa menyembuhkan pasien. Sebagai objek (atau subjek) eksperimen adalah dirinya sendiri. Pada setiap kesempatan ia memburu dan “menangkap” tertawa. la mencatat apa yang dialaminya dengan cermat. Sekarang, misalnya, ia tahu bahwa menonton film lucu selama 30 menit di rumah sakit dapat memberikan kepadanya dua jam tidur lelap tanpa rasa sakit. la melakukannya setiap hari. Enam bulan setelah ia mengobati dirinya, dengan mencengangkan para dokternya, ia betul-betul sembuh. la menuliskan pengalamannya dalam Anatomy of an illness. Dalam bukunya, ia memperkenalkan konsep ketahanan tubuh yang disebutnya hardiness. Salah satu unsur hardiness yang paling penting adalah emosi positif yang diartikan Cousins sebagai kemampuan mempertahankan sense of humor dan keceriaan. la menemukan bahwa beberapa saat tertawa dapat mengurangi tingkat sedimentasi, yang berarti mengurangi inflammasi. Tertawa membuat kita lebih sehat, sama seperti yang diakibatkan oleh olahraga. Ia menyebut tertawa sebagai internal jogging. Sepuluh menit tertawa, menurut laporan Cousins, dapat meredakan rasa sakit sama dengan paling sedikit dua jam tidur yang baik. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Pilih Bahagia Supaya Berumur Panjang!May 19, 2025Untuk mentasbihkan mazhab barunya dalam psikologi, Seligman menerbitkan beberapa buah buku. Salah satu di antaranya adalah Authentic Happiness. Bab pertamanya dimulai dengan laporan penelitian tentang hubungan antara kebahagiaan dan umur panjang. Dalam bahasa kita, apakah orang bahagia umumnya berumur lebih panjang ketimbang orang yang menderita? Amat sulit untuk menentukan secara spesifik pengaruh kebahagiaan pada umur panjang. Misalnya, diketahui bahwa rata-rata umur orang Utah, salah satu negara bagian di AS, lebih panjang dari rata-rata usia penduduk Nevada. Apakah kejadian ini disebabkan oleh karena orang Utah lebih bahagia dari orang Nevada? Atau apakah karena gaya hidup orang Utah yang beragama Mormon, yang mengharamkan minuman keras, kopi, dan rokok menyebabkan mereka lebih sehat ketimbang penduduk Las Vegas yang “heboh” dengan judi dan kemaksiatan lainnya? Atau karena udara pegunungan di Utah lebih bersih dari udara Nevada yang pengap dengan polusi industri? Kita sukar menjawabnya dengan pasti. Kalau kita ingin meneliti pengaruh kebahagiaan pada kesehatan, khususnya umur panjang, berbagai faktor yang tadi kita sebut harus dieliminasi. Untunglah ada kelompok yang eksklusif dengan gaya hidup yang sama  para suster atau biarawati. Riwayat hidup 180 orang biarawati diikuti. Berbeda dengan penduduk Nevada dan Utah, mereka hidup pada lingkungan yang sama. Semuanya tidak menikah; karena itu, tidak ada yang menderita STD-penyakit kelamin. Semuanya berasal dari latar belakang ekonomi dan sosial yang sama. Tentu saja, semuanya menjalani kehidupan kesucian, kesetiaan, dan kesederhanaan yang sama. Tetapi terjadi perbedaan umur di antara mereka. Maka dibagilah mereka ke dalam dua kelompok yang bahagia dan yang kurang bahagia. Dari mana tahu yang satu bahagia dan yang lainnya kurang bahagia? Dari catatan mereka tentang riwayat hidupnya. Seligman memberikan contoh otobiografi Cecilia OPayne dan otobiografi Marguerite Donnelly. Pada tahun 1932, Cecilia O’Payne berbalat di Milwaukee. Sebagai seorang guru baru di School Sisters of Notre Dame, dia bertekad untuk mengabdikan sisa hidupnya untuk mengajar anak-anak kecil. Ketika diminta menulis sketsa singkat tentang hidupnya pada saat penting itu, dia menulis: Tuhan memulai hidupku dengan menganugerahkan kepadaku karunia yang tidak ternilai… Tahun lalu yang kuhabiskan sebagai kandidat, saat aku belajar di Notre Dame, adalah tahun yang sangat bahagia. Sekarang aku menanti dengan kegembiraan yang sangat untuk menerima the Holy Habit of Our Lady dan menanti hidup dalam kesatuan dengan Cinta Ilahi. Di tahun yang sama, di kota yang sama, dan mengambil sumpah yang sama, Marguerite Donelly menulis sketsa otobiografinya: Aku dilahirkan pada 26 September 1909, anak tertua dari tujuh bersaudara, lima perempuan dan dua laki-laki… Tahun kandidat aku habiskan di mother-house, dengan mengajar kimia dan bahasa latin untuk kelas dua di Notre Dame Institute. Dengan rahmat Tuhan, aku berniat untuk melakukan yang terbaik bagi Ordo kami, untuk menyebarkan ajaran agama, dan untuk pensucian diriku. Dengan memperhatikan otobiografi mereka, para peneliti menghitung penggunaan kata yang menunjukkan rasa bahagia semisal “sangat bahagia” atau “kegembiraan yang sangat”. Maka ada kelompok Cecilia yang sangat bahagia dan ada kelompok Marguerite yang tidak sebahagia Cecilia. Apa yang terjadi pada dua kelompok ini? 90 persen kelompok Cecilia dan hanya 34 persen kelompok Marguerite masih hidup pada usia 85 tahun. 54 persen kelompok sangat bahagia dan hanya 11. persen kelompok yang kurang bahagia masih hidup pada usia 94 tahun. Deeg dan van Zonneveld (1989) meneliti 3149 orang Belanda yang berusia 65 tahun ke atas. Mereka menemukan bahwa orang yang berusia 70 tahunan mempunyai kemungkinan hidup lebih lama (secara statistik 20 bulan lebih lama) bila skor kebahagiaan mereka di atas rata-rata. Walhasil, apa pun yang terjadi kepada Anda pilihlah bahagia demi usia panjang Anda. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Bahagiakan Dirimu Supaya Kamu Jadi Orang Baik!May 18, 2025The only thing that multiples by division is happiness Anonim Setiap kali saya pulang ke Bandung, saya hampir selalu mengambil jalan Pasteur. Bukan karena rute Pasteur kurang macet dibandingkan dengan rute Buahbatu. Saya selalu membatin setiap kali menyebut Pasteur. Ada orang asing, mungkin dari bangsa penjajah, yang namanya diabadikan sebagai nama jalan. Saya menyebut diabadikan, karena Pasteur tetap bertahan, ketika jalan-jalan lainnya di Bandung berganti nama setiap musim. Apa yang membuat Pasteur istimewa? Louis Pasteur boleh disebut sebagai penghantar kepada paradigma kedokteran yang bersifat pathogenetis. Sebab-sebab penyakit dilacak pada virus, bakteri, dan pembawa penyakit dari luar diri manusia: Tugas dokter ialah menyembuhkan penyakit dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Pada tahun 1870-an, ketika industri sutra Perancis diancam wabah penyakit yang membunuhi ulat-ulat sutra, Pasteur dipanggil. Ia menemukan sejenis protozoa sebagai “biang keroknya”. Penyebaran penyakit itu akhirnya bisa dikendalikan dengan melenyapkan mikroba penyebabnya. Sejak itu dimulailah perburuan berabad-abad untuk mencari “penjahat” yang menjadi penyebab penyakit. Satu dasawarsa berikutnya Robert Koch mengumumkan ke seluruh dunia bahwa ia menemukan penyebab tuberkulosis (alias penyakit “abjad”) yakni, mycobacterium tuberculosis. Penemuan ini mengarahkan perhatian para ilmuwan pada agen penyakit dan mengalihkannya dari keadaan tubuh penderita. Pasteur sendiri tidak melupakan peranan dan perlawanan tubuh penderita. Bahkan setelah menemukan penyebab anthrax dan rabies sekalipun, Pasteur berkata: “Sekiranya aku melakukan penelitian baru tentang penyakit ulat sutra, aku akan memusatkan perhatianku pada upaya meningkatkan kekuatan tubuh … Aku yakin mungkin aku dapat menemukan teknik untuk meningkatkan kekuatan tubuh ulat sutra dan membuatnya lebih tahan terhadap infeksi. Pasteur berdebat dengan kawannya Claude Bernard tentang mana yang harus diperhatikan mikroba yang menjadi penyebab penyakit atau terrain, tanah atau faktor-faktor yang menyebabkan organisme mampu melawan penyakit. Menje ajalnya, manusia besar yang menyelamatkan jutaan nyawa itu berkata, “Bernard avait raison. Le germe nest rien, c’est le terrainqui est tout” (Bernard benar. Kuman tidak berarti apa-apa. Tanahlah segala-galanya). Dahulu sebelum menemukan basil TBC, orang menghubungkan tuberkulosis pada kondisi terrain yang bersifat psikologis. Pada 1500 SM, tulisan-tulisan Hindu menyebutkan kesedihan sebagai penyebab penyakit ini. Hippocrates, Galen, dan tokoh-tokoh kedokteran Yunani lainnya menyebutkan peranan perasaan duka, marah, dan emosi negatif lainnya dalam mendorong tumbuhnya penyakit TBC. Selama abad 17 18, dan 19, di antara penyebab TBC adalah “perasaan duka yang berkepanjangan”, “kecenderungan jiwa yang penyedih”, “keinginan yang tidak tercapai”, “cinta tak terbalas”, atau “rasa melankolis yang mendalam” Mungkin sebab-sebab itu seringkali ditemukan dalam kenyataan sehari-hari. Bukan hanya dokter, orang awam pun meyakininya sebagaimana bisa kita baca dalam karya-karya sastra pada zaman itu. Dalam tulisan Alexandre Dumas, La Dame aus Camélias dikisahkan tentang Marguerite Gauthier (nama yang kemudian menjadi judul terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia). la menjadi bintang pelacur di Paris -cantik, beradab, tetapi berpenyakit tbc. Armand Duval, seorang anak muda bangsawan yang kaya raya jatuh cinta kepadanya. Cintanya berbalas. Manisnya cinta itu menyembuhkan penyakit Marguerite. la meninggalkan kehidupannya yang liar. Tubuhnya tumbuh subur, dan wajahnya tambah cantik. Kedua sejoli itu menikmati hari-hari bahagianya, sampai ayah Armand mengetahuinya. Dengan mengiba ia datang ke rumah Marguerite, memohon agar Marguerite meninggalkan Armand. Demi masa depan Armand, dan sebagai bukti kecintaan yang tulus kepadanya, Marguerite harus mengusahakan begitu rupa agar ia tidak menemui atau ditemui Armand lagi. Tentu saja dengan hati yang hancur, Marguerite mencampakkan pujaan hatinya. Entah karena Armand merasa dikhianati, mungkin karena ia menganggap Marguerite sudah mulai bosan, ia sengaja menggunakan setiap kesempatan untuk menghinanya. Lewat penuturan Dumas, ia melaporkan apa yang terjadi pada Maguerite: … selama tiga minggu terakhir ini, aku tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyakiti Marguerite. Ulahku itu membuatnya sakit.. Marguerite mengutus orang untuk meminta belas kasihku. La memberitahukan kepadaku bahwa ia sudah kehabisan kekuatan fisik maupun emosional untuk menanggung apa yang aku lakukan padanya. Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, TBC-nya kumat, dan Marguerite menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam kepedihan dan kesepian. Walaupun TBC dinisbahkan kepada infeksi karena mikroba, penelitian kedokteran mutakhir menunjukkan kebenaran cerita Alexandre Dumas. Adanya basil tuberkel tidak selalu menimbulkan penyakit. Banyak orang yang diekspose dengan agen patogenis ini tidak terinfeksi. Di antara mereka yang terinfeksi, hanya 5 sampai 15 persen sakit secara klinis. Bila dilacak lebih cermat, ternyata situasi emosional pasien sebelumnya sangat memengaruhi perkembangan penyakit ini. Penderitaan memperparah dan kebahagiaan menyembuhkannya. Inilah yang dilukiskan Shakespeare dalam Loves Labour’s Lost: Had she been light, like you, Of such a merry nimble, stirring spirit, She might ha’ been a grandam ere she died; And so may you; for a light heart lives long Psikologi positif, berbeda dengan aliran-aliran psikologi sebelumnya, mencurahkan perhatian pada efek kebahagiaan pada kehidupan kita. Betulkah orang yang hatinya bahagia bertubuh sehat dan berumur panjang, betulkah a light heart lives long? Sampai akhir abad XX, para psikolog memusatkan penelitian mereka pada emosi negatif dan akibat-akibatnya. Takut dan cemas telah membawa orang pada fobia dan gangguan jiwa lainnya. Sedih telah menyiksa orang dengan depresi, menghancurkan sistem kekebalan tubuh. Marah telah menggiring orang pada serangan jantung dan kanker. Kini kita lebih tertarik pada emosi positif —seperti keceriaan, semangat, kegembiraan— dan dampaknya yang positif pada kehidupan kita. Kalu emosi negatif menimbulkan dampak negatif, apakah emosi positif menimbulkan dampak positif? Apa dampak emosi positif pada kesehatan, kecerdasan, kreativitas, karakter dan produktvitas? Betulkah orang yang bahagia umumnya berakhlak mulia? Dengan menggunakan bahasa Martin Seligman, bapak psikologi positif, kita bertanya lagi, betulkah ada hubungan antara positive feeling dengan positive character? JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
HAK-HAK ANAK DI DALAM ISLAMMay 17, 2025“Seorang perempuan miskin datang menemuiku,” kata Aisyah Ra, “Ia membawa dua orang anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada kedua orang anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda: “Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “Barang siapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu ia melindungi mereka, mengasihi mereka, memelihara mereka dengan baik, ia pasti masuk surga,” kata Nabi Muhammad dalam riwayat yang lain. (Al-Targhib wa Al-Tarhib,3:68) Nabi menegaskan anak perempuan, karena pada zaman itu, anak perempuan tidak mempunyai hak sama sekali. Mereka dianggap beban ekonomi, sehingga sering dibunuh beberapa saat setelah mereka lahir. Al-Quran mengabadikan peristiwa pembunuhan anak perempuan itu, ketika Allah berfirman: Ingatlah ketika anak-anak perempuan yang dibunuh itu ditanya, karena dosa apa mereka harus dibunuh.” (QS.81:8)  Nabi memberikan contoh penghargaan kepada anak (khususnya anak perempuan), ketika memperlakukan Fathimah. Nabi memanggil putrinya :”Ummu Abiha” (ibu dari bapaknya), sebagai penghormatan atas kebaktian Fathimah dalam berkhidmat kepada ayahnya. Bila Nabi tengah berada dalam majelis dan melihat Fathimah datang, dia segera bangkit. Tidak jarang dia mencium tangan Fathimah dihadapan sahabat-sahabatnya –cium penghormatan dan kasih sayang sekaligus. Kadang-kadang dia mencium dahi Fathimah seraya berkata “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah.” Seorang pemuka kabilah, Al-Aqra’ bin Habis, melihat Nabi mencium anaknya. Dia keheranan dan bertanya, “Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tak seorang pun aku cium.” “Aku tidaklah seperti kamu,” jawab Nabi yang mulia,“ Karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu.” Ketika Rasulullah khawatir jika ada orang yang menyakiti hati Fathimah, maka dia mengumumkan kecintaannya kepada putrinya dengan berkata, “Fathimah belahan nyawaku, siapa yang menyakiti Fathimah dia menyakitiku. Siapa yang membuat Fathimah murka, dia membuatku murka juga.” (HR.Al-Bukhari) Begitu eratnya hubungan kasih sayang antara Rasulullah dengan putrinya, sehingga kepergian Rasulullah ke alam baka’ sangat menggoncangkan Fathimah. Hampir setiap hari dia menjenguk makam ayahnya. Dia merintih di depan pusara ayah yang dikasihinya. Dia mengambil segenggam tanah kuburan dan mengusapkannya ke wajahnya seraya bersyair, “Apakah orang yang telah mencium tanah pusara Ahmad, akan dapat menghirup lagi semerbak wewangian. Telah menimpa daku musibah. Seandainya musibah itu jatuh siang hari, siang akan berubah menjadi malam gulita.” Pada saat anak perempuan dipandang rendah, Nabi mengangkat Fathimah. Ketika kehadiran anak wanita dianggap bencana, Nabi menyebut Fathimah sebagai “Al-kautsar” (anugerah yang banyak). Dalam masyarakat Jahiliyyah yang bangga menguburkan anak perempuan hidup-hidup, Nabi menegakkan hak-hak anak secara terbuka. Belum pernah pemimpin dunia memerlakukan anaknya seperti perlakuan Nabi kepada Fathimah. Hubungan batin diantara keduanya dicatat sejarah sebagai pelajaran abadi untuk umat manusia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita melihat seorang pemimpin agung memperjuangkan hak-hak seorang anak. DIBERI NAMA YANG BAIK Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya ialah memberikan nama yang baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Ya Rasulallah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya; kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” (Syarh Risalah Al-Huquq,1:597) . Apakah arti sebuah nama? Nabi menegaskan banyak sekali hal penting dalam nama seseorang ketika seorang sahabat menyebutkan namanya “Hazn” (duka cita), Nabi menggantinya dengan “Farh” (suka cita). “Al-Mudhtaji” (yang terbaring) diganti oleh Nabi menjadi “Al-Munbaits” (yang bangkit). Orang yang namanya “Harb” (perang) diubah nabi menjadi “Silm” (damai), dan banyak lagi yang lain. (Al-Targhib, 3:71). Anak berhak mendapat nama yang baik, karena seringkali nama yang diberikan oleh orang tuanya menentukan kehormatannya. Ahli hikmah berkata: “Jika kami belum melihat kalian, maka yang paling kami cintai ialah yang paling bagus namanya. Bila kami sudah melihat, maka yang paling bagus wajahnya. Bila kami sudah mendengar kalian, maka yang paling bagus pembicaraannya. Bila kami sudah memeriksa kalian, maka yang paling kami cintai adalah yang paling bagus akhlaknya. Adapun batin kalian, biarlah itu urusan kalian dengan Tuhan kalian.” Nama itu penting, karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan akidah. Jang Odeng sudah pasti orang Sunda, Harahab jelas berasal dari keluarga Batak, Tukijo tentu orang Jawa, dan Al Atos terang menunjukkan keluarga Arab. Islam menganjurkan agar orang tua memberikan nama anak yang menampakkan identitas Islam, suatu identitas yang melintas batas-batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan (kinship). Karena itu, Muhammad Ali boleh jadi orang Pakistan, Iran, Indonesia, atau Amerika Serikat. Tetapi hampir dapat dipastikan ia orang Islam. Para psikolog modern belakangan menyadari pentingnya nama dalam pembentukan konsep diri. Secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung dalam namanya. Teori labelling (penamaan) menjelaskan kemungkinan seorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat. Berilah gelar “JOROK” kepada anak anda, dan seumur hidup anak itu akan menjadi orang yang jorok. Gelarilah ia “Si Pemurah” dan ia besar kemungkinan akan berusaha selalu pemurah. Memang boleh jadi orang akan berperilaku yang bertentangan dengan namanya. Taufiq mungkin menjadi penjahat, tetapi nama itu akan meresahkan batinnya. Ia boleh jadi mengubah namanya, atau mengubah perilakunya. Walhasil, anak anda akan menggugat anda pada hari akherat (dan boleh jadi di dunia ini juga) bila nama yang anda berikan membawa petaka dalam kehidupannya. “Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR.Abu Dawud dan Ibnu Hiban)  MENDAPAT KASIH SAYANG “Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang kecil,” kata Nabi Muhammad Saw. Nabi mengecam pemuka Arab yang tidak pernah mencium anaknya dan mengatakan bahwa cinta telah tercerabut dari jantungnya. Dia juga berkata, “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang paling penyayang terhadap keluarganya; dan aku adalah orang yang paling sayang kepada keluargaku.” Kasih sayang tidak boleh disimpan saja didalam hati. Kasih sayang harus dikomunikasikan, karena itu Nabi mengungkapkan kasih sayangnya tidak saja secara verbal (dengan kata-kata), tetapi juga dengan perbuatan. Ketika dia berkhutbah, dia melihat Hasan dan Husayn berlari dengan pakaian yang menarik perhatian. Dia turun dari mimbarnya, mengangkat mereka, dan meneruskan khutbah dengan kedua anak itu dalam pangkuannya. Dia berkata, “Mereka adalah penghulu para remaja di surga.” Ketika bersujud, dia memanjangkan sujudnya hanya karena tidak ingin mengganggu Hasan dan Husayn yang berada di atas punggungnya. Pada suatu hari Umar menemukan Nabi merangkak di atas tanah, sementara dua orang anak kecil berada di atas punggungnya, Umar berkata, “Hai anak, alangkah indahnya tungganganmu itu.” Yang ditunggangi menjawab, “Alangkah indahnya para penunggangnya!” Suasana seperti ini menunjukkan keakraban Nabi dengan cucu-cucunya. Dia mencintai mereka dan dengan jelas mengungkapkan kecintaan itu. Ketika Mu’awiyah berlaku kasar terhadap anaknya, Al-Ahnaf memberikan nasehat kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, anak-anak itu buah hati kita, tonggak kehidupan kita. Kita langit yang melindungi mereka dan bumi tempat mereka berpijak. Jika mereka marah, senangilah mereka. Jika mereka meminta sesuatu, berilah. Jangan memperlakukan mereka dengan kasar; nanti mereka menghindari keberadaanmu dan mengharapkan kematianmu.” Banyak diantara kita secara fitri menyayangi anak-anak kita, tetapi sering kali kasih sayang itu tersembunyi. Anak-anak baru mengenal kecintaan orang tua mereka justru ketika orang tua itu sudah meninggal dunia. Seringkali kita tidak mampu mengkomunikasikan kecintaan kita. Untuk pertumbuhan kejiwaan mereka yang sehat, mereka memerlukan siraman cinta orang tua mereka. Apa yang terjadi bila anak kekurangan atau tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya? Sebelum menjawab petanyaan itu secara psikologis dan sebelum kita menghayati perintah Islam untuk mengungkapkan kasih sayang ini, marilah kita simak puisi: Anak-Anak Belajar Dari Kehidupannya Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. “Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan; ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.” Nabi Muhammad saw, ketika ditegur orang mengapa mencium putranya, berkata: “Man la yarham la yurham (siapa yang tak menyayangi, ia tak akan disayangi).” Bila orang tua gagal mengungkapkan rasa sayang kepada anak-anaknya, mereka tak akan mampu mencintai orang tua mereka. Dalam pergaulan sosial, mereka pun tak akan mampu mencintai atau menyayangi orang lain. Ada seorang mencoba membuat penelitian dengan memisahkan anak-anak monyet dari ibunya. Kemudian, dia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan; selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri, dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh kepada anak-anaknya, dan seringkali melukai mereka. Para psikolog menyebut situasi tanpa ibu itu sebagai “maternal deprivation”. Tentu saja kita tidak dapat melakukan eksperimen yang sama kepada manusia. Tetapi para peneliti menemukan gejala yang sama pada perilaku anak-anak manusia yang mengalami maternal deprivation pada awal kehidupan mereka. Pada manusia, pemisahan anak dari orang tua itu dapat secara fisik (misalnya, karena perceraian atau orang tuanya meninggal) dan dapat juga secara psikologis (yakni, ia tidak terpisah dari orang tuanya secara fisik, tetapi ia tidak mendapat kasih sayang yang memadai). Yang kedua biasanya disebut sebagai “deprivasi terselubung.” Deprivasi terselubung ini dapat terjadi, misalnya, kedua orang tua (ayah dan ibu) bekerja dan pulang pada sore hari dalam keadaan lelah. Mereka tak sempat bercanda dengan anak-anak mereka, atau berkumpul mengobrol dengan hangat, atau memeluk dan mencium mereka dalam keakraban. Anak-anak yang mengalami deprivasi ternyata cenderung menderita kecemasan, rasa tidak tenteram, rendah diri, kesepian, agresivitas, cenderung melawan orang tua, dan pertumbuhan kepribadian yang lambat. Kekurangan kasih sayang menghambat aktualisasi potensi kecerdasan yang dimilikinya, sehingga anak menjadi sukar belajar. Seperti juga pada monyet (yang secara biologis satu keluarga dengan kita), anak-anak yang kekurangan kasih sayang cenderung berkembang menjadi bapak atau ibu yang tidak mampu menyayangi anak-anaknya. Seorang psikologi menyebut kekurangan kasih sayang sebagai penyakit menular. Karena itu, Islam sebagai agama yang membawa misi “Rahmatan Lil ‘Alamin” (menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam), mewajibkan orang tua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya. “Orang yang paling baik diantara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya,” kata Rasulillah Saw, sekali lagi. Dalam al-Quran memelihara kasih sayang dalam keluarga adalah perintah kedua setelah takwa; “Bertaqwalah kamu kepada Allah, tempat kamu saling bermohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga.” (QS.4:1) Kasih sayang adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Mengkomunikasikan kasih sayang kepada anak-anak kita itu perlu. Pikiran seorang anak, demikian pula fisiknya, memerlukan bantuan untuk pertumbuhannya. Ada tiga macam “makanan” yang penting untuk pertumbuhan pikirannya yaitu bahasa, bermain, dan kasih sayang. Sejak bulan pertama kehidupannya, seorang anak perlu diajak bercakap-cakap, didekap, dan diasuh dengan penuh kasih sayang, diberi senyuman, didengarkan dan dirangsang untuk memberikan reaksi dengan bunyi-bunyian atau gerakan. Mereka perlu sentuhan, teman bicara, teman tertawa, memberikan respon dan menerima respon. Kurangnya perhatian akan membuat mereka tidak bahagia. Anak yang kurang perhatian akan kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, sehingga pikiran dan badannya tidak tumbuh dengan baik. Anak-anak belajar dengan melakukan banyak hal. Dengan demikian dalam masa pertumbuhannya, mereka perlu kebebasan untuk mencari dan bermain. Bermain-main bukanlah kegiatan yang tidak berarti, tetapi sangat penting untuk pertumbuhan anak dan dapat membantu mengembangkan mental, sosial, dan keterampilan fisiknya, termasuk berbicara dan berjalan. Bermain dapat merangsang rasa ingin tahu, kecakapan, serta percaya diri seorang anak. Bermain juga merupakan landasan sebagai dasar untuk mampu melakukan pekerjaan sekolahnya, mempelajari beberapa keterampilan yang perlu untuk kehidupannya di kemudian hari. Bermain tidak selalu berarti menyelesaikan masalah atau mencapai apa yang direncanakan oleh orang tua. Permainan anak-anak itu sendiri sangatlah penting. Merangsang anak-anak bermain dengan menyediakan barang-barang dan bermacam ide serta bahan adalah cara yang baik untuk membesarkan anak. Alat permainan tidak selalu harus mahal. Dus-dus kosong atau alat rumah tangga sama manfaatnya dengan mainan-mainan yang mahal. Permainan yang imajinatif, misalnya, yang dapat berperan sebagai orang tua, sangatlah baik untuk perkembangan anak. Anak perlu bantuan untuk mengembangkan daya cipta, mereka perlu tantangan untuk dapat memecahkan masalah dan memutuskan apa yang terbaik. Anak perlu menyatakan keinginannya dan keputusannya dan melihat apa yang akan terjadi. Bernyanyi dan belajar irama menggambar, membaca cerita dengan suara keras dapat membantu perkembangan pikiran anak dan mempersiapkan anak untuk belajar menulis dan membaca. “Agar dapat tumbuh sehat, semua anak harus diberi pujian dan sanjungan atas semua hasil karyanya.” Ketika Rasulullah menggelari putrinya “Ummu Abiha” (ibu yang merawat ayahnya), dia memberikan sanjungan atas perkhidmatan Fathimah. Ketika Nabi bermain dengan Hasan dan Husayn, dia sedang memberikan contoh permainan yang imajinatif. Ketika dia memeluk Hasan dan Husayn sambil berkata “Ya Allah, aku mencintai mereka,” dan ketika ia mencium Fathimah seraya berkata, “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah,” dia sedang mengkomunikasikan kasih sayangnya. Lima belas abad sesudah itu, banyak orang membenarkan Sunnah Rasulullah itu. Semua orang dapat didukung untuk: melakukan apa saja, dan tidak terkecuali anak-anak. Secara istilah, tindakan mendukung itu adalah kata halus dari peneguhan positif. Peneguhan yang paling berarti untuk manusia, terutama anak-anak, adalah peneguh sosial. Hal ini biasanya berbentuk pujian atau boleh juga apa saja yang mengungkapkan perhatian, senyuman, lirikan, pelukan, kecupan, dekapan, perhatian yang mendalam, dan mendengarkan yang baik. Masalah utama orang tua ialah ketika mereka harus bergaul dengan anak-anaknya pada saat mereka kurang menyukainya. Tetapi seperti kata orang “itulah kehidupan.” Bila ayah pulang larut malam, ia lelah. Bila ibupun pulang, ia kecapaian. Dan mereka harus melakukan banyak hal, bekerja sebagai panitia, menjalankan fungsi sosial, dan lain-lain. Lalu apa yang sebaiknya mereka lakukan? “Manfatkanlah waktu yang ada, Pertama, janganlah mempunyai anak bila anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu  untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang anda setujui dari tingkah laku anak-anak anda. Jauh lebih baik lagi bila anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi. PENUTUP Kita baru saja menunjukkan dua hak anak terhadap orang tuanya; pemberian nama yang baik dan kasih sayang. Dari hadits-hadits Nabi, kita tahu bahwa anak juga berhak mendapat makanan, pakaian, olah raga yang membantu pertumbuhan fisiknya, pendidikan yang baik untuk membantu perekonomian jiwanya, dan bimbingan agama untuk menyucikan ruhaninya. Tidak cukup ruang untuk membicarakan semua hak itu disini. Cukuplah kita mengunci tulisan ini dengan ucapan Ali bin Abi Thalib : “Wahai manusia, seseorang tidak dapat melepaskan dirinya dari anak-anaknya, walaupun ia mempunyai kekayaan. Ia harus membela mereka dengan tangan dan lidahnya. Merekalah yang paling penting untuk diperhatikan dan paling utama untuk didukung, dan paling patut disayangi ketika musibah menimpa mereka …. …. Janganlah orang berpaling dari keluarganya yang harus ia lepaskan dari kesusahannya dengan sesuatu yang tidak akan menambahnya jika ia menahannya, tidak akan menguranginya jika ia memberikannya. Jika kamu menahan tanganmu dari anak-anakmu, mereka hanya kehilangan satu tangan, tetapi kamu kehilangan tangan yang banyak. Siapa yang dicintai keluarganya ia akan dicintai kaumnya.” (Nahj Al-Balaghah, Khutbah ke-23) JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
AMANAH ILAHIAHMay 15, 2025Pada suatu hari, ketika Ali bin Abi Thalib k.w. hendak melakukan Shalat, tubuhnya bergetar dan pucat pasi. “Apa yang terjadi, ya Amirul Mukminin,” kata salah seorang sahabatnya. Ali menjawab, “Telah datang waktu shalat. Inilah waktu amanah yang telah ditawarkan oleh Allah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka menolaknya dan berguncang karenanya.” Ucapan Ali bin Abi Thalib mengacu kepada Al-Quran (QS 33: 72), Sesungguhnya Kami tawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka menolak memikulnya dan berguncang karenanya. Dan manusia memikulnya. Sesungguhnya ia mempunyai kecenderungan untuk berbuat zalim dan bodoh. Shalat, yang diperintahkan oleh Allah dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, adalah salah satu amanah ilahiah. Para ulama mufassirin menyebutkan bermacam-macam makna amanah, yaitu kepemimpinan ilahiah, khilafah takwîniyyah, syariat Islam, kalimah lâ ilâha illallah, amanah, dan perjanjian di antara sesama manusia, dan sebagainya. Apabila semua pendapat itu digabungkan, maka yang disebut amanah ialah apa saja yang dibebankan oleh Allah kepada manusia untuk dilaksanakan. Dalam ajaran Al-Quran, manusia adalah makhluk memikul beban (mukallaf). Pembebanan  ̶ atau taklif ̶  meliputi hak dan kewajiban. Setiap beban yang kita terima menyebabkan kita harus melaksanakan kewajiban, tetapi pada saat yang sama memiliki hak istimewa. Pada setiap amanah, ada pahala (bila dilaksanakan) dan dosa (bila diabaikan). Kata amânah mempunyai akar kata yang sama dengan kata îmân dan âman; sehingga mu’min berarti yang beriman, yang mendatangkan keamanan; juga yang memberi dan yang menerima amânah. Salah satu nama Allah adalah Al-Mu’min, sebab Dia-lah yang memberikan rasa aman, iman, dan amanah. Orang yang beriman disebut juga al-mu’min karena ia menerima rasa aman, iman, dan amanah. Bila orang tidak menjalankan amanah, ia dianggap tidak beriman dan tidak akan memberikan rasa aman, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekitarnya. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Lâ îmâna li man lâ amânatailah.” Tidak beriman orang yang tidak ada amanahnya. Orang yang setia pada amanahnya  ̶ atau mukmin yang melaksanakan amanahnya dengan baik ̶  disebut nashâhah. Kesetiaan memenuhi amanah disebut nashihah (yang sering salah diterjemahkan menjadi nasihat). Orang yang berkhianat terhadap amanah yang dipikulnya disebut ghasyâsyah. Nabi Muhammad Saw. hanya membagi manusia itu menjadi dua kelompok: nashâhah dan ghasyasyah, “Orang-orang beriman itu satu sama lainnya menjadi nashâhah dan saling mencintai, walaupun badan-badan dan tempat tinggal mereka saling berjauhan. Orang-orang durhaka itu satu sama lain ghasyâsyah dan saling berkhianat, walaupun badan-badan dan tempat tinggal mereka saling berdekatan.” Karena itu, dalam pandangan Islam, agama tidak lain daripada kesetiaan melaksanakan amanah yang dipikulnya. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya agama itu al-nashihah (kesetiaan, bukan diterjemahkan nasihat seperti sering dilakukan orang).” Sahabat-sahabatnya bertanya, “Kepada siapa kesetiaan itu harus diberikan, ya Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Kepada Allah, Kitab- Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Islam, dan keseluruhan umat Islam.” Kesetiaan kepada Allah Apakah amanah yang dibebankan kepada kita sehubungan dengan hubungan kita dengan Allah? Pertama, tauhid. Tauhid artinya pengakuan bahwa hanya Allah-lah yang harus disembah, hanya Allah-lah yang berhak mengatur kehidupan kita, hanya Allah-lah yang harus menjadi tujuan akhir hidup kita. Pelanggaran terhadap ini disebut syirik. Syirik adalah pengkhianatan terhadap Allah. Orang- orang musyrik adalah ghasyasyah. Anda setia pada kalimah Allahu Akbar bila Anda hanya membesarkan Allah. Anda berkhianat kepada-Nya bila Anda membesarkan jabatan, kedudukan, kekayaan, golongan, atau bahkan diri Anda sendiri. Puncak kesetiaan kepada Allah adalah kesediaan mati untuk Dia. “Mati adalah tanda kecintaan yang sejati,” ujar para ahli makrifat. Kesetiaan kepada Kitab Allah Anda setia kepada Kitab Suci bila Anda memuliakannya, membacanya dengan penuh penghormatan, memahami kandungan maknanya, dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Anda berkhianat kepada Kitab Suci bila Anda meremehkannya, tidak pernah membacanya, tidak berupaya mempelajari artinya, dan tidak pula mewujudkannya dalam perilaku Anda. Kaum Muslim di Indonesia sudah setia kepada Al-Quran ketika mereka menyelenggarakan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) dengan mengerahkan dana dan daya untuknya. Mereka mulai berkhianat bila mereka meninggalkan firman Tuhan itu dalam kehidupan bermasyarakat. Dr. Muhammad Iqbal pernah berseru kepada saudara-saudaranya yang mengabaikan Al-Quran, Wahai Muslim Hidupmu tidak kau dasari Dengan kebijakan Qurani Kitab pangkal hayatmu Kitab sumber kekuatanmu Tidak sampai kepadamu Kecuali ketika maut hampir merenggutmu Lalu dibacakan Al-Quran di atas kepalamu Alangkah anehnya Kitab yang diturunkan untuk mendatangkan kekuatan Sekarang dibacakan untuk mengantarkan kematian. Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab singkat, “Akhlaknya akhlak Al-Quran.” Sepatutnya para pengikutnya menggunakan Al-Quran untuk menjadi kriteria baik-buruk tingkah lakunya, untuk menjadi pedoman dalam mengambil keputusan. Sayangnya, betapa sering orang mengumandangkan ayat-ayat suci, tetapi pada waktu yang lain ia melanggar ayat-ayat itu dengan ketenangan dan kekhidmatan yang sama ketika membaca ayat-ayat itu. Suaranya Al-Quran, tetapi akhlaknya berpola pada sesuatu di luar Al-Quran. Termasuk mengkhianati Al-Quran adalah mencoba menundukkan Al-Quran pada kepentingan pribadi, golongan, atau kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Al-Quran dijadikan pemberi legitimasi pada hawa nafsunya atau dijadikan tameng untuk membela kezaliman yang dilakukannya. Perilaku seperti itu disebut para ulama sebagai tahrif. Kesetiaan kepada Rasulullah Saw. Kesetiaan kepada Rasulullah Saw. ditunjukkan dengan mengimaninya, memuliakannya, mendukungnya, dan mengikuti cahaya yang dibawanya (QS7: 157). Termasuk menghormatinya ialah membacakan shalawat untuknya, menziarahi makamnya, menghormati tempat-tempat dan waktu-waktu bersejarah dalam kehidupannya, mengikuti dua pusaka yang ditinggalkannya, yakni Al-Quran dan keluarganya. Paling utama dari semua itu tentu saja adalah menjalankan Sunnahnya yang sahih. Anda mengkhianati Rasulullah Saw. bila Anda mengabaikan ajaran dan Sunnahnya, bila Anda enggan bershalawat untuknya, bila Anda menghancurkan tempat-tempat bersejarah yang menjadi tonggak-tonggak penting dari kehidupannya. Sebagian orang Arab dahulu juga pernah berkhianat kepada Rasulullah Saw. ketika mereka membantai keluarga Nabi yang sangat disayanginya. Sebagian kaum Muslim sekarang juga berkhianat ketika mereka mengabaikan keluarga Nabi yang suci dan beralih kepada orang-orang yang tidak layak sebagai rujukan mereka. Kesetiaan kepada para Pemimpin Islam dan Masyarakat Islam Bila kesetiaan kepada Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya adalah landasan ideal, maka kesetiaan kepada para pemimpin Islam dan masyarakat Islam adalah landasan operasional. Masyarakat Islam tidak akan terwujud tanpa kepemimpinan yang diakui dan dipatuhi. Anda termasuk ghasyâsyah bila Anda tidak mau mematuhi pemimpin yang adil, bila Anda menzalimi sesama kaum Muslim, bila Anda menghancurkan persatuan dan persaudaraan di antara mereka. Termasuk mengkhianati umat Islam bila Anda menyebarkan fitnah, cacian, atau tuduhan-tuduhan keji kepada sesama Muslim. Salah satu bentuk kesetiaan Muslim terhadap saudaranya ialah berusaha menutupi aib saudaranya itu. “Barang siapa menutup aib saudaranya, Allah akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat nanti,” ujar Nabi Saw. yang mulia. Karena itu, terlarang seorang Muslim menggelari saudaranya dengan gelaran-gelaran yang tercela. JR *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Adab Majelis IlmuMay 14, 2025Tsabit bin Qais, yang syahid dalam Perang Yamamah, ternyata sahabat yang rajin menuntut ilmu. Karena pen-dengarannya kurang, ia sering berusaha berada di barisan depan majlis (karena itu juga, ia selalu bersuara keras). Ia pernah menangis ketika merasa larangan bersuara keras ditujukan untuk dirinya. Pada suatu Jumat, Nabi saw. mengadakan majelis di Shuffah, di beranda masjid. Orang-orang duduk di sekitar Nabi. Tsabit datang terlambat. Ia berusaha mendekati Nabi karena kelebihan cintanya kepada Nabi dan karena kekurangan pendengarannya. Sebagian memberi tempat kepadanya supaya Tsabit dapat Iewat. Sebagian lagi sengaja menyempitkan tempat duduk sehingga Tsabit tertahan. Tsabit berulang-ulang minta izin dan menyatakan alasannya mengapa ia harus berada di depan. Ketika orang yang menahan itu tetap di tempatnya, terjadilah sedikit kegaduhan. Nabi saw. kemudian memerintahkan para penghalang itu untuk berdiri. “Qum, ya Fulan, Qum ya Fulan.” Sebagian di antara mereka, kaum munafik, menunjukkan keengganan mereka. Wajah-wajah mereka menjadi masam. Mereka berkata, “Bukankah menurut kalian sahabat kalian itu (yakni Rasulullah) sangat adil? Demi Allah, ia berbuat tidak adil. Ia membiarkan mereka merebut tempat agar dekat dengan Nabi mereka. Lalu ia menyuruh orang-orang untuk berdiri dan mempersilakan duduk mereka yang terlambat datang.” Waktu itu turunlah ayat (QS. Al-Mujadillah :11): يايُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَحُوا فِ الْمَجْلِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشرُوا فَانْشُرُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أوتُوا الْعِلْمَ دَرَحْةٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, lapangkanlah tempat dalam majelis, maka lapangkanlah, nanti Allah akan memberikan kelapangan kepada kamu. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, hendaklah kamu berdiri. Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui akan apa apa yang kamu kerjakan (Tafsir Majma ‘al-Bayan 5:2 5 2, Tafsir al-Fakhr al-Razi 29:269-270).” Begitu besarnya perhatian Al-Quran pada majelis sehingga ayat-ayat turun khusus untuk mengatur etika majelis. Menurut ayat ini, misalnya, etika majelis menjadi syarat diangkatnya derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Dalam QS An-Nur 62, salah satu tanda orang beriman adalah menjalankan etika majelis. Dalam QS An-Nur 63, mengabaikan etika masjlis adalah tanda orang munafik. Apabila sahabat berkumpul bersama dalam satu majelis, mereka tidak akan keluar sebelum meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi saw., pemimpin majelis. Supaya tidak mengganggu, mereka memberi isyarat dengan jari tangannya. Tetapi, orang-orang munafik yang tidak tahan duduk berlama-lama dalam majelis ilmu, meninggalkan tempat secara diam-diam. Allah menyebut mereka “orang-orang yang melanggar perintah Rasul” (Tafsir Al-Durr al-Mantsur 6:231; Tafsir al-Fakhr al-Razi 24:39). Allah mengabadikan perilaku kedua kelompok ini dalam ayat-ayat berikut. إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُوْنَكَ أُولَبِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأَذَنْ لِمَنْ شِئتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ الله اِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمُ لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِيْنَ يَتَسَلَّلُوْنَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرَةٍ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمُ Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ialah orang yang percaya kepada Allah dan Rasulnya, dan apabila mereka berada dalam urusan bersama, mereka tidak pergi begitu saja sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu, itulah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila mereka meminta izin kepadamu karena beberapa keperluan mereka, berikanlah izin kepada siapa saja yang engkau kehendaki dan mohonkan ampunan Allah bagi mereka. Sesungguhnya Allah itu Pengampun dan Penyayang. Janganlah kamu memanggil Rasul seperti panggilan di antara sesama kamu. Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang pergi berangsur-angsur di antara kamu dengan diam-diam. Hendaklah berhati-hati dengan orang-orang yang melanggar peintah Rasul akan ujian yang menimpa mereka dan siksa pedih yang menimpa mereka (An-Nur : 62-63). JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum. *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
AMANATMay 13, 2025Amanat adalah menjaga hak-hak orang lain yang Allah perintahkan kita untuk menjaganya. Hak berada di dalam harta juga dalam kehormatan. Misalnya, orang yang amanah adalah orang yang menjaga harta orang lain. Dia tidak mengambilnya dengan semenamena karena amanah adalah menjaga hak orang lain dalam hartanya. Di antara khutbah Nabi Saw. ketika Haji Wada’, bahwa seorang Muslim itu harus dihargai dan dihormati. hak-haknya dalam harta, kehormatan, dan jiwanya. Orang yang memelihara amanat adalah orang berusaha untuk tidak mengambil hak orang lain walau sepeser pun. Ia pun tidak akan mau mempergunjingkan kejelekkan orang lain, tidak akan mau menjatuhkan kehormatan orang lain, tidak akan mau membuka aib orang lain karena itu termasuk ke dalam pengkhianatan, melanggar amanah Allah untuk memelihara kehormatan sesamanya. Tentu, lebih-lebih apabila menyakiti tubuhnya secara fisik, dia termasuk melanggar amanah yang berkaitan dengan darah kaum Muslimin. Termasuk yang memelihara amanah adalah orang yang berusaha untuk menjaga agar ia tidak sampai mengambil harta orang lain yang bukan haknya, yang berusaha memelihara kehormatan orang lain yang tidak boleh ia jatuhkan. Mereka itulah yang dijanjikan Allah Swt. sebagai penghuni surga. Dalam riwayat, kita pernah mendengar tentang sahabat yang dijanjikan menjadi penghuni surga. Saya ingin memberitahukan bah- wa hadits tentang sepuluh orang yang dijamin. masuk surga itu tidak ada dalam Al-Quran.. Yang ada di dalam Al- Quran tentang orang yang dijamin masuk surga adalah mereka yang ̶ salah satunya ̶ “Walladzinahun li amanâtihim wa ‘ahdihim ra’ûn.” (Artinya), “Dan orang-orang yang menjaga dan memelihara amanat dan janji-Nya.” Pada ujung ayat ke-8 Surah Al-Mukminûn ini disebutkan, mereka itulah yang dipastikan akan mewarisi surga Firdaus. Surga Firdaus adalah. surga yang paling tinggi tingkatannya. Surga ini dikhususkan untuk orang-orang yang memelihara amanah dan janji-Nya. Itulah orang-orang yang dijamin masuk surga. Memelihara Amanat: Jaminan Masuk Surga Orang yang dijamin masuk surga adalah orang yang memelihara amanat yang diberikan orang lain kepadanya. Saya ingin kisahkan sebuah cerita yang dikutip dari kumpulan pengalaman hidup Al-Imam Al-Shirazi, salah seorang marja’ taklid yang besar. Beliau pernah menjadi murid seorang ulama besar, seorang marja’ taklid lainnya, namanya Syeikh Al-Akbar Al-Murthado Al-Anshari. Saya tuliskan pengalaman beliau. “Telah sampai kepadaku riwayat dari salah seorang ulama besar. la berkata, ‘Pernah aku ini berguru dan berkhidmat kepada Syeikh Al-Akbar Al-Murthado Al-Anshari di Najaf Al-Asyraf Irak. Pada suatu malam, aku bermimpi kalau aku melihat setan yang dalam tangannya memegang beberapa belenggu sedang berjalan menuju satu tempat. Aku tanya dia, ‘Mau ke mana kamu ini?’ Setan itu menjawab, ‘Aku ingin meletakkan belenggu ini pada leher-leher manusia, sebagaimana kemarin aku pernah meletakkan belenggu pada leher Syekh Al-Anshari di kamarnya sehingga belenggu itu meluas sampai keluar kamar dan aku terdorong karenanya. Aku tidak berhasil memasangkan belengguku itu pada leher Syekh Anshari karena tiba-tiba Syekh Anshari melemparkan belenggu itu. Segera aku terbangun kata ulama itu aku datang menemui Syekh Anshari dan aku ceritakan mimpiku tadi malam. Berkatalah Syekh Anshari, ‘Benar apa yang dikatakan setan itu, karena dia kemari berusaha untuk menjebakku. Waktu itu, aku tidak punya uang sepeser pun dan aku sangat membutuhkan sesuatu untuk keperluan rumah. Lalu, aku berpikir untuk meminjam satu real saja dari saham Imam yang dititipkan kepadaku’.” Pada waktu itu, Syekh Al-Anshari berada dalam keadaan lapar, dan ia tidak punya sedikit pun makanan serta uang. Di rumahnya bertumpuk titipan umat. Jadi, kata dia, “Aku berpikir untuk mengambil amanah itu satu real saja yang merupakan saham Imam. Dan aku akan meminjam dulu saja untuk memenuhi keper- luanku. Nanti kalau aku mempunyai uang, aku akan membayarnya. Keluarlah aku dari kamar, di tengah jalan aku menyesal. Aku kembali ke rumah dan aku simpan kembali real itu ke tempatnya semula.” Karena itu tadi dalam kisahnya, setan itu sudah mau meletakkan belenggu, akan tetapi Syekh Anshari melemparkannya kembali. Ketika saya membaca kisah ini, saya terharu. Bayangkan, seorang ulama yang dititipi amanah sekian banyak, harus kelaparan, kemudian ia mau meminjam uang untuk memenuhi kebutuhannya. Sebetulnya, itu hak dia juga, karena seorang ulama pun memiliki hak untuk meminjam. Akan tetapi, ia tidak mau menggunakan hak itu, dia balik lagi untuk menyimpan real yang sudah diambilnya dalam keadaan lapar. Saya pikir, orang seperti beliau termasuk orang yang dijamin masuk surga. Masih dari Al-Imam Al-Shirazi dalam kitabnya Haqaiq Min Tarikh Al-‘Ulama, diceritakan pula tentang seorang ulama yang ditimpa perasaan lapar karena sudah lama tidak makan. Begitu lama dan begitu laparnya ia, hingga sebagian kaum Mukminin berusaha mencari makanan agar ulama ini terpelihara kesehatannya. Pada saat-saat seperti itu, ada orang yang datang meminta bantuan kepadanya. Lalu, ulama besar itu masuk ke kamarnya, mengambil dari satu kotak uang titipan yang diberikan kepadanya. Kotak itu disimpan di dalam lubang, di dalam batu. Dia mengeluarkan sebagian dirham dari situ dan diberi- kan kepada orang yang meminta pertolongan. Tidak lama setelah itu, datang juga seorang Sayyid dari dzuriyyat Nabi Saw. yang tampaknya memiliki kebutuhan yang berat pula. Lalu ulama itu masuk lagi ke kamar dan dia berikan lagi bantuan. Hadirin takjub. Mereka berkata, “Ajaib engkau ini, engkau beri orang dengan uang yang banyak padahal engkau sendiri ditimpa penderitaan seperti yang terjadi sekarang ini, karena lapar dan kemiskinan.” Orang ‘alim itu menjawab, “Semua harta yang aku bagikan itu bukan kepunyaanku sendiri, ini amanah Allah yang diberikan kepadaku untuk aku sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Sekiranya aku menggunakan uang ini, aku telah berkhianat kepada amanah. Sungguh pengkhianatan yang paling besar adalah mengkhianati umat.” Dahulu, ada seorang ulama dari Iran yang berkunjung ke Indonesia tahun 1980-an. Waktu itu, belum ada orang yang berani petantang-petenteng mengaku sebagai pengkikut mazhab Ahlul Bait. Dia berkunjung ke Jakarta. Beberapa orang dari Muthahhari berangkat menemui beliau. Bahasa Arab sang ulama sangat bagus, akan tetapi karena tahu orang Indonesia kebanyakan bicara berbahasa Inggris, ulama ini pun berbicara dalam bahasa Inggris dan saya diminta sebagai penerjemahnya. Saya sulit sekali memahami bahasa Inggrisnya. Jadi, saya katakan kepada beliau supaya berbicara dalam bahasa Arab saja. Alasan saya, karena di situ banyak sekali para ustadz yang paham bahasa Arab. Jadi, kalau saya salah menerjemahkan, para ustadz itu bisa mengoreksi. Sebelum bicara, beliau mengajak saya masuk ke ruangan dalam dan memberikan banyak nasihat. Waktu itu, saya mau membangun gedung SMA Muthahhari dan tidak punya uang. Jadi saya datang kepada ulama itu untuk meminta bantuan. Ulama itu berkata, “Saya ini sudah tua, Anda masih muda, dan di hadapan kita ada meja. Kalau saya mampu mengangkat meja ini 10 kilo, Anda mampu mengangkat meja ini 20 kilo, sedangkan berat meja ini 50 kilo. Bagaimana meja ini bisa saya angkat karena saya hanya bisa mengangkat 10 kilo, Anda hanya bisa 20 kilo? Kita tidak akan bisa mengangkat meja ini. Itu yang akan terjadi kalau Anda bekerja sama dengan manusia. Akan tetapi, kalau Anda bekerja sama dengan Allah, kemampuan mengangkat Anda hanya 10 kilo, sisanya akan disempurnakan oleh Allah Swt.” Jadi, waktu itu, saya berketetapan hati membangun Muthahhari walaupun uangnya tidak ada, dan insya Allah, Dia akan membereskannya. Alhamdulillah, akhirnya berdiri juga: Muthahhari, bangunan yang cukup mahal dan megah waktu itu. Semua terjadi karena kita bekerja sama dengan Allah Swt. Saya ingin menceritakan lebih jauh tentang ulama yang memberikan nasihat kepada saya tadi. Namanya Ayatullah Hairi. Dia selalu memakai jubah dan selalu shalat di masjid. Satu saat, ia memberikan ceramah di Paramadina. Di sana, ada Dawam Rahardjo dan kawan-kawannya. Datanglah waktu Zuhur, Ayatullah Hairi bertanya, “Di mana masjid yang paling dekat di sini?” Dawam Rahardjo adalah seorang pemikir Islam, kalau Ayatullah Hairi itu mungkin bukan pemikir Islam. Kata Mas Dawam, “Mengapa sih shalatnya harus selalu di masjid, di sini juga kan bisa!” Tapi tidak. Ayatullah mencari masjid dan pergi dalam keadaan beliau yang sudah tua. Kita ingat juga waktu itu aktivis-aktivis Muthahhari berkumpul di gedung kedutaan. Ketika terdengar adzan di masjid, dan waktu Maghrib sudah masuk kita masih saja berkumpul di rumah itu sambil ngobrol. Kita melihat sang ulama berlari-lari dari rumah kedutaan menuju Masjid Sunda Kelapa yang ada di seberang jalan. Padahal, saat itu hujan sedang turun dengan lebatnya. Kejadian itu membuat Duta Besar sekalipun akhirnya berlari-lari mengikuti dia ke masjid. Tetapi orang-orang Indonesia yang hadir waktu itu, semua tidak beranjak ke masjid dan masih ngobrol di situ, termasuk saya. Dan, menurut yang saya dengar, setelah Ayatullah Hairi shalat Maghrib dan wirid sebentar, rupanya di Masjid Sunda Kelapa itu ada tradisi kuliah tujuh menit (kultum). Siapa yang memberikan kultum tidak dijadwal, bisa siapa saja. Jelas kebanyakan yang mengisinya bukan ulama. Ayatullah Hairi sudah mau beranjak pergi, ketika tiba-tiba ada seorang anak muda berdiri memberikan ceramah dalam bahasa Indonesia yang sulit dipahami beliau. Ulama besar ini duduk kembali dan mendengarkan ceramah anak muda tersebut. Luar biasa. Ayatullah Hairi sangat mengesankan saya. Sepulangnya beliau ke Iran, tidak lama setelah itu, Duta Besar Iran mengirimkan surat dari beliau untuk saya. Suratnya itu kecil, mungkin dari sobekan kecil kertas yang lebih besar. Di dalam surat itu ada beberapa lembar uang dolar, disertai secarik tulisan, “Saya diberikan uang makan untuk perjalanan ke sini tapi karena saya dijamu di kedutaan, uang ini masih utuh. Saya merasa mendapat kehormatan sekiranya Anda berkenan untuk mempergunakan uang ini untuk keperluan dakwah.” Ayatullah Hairi tidak mau membawa uang itu karena kelebihan. Saya betul-betul terharu. Saya yakin juga Ayatullah Hairi adalah tipe orang yang dijanjikan masuk surga karena sifat-sifatnya yang luhur. Dulu saya sering naik becak karena tidak punya mobil. Saya sering membayar ongkos becak itu dengan uang lebih. Ibu-ibu sekitar saya selalu menegur. Kata mereka, ini bisa merusak pasaran, ongkos becak bisa naik. Suatu saat saya tidak punya uang receh. Sebetulnya, sampai sekarang juga, saya punya kebiasaan yang sulit untuk punya uang receh. Saya sering bilang kalau salah satu musibah saya dalam hidup ini adalah sulit sekali punya uang receh. Kisahnya waktu itu, saya mau pulang ke rumah dari Unpad, Jalan Dipati Ukur. Dalam saku saya ada uang seratus ribu. Saya bingung, kalau naik angkot pasti sopir angkotnya marah-marah kalau dikasih uang seratus ribu. Akhirnya, saya jalan kaki sampai rumah di Kiaracondong. Itu adalah musibah karena tidak punya uang receh. Jadi, jangan kira orang berduit itu tidak bisa kena musibah. Suatu saat, saya membawa uang lima puluh ribu. Saya naik becak dan saat membayar, tukang becaknya tidak punya kembalian. Lalu saya bilang, “Ambil saja dulu nanti kalau sudah dapat duit baru kembalikan ke sini.” Dan hilanglah tukang becak itu selama seminggu. Saya pun sudah melupakan uang kembalian itu. Tapi seminggu kemudian tukang becak itu datang lagi untuk mengantarkan uang kembalian kepada saya. Saya pikir, pasti tukang becak ini dijamin masuk surga. Pada sisi lain, saya ingat banyak ustadz yang meminjam uang kepada saya, tapi tidak membayarnya. Tukang becak itu adalah orang yang memelihara amanat dan janjinya. Sebetulnya, di Indonesia itu banyak kisah para calon penghuni surga seperti tukang becak itu, yang selalu memenuhi amanat dan janjinya. Tapi sayangnya, yang berkhianat lebih banyak lagi. Setiap orang di antara kita punya pengalaman berjumpa dengan para pengkhianat amanat itu. Bahkan, ternyata orang yang Anda jumpai itu adalah orang yang paling dekat dengan Anda, yaitu diri Anda sendiri. Hadits-Hadits tentang Amanat Kini, saya bacakan hadits-hadits tentang memelihara amanat. Dari Imam Ja’far Ash-Shadiq, “Janganlah kamu melihat seseorang dari panjang ruku dan lama sujudnya, karena itu merupakan kebiasaan saja. Akan tetapi, lihatlah kejujurannya dalam berbicara dan kesetiaannya dalam menjalankan amanat.” Rasulullah Saw. pun bersabda, “Janganlah terpukau dari banyaknya shalat mereka, puasa mereka, seringnya haji dan beramal saleh, atau kerajinannya dalam melakukan shalat malam. Tapi perhatikanlah kejujurannya dalam berbicara dan pada kesetiaannya dalam memenuhi amanat.” Rasulullah Saw. berulang kali memperingatkan kita. Mengapa demikian? Karena kita lebih sering melihat seseorang dari shalatnya, saumnya, hajinya, dan kadang-kadang dari penampilannya. Menurut Nabi Saw., hal ini tidak boleh dijadikan ukuran. Ukuran yang paling utama tentang kesalehan seseorang ialah kejujurannya dalam berbicara, dan kesetiaannya dalam memegang amanat. Saya kutipkan hadits-hadits ini dari kitab Biharul Anwar juz 22 berkenaan dengan amanat. Hadits lain dari Imam Ja’far Ash-Shadiq, “Bertakwalah kamu kepada Allah dengan cara setia menjalankan amanat kepada siapapun yang memberikan amanatnya kepada kamu.” Ini adalah ucapan Imam Ja’far Ash-Shadiq. Beliau adalah putra dari Imam Muhammad Al-Baqir, putra Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain, putra dari Sayiddah Fatimah Az-Zahra, dan beliau adalah putri dari Rasulullah Saw. Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah cucu dari Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau berkata, “Sekiranya Abdurahman bin Muljam itu menitipkan amanatnya kepadaku, aku akan memenuhi amanat itu, walaupun dia pembunuh kakekku (Imam Ali Bin Abi Thalib).” Hadits lain tentang amanat dari Rasulullah Saw., “Yang paling dekat denganku pada Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling jujur dalam berbicara, yang paling setia menjalankan amanat, yang paling bagus dalam memenuhi janji, yang paling indah akhlaknya, yang paling dicintai oleh manusia, dan yang paling banyak berkhidmat kepada sesama manusia.” Apa dampaknya kalau kita memelihara amanat? Sabda Nabi Saw. dalam Biharul Anwar juz 75, “Orang yang memelihara amanat akan menarik kekayaan dan orang yang berkhianat akan menarik kefakiran.” Ini agak aneh. Banyak koruptor hidupnya kaya raya. Banyak orang berilmu yang berkhianat malah hidup kaya. Itu karena kita mengukur kekayaan dari jumlah uang yang dimiliki. Dalam bahasa Arab, ghina itu artinya kecukupan dan faqir artinya orang yang punya banyak kebutuhan. Dalam bahasa Arab itu, fakir adalah orang yang sangat membutuhkan sesuatu. Para ulama sering mengatasnamakan diri mereka, ketika menandatangani surat, dengan sebutan al-faqir ila rahmati rabbi al-qadir, orang yang sangat membutuhkan kasih sayang Allah yang Mahakuasa. Boleh jadi, maksud hadits Nabi Saw. ini adalah bahwa orang yang mempunyai kekayaan yang banyak sering di kejar-kejar oleh kebutuhan yang tiada henti. Dia dilelahkan dengan keadaan yang tidak cukup terus menerus. Itu sebabnya, kita menemukan para koruptor tidak pernah merasa puas dengan korupsinya. Dia makin rakus karena uangnya mudah diperoleh, mudah juga hilangnya. Kalau diperolehnya secara haram, keluarnya pun akan secara haram lagi. Dia akan dikejar-kejar oleh kebutuhan yang terus-menerus. Ada saja kekurangan pada harta yang dimilikinya. Orang seperti ini tidak akan pernah mengalami ketenteraman dalam hidupnya. Lukman Al-Hakim pernah memberikan nasihat kepada anaknya, “Wahai anakku, laksanakanlah amanat nanti engkau akan selamat di dunia dan akhirat. Dan, setialah kepada amanat niscaya engkau akan menjadi orang yang berkecukupan.” Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kisah Nabi Musa. Alkisah, Musa bin Imran memiliki seorang sahabat yang sering mengaji kepadanya. Sahabat ini termasuk yang dikasihi oleh Nabi Musa. Ilmunya sudah luas, lalu ia minta izin untuk meninggalkan Nabi Musa karena ia akan melakukan silaturahmi dengan kerabatnya yang sudah lama ditinggalkannya. Sebelum pergi, Nabi Musa berkata kepada sahabatnya itu, “Menyambungkan tali silaturahmi itu adalah perbuatan yang baik, akan tetapi aku peringatkan kepadamu, berkunjunglah dengan penuh keikhlasan. Janganlah kamu tunduk pada keindahan dunia, karena Allah telah memberimu ilmu yang banyak. Janganlah kamu sia-siakan ilmu itu sehingga kamu menundukkan dirimu pada godaan dunia. Pergilah lelaki itu menemui keluarganya. Berlalulah waktu yang lama ketika laki-laki itu tidak menemui Nabi Musa. Ia pun tidak memberikan kabar apa pun. Nabi Musa bertanya kepada orang-orang tentang kabar dia, akan tetapi semua orang tidak ada yang tahu. Akhirnya, beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Bagaimana kabar sahabatku, apakah engkau tahu?” Jibril menjawab, “Sekarang dia sedang berada di sebuah pintu, dan Allah sudah mengubahnya menjadi monyet kemudian disimpan rantai di atas lehernya.” Nabi Musa terkejut. Ia pun pergi ke tempat shalatnya lalu berdoa kepada Allah Swt., “Tuhanku ini sahabatku yang sering menghadiri majelisku, apa yang terjadi kepadanya? Tolonglah dia.” Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi Musa, “Hai Musa, sekiranya kamu berdoa kepada-Ku dan meminta tolong sampai putus tenggorokanmu, Aku tidak akan mengabulkan doamu, karena orang itu sudah Aku berikan ilmu tetapi ia menyia-nyiakan ilmunya itu untuk kepentingan dunianya”. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

This error message is only visible to WordPress admins

Unable to retrieve new videos without an API key.

Error: No videos found.

Make sure this is a valid channel ID and that the channel has videos available on youtube.com.

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung