Warisan intelektual

untuk perkhidmatan

dan pencerahan pemikiran

0
Quotes
0
Articles
0
Videos
0
Audios

Jalan Rahmat

Misi Kami

Di Jalan Rahmat, kami berusaha menghadirkan kembara intelektual itu. Perjalanan dan pengelanaan beliau mengarungi ‘jagat’ semesta itu. Ada dokumentasi karya beliau. Puluhan buku, ratusan artikel, ribuan ceramah. Ada rekaman audio dan video. Ada pula karya-karya para guru bangsa, baik sahabat karib Allah yarham, para intelektual sezaman, maupun karya-karya para ulama besar yang mempengaruhi jagat kembara intelektual beliau. Jalan Rahmat adalah sebuah digital library yang ingin menghadirkan kembali semangat intelektual itu.

Jalaludin Rakhmat - Tauziah
Digilib

Donasi dan Beasiswa

Donasi dan Beasiswa untuk sekolah, madrasah, klinik, dan ragam kegiatan lainnya.

tauziyah

Digital Library

Kumpulan Ceramah, Artikel, Buku, Video dari para Guru Bangsa.

healthcare

Jalan Kecintaan

Warisan terutama dan teramat berharga dari Allah yarham adalah mengantarkan kami dan kita semua pada jalan menuju kerinduan dan kecintaan Sang Rahmatan lil ‘alamin. Itulah makna Jalan Rahmat yang sesungguhnya.

Latest Post

NASIHAT SUFI UNTUK MENDAPATKAN SENTUHAN NABISeptember 17, 2024Pada bagian ini akan dibahas mengenai nasihat sufi berkenaan dengan Rasulullah. Kita harus melihat setiap puisi sufi dari perspektif batiniah kita. Rasulullah datang ke dunia ini untuk mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya. Kita akan mendapatkan sentuhan Rasulullah apabila kita mengeluarkan kotoran-kotoran duniawi, kotoran-kotoran ragawi. Tubuh kita yang tambun ini, kita campakkan; seperti apel yang tidak akan berbuah sebelum dedaunannya berguguran pada musim gugur. Di Indonesia, ada seorang penemu, yang tidak dikenal namanya, menanam apel. Karena di Indonesia tidak ada musim gugur, dia memangkas daun-daun apel itu. Ternyata apel itu kemudian berbuah. Jadi, rupanya, kalau di negeri-negeri Barat apel itu menunggu musim gugur, di Indonesia dengan sengaja daun-daun apel digugurkan pada musim apa pun. Seorang sufi yang ingin merintis jalan menuju Tuhan adalah seperti penanam apel di negeri kita. Dia tidak boleh menunggu musim gugur. Pangkaslah dedaunan hawa nafsumu dari tubuhmu itu supaya nanti taman Tuhan tumbuh dalam hatimu. Dari cerita raksasa Gusy pada bab sebelumnya, ada satu hal yang sangat menyentuh: Jangan malu datang menemui Rasulullah walaupun kita membawa seluruh dosa di seluruh punggung kita, walaupun kita penuh kotoran. Doa yang dibaca orang ketika memasuki Kota Madinah, sangat bagus: “Ya Rasulullah, kami datang dari negeri jauh dengan memikul dosa di punggung kami. Salam bagimu, ya Rasulullah!” Orang-orang yang berziarah ke makam Rasulullah adalah seperti orang kafir yang saya ceritakan pada bab sebelumnya, yang sebetulnya sudah malu karena meninggalkan kotoran di rumah Nabi yang mulia, tetapi dia datang juga ke rumah Nabi. Orang kafir itu menangis luar biasa karena menyaksikan tangan yang mulia membersihkan kotorannya. Kita bisa membayangkan diri kita berada di alam malakut, lalu berziarah ke makam Rasulullah sambil membawa dosa-dosa di punggung kita. Kita tidak saja membawa kotoran, tetapi juga mengotori rumah Rasulullah yang mulia. Islam ini rumah kita. Karena akhlak kita yang buruk, kita sudah mencemari rumah Al- Islam. Seperti kata Iqbal dalam doanya menjelang kematiannya. Dalam doa yang diceritakan Abu A’la Al-Maududi dalam Lawami’ Iqbal, Iqbal berdoa begini, “Ya Tuhanku, jika engkau bangkitkan nanti aku pada hari kiamat, janganlah Kau dampingkan aku dengan Al-Mushthafâ. Aku malu mengaku sebagai umatnya, sementara hidupku bergelimang dosa!” Iqbal malu, kita juga malu terhadap Rasulullah, pada hari kiamat nanti. Kita juga harus merasa malu karena sepanjang hidup ini kita mengotori rumah Rasulullah dengan akhlak kita yang buruk, dengan kejahatan yang kita lakukan, dengan maksiat, dengan fitnah, dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita. Kita telah mengotori rumah Rasulullah. Tapi, bayangkanlah ketika Anda kembali menemui Rasulullah, berziarah kepadanya. Di alam sana, tangan-tangan Rasulullah yang mulia membersihkan kotoran-kotoran itu. Al-Quran mengatakan, Sudah datang kepada kamu seorang Rasul dari antara kamu sendiri, berat hatinya melihat penderitaan kalian, yang sangat ingin kalian ini memperoleh keba hagiaan, yang sangat pengasih dan penyayang kepada kaum Mukmin (QS Al-Taubah : 128). Tidak henti-hentinya Rasulullah memohon ampun kepada Allah untuk kita, sebagaimana kata Jalaluddin Rumi: “Tidak henti-hentinya tangan yang mulia itu membersihkan kotoran yang kita lakukan di rumahnya yang mulia, karena kasih sayang Rasulullah kepada umatnya.” Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengucapkan terima kasih atas doa Rasulullah kepada kita? Yang pertama ialah mencintainya, berusaha menanamkan kecintaan kita kepada Nabi yang mulia. Ketika dibacakan hadis Nabi, “La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihi min nafsihi wa walidihi wannasi ajma’ în(Tidak beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada dirimu, daripada anakmu, dan daripada seluruh umat manusia),” di sebuah pengajian di Jakarta, salah seorang ustad bertanya, “Ketika mendengar hadis itu, saya merasa tidak enak, kenapa Rasulullah egois betul, sampai dia ingin dicintai lebih daripada diri kita, daripada seluruh umat manusia.” Akan tetapi, kemudian saya ingat, mencintai Nabi berarti menaatinya. Ketaatan kita kepada Nabi harus lebih daripada ketaatan kepada diri kita, anak kita, dan seluruh umat manusia. Lalu saya berkata, “Dulu saya punya kawan yang sangat sederhana. Dia tidak bisa bahasa Arab, tidak bisa baca kitab, tidak pernah belajar di pesantren ꟷ mungkin SD pun tidak tamat. Dia tidak pernah membaca kisah Nabi; boleh jadi dia tidak mendengar hadis itu. Tetapi, dia mencintai Rasulullah tanpa menafsirkan hadis itu. “Dia tidak menafsirkan kecintaan dengan ketaatan. Dia mengungkapkan kecintaannya itu dengan perilakunya sendiri. Setiap bulan Maulid, saya selalu mengenang orang ini. Kalau saya ditanya oleh wartawan, siapa saja yang memengaruhi hidup saya di dunia ini, mungkin mereka akan terkejut, karena di antara mereka yang memengaruhi saya di dunia ini adalah orang kecil yang saya sebut itu. Namanya Mas Darwan. Begitu hormatnya saya kepada beliau, karena beliau mengubah hidup saya, saya mengangkatnya ke punggung nasional dengan menulisnya di majalah. Saya tulis juga dalam Rindu Rasul. Saya ingin mengulanginya sedikit. “Mas Darwan tinggal di sebelah rel kereta api. Dia orang yang taat beribadah. Bunyi terompah kayunya membangunkan saya menjelang subuh. Dia selalu shalat berjamaah di masjid. Setelah pensiun dari perusahaannya, dia mengisi waktunya dengan berkhidmat kepada tetangganya, khususnya kepada guru ngajinya, yaitu saya. Dia sering memperbaiki genting rumah saya yang bocor. Dia jarang bicara sehingga saya mengira dia tidak punya dosa dari kata-kata yang dia ucapkan. “Dia mengisi waktu luangnya dengan berkebun; membuat petak-petak ubi di antara rel-rel kereta api. Pendengarannya kurang begitu baik sehingga saya kira dia tidak punya dosa-dosa dari telinganya. Begitu kurang baiknya pendengaran dia sehingga ketika dia keasyikan bekerja di dekat rel, dia tidak mendengar suara kereta api datang. Dia pun tersenggol kereta api dan terluka parah. Dia dibawa ke ICU. Saya datang dan melihat Mas Darwan dipenuhi kabel-kabel infus. Sebagian masuk melalui hidungnya dan sebagian lagi masuk melalui mulutnya. “Ketika saya datang bersama istrinya, dia memberi isyarat agar kabel-kabel infus itu dicabut. Rupanya dia ingin membisikkan sesuatu kepada istrinya. Sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir, Mas Darwan membisikkan sesuatu kepada istrinya. Setelah itu, saya tahu yang dibisikkannya hanya dua kalimat: ‘Bulan ini bulan Maulid. Jangan lupa melakukan selametan buat Kanjeng Nabi.’ Itulah ucapannya yang terakhir.” Ketika Mas Darwan masih hidup, saya termasuk orang yang membid’ahkan peringatan Maulid Nabi. Banyak orang menentang saya dengan mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi bukan bid’ah. Saya bergeming. Saya berubah hanya dengan ucapan Mas Darwan yang dibisikkan kepada istrinya. Sekarang kalau ditanya tentang dalil peringatan Maulid Nabi itu, saya punya banyak. Tetapi, sebetulnya saya mengemukakan dalil-dalil itu setelah saya takluk dulu terhadap pentingnya peringatan Maulid Nabi. Sebenarnya, bukan karena dalil itu saya menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, melainkan karena bisikan Mas Darwan kepada istrinya itu. Karena kecintaan kepada Rasulullah, dia penuhi hak Rasulullah dengan mencintainya. Di akhir hayatnya, dia tidak teringat kepada istrinya; yang dia ingat adalah selametan buat Kanjeng Nabi. Saya kira, kecintaan orang-orang yang sederhana lebih tulus daripada kecintaan para intelektual. Sebab, para intelektual itu langsung ngomong, “Rasanya, Rasulullah itu egois. Kok, mau kecintaan itu untuk dirinya sendiri.” Sedangkan, orang sesederhana Mas Darwan mencurahkan kecintaannya kepada Rasulullah dengan kecintaan yang tulus seperti itu. Di kalangan sufi, ada cerita bahwa orang-orang bodoh banyak menjadi pengisi surga. Dengan kata lain, mungkin, sebenarnya orang-orang pintar banyak mengisi neraka. Orang-orang bodoh itu, karena kesederhanaannya, lebih tulus. Di kalangan orang-orang sufi, sebenarnya itu mempunyai makna yang sangat dalam. Maksudnya, bukan berarti kita semua harus menjadi bodoh. Kalau kita ingin mencintai dengan tulus, bersihkan arogansi yang ada dalam diri kita, kepongahan-kepongahan karena intelektual kita, sebab cinta tidak menggunakan bahasa intelektual. Cinta itu menggunakan bahasa hati. Hindarkan berbagai penafsiran tentang hadis mengenai kecintaan kepada Rasulullah. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
KEWAJIBAN KEPADA RASULULLAH: PERSPEKTIF TASAWUFSeptember 17, 2024Kita telah berbicara tentang hak-hak Rasulullah kepada kita; atau, dengan perkataan lain, kewajiban kita kepada beliau, kalau kita menerima beliau sebagai junjungan kita. Saya ingin melanjutkan dengan membacakan kisah yang diceritakan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, kitab yang kelima. Sebelumnya, saya ingin memperkenalkan siapa Jalaluddin Rumi dan apa Matsnawi ini. Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi yang terkenal. Dia lebih dikenal sebagai Maulana. Dahulu ketika saya di Iran, banyak orang Iran memanggil saya Maulana, karena nama saya mengingatkan mereka kepada Jalaluddin Rumi. Dia mendirikan sebuah tarekat yang jejak-jejaknya sampai sekarang masih bisa kita ikuti. Orang yang disebut Darwisy, pengikut tarekat Jalaluddin Rumi, biasanya melakukan riyadhah-riyadhah mereka dengan membacakan puisi-puisi dan menari-nari selama berjam-jam, berkeliling-keliling seperti gerakan seluruh alam semesta, atau seperti gerakan orang yang tawaf. Itu dilakukan berjam-jam tanpa rasa lelah. Salah satu di antara ahli koreografi Indonesia, Roy Julius Tobing, pernah terpesona dengan keindahan mistik dari tarian kelompok Rumi ini. Ketika ia menonton, seberkas sinar ruhaniah masuk ke dalam hatinya. Ketika pulang ke Indonesia, ia menjadi seorang Muslim yang saleh. Sampai sekarang, ia sedang berusaha mempersembahkan karya besarnya dalam koreografi untuk Allah Swt., karena terinspirasi oleh para penari dari tarekat Rumi. Jalaluddin Rumi juga menulis banyak puisi dalam bahasa Farsi. la dianggap sebagai orang Turki oleh orang Turki, sebagai orang Iran oleh orang Iran, sebagai orang Kurdi oleh orang Kurdi. Orang-orang besar biasanya ketika hidup diusir oleh semua bangsa. Setelah dia wafat, semua bangsa ingin mengakuinya. Misalnya, Jamaluddin Al-Afghani. Dia diusir dari tanah kelahirannya. Dia tidak disukai oleh beberapa orang penguasa pada zamannya. Dia pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Setelah dia meninggal dunia di Turki, orang Afghan menganggapnya sebagai orang Afghan. Orang Iran menganggapnya sebagai orang Iran sehingga mereka menyebutnya Jamaluddin Astarabadi. Orang Turki juga menyebutnya sebagai orang Turki karena kuburannya sampai sekarang ada di Turki. Seperti itulah Jalaluddin Rumi. Salah satu keistimewaannya, dia menceritakan perjalanan ruhaniah seorang sufi dengan puisi-puisinya. Yang paling terkenal di antara kumpulan puisinya adalah Matsnawi, terdiri dari enam jilid. Rumi pernah terkesan dengan tulisan Fariduddin Al-Aththar, yaitu Manthiq Al-Thair, yang menceritakan perjalanan ruhani dengan cerita serombongan burung. Kemudian Rumi menulis puisi-puisinya dalam bentuk cerita. Kata Nicholson ꟷyang menghabiskan waktunya untuk berspesialisasi dalam karya-karya Rumiꟷ dalam kumpulan Matsnawi ini (disebut Matsnawi karena satu baitnya ada dua baris) terkumpul nasihat ruhaniah, humor, ironi, sarkasme, dan metafora-metafora yang sangat tinggi. Ada seorang sufi perempuan dari Barat yang kebingungan ketika pertama kali membaca Matsnawi. Dia merasa, tulisan Rumi itu tidak sistematis. Dia tidak berhasil menangkap isi buku Matsnawi. Tapi, setelah berulang-ulang membacanya, kemudian mengikuti riyadhah-riyadhah tasawuf, dia mulai memahaminya. Sekarang Matsnawi menjadi satu perbendaharaan sumber hikmah yang luar biasa. Matsnawi belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kecuali kutipan-kutipannya saja. Nicholson menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris secara hampir literal. Ada beberapa bagian yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Biasanya bagian-bagian yang rada “pornografis”. Karena itu, kalau nanti ketika saya membaca terjemahan ini sampai kepada bahasa Latin, bahasa Latinnya tidak saya terjemahkan. Alasannya, pertama, karena saya tidak mengerti bahasa Latin; kedua, karena tampaknya Nicholson juga mau memelihara misteri Matsnawi. Sekarang ini, ada jurnal tasawuf internasional. Namanya Sufi Journal, yang dalam setiap terbitannya mengutip kisah-kisah yang diceritakan Rumi dalam Matsnawi-nya, dalam bahasa yang sederhana. Di bawah ini, saya kisahkan lagi cerita dalam Matsnawi, Buku Kelima, mulai kuplet 65. Saya tidak akan menerjemahkannya dalam bahasa yang sederhana. Saya percaya kepada Anda untuk memahami cerita ini. Orang-orang kafir menjadi tamu Rasulullah. Mereka datang ke masjid bakda magrib dan berkata, “Kami datang ke sini sebagai tamu, mengharapkan keramah-tamahan yang punya rumah. Duhai Baginda yang menjadi penghibur semua penduduk di dunia ini, kami ini orang yang kelaparan, datang dari tempat yang jauh. Sebarkan sebagian berkahmu dan sinarilah kami.” Lalu Nabi berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Para sahabatku, bagilah tamu-tamu ini di antara kalian, karena kalian dipenuhi aku dan dipenuhi dengan tabiatku, sebagaimana seluruh tentara dipenuhi dengan raja. Sehingga, mereka mau mengangkat senjata atas nama raja melawan musuh-musuhnya. Karena kemarahan rajalah, kamu menarik pedang. Kalau bukan karena kemarahan raja, mengapa kamu mau melawan saudara kamu sendiri? Dan bayangkan kemarahan raja, kamu serang saudaramu yang tak bersalah dengan pedangmu. Raja adalah satu jiwa dan seluruh armada dipenuhi dengan dirinya. Ruh seperti air dan tubuh-tubuh kita ini seperti hamparan dasar sungai. Jika air dari ruh raja itu manis, ‘semua hamparan sungai dipenuhi air manis’.” Setiap sahabat kemudian memilih seorang tamunya. Di antara tamu-tamu itu, ada seorang kafir yang tubuhnya sangat besar sehingga tak seorang sahabat pun mengambilnya. Jadi, tinggallah ia di masjid, seperti ampas tertinggal di cangkir kopi. Ketika ia ditinggalkan oleh semua orang, Al-Mushthafa mengambilnya. Di antara ternak milik Al-Mushthafa, ada tujuh kambing yang selalu memberikan air susu. Kambing-kambing itu disediakan di dekat rumah untuk diambil air susunya sebagai persiapan menghadapi waktu makan. Raksasa besar putra Gusy dari Turki ini memakan habis roti dan makanan yang lain, susu, dan tujuh ekor kambing itu. Seluruh penghuni rumah marah karena menginginkan susu kambing itu. la yang rakus itu membuat perutnya seperti sebuah tong besar. la memakan habis makanan untuk 18 orang. Saat ia masuk ke kamarnya dan duduk di situ, pembantu dengan marah menutup pintu kamarnya dan mengikatkan kunci pintu dari luar. Menjelang subuh, orang kafir ini didesak oleh kebutuhan alamiahnya dan perutnya sakit. la meninggalkan tempat tidurnya dan menuju pintu, meletakkan tangannya di atas gerendel pintu dan menemukan pintu itu terkunci. Orang cerdik ini menggunakan berbagai alat untuk membuka pintu, tetapi pintu itu tetap tak terbuka. Dorongan alamiahnya makin mendesak dan kamar itu sangat sempit. la berada dalam penderitaan yang tidak ada obatnya dan kebingungan. Ia membuat gerakan-gerakan kecil dan merangkak untuk bisa tertidur. Dalam kantuknya, ia bermimpi berada di sebuah tempat yang terasing, karena tempat asing itu ada dalam pikirannya, pandangan batinnya pun masuk ke dalam tidurnya. Tanpa terasa olehnya, kemudian orang kafir itu mengeluarkan kotoran di kamar. Ketika terbangun, ia menangis, “Celakalah daku!” la menangis seperti tangisan orang kafir di dalam kuburan. la menunggu sampai malam berakhir. Suara pintu terbuka terdengar sampai di telinganya, pertanda supaya ia bisa lari seperti melesatnya anak panah yang lepas dari busurnya. Supaya orang tidak melihat kehinaan yang sedang dideritanya. (Cerita ini panjang, tapi saya akan memendekkannya.) Pintu terbuka, kemudian ia bisa melepaskan dirinya dari kesedihan dan derita. Pada waktu subuh, Al-Mushthafã datang dan membuka pintu. Menjelang fajar, ia memberikan jalan keluar kepada orang yang sudah kehilangan jalan. Al-Mushthafa membuka pintu dalam keadaan tersembunyi, supaya orang yang menderita itu bisa keluar tanpa rasa malu, bisa berjalan dengan penuh keberanian, dan tidak melihat punggung atau wajah sang pembuka pintu. Mungkin Al-Mushthafa bersembunyi di balik sesuatu atau jubah Tuhan menyembunyikannya, menurunkan tirainya dari orang-orang kafir. Shibghatullah, celupan Allah, kadang-kadang tertutup dan tirai yang misterius menghalangi pemandangnya sehingga ia tidak melihat musuh di sampingnya. Kekuatan Tuhan lebih dari itu. Al-Mushthafa melihat apa yang terjadi pada orang kafir pada malam itu, tetapi perintah Tuhan menahannya untuk tidak segera membuka pintu, sebelum derita dialami oleh orang kafir tersebut. Sebelum ia jatuh pada kesusahan dan rasa malu. Kalau bukan karena perintah Tuhan, Al-Mushthafa sudah lama membuka pintu itu. Tetapi, di balik kebijakan Tuhan dan perintah langit itulah, Al-Mushthafa melakukan tindakannya, yang seakan-akan menunjukkan bahwa Al-Mushthafa memusuhi orang kafir itu. Banyak sekali tindakan permusuhan itu sebetulnya persahabatan, dan banyak sekali tindakan yang kelihatannya menghancurkan padahal menghidupkan. Seorang sahabat yang suka mencampuri urusan orang datang ke hadapan Nabi membawa kain yang sudah kotor karena kotoran orang kafir itu. Ia berkata, “Lihat, tamu Anda sudah melakukan sesuatu yang buruk.” Nabi tersenyum dengan senyuman rahmatan lil ‘alamin. Beliau berkata, “Ambillah ember air ke sini. Biar aku sendiri yang akan membersihkannya dengan tanganku.” Setiap sahabat meloncat dan berteriak, “Demi Tuhan, bukankah seluruh jiwa dari tubuh kami menjadi tebusan bagi engkau. Biarlah kami yang akan membersihkan kotoran ini. Serahkan ini kepada kami. Membersihkan kotoran ini adalah kerja tangan, bukan kerja hati. Wahai La ‘Amruk (panggilan Allah Swt. kepada Nabi dalam QS Al-Hijr : 72, yang artinya ‘demi kehidupanmu’), wahai zat yang Tuhan bersumpah de- ngan kehidupannya, yang telah menjadikannya khalifah dan meletakkannya di atas singgasana, kami ini hidup untuk ber- bakti kepada engkau. Kalau engkau sendiri melakukan kebak- tian itu, lalu apa jadinya kami ini semua.” Nabi berkata, “Saya tahu, ini peristiwa yang luar biasa. Saya punya alasan untuk mencucinya dengan tangan saya sendiri.” Mereka menunggu seraya berkata, “Ini kata-kata Nabi. Pasti ada misteri dan hikmah di baliknya.” Nabi sibuk membersihkan kotoran itu, dengan semata-mata memenuhi perintah Tuhan, bukan karena mengikuti secara taklid dan bukan mengharapkan pamrih; karena hatinya berkata, “Cucilah kotoran itu, karena di baliknya ada hikmah yang tersembunyi.” Orang kafir yang malang itu mempunyai azimat sebagai kenang-kenangan. Ketika melihat azimatnya hilang, ia tertahan sebentar. la berkata, “Kamar tempat saya tinggal tadi malam mestilah menyimpan azimat saya.” Walaupun ia malu, kerasukannya akan azimat itu menghilangkan rasa malunya ꟷdan malu adalah sebuah Naga Perkasa yang bisa menyeret setiap orang. Karena mencari azimat itu, berlarilah ia ke rumah Al-Mushthafa. Tiba-tiba ia melihat “tangan Tuhan” dengan penuh ceria membersihkan kotoran itu, tidak jauh dari tempatnya berada. Keinginan untuk memperoleh azimat hilang dari pikirannya, dan sebuah kegelisahan muncul dalam hatinya. la merobek-robek bajunya, memukul wajahnya dengan kedua tangannya, dan membenturkan kepalanya ke dinding dan pintu. Dalam keadaan seperti itu, darah mengalir dari hidung dan kepalanya. Sang Pangeran Muhammad jatuh iba kepadanya. Orang kafir itu berteriak pilu. Orang-orang berkumpul di sekitarnya. Orang kafir itu menangis, “Hai manusia, dengarlah!” la pukul kepalanya sambil berkata, “Ah… kepala yang tidak memiliki pemahaman.” la pukul dadanya seraya berkata, “Ah… dada yang tidak pernah mendapat cahaya.” la menghempaskan dirinya dan berteriak, “Duhai Pangeran yang memiliki seluruh ini, bagian yang hina ini tak sanggup menahan rasa malu di hadapanmu. Engkau yang karenamu diciptakan seluruh alam semesta ini, yang seluruh alam semesta pasrah di hadapanmu. Aku ini hanya bagian kecil, seorang hina dina dan tidak mendapat petunjuk. Engkaulah sang keseluruhan, sekarang dengan penuh kerendahan hati bergetar di hadapan Tuhan. Sedangkan aku cuma noktah kecil, setiap hari menentang dan melawan Tuhan.” Setiap saat ia menengadahkan wajahnya ke langit, seraya berkata, “Aku tidak memiliki wajah lagi untuk melihat kepada-Mu, wahai kiblat dunia ini.” Ketika ia gemetar, tak tepermanai di hadapan Al-Mushthafa, Al-Mushthafa menepukkan tangannya, kemudian menenangkan, membujuk, dan membuka mata orang itu, serta memberinya pengetahuan. Kisah ini merupakan metafora. Pertama, bahwa Nabi datang untuk membersihkan kita dari kotoran-kotoran kita dengan tangannya yang mulia. Kedua, setelah mengeluarkan seluruh kotoran kita dan menyerahkan sepenuhnya kepada Rasulullah untuk membersihkannya, kita akan memperoleh kehidupan yang baru. Ketiga, bahwa setiap kehidupan ruhaniah yang baru harus disertai penderitaan dan tangisan. Karena tangisan awan, taman pun tersenyum Karena tangisan bayi, air susu pun mengalir Pada suatu hari ketika bayi tahu cara, ia berkata “Aku akan menangis agar perawat penyayang tiba” Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat Agung Tidak akan berikan susu jika kamu tidak meraung Tuhan berfirman, “Menangislah sebanyak-banyaknya” Dengarkan, anugerah Tuhan ‘kan curahkan air susunya Tangisan awan dan panas mentari Adalah tiang dunia, rajutlah keduanya Jika tak ada panas mentari dan tangisan awan Mana mungkin bakal kembang semua badan Mana mungkin musim silih berganti Jika kemilau dan tangis ini berhenti Mentari yang membakar dan awan yang menangis Itulah yang membuat dunia segar dan manis Biarkan matahari kecerdasanmu terus-menerus terbakar Biarkan matamu, seperti awan, kemilau karena air mata yang keluar Menangislah seperti rengekan anak kecil, jangan makan rotimu karena roti jasmanimu akan mengeringkan air ruhanimu Ketika tubuhmu rimbun dengan dedaunan yang subur Siang malam batang ruhmu melepaskannya seperti musim gugur Kerimbunan tubuhmu adalah kerontangan ruhmu Segeralah, jatuhkan tubuhmu, tumbuhkan ruhmu! Pinjami Tuhan, pinjamkan kerimbunan tubuhmu Tukarkan dengan taman yang merekah dalam jiwamu Berikan pinjaman, kurangi makanan badanmu Biar tampaklah muka yang dulu tak terlihat matamu Ketika badan mengeluarkan semua kotoran keji Tuhan mengisinya dengan mutiara dan kesturi Orang itu telah menukar kotoran dengan kesucian Dari “Dia sucikan kamu”, ia peroleh kenikmatan -Rumi Matsnawi, Buku Kelima 65-149 JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
KEWAJIBAN TERHADAP RASULULLAHSeptember 17, 2024Kitab Perjanjian Al-Quran Al-Karim yang diturunkan kepada Rasulullah Saw untuk disampaikan kepada kita, sebetulnya adalah kitab perjanjian. Al-Quran sendiri sering menyebut kata perjanji­an itu. Hanya kita tidak menamai kitab suci kita, dengan nama perjanjian, kita menyebut kitab suci kita dengan “bacaan”, Al-Quran. Kitab suci terdahulu masih disebut oleh para peng-ikutnya dengan istilah perjanjian. Misalnya orang-orang Kristen menyebut Taurat sebagai Perjanjian Lama dan Injil mereka sebut sebagai Perjanjian Baru. Lepas dari persoalan apakah itu asli atau tidak, tapi mereka masih menyebut kitab sucinya itu kitab Perjanjian. Al-Quran kita sebut Perjanjian juga, antara kita dengan Allah Swt, antara pencipta dengan makhluknya. Al-Quran juga sering menyebut kata perjanjian itu. Dalam bahasa Al-Quran per­janjian itu disebut ‘Ahd, misalnya dalam ayat awfû bi ‘ahdi, ûfi bi ‘ahdikum (Penuhilah oleh kamu perjanjian-Ku, nanti aku laksa­nakan perjanjianmu. Penuhilah janji, karena janji itu akan dimin­tai pertanggung- jawabannya) (Q.S. Al-Baqarah, 2:40). Bahkan Al-Quran men­ceritakan bahwa perjanjian ini pertama kali dirumuskan di alam Dzur. Jauh sebelum kita lahir ke dunia ini, ketika kita berada di alam arwah, kita mengikatkan perjanjian ini dengan Allah Swt. Karena Al-Quran ini Kitab Perjanjian, maka di dalam Al-Quran dijelaskan beberapa hal. Pertama, siapa yang berjanji, yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Pihak kesatu punya hak dan kewajiban, begitupun dengan pihak kedua. Jadi, biasanya perjanjian itu dirinci, disebutkan siapa yang berjanji yaitu pihak kesatu dan pihak kedua. Kemudian hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing dan apa yang terjadi kalau perjanjian itu dilanggar. Al-Quran juga begitu, seluruh surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran merupakan perjanjian, misalnya: kita lihat QS Ar-Rahman. Ar-Rahman itu pihak pertama, yaitu Allah Swt yang membuat perjanjian dengan kita. Kemudian Allah menyebutkan kewajiban-kewajiban Allah kepada manusia yang menjadi pihak kedua, yaitu bahwa Allah menciptakan dia, mengajarkan Al-Quran, mengajarkannya kemampuan berbicara, berfikir, menjadikan matahari dan bulan yang semuanya tunduk kepada Tuhan, juga gemintang dan pepohonan. Setelah itu Tuhan menyebutkan, “seakan-akan Aku sudah melaksanakan kewajiban-kewajiban-Ku, kemudian apa kewajiban kamu (manusia)”, Ala tatghau fil mizan (hendaknya kamu jangan melewati batas, jangan melewati perjanjian ini, jangan langgar perjanjian ini). Kemudian Tuhan menjelaskan lagi kewajiban-Nya Allah hamparkan bumi bagi seluruh makhluk, di dalam bumi itu Tuhan ciptakan buah-buahan dan kurma-kurma dengan ma­yangnya yang terurai, biji-bijian yang mempunyai rasa dan harum tertentu, maka nikmat Tuhan yang mana yang kalian dustakan?” (Q.S. Al-Rahman, 55:10-13) Surat Ar-Rahman itu semua berisi, secara bersambung, hak dan kewajiban Allah serta hak dan kewajiban manusia. Semua surat begi­tu, bahkan surat yang paling pendek sekalipun, termasuk di antara­nya surat Al-Fatihah. Pada surat Al-Fatihah, seluruh perjanjian kita dengan Allah disingkatkan dalam Ummul Kitab, artinya induk dari seluruh Al-Quran, abstrak dari seluruh Al-Quran. Abstrak itu ialah singkatan yang menghimpun seluruhnya.Disebutkan dalam Al-Fatihah, pihak pertama yang membuat perjanjian dengan kita, yaitu Allah Swt dengan segala sifat-sifat-Nya dan dengan segala kewajibannya kepada kita. Bis­millahirahman dan seterusnya sampai maaliki yaumiddin, adalah kewajiban Allah pada kita. Pertama, nama yang membuat perjanjian pihak pertama adalah Allah. Kemudian di antara kewajiban Allah kepada kita adalah Ar-Rahman Ar-Rahim, Allah menyayangi kita, itu adalah kewajiban-Nya. Dalam Al-Quran disebutkan Kataba ala naf­sihi rahmah (Q.S. Al-An’am, 6:12) Tuhan mewajibkan kepada diri-Nya menyayangi kamu. Jadi itu kewajiban Allah kepada kita. Kemudian, Tuhan menganu­grahkan kenikmatan kepada kita, dengan memelihara seluruh alam semesta ini, dan akan mengadili kita dengan adil pada hari pembalasan. Lalu disebutkanlah kewajiban kita kepada Allah. Sing­katnya kewajiban kita pada Allah ada dua, yaitu Iyyakana budu wa iyya kanasta’in. Yang pertama ialah beribadah kepada-Nya, itu adalah hak Allah kepada kita dan kewajiban kita kepada Allah Swt. Termasuk kewajiban kita kepada Allah, yaitu meminta tolong kepada-Nya, meminta bantuan-Nya. Kata ibadah ini juga berarti kita taat. Ketaatan kepada Allah adalah kewajiban kita kepada-Nya. Ibadah dalam arti khusus adalah membaca do’a dan shalat, sedangkan ibadah dalam arti luas adalah ketaatan kepada Allah dan itu kewajiban utama kita kepada Allah. Bahkan Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, wamâ khalaqtul jinna wal insa illâ liyâbudûn. Imam Ali bin Husayn as berkata: Adapun hak Allah yang agung adalah engkau itu beribadah kepada-Nya, janganlah kamu musyrik kepada-Nya sedikit pun. Kalau engkau telah melakukan ibadah itu dengan ikhlas, maka kewajiban Allah terhadap diri-Nya ialah Allah akan mengurus urusan kamu di dunia dan di akhirat. Allah akan cukupi keperluan kamu di dunia dan di Akhirat dan Allah akan menjaga kamu dengan apa yang kamu sukai. Jadi disebut­kan juga kewajiban kita dan Allah Swt. Hak Allah yang paling besar ialah kita menyembah-Nya dan hak kita ialah Allah mencukupi keperluan kita di dunia dan di akhirat, menjaga kita, dan memeli­hara kita seperti yang kita inginkan. Ibadah adalah kewajiban pertama kita yang paling besar kepada Allah Swt. Allah dalam perjanjian-Nya tidak meminta apa-apa kepada kita, tidak meminta imbalan apa-apa. Allah hanya memer­intahkan kita beribadah kepada-Nya. QS Adz-Dzariyat 56-57, Allah Swt berfirman: “Aku tidak ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku, Aku tidak meminta dari mereka itu rizki, Aku juga tidak minta mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah adalah pemberi rizki yang memiliki kekuasaan yang perkasa” (Q.S. Al-Dzariyat, 51:56 dan 57) Kewajiban kita yang kedua adalah bertawakal kepada-Nya, kita harus bergantung kepada-Nya. Kita harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada siapa pun dan harus menggantungkan diri kita kepada Allah saja. Karena itu orang-orang sufi sering menga­takan supaya kita sampai kepada ketergantungan yang sempurna kepada Allah, maka setiap orang yang sedang merintis jalan mendekati Allah Swt di pertengahan jalan akan diuji Tuhan berkali-kali. Yaitu, akan dibuatnya mende­rita karena ketergantungan selain kepada Allah. Jadi kalau orang ini sangat cinta kepada anaknya, sangat tergantung hidupnya kepada anaknya, anak yang dicintainya itu akan diambil Tuhan supaya dia kembali bergantung kepada-Nya. Begitu pun jika ada orang yang sangat tergantung kepada suaminya, kalau Tuhan menghendaki dia sampai kepada puncak tawakal yang tinggi, Tuhan akan mengambil suaminya supaya putuslah ketergantungan dia kepadanya dan hanya bergantung kepada Allah Swt. Kalau orang itu kebahagiaan dan penderitaannya sangat bergantung kepada harta, sehingga harta itu yang menjadi kesibukannya saja setiap hari, jika Tuhan ingin mendekatkan orang itu kedekat-Nya dan kehari­baan-Nya, agar orang itu menjadi pencinta Allah yang sejati, maka diberinya kesulitan dalam urusan harta bendanya. Diberinya keku­rangan sehingga dia datang kepada Allah dan bergantung lagi kepada-Nya, lalu dia mengucapkan Iyyâ kana’ budu wa iyyâ kanas­ta’în, kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami meminta tolong.Kemudian Allah jelaskan apa sanksinya kalau orang itu tidak menjalankan kewajibannya. Apa untungnya kalau kita mengikuti perjanjian itu? Disebutkan kalau kita men­gikuti perjanjian itu kita akan diberi petunjuk oleh Allah Swt, kita ditempatkan kepada golongan orang-orang yang diberi kenikma­tan. Apa yang terjadi kalau kita melanggar perjanjian itu? Kita akan dimurkai Allah Swt dan kita termasuk orang yang sesat. ghairil maghdubi alayhim Jadi sekali lagi Al-Quran adalah Kitab Perjanjian kita dengan Allah Swt, tetapi di dalam Al-Quran juga dijelaskan bukan hanya hak dan kewajiban kita terhadap Allah tapi hak dan kewajiban kita terha­dap sesama manusia, hak dan kewajiban kita terhadap para Nabi, hak dan kewajiban kita terhadap para Imam, dan terhadap makhluk Allah yang lainnya. Saya ingin membicarakan selain hak-hak kepada Allah Swt yang tercantum dalam Iyyâ kana’ budu wa iyyâ kanasta’în, juga hak-hak Nabi kepada kita dan hak-hak kita kepada Nabi. Dengan kata lain apa kewajiban Nabi kepada kita dan apa kewajiban kita terhadap Nabi Saw. Mungkin kita akan banyak membicarakan kewajiban kita kepada Nabi.Kewajiban Nabi Kewajiban Nabi yang pertama ialah menyampaikan risalah Allah Swt kepada kita, menyampaikan bimbingan Allah kepada kita. Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa diusir dari surga, kemudian Iblis meminta tempo kepada Tuhan agar diizinkan untuk menyesatkan umat manusia, Tuhan berkata: “Kami akan kirim kepada kamu semua, Kami akan kirim para Rasul”. Dan sepanjang sejarah, Tuhan kirimkan para Rasul. Kewajiban Rasul Saw sama seperti kewajiban para nabi sebelum­nya, yaitu membawa manusia ke jalan Allah Swt dan membawa risalah. Karena itu sebelum Nabi meninggal dunia, beliau kumpul­kan umatnya di sebuah tempat pada tanggal 18 Dzulhijah. Ketika pulang dari ibadah haji Rasul sampai kepada sebuah Oase yang bernama Ghadir Khum. Di situ Rasul mengumpulkan para sahabat, dan yang pertama kali Rasul tanyakan kepada seluruh sahabat, yang berjumlah ratusan ribu itu, ialah pertanyaan mengenai Hal ba­laghtu, kemudian kepada Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda: “Ya Allah apakah aku sudah menyampaikan risalah yang Engkau perintah­kan kepadaku”. Semua sahabat berkata: “Betul engkau sudah menyam­paikan risalah itu”. Kalau kita ziarah ke makam Rasulullah Saw yang sangat dianjurkan di bulan Maulid, sambil mengenang Nabi kita melakukan ziarah, walaupun dari tempat yang sangat jauh. Di antara do’a dalam ziarah kepada Nabi Saw ialah: “Ya Rasulullah, engkau sudah menyampaikan risalah, aku bersaksi engkau sudah menyampaikan risalah, engkau bahkan sudah disakiti dalam menyam­paikan risalah itu”. Rasulullah menderita karena menyampaikan risalah. Sama seperti menderitanya orang yang mau membantu orang lain, tapi orang yang mau kita bantu itu malah tidak mau dibantu, bukan saja tidak mau dibantu malah orang itu mau membunuh orang yang mau membantunya. Seperti itulah penderitaan Rasulullah Saw. Semua Nabi dalam Al-Quran berkata: “Sudah aku sampaikan kepada kalian risalah Tuhanku”. Kewajiban Nabi, khususnya Rasulullah Saw adalah juga memberikan syafaat kepada umatnya, kepada yang dicintainya dan kepada yang mengikutinya. Dalam satu hadits Nabi Saw bersabda: “Syafaatku aku khususkan kepada umatku”. Jadi syafaat Rasulullah khusus diberikan kepada umat-nya, artinya yang mendapat syafaat mestilah umat Rasulullah Saw. Dengan kata lain yang mendapat sya­faat pastilah seorang mukmin. Orang kafir tidak akan mendapat syafaatnya. Ada hadits dalam Shahih Muslim dan Shahih Bukhari yang terkenal sebagai hadits Al-Dhahdhah, Nabi berkata: “Aku memberi syafaat kepada pamanku Abu Thalib, dia ditarik dari neraka yang paling bawah sampai ke atas, sehingga Abu Thalib hanya disiksa sampai ke mata kakinya saja, tapi otaknya bergolak karena panas­nya”. Ada orang yang berkata bahwa itu menunjukkan Abu Thalib kafir, karena dimasukan ke dalam neraka. Tapi itu juga dalil bahwa Abu Thalib muslim karena dia mendapat syafaat Rasulullah Saw, karena syafaat Rasulullah hanya diberikan kepada umatnya. Jadi itu dalil, bahwa sekiranya hadits itu betul, itu menunjukkan tentang keisla­man Abu Thalib, karena yang dimasukkan ke neraka bukan hanya orang kafir, orang Islam juga. Jadi, kewajiban Nabi ialah memberikan syafaat kepada kita. Dan karena itu, kita dianjurkan memohon syafaat Rasulullah Saw. Bagaimana kita mengharapkan syafaat Rasulullah Saw, kalau kita tidak pernah meminta kepadanya. Walaupun Nabi itu penuh kasih sayangnya, sehingga mungkin saja ia memberi syafaat kepada orang-orang yang tidak mau meminta syafaat kepadanya, karena besarnya kasih sayang Nabi kepada kita. Kewajiban Nabi juga adalah menyayangi kita: Sudah datang kepada kalian seorang Rasul, yang sedih hatinya melihat penderitaan kalian, yang sangat senang kalau kalian memperoleh kebahagiaan, yang sangat pengasih dan sangat penyayang kepada kaum mukminin (Al-Taubah, 9:128). Boleh jadi Rasulullah akan memberi syafaat kepada orang yang tidak pernah meminta syafaat karena kasih sayangnya. Hanya orang itu keterlaluan, dia tidak pernah merasa ingin meminta syafaat kepada Rasulullah Saw. Mungkin dia merasa dirinya paling shaleh, sehingga tidak memerlu­kan lagi syafaat Rasulullah atau dia merasa sudah pasti masuk surga, karena itu tidak memerlukan Rasulullah Saw. Apa ada orang yang tidak pernah meminta syafaat Rasulullah di kalangan kaum muslimin? Ada, misalnya orang yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak bisa memberikan syafaat. Yang bisa memberi syafaat itu hanya Allah saja. Juga orang-orang yang tidak mau membaca do’a tawasul, karena dalam do’a tawasul ada yang berbunyi ‘Wahai Rasulullah, wahai nabi yang membawa rahmat, kami ini memo­hon syafaat kepada-mu, kami tawasul kepadamu, wahai yang mulia di sisi Allah, berilah syafaat kepada kami di sisi Allah”. Saya kira Rasulullah Saw mendengar rintihan umatnya yang meminta syafaat, apalagi kalau diucapkan terus-menerus. Kewajiban Rasulullah Saw yang lain ialah meminta ampunan untuk kita. Kita minta juga Rasulullah untuk mendo’akan kita. Kewajiban Kita Kemudian kewajiban yang pertama kepada Rasulullah Saw adalah menaati Rasulullah Saw. Sebagaimana ibadah adalah kewaji­ban pertama kepada Allah, kewajiban pertama kita kepada Rasulul­lah Saw ialah menaatinya. QS Al-Hasyr : 7 “Apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, ambillah oleh kamu. Apa yang dilarang oleh Rasu­lullah Saw, tinggalkanlah. Bertakwalah kamu kepada Allah Swt, sesungguhnya Allah itu sangat berat siksanya”. Kita lihat apa sanksinya kalau kita tidak mentaaati Rasulullah Saw. Apa contoh­nya kita ini mentaati Rasulullah Saw itu, yaitu semua yang diper­intahkan Nabi, baik dalam urusan dunia dan urusan akhirat harus kita laksanakan. Dahulu ada di antara sahabat yang berpendapat bahwa hanya perintah Nabi yang berkenaan dengan ibadah saja yang harus diikuti, kalau Nabi itu memerintahkan urusan keduniaan tidak harus diikuti. Jadi hal-hal yang berkenaan dengan dunia tidak harus diikuti, misalnya: Nabi mengangkat seorang pemimpin. Itu urusan dunia dan tidak harus diikuti. Pernah ada rombongan datang menemui Nabi Saw, meminta kepada Nabi agar menunjuk pemimpin untuk kelompok itu, tapi sebelum Nabi Saw menyampaikan siapa yang harus ditunjuk, Abu Bakar berkata: “sudah kita angkat saja Al-Aqra bin Hâbis”, Umar berkata: “Tidak, jangan dia yang diangkat, kita angkat saja Fulan Ibnul Fulan”. Kemudian mereka bertengkar di hadapan Nabi Saw sehingga turunlah ayat Al-Quran yang memperingatkan mereka. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Bertakwa-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu di atas suara Nabi…” (Q.S. Al-Hujurat, 39:1-2) Sehingga katanya menurut riwayat, Umar bin Khatab setelah itu, kalau berbicara di hadapan Nabi ia berbicara seperti hampir berbisik, karena kuatir suaranya lebih tinggi dari suara Rasulul­lah Saw. Itu contoh bahwa ada sebagian di antara sahabat yang menduga bahwa hanya perintah Rasulullah yang berkenaan dengan ibadah saja yang harus diiikuti, perintah-perintah Rasulul­lah yang berkenaan dengan urusan keduniaan tidak usah diikuti. Pernah Nabi membuat perjanjian Hudaibiyah, sebagian sahabat protes tidak setuju dengan perjanjian yang dibuat oleh Nabi karena merasa terlalu mengalah kepada orang-orang kafir. Sampai ada salah seorang sahabat mengatakan: “Alaysa huwa Rasulullah?” Apa betul dia ini Rasulullah? Betul dia ini Rasulullah. Dia datang lagi kepada yang lain dan bertanya serupa, apa benar dia ini Rasulullah. Karena tidak yakin, dia datang sendiri kepada Rasulullah “Apakah benar engkau Rasulullah?” Benar, saya ini Rasulullah, kata Rasulullah. Tetapi orang itu tetap protes dengan pernyataan itu. Bahkan pada waktu itu bukan saja urusan dunia yang ditolak oleh mereka, juga urusan ibadah. Waktu itu karena tidak jadi melakukan umrah, tidak jadi masuk ke kota suci Makkah, Rasulullah meminta para sahabat itu menggunting rambut mengakhiri ihram walaupun tidak sampai ke Makkah. Sahabat-sahabat tidak mau melaksanakan perintah nabi, mereka tinggal di kemahnya masing-masing. Tidak ada yang mau keluar untuk menggunting rambut. Akhirnya Ummu Salamah (istri Nabi) berkata: ”Ya Rasulullah, perlihatkan saja kepada mereka”, lalu Rasulullah menggunting rambutnya. Barulah kemudian semua meng­gunting rambut juga. Jadi kewajiban kita ialah mentaati Rasulul­lah Saw, dalam segala perintahnya, baik yang bersangkutan dengan urusan dunia maupun yang bersangkutan dengan urusan ibadah. Jadi, kalau Rasulullah mengangkat pemimpin buat kita sepeninggalnya, maka kita pun harus ikuti perintah itu, walaupun itu tidak terma­suk urusan ibadah. Salah satu tanda kita mengikuti Rasulullah Saw ialah kita tidak boleh bimbang kalau sudah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya, kita tidak boleh ragu-ragu. QS Al Ahzab : 36 “Tidak boleh seorang muslim, laki-laki maupun perempuan, kalau Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan urusannya, lalu mereka punya pilihan mereka sendiri, siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia sudah sesat, dengan sesat sebenar-benarnya” . Jadi artinya tidak ada hak kita untuk mengajukan pendapat sendiri kalau Rasulullah sudah memutuskan. Tidak boleh kita mengambil jalan yang lain kalau Rasulullah Saw sudah menunjukkan-nya dan jangan merasa bahwa pendapat kita lebih baik dari pada tuntu­nan Rasulullah Saw. Dahulu, pada tanggal 18 Dzulhijjah itu, ketika Rasulullah berbicara di hadapan kaum muslimin waktu itu dan kemudian mengangkat Imam Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin sepening­galnya, dengan mengatakan: “Man kuntu maulahu, fa hadza ‘Aliyyun maulahu” siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali diangkat juga sebagai pemimpinya. Sampai ke Madinah ada orang Islam mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Muhammad, engkau ini sudah memperoleh kemenangan, engkau ini sudah jadi penguasa di seluruh Jazirah Arabiah. Engkau cantumkan namamu di dalam adzan. Rupanya engkau tidak puas juga, sekarang engkau angkat kemenakan­mu sebagai pemimpin sepeninggalmu, apa ini betul dari Allah? Kemudian Rasulullah berkata: ”Ini betul perintah dari Allah Swt”. “Kalau benar itu perintah dari Allah Swt, saya tan­tang adzab Tuhan”. Waktu itu juga, Halilintar menyambarnya dan membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Kata sebagian ahli tafsir, itulah yang menjelaskan ayat Al-Quran, “Seseorang menantang untuk mendapatkan adzab dari Allah Swt. Bagi sang kafir adzab itu tidak bisa dihindarkan olehnya” (Q.S. Al-Ma’arij, 70:1). Itu berkenaan dengan orang-orang yang ragu-ragu menerima keputu­san Rasulullah Saw. Kewajiban yang kedua adalah mencintai Rasulullah Saw. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: “Tidak beriman kamu, sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu, keluargamu, dan seluruh umat manusia”. Kita mungkin mencintai Rasulullah walaupun mungkin kita lebih cinta diri kita, keluarga kita, harta kita. Tapi ada bukti-bukti bahwa kita masih cinta kepada Rasulullah Saw. Misalnya, kalau ada yang menghina Rasulullah Saw, mencemoohkannya, kita marah. Itu pertanda bahwa masih ada sinar kecitaan kita kepada Rasulullah Saw. Kalau ada orang yang mendengar Nabi dihina, tapi dia tidak tersinggung sedikitpun, itu pertanda sudah hilang seluruh unsur kecintaan dalam dirinya kepada Rasulullah Saw. Dulu ketika Salman Rusdhie menghina Rasul, seluruh dunia Islam marah (sebagian besar). Sehingga kata Annemarie Schimel yang menulis buku Dan Muhammad Utusan Allah , “ Di dunia Islam, anda boleh menghina Tuhan, orang-orang tidak akan marah kalau Tuhan dicemoohkan. Tapi orang Islam akan marah kalau Rasulullah dihinakan atau direndah­-kan”. Itu pertanda bahwa kita masih memiliki sinar kecintaan kepadanya. Saya akan bacakan beberapa hadits tentang kecintaan sahabat-sahabat Nabi kepada Rasulullah. Dari Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib as: “Seorang laki-laki Anshar datang menemui Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasulullah, saya tidak berpisah dengan eng­kau. Kadang-kadang saya sudah masuk ke rumah, saya ingat engkau. Lalu saya tinggalkan barang-barang saya, saya datang menemuimu, saya pandang wajahmu dengan penuh kecintaan kepadamu, lalu aku ingat nanti pada hari kiamat engkau dimasukan ke surga yang tinggi dan aku ditempatkan di tempat yang lain”. Turunlah ayat ini, An-Nisa:69 “Barang siapa taat yang kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan digabungkan dengan orang-orang yang diberi nikmat, yaitu para Nabi, para shidiqin, para syuhada, para sholihin dan alangkah indahnya bergabung dengan mereka”. Kemudian Nabi membaca-kan ayat ini kepada orang itu, dan meng-gembirakannya, bahwa kalau kamu mencintai Nabi, kamu akan digabungkan beserta Nabi. Dari Anas bin Malik RA: “Datang seorang penduduk kampung, kami keheranan karena penduduk kampung datang menemui Nabi, kemudian bertanya kepada Nabi Saw: “Ya Rasulullah kapan kiamat itu akan tiba?”. Karena waktu shalat sudah datang, maka Rasulullah tidak segera menjawabnya namun segera melakukan shalat. Setelah beliau shalat, beliau berkata: “Mana itu, orang yang bertanya tentang hari kiamat?” “Saya, Ya Rasulul­lah”, kemudian Rasulullah berkata: “Apa yang kamu siapkan untuk hari kiamat?”. Orang itu berkata, “Demi Allah, aku tidak memper­siapkan amal shalat atau shaum yang banyak, kecuali aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Nabi bersabda: ”Orang itu akan digabungkan dengan orang yang dicintainya”. Kata Anas bin Malik: “Aku belum pernah melihat orang Islam begitu bahagia setelah masuk Islam, seperti ketika mendengar pernyataan Nabi, bahwa siapa yang mencintai Nabi, akan digabungkan bersama Nabi pada hari kiamat”. Diriwayatkan dari Abi Abdillah as. Dia berkata: “Ada seseorang di Madinah yang pekerjaannya menjual minyak. Dia sangat mencintai Rasulul­lah, dengan kecintaan yang luar biasa. Apabila dia bermaksud memenuhi keperluannya, dia belum pergi sebelum, memandang wajah Rasulullah. Dia dikenal di kalangan sahabat, sebagai tukang menatap Rasulullah, apabila dia datang dia mau berlama-lama dengan Rasulullah Saw dan memandangnya, sampai pada suatu hari masuk­lah dia menemui Rasulullah Saw, lalu Rasulullah pun bersamanya berlama-lama, sampai dia puas memandang wajah Rasulullah, setelah itu dia pergi. Tapi tidak lama kemudian, dia datang kembali menemui Rasulullah. Ketika Rasulullah melihatnya, buru-buru Rasulullah balik lagi. Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya supaya dia duduk, lalu duduklah orang itu di hadapan Nabi, lalu Nabi bertanya: ”kenapa kamu lakukan hal ini yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya?”. Lalu dia berka­ta: ”Ya Rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan membawa kebe­naran sebagai Nabi, ketika tadi aku pergi hatiku dipenuhi kenang-an kepadamu, sehingga aku tidak bisa melakukan pekerjaan apapun karena teringat kepadamu. Karena itu aku buru-buru kembali kepa­damu. Lalu dia minta izin kepada Rasulullah untuk memandang wajah­nya lagi. Rasulullah mendoakannya dan mengatakan yang baik-baik untuknya. Setelah peristiwa itu Rasulullah Saw tidak melihat lagi orang itu. Ketika Rasulullah tidak melihatnya, Rasulullah bertanya: “Kemana dia?” dikatakan kepada Nabi “Ya Rasulullah kamipun tidak melihat dia sudah berhari-hari”. Rasulullah mengambil sandalnya diikuti oleh para sahabatnya. Rasulullah berangkat ke pasar ke tempat penjual minyak itu. Ternyata di toko orang itu tidak ada seorangpun. Beliau bertanya kepada tetangganya di situ. Orang itu berkata: “Ya Rasulallah, pedagang minyak itu telah meninggal dunia”. Orang-orang memberi komentar tentang dia “Ya Rasulullah orang ini terkenal di antara kami sebagai pedagang yang jujur, terpercaya, dan memelihara amanah, hanya ada satu saja”. Lalu Rasulullah berkata: ”Apa yang satu itu”. Mereka berkata: “dia ini senang perempuan (bukan melakukan maksiat)”. Lalu kata Rasulullah: “Sungguh dia ini sangat mencintaiku, sekiranya dia ini tidak jujur dalam dagangnya, Tuhan akan mengampuni-nya karena kecintaannya kepadaku”. Minggu yang lalu kita berbicara tentang hak-hak Rasulullah Saw. kepada kita atau dengan perkataan lain, kewajib-an kita terhadap beliau, kalau kita menerima beliau sebagai junjungan kita. Saya ingin melanjutkannya dengan membacakan kisah, yang diceritakan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, kitab yang kelima. Sebelumnya, saya ingin memperkenalkan siapa Jalaluddin Rumi dan apa Matsnawi ini. Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi yang terkenal. Dia lebih dikenal sebagai Maulana, sehingga dahulu ketika saya di Iran, banyak orang Iran memanggil saya Maulana, karena nama saya mengingatkan kepada Jalaluddin Rumi. Sama-sama berinisial JR. Dia mendirikan sebuah tarekat yang jejak-jejaknya sampai sekarang masih bisa kita ikuti. Orang yang disebut Dar­wisy, mengikuti tarekat Jalaluddin Rumi dan biasanya mereka melakukan riyadhah-riyadhah mereka dengan membacakan puisi-puisi dan menari-nari berkeliling. Setiap setahun sekali, para pengikut Jalaluddin Rumi ini berkumpul di Konya, Turki. Mereka bisa me­nari-nari selama berjam-jam, berkeliling-keliling seperti gerakan seluruh alam semesta, atau seperti gerakan orang yang thawaf. Itu dilakukan berjam-jam tanpa rasa lelah. Salah seorang di antara ahli koreografi Indonesia, Roy Julius Tobing pernah terpesona dengan keindahan mistik dari tarian kelompok Rumi ini. Ketika ia menonton itu, seperti sebuah sinar ruhaniah masuk ke dalam hatinya. Ketika ia pulang ke Indonesia, ia menjadi seorang muslim yang shaleh dan dia sampai sekarang sedang berusa­ha untuk mempersembahkan karya besarnya dalam koreografi untuk Allah Swt., terinspirasi oleh para penari dari tarekat Rumi. Jalaluddin Rumi juga menulis banyak puisi di dalam bahasa Parsi, walaupun dianggap orang Turki oleh orang Turki, orang Iran oleh orang Iran, orang Kurdi oleh orang Kurdi. Orang-orang besar itu biasanya ketika hidup, diusir oleh semua bangsa. Setelah dia mati, semua bangsa ingin mengakuinya. Misalnya Jamaluddin Al-Afghani. Dia diusir dari tanah kelahirannya. Dia tidak disukai oleh beberapa orang penguasa di zamannya. Dia pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Setelah ia meninggal dunia di Turki, orang Afghan menganggap dia sebagai orang Afghan. Orang Iran menganggap dia sebagai orang Iran, sehingga sesudah namanya disebut Jamaluddin Astarabadi. Orang Turki juga menyebutnya orang Turki, karena kuburannya sampai sekarang ada di Turki. Seperti itulah Jalaluddin Rumi. Salah satu keistimewaannya ini, dia menceritakan tentang perjalanan ruhaniah seorang sufi dengan puisi-puisinya. Yang paling terkenal di antara kumpulan puisinya adalah Matsnawi. Terdiri dari enam jilid. Rumi ini pernah terke­san dengan tulisan Fariduddin Al-Ahâr, yaitu Manthiq Al-Thayr, yang menceritakan perjalanan ruhani dengan cerita serombongan burung. Kemudian Rumi menulis puisi-puisinya di dalam bentuk cerita. Kata Nicholson, yang menghabiskan waktu­nya untuk berspesialisasi dalam karya-karya Rumi, dalam kumpulan Matsnawi ini (disebut Matsnawi karena satu baitnya itu ada dua baris) terkumpul nasihat ruhaniah, humor, ironi, sarkasme, dan metafora-metafora yang sangat tinggi. Ada seorang sufi perempuan dari Barat yang kebingungan ketika dia membaca Matsnawi pertama kalinya. Dia merasa tulisannya itu tidak sistematis. Dia tidak berhasil menangkap isi buku Matsnawi. Tapi setelah dia berulang-ulang membacanya, kemudian ia sudah mengikuti riyadhah-riyadhah Tashawuf, dia mulai memahaminya. Sekarang Matsnawi menjadi satu perbenda-haraan sumber hikmah yang luar biasa. Matsnawi ini belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kecuali kutipan-kutipannya saja. Yang saya pegang saat ini pun terjemahannya dalam Bahasa Inggris, dan saya jamin kalau TOEFL anda tidak mencapai 600, anda akan sulit memahami kata-kata Inggris yang dipergunakan untuk menerjemahkan karya Matsnawi ini. Saya juga heran kenapa dia harus mencari kata-kata sulit. Mungkin dia ingin memelihara aroma klasik dari Matsnawi pada teksnya yang asli dalam bahasa Persia. Terjemahannya hampir literal, dan ketika dia tidak bisa menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan bagus, Nicholson menerjemahkannya ke dalam Bahasa Latin. Jadi, kalau nanti saya baca terjemahan ini kemudian sampai kepada Bahasa Latin, Bahasa Latinnya ini tidak saya terjemahkan. Perta­ma, karena saya tidak mengerti. Kedua, karena tampaknya Nicholson juga mau menyembunyikan ketidakmengertiannya di dalam bahasa klasik. Itulah Matsnawi. Sekarang ini, ada jurnal Tashawuf internasional. Namanya Sufi Journal, yang dalam setiap terbitannya selalu mengutip kisah-kisah yang diceritakan Rumi dalam Matsnawi-nya, tapi diceri­takan dalam bahasa yang sederhana. Saya tidak akan mener-jemahkan­nya dalam bahasa yang sederhana. Saya percaya kepada anda untuk memahami cerita ini. Mudah-mudahan bisa, saya baca: “Orang-orang kafir menjadi tamu Rasulullah. Mereka datang ke Mesjid ba’da Maghrib sambil berkata, “Kami datang ke sini sebagai tamu, mengharapkan keramah-tamahan yang punya rumah. Duhai Baginda yang menjadi penghibur semua penduduk dunia ini, kami ini orang yang kelaparan, datang dari tempat yang jauh. Sebarkan sebagian berkahmu dan sinarilah kami.” Lalu Nabi Saw. berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Para sahabatku, bagilah tamu-tamu ini di antara kalian, karena kalian dipenuhi aku dan dipenuhi dengan tabiatku, sebagaimana seluruh tentara dipenuhi dengan diri raja. Sehingga mereka mau menarik senjata atas nama raja melawan musuh-musuhnya. Karena kemarahan rajalah kamu menarik pedang, kalau bukan karena kemarahan raja, mengapa kamu mau melawan saudara kamu sendiri?. Dari bayangan kemarahan raja, kamu serang saudaramu yang tak bersalah dengan pedangmu. Raja adalah satu jiwa dan seluruh armada dipenuhi dengan dirinya. Ruh seperti air dan tubuh kita ini seperti hamparan dasar sungai. Jika air dari ruh raja itu manis, maka seluruh hamparan sungai dipenuhi dengan air yang manis, karena hanya hukum rajalah yang berlaku kepada para peng­ikutnya, seperti itulah kekuasaan …. Setiap sahabat kemudian memilih seorang tamunya, di antara tamu-tamu itu ada seorang kafir yang tubuhnya sangat besar sehingga tak seorang sahabat pun mengambil-nya. Jadi tingga­lah ia di Mesjid, seperti ampas tinggal di cangkir kopi. Ketika ia ditinggalkan oleh semua orang, Al-Musthafa mengambilnya. Di antara ternak milik Al-Musthafa, ada tujuh kambing yang selalu memberikan air susu dan kambing-kambing itu disediakan di dekat rumah untuk diambil air susunya sebagai persiapan menghadapi waktu makan. Raksasa besar putra Gusy dari Turki itu memakan habis roti dan makanan yang lain, dan susu dari tujuh ekor kamb­ing itu. Seluruh penghuni rumah marah, karena mereka meng-inginkan susu kambing itu. Ia membuat perut-nya yang rakus seperti sebuah drum (tong). Ia memakan habis makanan untuk 18 orang. Pada waktu tidur ia pergi masuk ke kamarnya dan duduk di situ, kemudian pembantu dengan marah menutup pintunya. Pembantu itu mengikatkan kunci pintu dari luar karena ia marah kepadanya. Menjelang subuh orang kafir ini didesak oleh kebutuhan alamiahnya dan perutnya sakit. Ia meninggalkan tempat tidurnya menuju pintu, meletakan tangannya di atas gerendel pintu dan menemukan pintu itu terkunci. Orang yang cerdik ini menggu­nakan berbagai alat untuk membuka pintu, tetapi kunci pintu itu tetap tak terbuka. Dorongan alamiahnya makin mendesak dan kamar itu sangat sempit. Ia berada di dalam penderitaan yang tidak ada obatnya dan kebingungan. Ia membuat gerakan-gerakan kecil dan merangkak untuk bisa tertidur. Dalam ngantuk-nya ia bermimpi bahwa ia berada di sebuah tempat yang terasing, karena tempat asing itu ada dalam pikirannya, mulailah ia masuk ke dalam tidurnya.Tanpa terasa kemudian orang kafir itu mengeluarkan kotoran di rumah. Ketika terbangun ia menangis, “Celakalah daku”. Ia menangis seperti tangisan orang-orang kafir di dalam kuburan. Ia menunggu sampai malam berakhir dan suara pintu terbuka sampai kepada telinganya, supaya ia bisa lari seperti melesatnya anak panah yang lepas dari busurnya. Supaya orang tidak melihat kehina-an yang sedang dideritanya. (Cerita ini panjang, tapi saya akan memendekkannya). Pintu terbuka, kemudian ia bisa melepaskan dirinya dari kesedihan dan deritanya. Pada waktu subuh, Al-Musthafa datang dan membuka pintu. Menjelang fajar ia berikan jalan keluar kepada orang yang sudah kehilangan jalan. Musthafa membuka pintu, dalam keadaan tersembunyi, supaya orang menderita itu bisa keluar tanpa rasa malu, bisa berjalan dengan penuh keberanian dan tidak melihat punggung atau wajah sang pembuka pintu. Mungkin Al-Musthafa ber­sembunyi di balik sesuatu atau Jubah Tuhan menyembunyi-kan, menu­runkan tirainya dari orang-orang kafir. Shibghatullah, celupan Allah, kadang-kadang tertutup dan tirai yang misterius menghalangi para pemandangnya, sehingga ia tidak melihat musuh di sampingnya. Kekuatan Tuhan lebih dari itu. Al-Musthafa melihat apa yang terjadi pada orang kafir di malam hari itu, tetapi perintah Tuhan menahannya untuk tidak segera membuka pintu, sebelum derita itu dialami oleh orang kafir. Sebelum ia jatuh kepada kesusahan dan rasa malu, kalau bukan karena perintah Tuhan, Al Musthafa sudah lama membuka pintu itu. Tetapi di balik kebijakan Tuhan dan perintah langit itulah, Al-Musthafa melakukan tindakannya, yang seakan-akan menunjukkan bahwa Al-Musthafa memusuhinya. Banyak sekali tindakan permusuhan itu sebe­tulnya persahabatan dan banyak sekali tindakan yang kelihatannya menghancurkan padahal menghidupkan. Seorang sahabat yang suka men-campuri urusan orang, datang ke hadapan Nabi membawa kain yang sudah kotor, karena kotoran orang kafir itu, ia berkata: “Lihat, tamu anda sudah melakukan sesuatu yang buruk.” Tapi Nabi tersenyum dengan senyuman rahmatan lil ‘alamîn, beliau berkata: “Ambillah ember air ke sini, biarkan aku sendiri yang akan member­sihkannya dengan tanganku”. Setiap sahabat meloncat dan berteriak: “Demi Tuhan, bukankah seluruh jiwa dan tubuh kami menjadi tebusan bagi engkau, biarlah kami yang akan membersihkan kotoran ini. Serahkan ini pada kami. Membersihkan kotoran ini adalah kerja tangan bukan kerja hati. Wahai La Amruk (panggilan Allah Swt kepada Nabi dalam QS 15:72, yang artinya demi kehidupanmu). Wahai zat yang Tuhan bersumpah dengan kehidupannya yang telah menjadikannya khalifah dan meletakannya di atas singgasana, kami ini hidup untuk berbakti kepada anda. Kalau anda sendiri melaku­kan kebaktian itu, lalu apa jadinya kami ini semua”. Nabi berkata: “Saya tahu, ini peristiwa yang luar biasa dan saya punya alasan untuk mencucinya dengan tangan saya sendiri”. Mereka menunggu seraya berkata: “Ini kata-kata Nabi, mesti ada misteri dan hikmah di baliknya”. Nabi Saw. sibuk membersihkan kotoran itu, dengan semata-mata memenuhi perintah Tuhan, bukan karena mengiku­ti secara taklid dan bukan mengharapkan pamrih, karena hatinya berkata: “Cucilah kotoran itu, karena di baliknya ada hikmah yang tersembunyi”.Orang kafir yang malang itu mem-punyai azimat sebagai kenang-kenangan. Ketika melihat bahwa azimatnya hilang, ia tertahan sebentar, berusaha untuk melarikan diri. Ia berkata: “Kamar tempat saya tinggal tadi malam mestilah menyimpan azimat saya”. Walaupun ia malu, kerakusannya akan azimat itu menghilangkan rasa malunya dan malu adalah sebuah Naga Perkasa yang bisa menyeret setiap orang. Karena mencari azimat itu, berlarilah ia ke rumah Al-Musthafa dan tiba-tiba ia melihat Tangan Tuhan dengan penuh ceria membersih-kan kotoran itu dengan tangannya yang mulia, tidak jauh dari mata orang kafir yang jahat itu. Keinginan untuk mempe­roleh azimat hilang dari pikirannya, dan sebuah kegelisahan muncul dalam hatinya. Ia merobek-robek bajunya, ia memukul wajahnya dan dengan kedua tangannya. Ia membenturkan kepalanya ke dinding dan pintu. Dalam keadaan seperti itu darah mengalir dari hidung dan kepalanya. Sang Pangeran Muhammad jatuh iba kepadanya. Ia berteriak pilu. Orang-orang berkumpul di sekitarnya, orang kafir itu menangis: “Hai Manusia dengarlah.” Ia pukul kepalanya sambil berkata: “Ah … kepala yang tidak memiliki pemahaman.” Ia pukul dadanya seraya berkata: ”Ah … dada yang tidak pernah mendapat cahaya.” Ia menghempaskan dirinya, ia berteriak: “Duhai Pangeran, yang memiliki seluruh bumi ini, bagian yang hina ini tak sanggup menahan rasa malu di hadapan-mu. Engkau yang karenamu diciptakan seluruh alam semesta ini, yang seluruh alam semes­ta pasrah di hadapannya. Aku ini hanya bagian kecil, seorang yang hina dina dan tidak mendapat petunjuk. Engkaulah sang keseluruhan, sekarang dengan penuh kerendahan hati, bergetar di hada­pan Tuhan. Sedangkan aku cuma noktah kecil, setiap hari menentang dan melawan Tuhan“. Setiap saat ia menengadahkan wajah-nya ke langit, seraya berkata: “Saya tidak memilki wajah lagi untuk melihat kepada-Mu, wahai qiblah dunia ini.” Ketika ia bergetar gemetar, tak terpermanai di hadapan Al-Musthafa, Al-Musthafa menepukan tangannya, menenangkan dia, membujuknya, membuka mata­nya dan memberikan kepadanya pengetahuan. *** Setelah itu Matsnawi bercerita bahwa kisah itu merupakan sebuah metafora. Pertama, bahwa Nabi Saw. datang untuk membersihkan kita dari kotoran-kotoran kita dengan tangannya yang mulia. Kedua, setelah kita mengeluarkan seluruh kotoran kita dan menyer­ahkan sepenuhnya kepada Rasulullah Saw. untuk membersihkannya, kita akan memperoleh kehidupan yang baru. Ketiga, bahwa setiap kehidupan rohaniah yang baru, harus disertai penderitaan dan tangisan. Sekarang saya akan melanjutkan puisi Jalaluddin Rumi ini: “Kalau awan tidak menangis, mana mungkin taman-taman akan terseny­um. Kalau bayi tidak menangis mana mungkin air susu akan mengalir. Bayi yang berusia satu tahun tahu hal ini, nalurinya berkata: “Aku akan menangis supaya ibu yang penyayang segera datang”. Supaya sang perawat segera datang. Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat dari Segala Perawat tidak akan memberikan susu kepadamu sebelum tangisan kamu. Bukankah Tuhan berkata: ”Biarkan mereka menangis banyak“. Dengarkan karunia sang Khaliq akan mencurahkan kepadamu air susunya. Tangisan awan dan sentuhan cahaya matahari adalah tonggak dunia ini, gabung-kanlah keduanya bersama di dalam dirimu. Jika tidak ada panas matahari dan air mata awan, bagaimana mungkin hakikat dan tabiat menjadi besar dan kuat. Bagaimana mungkin empat musim akan terjadi, kalau tidak ada sinar matahari dan tangisan awan. Karena panasnya cahaya matahari dan tangisan awan di dunia membuat dunia ini segar dan manis. Biarkan matahari akalmu menyala dan biarkan matamu berlinang dengan air mata seperti awan. Kamu perlu mata yang bisa menangis, seperti tangisan anak kecil. Jangan makan roti duniawi ini, karena roti itu akan membawa air ruhanimu. Jika tubuh akan menghasilkan dedaunan pada ranting-rantingnya, maka jiwa haruslah mencampakkan dedaunan itu dan mendatangkan musim gugurnya. Ketika tubuh subur dengan dedaunan, jiwa harus kehilang-an dedaunan itu sama sekali. Bersegeralah jangan ragu-ragu, pinjami Tuhan, berikan dedaunan. Campakkan dedaunan tubuhmu itu supaya engkau bisa memperoleh taman yang tumbuh dalam hatimu. Berikan pinjaman itu, hancurkan seluruh makanan tubuhmu, supaya wajah ini bisa melihat, apa yang tidak bisa dilihat mata. Ketika tubuh mengeluarkan seluruh isinya yang kotor, Tuhan akan memenuhi­nya dengan Kesturi dan Mutiara yang gemerlap. Ia orang kafir itu, mengeluarkan kotorannya supaya memperoleh kesucian dari tangan Rasulullah Saw. yang mulia. PADA bagian yang terakhir ini sebetulnya dibahas mengenai nasihat-nasihat sufi dan tidak lagi berkenaan dengan Rasulullah saw Kita harus melihat setiap puisi sufi dari perspektif batiniah kita. Kedatangan Rasulullah saw ke dunia ini untuk mengeluar-kan kita dari kegelapan menuju cahaya. Kita hanya dapat sentuhan Rasulullah saw, apabila kita mengeluarkan kotoran-kotoran duniawi, kotoran-kotoran ragawi. ​ Dalam syair yang lain, Matsnawi menyebutkan: “Supaya dedaunan tubuh kita yang rimbun itu, kita campakkan, seperti apel tidak akan berbuah, sebelum dedaunannya itu berguguran di musim gugur.” Di Indonesia ada seorang penemu, yang tidak dikenal namanya, menanam apel. Karena di Indonesia tidak ada musim gugur, dia memangkas daun-daun apel itu. Ternyata apel itu kemudian berbuah. Jadi rupanya, kalau di negeri-negeri barat, apel itu menunggu musim gugur, di Indonesia dengan sengaja daun itu digugurkan di musim apa saja. Seorang sufi yang ingin merintis jalan menuju Tuhan adalah seperti penanam apel di negeri kita. Dia tidak boleh menunggu musim gugur. Pangkaslah dedaunan hawa nafsumu itu dari tubuhmu supaya nanti taman Tuhan tumbuh dalam hatimu. Dari cerita raksasa Gusy tersebut ada satu hal yang sangat menyentuh, yaitu jangan malu datang menemui Rasulullah saw, walupun kita membawa seluruh dosa di punggung-pungung kita, walaupun kita penuh kotoran. Do’a yang dibaca orang ketika memasuki kota Madinah, berbunyi sangat bagus: “Ya Rasulullah, kami datang dari negeri yang jauh dengan memikul dosa di punggung kami. Salam bagimu Ya Rasulullah.” Orang-orang berziarah ke makam Rasulullah saw itu seperti orang kafir, yang sebetulnya sudah malu, karena dia meninggalkan kotoran di rumah Nabi yang mulia, tapi dia datang juga ke situ. Orang kafir itu menangis luar biasa karena menyaksikan tangan yang mulia membersihkan kotoran-nya. Kita bisa membayangkan diri kita berada di alam malakut, lalu kita datang ziarah ke makam Rasulullah saw, sambil membawa dosa-dosa di punggung kita. Padahal kita ini bukan saja membawa kotoran, kita juga sudah mengotori rumah Rasulullah saw yang mulia. Islam ini rumah kita. Karena akhlak kita yang buruk, kita sudah mencemari rumah Al-Islam. Seperti kata Iqbal dalam do’a menjelang kematiannya. Ketika Iqbal sakit keras ia berdo’a, yang diceritakan Abu A’la Al-Maududi dalam Lawami’ Iqbal. Iqbal berdo’a begini: “Ya Tuhanku jika Engkau bangkitkan nanti aku di hari kiamat, janganlah damping-kan aku dengan Al-Musthafa. Aku malu mengaku sebagai umatnya, semen­tara hidup-ku bergelimang dosa”. Iqbal malu, juga malu terhadap Rasulullah di hari kiamat nanti, malu karena sepanjang hidup kita ini mengotori rumah Rasulullah saw dengan akhlak kita yang buruk, dengan kejahatan yang kita lakukan, dengan maksiat, dengan fitnah, dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita, kita kotori rumah Rasulullah saw. Tapi bayangkanlah ketika anda kembali menemui Rasulullah saw, ber­ziarah kepadanya, di alam sana tangan-tangan Rasulullah yang mulia membersihkan kotoran-kotoran itu. Al-Quran mengatakan: “Sudah datang kepada kamu seorang Rasul dari antara kamu sendiri, berat hatinya melihat penderitaan kalian, yang sangat ingin kalian ini memperoleh kebahagiaan, yang sangat pengasih dan penyayang kepada kaum mukminin” (Al-Tawbah 128). Tidak henti-hentinya Rasulullah saw memohon ampun kepada Allah Swt. untuk kita, sebagaimana kata Jalaluddin Rumi: “Tidak henti-hentinya tangan yang mulia itu membersihkan kotoran, yang kita lakukan di rumahnya yang mulia, karena kasih sayang Rasulullah saw kepada umatnya”. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengucapkan terima kasih atas do’a Rasulullah kepada kita. Yang pertama ialah mencintainya, beru­saha menanamkan kecintaan kita kepada Nabi yang Mulia itu, ketika kita mendengar hadits Nabi: “La yu’minu ahadukum hattâ akûna ahabba ilayhi minafsihi wawaladihi wannâsi ajma’in”. Yang artinya “Tidak beriman kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada diri­mu, daripada anak-anakmu, dan daripada seluruh umat manusia ini”. Beberapa waktu yang lalu, di sebuah pengajian di Jakarta salah seorang ustadz berkata, “Ketika saya mendengar hadits itu, saya merasa tidak enak, kenapa Rasulullah egois betul, sampai dia ingin dicintai lebih daripada diri kita, daripada seluruh umat manusia.” Tapi kemudian saya ingat mencintai Nabi itu berarti menaati Nabi. Ketaatan kita kepada Nabi harus lebih daripada ketaatan kepada diri kita, anak kita, kepada seluruh umat manusia. Lalu saya berkata: “Saya teringat, dahulu saya punya orang yang sangat sederhana, tidak bisa bahasa Arab, tidak bisa baca kitab-kitab, tidak mesan­tren. Mungkin SD pun tidak tamat, dia tidak pernah membaca kisah Nabi saw, dan boleh jadi dia tidak mendengar hadits itu. Tetapi dia mencintai Rasulullah saw tanpa menafsirkan hadits itu, dengan penafsiran-penafsiran yang lain, tidak menafsirkan kecintaan dengan ketaatan. Dia ungkapkan kecintaannya itu dengan prila­kunya sendiri. Setiap bulan Maulid saya selalu mengenang orang ini. Kalau saya ditanya oleh wartawan, siapa saja orang yang mempengaruhi hidup saya di dunia ini, mungkin mereka akan terkejut bahwa yang di antara yang mem-pengaruhi saya di dunia ini orang kecil yang saya sebut itu, namanya Mas Darwan. Begitu hormatnya saya kepada beliau, karena beliau merubah hidup saya hingga saya meng-angkatnya ke panggung nasional dengan menulisnya di majalah Tempo. Saya ingin mengulanginya sedikit. Mas Darwan tinggal di sebelah rel kereta api. Ia orang taat beribadah. Bunyi terompah kayunya membangunkan saya menjelang subuh. Dia selalu shalat ber-jama’ah di mesjid. Setelah pensiun dari PINDAD dia mengisi waktunya dengan berkhidmat kepada tetang­ganya, khususnya kepada guru ngajinya, yaitu saya. Dia sering memper­baiki genting saya yang bocor. Dia jarang bicara sehingga saya mengi­ra dia tidak punya dosa dari kata-kata yang dia ucapkan. Kemudian dia mengisi waktu luangnya dengan berkebun. Dia membikin petak-petak ubi di antara rel kereta api. Telinganya kurang begitu baik sehingga saya kira dia tidak punya dosa-dosa dari telinga-nya. Begitu tidak baiknya pendengaran sehingga ketika dia keasyikan bekerja di situ dia tidak mendengar suara kereta api datang. Diapun tersenggol kereta api dan terluka parah sehingga dibawa ke ICU. Saya datang dan melihat Mas Darwan dipenuhi kabel-kabel infus. Sebagian masuk melalui hidungnya dan sebagian lagi masuk melalui mulutnya. Ketika kami datang bersama istrinya, dia memberi isyarat agar kabel-kabel infus dicabut dari dirinya. Rupanya ia ingin mem-bisikkan sesuatu kepada istrinya. Sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir Mas Darwan membisikkan sesuatu kepada istrinya. Setelah itu saya tahu yang dibisikan-nya itu hanya dua kalimat saja, yaitu “Bulan ini bulan Maulid, jangan lupa melakukan selametan buat kanjeng Nabi saw”. Itulah ucapannya yang terakhir. Ketika Mas Darwan masih hidup, saya ini termasuk orang yang membid’ahkan peringatan maulid Nabi. Banyak orang menentang saya dengan mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi bukan bid’ah. Saya tidak bergeming. Saya berubah hanya dengan ucapan Mas Darwan yang dibisikkan pada istrinya. Sekarang kalau saya ditanya apa dalil peringatan Maulid Nabi itu, saya punya banyak. Tetapi sebetulnya saya mengemuka-kan dalil-dalil itu setelah saya takluk dulu terhadap pent­ingnya peringatan Maulid Nabi. Bukan karena dalil itu sebenarnya saya selenggarakan peringa­tan Maulid Nabi tetapi karena bisikan Mas Darwan kepada istrinya itu. Karena kecintaannya kepada Rasulullah, maka dia penuhi hak Rasulullah saw dengan mencintainya, dia tidak teringat kepada istrinya tapi yang dia ingat adalah selametan buat kanjeng Nabi. Saya kira kecintaan orang-orang yang sederhana itu lebih tulus daripada kecintaan para intelektual. Karena kecintaan para intelektual itu langsung ngomong “rasanya Rasulullah itu egois kok mau kecintaan itu untuk dirinya.” Tapi lama-lama saya pikir orang sesederhana mereka mencurahkan kecintaanya kepada Rasulullah saw dengan kecintaan yang tulus seperti itu. Ada cerita di kalan­gan sufi bahwa orang-orang bodoh yang mengisi surga, mungkin dengan kata lain sebenarnya orang-orang pintar banyak mengisi neraka. Orang-orang bodoh itu karena kesederhanaannya, mereka lebih tulus. Tapi sebenarnya itu mempunyai makna yang sangat dalam di kalangan orang-orang sufi. Bukan berarti kita semua harus menjadi bodoh. Tapi kalau kita ingin mencintai dengan tulus, bersihkan arogansi yang ada dalam diri kita; Kepongahan-keponga­han karena intelek-tualitas kita, sebab cinta tidak mengunakan bahasa intelektualitas. Cinta itu meng-gunakan bahasa hati. Hin­darkan berbagai penafsiran tentang hadits mengenai kecintaan kepada Rasulullah saw. Hak berikutnya dari Nabi ialah membacakan shalawat dan salam kepadanya. Saya ingin menuliskan beberapa hadits tapi ijinkan saya kembali kepada Mas Darwan. Dia sangat suka sekali kepada shalawat-shalawat Nabi. Sebagai orang Jawa tradisional dia tahu betul; Setiap babakan hidup, momen-momen penting dalam hidupnya selalu ditandai dengan shalawat. Ketika anaknya baru lahir selu­ruh keluarga menyambut dengan shalawat. Marhaba kita menyebutnya, artinya selamat datang. Walaupun diucapkannya itu selamat datang untuk Rasulullah. Marhaban Jaddal Husaini, selamat datang untuk kakek Hasan dan Husen. Nanti kalau anak dikhitan dibacakan juga shala­wat kepada Nabi saw, Juga dalam menikah, mengantar pengantin laki-laki, juga kalau mati, dibacakan tahlil dan tahlil itu dimulai dengan shalawat juga. Jadi setiap kehidupan kita, pada momen-momen yang penting, ditandai dengan shalawat. Saya tuliskan beberapa hadits itu: Aku bertanya kepada Aba Abdillah as tentang firman Allah Swt.: “Innallâha wa malâ’ikatahu …” (Al-Ahzab 56). Lalu Aba Abdillah as berka­ta: “Shalawat dari Allah Swt kepada Nabi adalah rahmat-Nya, dari malaikat, adalah pensuciannya, dan dari manusia adalah do’anya”. Adapun firman Allah Swt. “wasallimu taslimâ”, yakni ucapkanlah salam kepadanya. Kemudian kami berkata kepadanya bagaimana kami mengucapkan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, lalu Aba Abdilah as berkata, katakanlah: “Shalawatillahi wa shalawatu malaika­tihi waanbiyaihi warasulihi wajami’ khalqihi ala muhammadin wa ali muhammad wasalamu ‘alaihi wa’alaihim warahmatullahi wabarakatu”. Lalu kami berkata “apa balasan orang yang membacakan shalawat kepada Nabi”. “Dikeluarkan dari dosa-dosanya, demi Allah sama seperti keadaan ketika ibunya melahirkan dia”. Dari Imam Ja’far As-Shadiq as “Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sepuluh kali, Allah akan mengirimkan rahmat dan para malaikat akan mengucapkan do’a kepadanya seratus kali. Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarga­nya seratus kali, Allah Swt. akan mengirimkan kesejah-teraan kepa­danya, para malaikat akan mendo’akannya seribu kali. Bukankah kamu mendengar perintah Allah Swt.: “Ialah Allah yang mengirimkan rahmat-Nya kepada kamu dan para malaikat-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya, dan dia sangat penyayang kepada kaum mukminin” (Al-Ahzab 43). Masih dari Imam Ja’far As-Shadiq as: “Semua do’a yang diba­cakan orang untuk menyeru Allah Swt. tertutup dari langit, sampai dia membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya”. “Nanti pada hari kiamat, tidak ada yang lebih berat dalam timban­gan selain shalawat kepada Muhammad dan keluarganya”. Dari Imam Ali Al-Ridha as: ”Barang siapa yang tidak mampu menghapuskan seluruh dosanya, perbanyaklah bacaan shalawat kepada Muhammad dan keluarga-nya, karena itu akan menghapuskan dosa”. “Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya”. Jadi itu kewajiban kita, membaca shalawat. Pertama, shalawat itu adalah ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah. Kedua, kalau orang banyak membaca shalawat, Insya Allah kecintaan kita kepada Rasullullah akan bertambah. Karena kita orang intelektual, kita akan bertanya mengapa? Buat orang-orang bodoh, seeing is believ­ing. Shalawat itu membawa kecintaan pada Rasulullah. Mereka tidak mikir-mikir lagi, kerinduannya bangkit di dalam shalawat-shalawat itu. Memang terasa pada diri mereka. Tetapi orang intelektual tidak, believing is seeing. Percaya dulu baru bisa melihat. Apa betul shalawat itu bisa menambah kecintaan kita pada Rasul? Di dalam teori komunikasi ada teori yang disebut mere exposure theo­ry. Teori semata-mata exposure saja, teori terpaan semata saja. Kepada mahasiswa diperlihatkan beberapa transparansi foto. Ada beberapa foto yang sering tampak di situ, dan ada beberapa foto yang jarang tampak. Jadi ada yang sepuluh kali ada yang delapan kali dan ada yang lima kali. Setelah itu kepada para mahasiswa diberikan seluruh foto yang tadi diperlihatkan di layar. Ada hal yang menarik. Mereka disuruh memilih mana foto yang paling mereka sukai. Mereka ternyata menyukai foto yang paling sering muncul. Tidak karena apa-apa itu hanya karena sering muncul saja, mere exposure. Sehingga kalau orang itu sering muncul di hadapan kita, lama-kelama-an kita akan suka juga. Sama dengan teori witing tresno jalaran soko kulino. Jadi dengan sering membaca shalawat kita sering menghadirkan namanya di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, akan tumbuh dengan sendirinya kecintaan kepada orang-orang yang sering kita sebut. Itu juga termasuk teknik-teknik iklan, propaganda. Supaya orang suka sesuatu, maka laku­kanlah iklan itu berkali-kali, diulang berkali-kali. Sampai Hitler berkata: “Kebohongan pun akan dipercaya jadi keimanan, kalau kita mengulangnya terus-menerus. Wahrheit, kebenaran itu adalah kebohongan dikalikan seribu”. Jadi, bohong x seribu = kebenaran. Dan teori Hitler itu dipakai pemerintah sampai sekarang. Jadi kalau kebohongan saja bisa menjadi kebenaran, apa lagi kata-kata suci seperti shalawat yang sering kita bacakan. insya Allah akan menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Lewat kecin­taan itulah insya Allah kita akan meniru perilaku orang yang kita cintai. Yang ketiga, kecintaan kita kepada keluarga Rasulullah adalah ungkapan cinta kepada Rasulullah juga. Akan saya tuliskan hadits ahlul sunnah yang dikeluarkan oleh Al-Zamakhsary dalam Al-Kasyâf. Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah barang siapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad saw dia mati syahid. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad saw dia mati dengan ampunan-Nya. Keta­huilah bahwa barang siapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad saw dia mati sebagai orang mukmin yang sempurna imannya. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan membawa kecin­taan kepada keluarga Muhammad saw, dia mati dalam keadaan Malai­kat Maut akan menggembirakannya dengan surga, kemudian Munkar dan Nakir akan menghiburnya. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, dia akan diiring­kan masuk ke surga seperti diiringkan-nya pengantin ke rumah suaminya. Ketahui-lah barang siapa yang mati dengan membawa kecin­taan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan bukakan dua pintu surga di kuburnya. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan memba­wa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah jadikan kuburan­nya tempat berkunjung Malaikat Rahmah. Ketahuilah barang siapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw ia akan mati sebagai sunnah wal jama’ah. Siapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad saw, dia akan datang pada hari kiamat ditulis pada kedua mata­nya, inilah orang yang putus asa dari rahmat Allah Swt. Kemudian di antara ungkapan kecintaan kepada Rasulullah saw juga ialah mencintai yang dicintai Rasulullah saw. Salah satu kelompok manusia yang sangat dicintai Rasulullah saw, sampai Nabi menye­butnya, para pewarisnya, adalah ulama, jadi mencintai Rasulullah juga harus diungkapkan dengan kecintaan kepada ulama.Saya ingin membacakan satu hadits lagi: “Memandang seorang alim dengan penuh kecintaan dihitung sebagai ibadah. Jadilah engkau seorang yang alim, atau seorang yang belajar. Cintailah ulama. Janganlah kamu termasuk orang yang keempat, nanti kamu binasa, karena kebencian kamu kepada ulama”. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
KECINTAAN PARA SAHABAT TERHADAP RASULULLAHSeptember 17, 2024Doa Khusus Rasulullah Dahulu para sahabat berbaiat kepada Rasulullah dengan berkata, “Ambillah tanganku.” Lalu Rasulullah mengambil tangan mereka. Dan Allah berfirman, “Tangan Allah di atas tangan mereka.” Kita pun menyampaikan baiat kita terhadap Rasulullah dan mudah-mudahan tangan Allah di atas tangan kita. Di samping itu, kalau seorang anak lahir, para sahabat sering membawa anak itu menemui Rasulullah; meminta beliau agar mendoakannya. Bahkan, ada orang yang sengaja datang kepada Rasulullah meminta didoa- kan, bukan saja untuk anaknya, melainkan juga untuk dirinya. Karena itu, terkenal di kalangan sahabat, banyak bayi yang didoakan oleh Rasulullah. Juga terkenal di kalangan para sahabat, ada orang-orang yang didoakan secara khusus oleh Rasulullah untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya, Abdullah bin Abbas yang didoakan oleh Nabi dengan ucapan yang terkenal, “Ya Allah, buatlah dia mengerti kepada agama dan ajarkanlah pengetahuan tentang ilmu tafsir.” Lantaran doa Nabi inilah, ia menjadi orang yang dikenal sebagai mufasir di antara sahabat Nabi. Ada juga seseorang yang didoakan oleh Nabi supaya awet muda. Orang ini, kelak, puluhan tahun sepeninggal Rasulullah, masih hidup. Tercatat dalam sejarah, usianya 80-90-an tahun. Pada usia itu, tidak ada satu uban pun tumbuh di kepalanya. Orang yang didoakan Rasulullah ini adalah orang yang mencintai keluarga Rasulullah. Lantaran kecintaannya terhadap keluarga Rasul, kepalanya dipotong. Mu- arikh mencatat, inilah kepala yang pertama dipotong dalam sejarah kaum Muslim. Tetapi, persis seperti didoakan oleh Rasulullah, dia memperoleh usia yang panjang. Kita juga mengenal Anas bin Malik yang didoakan oleh Rasulullah supaya dipanjangkan usianya, dibanyakkan anaknya, dan dilimpahkan hartanya. Kelak, Anas bercerita sendiri bahwa dialah di antara penduduk Madinah yang paling banyak anaknya dan paling banyak hartanya. Itu di antara para sahabat yang didoakan khusus oleh Rasulullah. Kita pun ingin memperoleh doa Rasulullah, apalagi ketika memasuki bulan Maulid. Kita yakin bahwa Rasulullah bukan hanya rahmat bagi para sahabatnya, melainkan juga untuk seluruh alam. Rasulullah adalah ungkapan kasih sayang Allah Swt. kepada seluruh alam. Karena itu, tentu saja bukan hanya para sahabat yang memperoleh doa Rasulullah, melainkan juga manusia yang tidak sezaman dengan beliau. Adalah tidak adil bila para sahabat bisa mendapat berkah dari doa Nabi, sedangkan kita tidak bisa memper olehnya. Karena itu, Nabi mengajarkan kepada kita shalawat dan salam kepadanya. Rasulullah bersabda, “Siapa yang bershalawat kepadaku sekali, aku akan membalasnya sepuluh kali” (Sunan Al-Darami 2: 317). Artinya, siapa yang berdoa untuk Rasulullah, membacakan shalawat, Rasulullah akan mendoakan dia sepuluh kali sebagai balasannya. Di dalam hadis disebutkan bahwa setiap pagi dan sore diperlihatkan kepada Rasulullah keadaan umatnya, amal- amal yang mereka lakukan. Sekarang pun amal-amal kita diperlihatkan kepada Rasulullah. Kalau melihat amal-amal kita baik, Rasulullah merasa gembira dan beliau akan berdoa supaya Allah melipatgandakan kebaikan kita. Kalau melihat amal-amal kita tercela, beliau berduka dan berdoa mudah-mudahan Allah mengampuni kesalahan kita. Tanpa kita meminta ampun, karena besar kasih sayangnya, beliau setiap saat mendoakan kita. Karena itu, lebih beruntung lagi orang- orang yang setiap saat menyampaikan shalawat kepada Rasulullah, dengan harapan beliau mendoakan mereka. Orang-orang seperti itu adalah orang yang mencintai Rasulullah, dan Rasulullah pun mencintai mereka. Boleh jadi setiap kelompok kaum Muslim menyatakan kecintaan kepada Rasulullah; tetapi, pernyataan cinta mereka ini harus dibuktikan. Indikatornya adalah bibir mereka sering menggemakan nama Rasulullah, sebagaimana kalau mencintai seseorang, kita akan menyebut namanya berulang-ulang. Karena itu, kalau kita ingin mengetahui kelompok mana yang lebih mencintai Rasulullah, lihatlah majelis mana yang paling banyak dihiasi dengan shalawat kepadanya. Akan tetapi, sayang, dalam perkembangan selanjutnya, shalawat atau meminta tolong kepada Rasulullah untuk mendoakan itu berkurang karena adanya sebagian orang yang menganggap bahwa meminta tolong kepada Rasulullah itu tidak boleh. Kita harus meminta tolong langsung kepada Allah saja dengan dalil “iyyaka na budu wa iyyaka nasta în”. Jadi, kata mereka, kita tidak boleh meminta tolong kepada Rasulullah. Minta tolong apa? Minta tolong supaya didoakan oleh Rasulullah. Tetapi ajaibnya, orang yang berpendapat tidak boleh meminta tolong kepada Rasulullah itu sering meminta tolong kepada kaum Muslim yang lain. Misalnya, minta tolong supaya didoakan karena mau naik haji ke Tanah Suci. Dia juga minta tolong kepada tetangganya kalau dia mau membangun rumah. Aneh! Ketika meminta tolong kepada kaum Muslim yang lain, dia lupa dengan iyyaka na budu wa iyyaka nasta în. Atau kalau meminta tolong kepada tetangganya untuk urusan dunia, dia juga lupa dengan dalil itu. Saya tidak ingin berargumen banyak di sini, tetapi saya hanya ingin menegaskan bahwa iyyaka na’budu wa iyyaka nasta în itu bukan berarti kita tidak boleh meminta tolong kepada sesama makhluk; apalagi kepada Rasulullah. Bukankah Al-Quran menyatakan, Hendaklah kalian saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (QS Al-Ma’idah : 2). Sekali lagi, saya tidak akan berargumentasi lebih lanjut, tetapi secara sederhana saya katakan bahwa kita harus saling menolong sesama kita dan bahwa iyyaka na ‘budu wa iyyaka nasta in harus dipahami tidak seperti yang dikemukakan tadi. Nabi adalah sayyidul anam yang bila tidak karena dia, Tuhan tidak menciptakan alam semesta ini. Dialah manusia mulia yang melalui dia seharusnya kita meminta tolong untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Memohonnya kepada Allah, tetapi kita meminta bantuan kepada Rasulullah. Dan ini dianjurkan dalam Islam. Bentuk-bentuk Kecintaan Kita telah membicarakan para sahabat yang didoakan oleh Rasulullah secara khusus. Bagaimana kiat kita supaya didoakan juga oleh Rasulullah? Sekarang kita akan membicarakan kecintaan para sahabat terhadap Rasulullah.Seorang perempuan Anshar kehilangan seluruh keluarganya-suami, anak, bapak, dan saudaranya dalam Perang Uhud. Setelah semua jenazah diperlihatkan kepadanya, perempuan itu berkata, “Bagaimana keadaan Rasulullah?” Seseorang membawanya ke hadapan Nabi. Ketika melihat Nabi, perempuan itu berkata, “Seluruh musibah ini kecil setelah aku melihat engkau, ya Rasulullah.” Thalhah Pada suatu hari, ketika Rasulullah sedang berbincang-bincang dengan para sahabatnya, seorang pemuda yang bernama Thalhah datang mendekati beliau dan berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Lalu Rasulullah berkata, “Kalau begitu, bunuhlah bapakmu!” Pemuda itu bergegas pergi hendak membunuh ayahnya, melaksanakan perintah Nabi, tetapi kemudian Nabi memanggilnya kembali seraya berkata, “Aku tidak diutus untuk menyuruh orang berbuat dosa. Aku hanya ingin mengetahui apa betul engkau mencintai aku dengan kecintaan yang sesungguhnya.” Tidak lama setelah peristiwa itu, Thalhah jatuh sakit dan pingsan. Rasulullah datang menjenguknya. Namun, Thalhah masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Nabi kemudian berpesan, “Nanti kalau dia bangun, tolong beri tahu aku.” Rasulullah kemudian kembali ke tempat semula. Lewat tengah malam, Thalhah bangun. Yang pertama kali ditanyakannya adalah apakah Rasulullah telah berkunjung kepadanya. Diceritakan kepadanya bahwa Rasulullah tidak hanya berkunjung, tetapi juga berpesan agar beliau diberi tahu kalau Thalhah sudah bangun. Thalhah berkata “Tidak, jangan beri tahu Rasulullah kalau saya sudah bangun. Bila Rasulullah harus pergi malam hari begini. saya khawatir orang-orang Yahudi akan mengganggunya di perjalanan.”Setelah berbicara seperti itu, Thalhah meninggal dunia. Pagi harinya, setelah selesai shalat subuh, Rasulullah diberi tahu tentang kematian Thalhah. Rasulullah datang melayat jenazahnya dan berdoa dengan doa yang pendek, tetapi sangat menyentuh hati, “Ya Allah, sambutlah Thalhah di sisi-Mu. Thalhah tersenyum kepada-Mu dan Engkau tersenyum kepadanya.” Dengan hal ini, Nabi menggambarkan kepada kita bahwa orang yang mencintainya akan didoakan untuk berjumpa dengan Allah Swt. dalam keadaan Allah ridha kepadanya dan diaridha kepada-Nya. Dia tersenyum melihat Allah dan Allah tersenyum melihatnya. Abu Dzar Dalam hadis Abu Dawud dikisahkan bahwa Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ada orang yang mencintai suatu kaum, tetapi dia tidak mampu beramal seperti amal kaum itu. Dia hanya mencintai (mencintai keluarga Nabi, tetapi tidak bisa beramal seperti keluarga Nabi. Mencintai Rasulullah, tetapi tidak sanggup beribadah seperti ibadahnya Rasulullah). “Lalu Rasulullah berkata, “Engkau, hai Abu Dzar, akan beserta orang yang engkau cintai.” Abu Dzar berkata, “Aku sungguh mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Nabi mengulangi lagi sabdanya, “Engkau akan bergabung dengan orang yang engkau cintai.” Abu Dzar mengulang-ulang pertanyaannya itu dan Rasulullah juga mengulang-ulang jawabannya: “Engkau akan bergabung dengan orang yang eng kau cintai.” Simaklah bagaimana kecintaan Abu Dzar kepada Rasulullah. Tentu saya tidak akan mengulang-ulang sejarah Abu Dar ini yang sudah sering kita dengar ̶ saya kira,sayalah yang sering bercerita tentang Abu Dzar. (Sampai pernah ketika berbicara tentang “lebebasan berpendapat di dalam Islam”, saya menampilkan Abu Dzar sebagai tokohmimbar bebas yang pertama. Sayakira, dalam sejarah, AbuDzarlah yang begitu masuk Islam langsung pergi ke pasar dan membuat mimbar bebas di situ Lalu dia dipukuli sampai penuh darah. Orang-orang mengeroyoknya. Abu Dzar berlumur darah seperti kambing yang baru disembelih. Dan hanya karena ‘Abbas menyatakan bahwa AbuDzar adalah pemimpinAl-Ghifari, barulah Abu Ezar dilepas. Tetapi, esoknya, Abu Dzar mengulangi hal yang sama.) Sebenarnya, Abu Dzar sudah mencintai Rasulullah bah- kan sebelum ia masuk Islam. Seperti kita ketahui, pada awalnya dia adalah perampok, yang pekerjaannya mencegat kafilah dagang. Namun, ia hanya merampok orang-orang kaya. Harta rampasannya ia bagikan kepada orang-orang miskin. Saya malah ingin menyebarkan kisah Abu Dzar ini kepada perampok di Indonesia. Di sini justru yang dirampok adalah orang-orang miskin ̶ sopirsopir taksi yang harus menyam- bung nyawa dari pagi hingga sore, misalnya. Ketika mendengar dariadiknya, Anis, yang baru pulang dari Makkah tentang adanya seorang nabi, Abu Dzar langsung jatuh cinta. Anis bercerita, “Di Makkah, ada orang yang mengaku nahi dan mempunyai agama seperti yang kamu lakukan.” Abu Dzar bertanya, “Apa? Sama seperti yang aku lakukan?” “Sebab, dia menyuruh kepada orang-orang yang kaya untuk membagikan kekayaannya kepada orang-orang miskin. Jadi, sama denganmu,” jawab Anis. Karena cintanya, Abu Dzar berangkat ke Makkah untuk menemui Nabi. Karena kecintaannya juga, ia harus menunggu Nabi sampai lima belas hari tidak makan apa-apa, kecuali mhum air zamzam. Begitu menurut satu riwayat Dalam riwayat lain diberitakan bahwa Abu Dzar berjumpa dengan Imam Ali, dan Imam Ali membawanya untuk menemui Rasulullah. Di Ka’bah ini, Abu Dzar juga menggunakannya sebagai mimbar bebas. Ketika menunggu di Ka’bah, ada seorang perempuan meminta anak kepada berhala. Lalu, cari balik berhala itu, Abu Dzar berkata, “Kalau kamu mau meminta anak kepada berhala, kawini saja berhala itu.” Mendengar suara seperti itu, perempuan itu lari. Ketika berjumpa dengan Rasulullah, Abu Dzar mengucapkan “assalamu’alaikum ya ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh”. Inilah salam yang pertama kali disampaikan oleh orang yang belum Islam kepada Rasulullah; biasanya salam itu diucapkan oleh orang Islam. Saya akan menceritakan kisah kecintaan Abu Dzar kepada Rasulullah. Dalam setiap peperangan, Abu Dzar selalu ikut bersama Rasulullah. Tetapi, waktu itu nasibnya tidak beruntung. Kaki kendaraannya patah. Terpaksa Abu Dzar berjalan kaki. Dia tertatih-tatih mengejar rombongan Rasulullah. Nahi sendiri sudah menunggu di suatu tempat. Tiba-tiba dari kejauhan Nabi melihat debu mengepul. Nabi berkata, “Mudah-mudahan dia ini Abu Dzar.” Betul, tidak lama kemudian, Abu Dzar datang dengan sempoyongan. Di hadapan Nabi, dia tersungkur jatuh karena kelelahan dan kehausan. Bibirnya kering tertutup debu. Yang mengharukan kita ialah ketika orang-orang datang menawarkan air, dia menolaknya. Dia mengeluarkan gharibah yang dia bawa dan menunjukkan bahwa gharibah itu penuh dengan air yang sangat jernih. Ada yang bertanya, “Mengapa air itu tidak diminum di pertengahan jalan?” Abu Dzar berkata, “Di tengah jalan, aku menemukan oase. Aku melihat arnya begitu bening. Ketika tanganku ingin mengambil air itu, aku teringat Rasulullah. Aku berkata kepada diriku sendiri, alang kah beningnya air ini dan alangkah bahagianya Rasulullah bila meminum air ini. Demi Allah, Abu Dzar tidak akar minum air ini sebelum Rasulullah meminumnya terlebih cahulu.” Kemudian, Abu Dzar memasukkan gharibah-nya dan berjalan kembali mengejar rombongan Rasulullah sampai tersungkur di hadapan Rasulullah tad. Setelah Rasulullah meminum air itu, Abu Dzar baru meminumnya. Itu sekali lagi karena kecintaan Abu Dzar kepada Rasulullah: “Aku mencintai Allah dan Rasul-Nya,” kata Abu Dzar. Dan Rasulullah menjawab, “Engkau akan bergabung dengan orang yang kau cintai.” Zaid bin Haritsah Seperti kita ketahui, Zaid adalah budak yang dibeli oleh Khadijah. la tinggal bersama Rasulullah. Rasulullah pernah mengangkatnya menjadi anak. Zaid inilah satu-satunya sahabat Nabi yang namanya disebut dalam Al-Quran. Anda tahu nasib budak belian pada waktu itu. Sama seperti barang, dapat dijual belikan. Betapa rendah martabat seorang budak pada zaman itu. Sebagai perbandingan, pada zaman George Washington, pendiri Amerika Serikat, saja banyak budak belian yarg pada umumnya orang-orang kulit hitam. PernahGeorge Washington menukarkan seorang budak dengan satt karung gandum. Kalau budak-budak ini membantah dan melarikan diri kemudian tertangkap, mereka akan mengalamisiksaan yang kadang-kadang dapat membawa kepada kematian. Zaid bin Haritsah ini adalah budak belian yang dibeli oleh Rasulullah, tetapi Rasulullah menyayanginya seperti kepada anaknya sendiri. Ketika keluarganya ̶ yang ber tahun-tahun mencari Zaid ̶ menemukannya berada di keluarga Rasulullah, mereka mengumpulkan sejumlah uang untuk menebus Zaid agar bisa membawanya ke alam kebebasan. Mereka mendatangi Rasulullah untuk membebaskan Zaid. Rasulullah berkata, “Kamu tidak perlu membayar dengan uang: kamu boleh ambil Zaid. Tetapi, tanyailah dahulu, siapa yang akan dipilihnya.” Kemudian Zaid berkata, “Aku memilihRasulullah. Keluarganya terkejut, dan berkata, ‘Engkau memilih perbudakan daripada kebebasan?” Zaid menjawab, “Aku memilih kecintaan kepada Rasulullah daripada kepada keluargaku.” Inilah Zaid bin Haritsah yang kemudian gugur sebagai syahada dalam Perang Mu’tah dan menggantikan komandan perang setelah Ja’far gugur. Ja’far gugur dan Zaid pun gugur dengan membawa kecintaan kepada Rasululah. Dia memilih Rasulullah daripada keluarganya. Bilal Bill adalah sahabat yang juga kita kenal sebagai muazin Rasulullah. Awalnya dia ini seorang budak belian, seperti Zaid. Kuitnya hitam; tetapi Nabi pernah memujinya sebagai mutiara orang hitam di surga. Ada sebuah hadis yang populer di kalargan kita yang mengatakan, “Hai Bilal, aku mendengar bunyi terompahmu di surga. Amalan apa yang kamu lakukan?” Bilal berkata, “Setiap kali berwuchu, aku tidak mengerjakan pekerjaan lain kecuali aku shalat.” Bilal sangat mencintai Rasulullah. Apa yang terjadi setelah Rasulullah meninggal dunia? Saya akan menyampaikan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Waludi dari Ummu Salamah. Ummu Salamah bercerita ketika Rasulullah meninggal dunia: “Ketika itu, kami sedang berkumpul menangisi kepergian Rasulullah. Kami tidur dan Rasulullah berada di rumah kami. Kami melihat Rasulullah berbaring di atas pembaringan. Tiba-tiba kami mendengar suara gemuruh tangisan menjelang sahur. Kami ikut menangis dan menangis jugalah seluruh penghuni masjid. Berguncanglah Madinah dengan tangisan yang satu. Lalu Bilal azan untuk memanggil orang shalat subuh. Ketika sampai pada Asyhadu anna Muhammadar Rasûlullah, Bilal tidak sanggup melanjutkan azannya. Dia menangis dan makin bertanbahlah kesedihan kami. Orang- orang berdatangan memasuki bakal kuburnya. Betapa besar musibah waktu itu, sampai setelah peristiwa itu, kalau kami ditimpa musibah apa pun. terasa ringan bila kami mengenang musibah besar ketika kehilangan Rasulullah.” Jadi, musibah itu kecil kalau dibandingkan dengan kehilangan Rasulullah. Hingga Bilal tak sanggup melanjutkan azznnya ketika sampai paca kalimat “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanAllah”. Bilal ini bukan orang Arab asli. Dia orang Afrika. Dia tidak dapat menyebut syin. Setiap menyebut syin, yang keluar adalah syin. Pernah orang mengejek Bilal karena tidak bisa berazan dengan fasih. Tetapi Rasulullah menunjuknya sebagai muazin. Bahkan, Rasulullah memujinya: “Syin Bilal cihitung Allah sebagai syin,” kata Rasulullah. Waktu membaca hadis ini, saya teringat kepada saudara-saudara kita yang mencemooh orang yang tidak bisa mengucapkan Al-Quran dengan fasih. Padahal, orang itu memang kesulitan melakukannya, bukan tidak mau. Kalau orang itu tidak mau mengucapkan yang benar lantaran tidak mau belajar, baru kita kecam. Kalau orang itu sudah belajar mati-matian, tetapi tetap saja tidak bisa, kita harus bersikap seperti Rasulullah terhadap Bilall. Bilallah yang kita ketahui, ketika awal Islam, menderita karena mempertahankan cinta kepada Rasulullah. Abu Ayyub Al-Anshari Abu Ayyub Al-Anshari adalah orang yang rumahnya disinggahi Rasulullah ketika beliau sampai di Madinah waktu hijrah. Ketika Rasulullah tinggal sementara di rumahnya, saat itu di rumah Abu Ayyub banyak juga tamu lain, Rasulullah tinggal di bagian bawah. Rumah Abu Ayyub memang dua lantai. Ketika memasuki waktu malam, Abu Ayyub sadar bahwa dia tidur di atas kamar Rasulullah. Karena rumahnya terbuat dari tanah, kalau dia bergerak, tentu debu-debunya akan turun yang mungkin akan mengganggu Rasulullah. Maka Abu Ayyub tidak tidur sepanjang malam. Dia membekukan tubuhnya seperti sebongkah kayu. Pagi-pagi dia datang kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, semalam tidak sekejap mata pun aku tidur; begitu juga Ummu Ayyub (istrinya).” “Apa yang terjadi padamu, Abu Ayyub?” tanya Rasulullah. “Ya Rasulullah, aku sadar bahwa kami berada di atas engkau. Kalau aku bergerak, sudah pasti debu- debu akan beterbangan dan gerakanku akan mengganggumu, padahal aku berada di antara engkau dan wahyu.” Dalam bayangan Abu Ayyub, wahyu itu dari langit; dan dia berada di antara Rasulullah dan wahyu. Lalu Rasulullah berkata, “Hai Abi Ayyub, tidak usah begitu, marilah aku ajarkan kalimat yang jika engkau ucapkan pada waktu pagi sepuluh kali, engkau akan diberi sepuluh kebaikan dan dihapuskan dari engkau sepuluh kejelekan Dan engkau akan diangkat sepuuh derajat. Yaitu, ucapkanlah: La ilaha illa huwa al-malik walaka alhamdu la syarikaiak.” Abu Thalib Abu Thalib adalah orang yang juga sangat mencintai Rasulullah. Begitu besar cintanya terhadap Rasul sehingga ketika Bani Hasyim diboikot di suatu tempat yang disebut Syi’ib Abi Thalib; ketika Rasulullah setiap malam harus pindah- pindah tempat tidur karenanyawanya terancam, Abu Thalib mengisi tempat tidur Rasulullah untuk menggantikannya. Abu Thalib pun sudah sejak awal kenabian merelakan diri- nya menjadi tebusan buat Rasulullah. Sahabat-sahabat lain sering berkata, “Ya Rasulullah, biarkan diriku menjadi tebusannu.” Begitu kebiasaan sahabat kalau mau bersumpah atau bertanya. Abu Thalib membuktikan kecintaannya bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan perbuatan. Sebagai mana telah diutarakan, bagaimana Rasulullah mengulang kata-katanya kepada Abu Dear, “Engkau akan bergabung bersama orang yang engkau cintai.” Pernah juga dikemukakan bagaimana para sahabat bertanya ketika ada orang bertanya yang juga dijawab oleh Rasulullah, “Engkau akan bersama orang yang engkau cintai. Para sahabat bertanya, “Ya RasuJullah, apakah itu untuk diasaja?” “Untuk semua,” sabda Rasul, “engkau akan digabungkan dengan orang yang engkau cinta.” Kesimpulannya, Abu Thalib pun akan bergaburg dengan Rasulullah karena kecintaannya kepada beliau. Saya terpaksa akan menyebutkan satu hal, karena ini sangat kontras. Hadis yang saya sampaikan tadi saya ambil dari Ilayat Al-Shahabah yang ditulis oleh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, orang India. Dia adalah ulama Ahlu Sunnah dan mengumpulkan hadis dari Ahlu Sunnah. Selanjutnya, yang akan saya sampaikan ini pun dari kitab yang sama. Pada zaman ‘Amr bin Al-‘Ash-̶ketika ‘Amr bin Al-‘Ash menjadi gubernur̶ada seseorang menghina Ra- sulullah, mencaci maki beiau. Kebetulan masih ada sahabat Nabi di tempat itu. Dipulallah orang yang menghina Nabi iti. Orang itu mengadu kepada ‘Amr bin Al-‘Ash karena pukulan sahabat Nabi atas kasus menghina Rasulullah. ‘Amr bin AlAsh kemudian melarang memukul orang yang menghina Rasulullah. Karena, menurutnya, orang kafir itu sudah terikat perjanjian dengannya. Karena kafir dzimmi, ia sudah terikat perjanjian. Lalu sahabat tadi berkata, “Apakah perjanjian ini berlaku buat orang yang menghina Rasulullah?” Mengapa Amr bin Al-‘Ash-yang membebaskan seorang Nasrani yang menghina Rasulullah ̶ disebutkan banyak orang termasuk yang dijanin masuk surga, sementara Abu Thalib yang memiliki kecintaan begitu tinggi terhadap Nabi ̶ dimasukkan ke dalam golongan yang akan masuk neraka dengan mendapat siksaan yang paling ringan, yaitu terompahkakinya dibakar api neraka sehingga otaknya mendidih. Katanya, itulah siksaan yang paling ringan di neraka. Anda tidak tersinggung kalau Abu Thalib dimasukkan ke neraka. Anda tidak marah dan tidak menyebut keterlaluan bila Abu Thalib dimasukkan ke neraka. Itu menghina pencinta Rasulullah. Tetapi Anda tidak tersinggung. Bahkan, saya mungkin akan diprotes karena menyebut ‘Amr bin Al-‘Ash membebaskan orang Nasrani yang menghina Rasulullah. Saya pun tidak menyalahkan ‘Amr bin Al-‘Ash. Itu mewakili pandangan moderat Islam. Selalu ada yang seperti itu. Kalau Rasulullah ditentang, selalu ada pandangan moderat. Dulu ketika Salman Rushdie menghina Rasulullah, ada ulama yang mengatakan, “Tidak usah kita menentang itu. Kalau perlu, buatlah novel baru yang sama yangmeng- hinaSalman Rushdie.” Lucu! . JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Buah Kecintaan kepada Nabi dan KeluarganyaSeptember 16, 2024Salah satu bukti kecintaan kita kepada Nabi Muahmmad saw adalah dengan berusaha mencintai keluarga Nabi Muhammad saw. Dalam sejarah banyak disebut betapa banyak penderitaan yang dialami oleh mereka yang menunjukkan kecintaan kepada keluarga Nabi saw. Allah berfirman dalam Surat al-Syura ayat 20-24,” Allah berfirman dalam Surat Al-Syura ayat 20-24,”Barang siapa yang mengiginkan tanaman akhirat, Kami akan tambah tanamannya. Siapa yang menginginkan tanaman dunia, Aku berikan juga sebagian dari padanya, tetapi dari akhirat dia tidak memperoleh bagian sedikit pun. Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuat bagi mereka syarikat-syarikat agama yang tidak diizimkan oleh Allah. Seandainya tidak ada kalimat yang sudah ditentukan oleh Allah tentulah sudah diselesaikan diputuskan diantara mereka. Sesungguhnya orang zalim itu bagi mereka azab yang pedih. Orang-orang yang zalim merasa takut melihat amal-amal yang mereka lakukan yang hadir nyata dihadapan mereka. Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh Allah tempatkan dalam taman –taman surga. Bagi mereka apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka dan itulah anugerah yang besar. Demikianlah yang Allah kabarkan sebagai kabar gembira kepada hamba-hamba-Nya yaitu yang beriman dan beramal saleh. Katakan oleh kamu (wahai Muhammad) aku tidak meminta upah dari kamu semua kecuali kecintaan pada al-Qurba. Siapa yang melakukan kebaikan dengan mencintai keluarga Rasulullah saw, Aku tambahkan baginya kebaikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Pembalas kebaikan dengan kebaikan. Apakah mereka sudah berkata bahwa Muhammad ini sudah berbohong mengatas namakan Allah (padahal hanya untuk kepentingan keluarganya). Kalau Allah kehendaki Allah bisa menghapus kebaikan dan tegakan kebenaran dengan kalimatnya. Seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam dada. Pada umumnya, kitab tafsir memulai paragraf “Katakan oleh kamu…” Itu dari man kaana (siapa yang mengiginkan akhirat – ayat 20), tetapi Syayid Alamah Thabathaba’i, dalam tafsir Mîzân, memuai paragraf ini dari ayat 17. Jadi ketika Allah menjelaskan bahwa Dia menurunkan al-Kitab dengan kebenaran dan untuk menegakkan keadilan, di situ digambarkan ada orang yang tidak mau menerima kitab ini sebagai pedoman hidup mereka sehingga mereka berada dalam kesesatan. Dan setelah itu Allah menyuruh Rasulullah untuk menyampaikan kepada umatnya agar selain berpegang kepada al-Kitab, mereka juga jharus berpegang kepada kecintaan kecintaan keluarga Nabi saw seperti yang disebutkan dalam ayat 23 di atas. Dalam ayat 22, disebutkan bahwa orang-orang zalim ketakutan melihat amal yang mereka lakukan. Thabathaba’i menyatakan bahwa berdasarkan ayat inilah, orang kafir akan ketakutan melihat amal-amal mereka. Cinta Yang Mendatangkan Syafa’at Ada satu konsep yang menurut para ahli tafsir disebut dengan nama berwujudnya amal-amal kita. Artinya nanti amal-amal kita akan diberi wujud oleh Allah swt.. Al-Qur’an menyebut tentang hal itu seperti dalam Surat Al-Kahfi (QS 49-Cek-Recek ),” Mereka menemukan apa yang mereka amalkan itu hadir di depan mereka.” Dalam Surat Al-Zalzalah ditegaskan bahwa amal-amal manusia akan bisa dilihat nanti,” ( QS. 6). Ibnu Qayyim Al-Jauzi meriwayatkan dalam salah satu kitabnya, Al-Rûh, tentang apa yang akan terjadi ketika kita meniggal dunia. “Waktu itu para sahabat sedang berada di sekitar pemakaman. Saat itu Rasulullah datang bersama kami,” kata para sahabat. Lalu Rasulullah bercerita: Apabila seorang mukmin meninggal dunia, sejauh-jauh penglihatan terdapat malaikat—Katakanlah upacara penjemputan jenazah Mukmin. Para malaikat itu berbaris; sementara malaikat maut duduk dekat kepala si Mukmin dan berkata,”Hai ruh yang indah, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridaan-Nya.” Lalu Rasul menggambarkan dengan indah nyawa mukmin itu seperti tetesan air dari wadah air. Begitu mudahnya ruh itu keluar, kemudian malaikat mengambil ruh itu dan tidak melepaskan dari tangannya sekejap mata pun. Ruh itu itu mengeluarkan bau semerbak yang memenuhi seluruh alam malaikat. Ketika ruh jenazah itu lewat, para malaikat bertanya,”Siapakah ruh ini?.” Malaikat maut menjawab,”Inilah ruh fulan bin fulan.” Lalu dibawalah ia ke langit untuk menghadap Allah swt, ia diterima oleh Allah dengan segala keridaan-Nya. Kemudia ia dikembalikan lagi ke alam barzakh dan saat itu datang malaikat yang menanyai siapa Tuhannya dan siapa yang diutus datang kepadanya. Ia menjawab pertanyaan malaikat itu bahwa Tuhannya adalah Allah dan utusan yang datang kepadanya adalah Rasulullah. Malaikat melanjutkan pertanyaanya; dari mana ia tahu tentang Rasulullah; dia menjawab bahwa ia mengetahuinya dari kitab, dan ia beriman dan mencintainya.. Mendengar jawab hamba Allah yang saleh itu terdengarlah suara keras dari langit. Rasulullah melanjutkan ucapannya: Apabila seorang kafir atau ahli maksiat meninggal dunia, turunlah malaikat ke bumi dengan wajah yang menakutkan. Kemudian malaikat maut duduk di samping kepalanya dan berkata,”Hai jiwa yang kotor keluarlah kamu menuju kemurkaan Allah dan azab-Nya.” Betapa susah ruh itu keluar darinya, sampai-sampai seluruh tubuhnya seakan-akan akan pecah berkeping-keping. Dan ketika malaikat memegang ruh orang kafir itu, bau menyengat seperti bangkai memenuhi seluruh alam malaikat. Ketika malaikat bertanya siapakah ruh yang busuk itu, disebutlah ia dengan nama yang paling jelek di dunia ini. Kemudian ia dibawa ke langit dan pintu-pintu langit ditutup baginya, jenazahnya dilemparkan kebumi. Ketika malaikat bertanya kepadanya, ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu dengan baik. Maka disempitkanlah kuburannya sesempi-sempitnya. Setelah itu datanglah makhluk yang wajahnya sanagt menakutkan dengan bau yang sanag menjijikan. Ketika ditanya siapakah dia? Makhluk itu menjawab,”Akulah amal burukmu, dan aku akan menemani kamu sejak barzakh sampai mahsyar nanti.” Diriwayatkan ada sebuah kisah sufi yang menceritakan bahwa amal saleh dan buruk bisa berwujud kelak di akhirat. Diceritakan bahwa Malik bin Dinar (seorang sufi) pada mulanya adalah seorang ahli maksiat. Pekerjaanya setiap hari adalah minum-minuman keras. Suatu saat ia ditanya oleh seseorang,”Apa yang menyebabkan Anda kembali kepada jalan yang benar?” Malik bin Dinar menjawab,”Dahulu aku mempunyai anak perempuan yang aku sayangi. Setiap hari pekerjaanku meminum arak. Setiap saat aku hendak meminum arak, tangan anakku selalu menepiskannya kepada tanganku; seolah-olah ia melarang aku untuk meminumnya. Sampai suatu saat anakku meninggal dunia. Aku berduka luar biasa. Dalam keadaan duka aku tertidur dan bermimpi seakan-akan aku berada di padang Mahsyar. Saat itu aku seperti berada di tengah-tengah orang yang kebingungan. Dalam keadaan bingung aku melihat sosok seekor ular yang sangat besar. Ular itu bergerak dan mengejarku. Aku lari untuk menghindari ular itu, di tengah jalan aku berjumpa dengan seorang tua yang berwajah sangat jernih. Aku berhenti di samping orang tua itu dan meminta kepadanya perlindungan. Orang tua itu jatuh iba kepadaku. Sambil menangis ia berkata kepadaku,” Aku ingin menolong kamu tetapi aku terlalu lemah.” Karena rasa takut yang mencekam segera aku pergi dari sisi orang tua itu dan sampailah aku pada tepian neraka jahanam. Hampir saja aku loncat ke dalamnya karena rasa takut yang memuncak. Tetapi saat itu aku mendengar suara,”Tempat kamu bukan di sana.” Dalam keadaan lemah aku berlari mendekati orang tua tadi untuk meminta pertolongannya lagi, ia menjawab,” Aku tak bisa menolongmu karena aku terlalu lemah. Berangkatlah ke bukit Amanah, mungkin di sana ada titipan buatmu.” Aku berangkat menuju tempat itu, di sana aku bertemu dengan seorang anak-anak kecil yang wajahnya sangat indah. Tiba-tiba aku melihat anaku sendiri, ia mendekatiku dan memegang tanganku seraya berkata,.”Inilah bapakku.” Lalu dengan tangannya yang lain dia mengusir ular besar utu. Kemudian anak itu berkata,’Apakah belum datang kepada orang beriman untuk takut kepada Allah.’ Aku bertanya kepadanya,’Apakah kamu bisa membaca Al-Qur’an’ Anakku menjawab,’Pengetahuanku tentang Al-Qur’an di sini lebih baik daripada pengetahuan bapak.’ Kemudian aku bertanya tentang orang tua yang berwajah jernih, ia menjawab,’Dia adalah amal saleh yang setiap hari bapak lakukan, karena amal saleh bapak sedikit, amal itu menjadi lemah dan tidak sanggup membantu bapak.’ ‘Lalu siapakah ular itu?’ Anakku menjawab,’Itulah maksiat yang setiap hari bapak perkuat tenaganya karena dosa yang bapak lakukan.’ Sejak itu, kalau aku berbuat maksiat aku ingat bawa hal itu akan memperkuat ular berbisa yang menakutkan itu. Dan setiap kali aku lelah dalam beramal saleh, aku ingat hal itu akan memperkuat amal salehku.” Cerita Malik bin Dinar itu sesuai dengan hadis yang menunjukkan bahwa amal-amal kita akan hadir di hadapan kita. Percayalah, kita akan di temani dua makhluk, makhluk yang baik dan buruk; keduanya akan bertarung di alam barzakh. Kalau makhluk yang baik itu menang, terusirlah makhluk yang jelek; maka kita di alam barzakh itu akan ditemani makhluk yang baik. Sebaliknya, amal jelek pun bisa mengusir amal baik yang perbnah kita lakukan. Kita semua percaya bahwa amal saleh yang kita lakukan jauh lebih sedikit daripada amal salah yang sering kita lakukan. Oleh sebab itu, kita bisa menduga bahwa di alam barzakh nanti yang paling banyak menemani kita adalah amal buruk kita. Maka malang betul kita semua, kalau di alam barzakh itu kita hanya mengandalkan amal saleh yang kita lakukan. Oleh karena itu, karena kasih-Nya kepada kita, Allah swt memberi wewenang kepada Rasulullah saw untuk memberi syafaat kepada kita. Alangkah bahagianya kita di alam barzakh nanti ketika makhluk yang menakutkan berjubal penuh mengelilingi kita dan amal baik sudah terusir dari kita, lalu datanglah syafaat Rasulullah saw dan makhluk jelek itu tersingkir dan kita hanya ditemani oleh amal saleh kita sampai hari akhir. Tidak ada kebahagiaan yang paling besar selain memperoleh syafaat Rasulullah saw. Lalu, kepada siapakah syafaat rasulullah itu diberikan? Rasulullah bersabda dalam sebuah hadisnya,”Syafaatku aku khususkan kepada dia yang mencintai keluargaku diantara umatku.” Mudah-mudahan kita memperoleh syafaat rasulullah saw dengan wasilah kecintaan kita kepada keluarganya. (Tarikh Bakdad al-Khatib Al-Baghdadi juz II). Siapa saja keluarga Nabi saw yang harus kita cintai? Azzamahsari meriwayatkan hadis ketika membaca ayat,”Aku tidak meminta upah kecuali kecintaan kepada keluargaku.”Ya Rasulullah siapa keluarga yang harus kita cintai itu? Rasulullah bersabda,”Ali, fatimah, dan keduaa naknya.” Orang tua kita dahulu tahu bahwa kecintaan kepada Ali, Fatimah, dan kedua putranya bisa memadamkan bencana; terutama bencana di alam kubur. Mereka juga percaya bahwa hal itu bisa memadamkan bencana yang terjadi pada saat sekarang. Oleh karena itu, kalau ada bala bencana di sebuah kampung, mereka sering membaca syair: Li khamsatun utfi bihâ haral wabâ wal khâtimah Al-Musthafâ wal murtadhâ wabnahumâ wal Fâtimah Aku mempersembahkan yang lima kepada Allah Untuk memadamkan panasnya bencana yang mengerikan Yaitu Al-Musthafa (Rasulullahsaw), Al-Murtadha (Sayidina Ali), Dan kedua putranya (Hasan dan Husain) serta Fatimah. Al-Fakhrurazi, dalam kitabnya Mafâtihul al-Ghaib, menyebutkan,”Sudah teguhlah dalil bahwa yang empat orang itu adalah keluarga Nabi saw. Dan apabila sudah teguh dalil itu, sudah pastilah mereka yang dikhususkan untuk kita muliakan dengan kemuliaan yang lebih dari manusia yang biasa. Tentang hal ini ada beberapa dalil. Pertama, adalah mawaddah bil qurbâ. Kedua, tidak meragukan lagi bahwa Nabi saw sanagat mencintai Fatimah. Rasul bersabda,”Fatimah adalah belahan jiwaku, sebagian dari diriku, siapa yang menyakiti Fatimah, ia menyakitiku.” Rasulullah juga mencintai Ali dan kedua cucunya ; Hasan dan Husain. Karena sudah teguh keadaanya, wajiblah bagi umatnya untuk meniru Rasulullah saw. Artinya, karena Rasulullah mencintai kereka , wajiblah kita mencintai mereka ; Allah berfirman,” Katkanlah: Hai manusia sesunguhnya aku aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya. Dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.”(QS. Al-Araf: 158 ) dalam ayat lain Allah menyebutkan,”Maka hendaklah takut orang-orang yang menentang perintah Rasul.” Ketiga, sesungguhnya khusus untuk keluarga Nabi saw; dalam tasyahud, ketika salat, kita harus membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Hal ini merupakan suatu kehormatan yangtidak diberikan selain kepada keluarga Nabi Muhammad saw. Semuanya itu, kata Al-Fakhrurazi, menunjukkan bahwa kecintaan kepada Muhammad dan keluiarganya adalah wajib. Al-Fakhrurazi mengutip ucapan Imam Syafi’i,” Jika Rafidhi itu mencintai keluarga Muhammad, hendaklah jin dan manusia menyaksikan bahwa aku ini adalah Rafidhi.” Hadis tentang Buah Cinta Kepada Ahlul Bait Bentuk kecintaan kepada Nabi saw dan keluarganya diantaranya diwujudkan dengan membaca shalawat kepadanya. Berikut hadis tentang buah shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya. Seseorang bertanya kepada Aba Abdillah as tentang firman Allah swt, Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Al-Ahzab 56). Aba Abdillah asa berkata,” Shalawat dari Allah swt kepada Nabi adalah rahmat-Nya, dari malaikat adalah pensuciannya, dan dari manusia adalah doanya.” Adapun firman Allah swt wasallimû taslîmâ, yakni ucapkanlah salam kepadanya, kemudian ia berkata kepadanya,”Bagaimana kami mengucapkan shalawat kepada Nabi dan keluarganya?” Aba Abdillah berkata,” Katakanlah: ‘Shalawâtullâhi wa shalawâtu malâ’ikatihî wa an biyâihî wa rasûlihî wa jamî’i khalqihî ’ala muhammadin wa âli muhammad wasallamu ‘alaihi wa âlihim wa rahmatulâh wa barakâtuh.’” Lalu ia berkata, Apa balasan orang yang membacakan shalawat kepada Anabi saw? “Dikeluarkan dari dosa-dosanya, demi Allah sama seperti ketika ibunya melahirkan dia.” Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata,”Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sepuluh kali, Allah akan mengirimkan rahmat dan para malaikat akan mengucapkan doa kepadanya seratus kali.” Dalam Hadis lain Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata,” Barangsiapa membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya seratus kali, Allah akan kiirimkan kesejahteraan kepadanya, para malaikat akan mendo’akannya seribu kali. Bukankah kamu mendengar perintah Allah swt, ”Ialah Allah yang mengirimkan rahmat-Nya kepada kamu dan para malaikat-Nya untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya, dan dia sangat penyayang kepada kaum mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 43). Masih dari imam Ja’far as,”Semua data yang dibacakan orang untuk menyeru Allah swt tertututp dari langit , sampai dia membaca shalawat kepada Muhammmad dan keluarganya.” “Nanti pada hari kiamat, tidak ada yang lebih berat dalam timbangan selain shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Imam Ali Ridha as berkata, ”Barangsiapa yang tidak mampu menghapuskan seluruh dosanya, perbanyaklah bacaan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, karena itu akan menghapuskan dosa.” “Orang yang paling dekat kedudukannya dengan Nabi saw pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.” Itulah buah membaca shalawat. Shalawat adalah ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah dan keluarganya. Kalau orang banyak membaca shalawat, insya Allah, kecintaan kepada Rasulullah akan bertambah. Bagi seorang intelektual, hal ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan: Mengapa? Tapi, buat orang-orang bodoh, believing is seeing. Shalawat itu membawa kecintaan kepada pada rasulullah. Mereka tidak memikir-mikirkan lagi, kerinduannya bangkit di dalam shalawat-shalawat itu dan terasa pada diri mereka. Tetapi bagi orang-orang intelektual tidak; bagi mereka seeing is believing. Dalam teori komunikasi, ada teori yang disebut dengan mere exposure theory; teori semata-mata terpaan saja. Suatu saat kepada mahasiswa diperlihatkan beberapa transparansi foto. Ada beberapa foto yang sering tampak pada saat itu, dan ada beberapa foto yang jarang tampak. Foto itu ada yang ditampakkan sepuluh kali, delapan kali, dan lima kali. Setelah itu kepada mahasiswa diberikan seluruh foto yang tadi diperlihatkan di layar. Ada hal yang menarik dalam kejadiaan itu; mereka diperintah untuk memilih foto mana yang paling mereka sukai. Ternyata mereka menyukai foto yang paling sering muncul.; bukan karena apa-apa, hanya karena sering muncul saja, mere exposure. Hal ini bisa dianalogikan, jika ada orang yang sering muncul dihadapan kita, lama-kelamaan kita akan menyukai orang tersebut. Dengan seringnya kita membaca shalawat, kita selalu menghadirkan nama Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya akan tumbuh dengan sendirinya kecintaan kepada orang-orang yang sering kita sebut. Dan hal ini termasuk juga ke dalam teknik iklan atau propaganda. Agar orang itu suka akan sesuatu, lakukanlah iklan itu berkali-kali (diulang-ulang). Sampai-sampai Hitler berkata, ”Kebohongan pun akan dipercaya menjadi keimanan kalau kita mengulanginya terus menerus. Wehreit, kebenaran itu adalah kebohongan dikalikan seribu.” Kalau kebohongan saja bisa menjadi kebenaran, apa lagi kata-kata suci seperti shalawat yang sering kita bacakan. Shalawat, insya Allah akan menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Lewat kecintaan itulah insya Allah kita akan meniru perilaku orang yang kita cintai. Kecintaan kita kepada keluarga Rasulullah saw merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah juga. Al-Zamakhsary dalam kitabnya Al-Kasyaf, menulis, ”Rasulullah saw bersabda: ’Baransiapa yang mati dengan kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati syahid. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, dia mati dengan ampunan-Nya. Ketahuilah barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada kelurga Nabi saw, dia mati sebagai orang mukmin yang sempurna imannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Nabi saw, dia mati dalam keadaan Malaikat Maut akan menggembirakannya dengan surga, kemudian Munkar dan Nankir akan menghiburnya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia akan diiringkan masuk ke surga seperti diiringkannya pengantin ke rumah suaminya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan bukakan pintu surga pada kuburannya. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan memabawa kecintaan kepada keluarga Muhammad saw, Allah akan jadikan kuburannya tempat berkunjung Malaikat Rahmah. Ketahuilah, barangsiapa yang mati dengan membawa kecintaan kepada keluarga Muhammad, dia mati sebagai ahlu sunnah wal jama’ah.” “Siapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad saw, dia akan datang pada hari kiamat dengan tulisan pada kedua matanya;’Inilah orang yang putus asa dari rahmat Allah.’ “ JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
MENCINTAI NABI DAN KELUARGANYA DAPAT MEMPERSATUKAN UMATSeptember 15, 2024Sebelumnya, izinkanlah saya menceritakan asal-usul nama saya. Ayah saya dulu adalah seorang kiai kampung. Sangat tradisional. Ketika belajar kitab kuning, yang paling mengesankan ayah saya adalah kitab tafsir yang juga sangat sederhana, sebagaimana umumnya kitab-kitab kuning. Sebagian orang sekarang menyebut bahwa kitab itu bukan kitab tafsir. Kitab itu ditulis oleh dua orang Jalaluddin. Karena itu, kitab itu dikenal sebagai tafsir Jalalain. Ayah saya sangat terkesan dengan tafsir itu. Ketika saya lahir, nama saya ditafaulkan kepada Jalaluddin Al-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli. Maka diberinya saya nama Jalaluddin. Jalaluddin Al-Suyuthi, yang menulis tafsir Jalalain ini, ternyata juga menulis kitab tafsir lain yang lebih tebal dan lebih kaya daripada tafsir Jalalain, yakni Tafsir Al-Durr Al-Mantsûr fi Tafsir bi Al-Ma’tsûr. Dalam tafsir itu ꟷ sebagaimana kita ketahuiꟷJalaluddin tidak menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dengan penjelasan-penjelasan. Lalu, apa yang dilakukan Al-Suyuthi? la mengutip ber bagai riwayat yang berkenaan dengan ayat-ayat. Karena itu, orang menyebut tafsirnya itu sebagai Tafsir bi Al-Riwayat, menafsirkan ayat Al-Quran dengan riwayat. Misalnya, ketika menjelaskan ayat alladzina yu’minuna bil-ghaib (ayat ketiga Surah Al-Baqarah), ia menjelaskan dengan riwayat. Siapakah yang dimaksud dengan alladzina yu’minûna bil-ghaib, orang-orang yang beriman kepada yang gaib itu? Jalaluddin menjawab dengan riwayat berikut: Pada suatu akhir malam menjelang waktu subuh, Rasulullah bermaksud untuk berwudhu. Beliau bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah ada air untuk berwudhu?” Waktu itu, tidak ada seorang sahabat pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong yang di bawahnya masih tersisa tetes-tetes air. Dibawalah kantong air itu. Rasulullah kemudian memasukkan jari jemarinya ke dalam kantong air itu. Ketika beliau mengeluarkan tangannya, terpancarlah air dari sela-sela jarinya dengan pancaran yang deras. Para sahabat datang dan berwudhu dengan air itu. Bahkan, Abdullah bin Mas’ud tidak hanya berwudhu, tetapi juga meminum air tersebut. Setelah selesai shalat subuh, Rasulullah kemudian duduk menghadap para sahabat. Beliau bertanya, “Tahukah kalian, siapa orang-orang yang paling menakjubkan imannya?” Kata para sahabat, “Para malaikat.” Kata Rasulullah, “Bagaimana para malaikat tidak beriman; mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Mereka bolak-balik melaksanakan perintah Allah untuk menunaikan amanah Allah.” “Kalau begitu, para nabi,” kata para sahabat. “Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah Swt.” “Kalau begitu, kami, para sahabat engkau.” “Bagaimana kamu tidak beriman; baru saja kamu menyaksikan apa yang kamu saksikan,” kata Rasulullah. (Maksudnya, bagaimana para sahabat tidak beriman, padahal mereka baru saja menyaksikan mukjizat ꟷmemancarnya air dari sela-sela jari Rasulullah.) “Kalau begitu, siapa manusia yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah berkata, “Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku, tidak pernah melihatku. Namun, ketika menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan mereka, mereka lalu mencintaiku. Mereka mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka mau menjual seluruh hartanya itu.” Mudah-mudahan kita termasuk kelompok ini, kelompok yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah, yang tidak pernah sezaman dengannya, tetapi sangat mencintainya. Kita tahu dari kitab yang terbuka di depan kita. Kita tahu dari para ulama yang menyampaikan isi kitab itu kepada kita. Kita membela Rasulullah seperti kata Rasulullah, “Berbahagialah saudara-saudaraku, ikhwâni!” Masih dalam tafsir Al-Durr Al-Mantsûr. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah kami yang engkau maksud ikhwani itu?” “Tidak, engkau adalah sahabat-sahabatku,” kata Rasulullah. “Tetapi yang dimaksud dengan ikhwani adalah mereka yang datang sesudahku.” Bayangkan, Rasulullah menyebut orang yang sezaman dengan beliau dengan sebutan sahabat, tetapi kepada mereka yang datang sepeninggalnya, yang mencintainya dengan seluruh jiwa dan raga, beliau menyebutnya dengan gelaran yang sangat mesra: ikhwânî (saudara-saudaraku), suatu kaum yang datang sesudah beliau, suatu kaum yang tidak pernah berjumpa dengan beliau. Sekali lagi kita berharap, semoga kita termasuk orang yang mencintai Rasulullah, yang dipanggilnya dengan panggilan “ikhwânî“. Dan semoga, kita juga termasuk orang yang dimaksud oleh “alladzina yu’minuna bil-ghaib”ꟷkaum inilah yang dimaksud dengan kaum yang beriman kepada yang gaib. Kecintaan kepada Rasulullah bukan saja merupakan kewajiban ꟷsebagaimana disebutkan dalam banyak hadisꟷmelainkan juga syarat yang tidak boleh tidak mesti ada apa bila kita ingin menjalankan syariat Islam. Tidak mungkin orang bisa menjalankan Sunnah Rasulullah dengan seluruh hatinya apabila dia tidak mencintai Rasulullah. Dasar agama adalah cinta; salah satunya adalah kecintaan kepada Rasulullah. Ada sebuah hadis yang sangat populer, tetapi sering diterjemahkan secara keliru dalam terjemahan-terjemahan bahasa Indonesia. Atau, karena semua keliru, mungkin boleh jadi sayalah yang keliru. Hadis itu diterima dari Al-Tâmim Al-Dari, diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Bisa juga dilihat dalam Al-Targhib wa Tarhib II. Dalam hadis itu disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Al-Din Al-Nashihah.” Kemudian diterjemahkan ꟷyang menurut saya keliruꟷ”agama itu nasihat”. Para sahabat bertanya, “Kepada siapa nasihat itu, Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada para imam kaum Muslim, dan kepada seluruh kaum Muslim.” Menurut saya, di situlah kekeliruannya. Bagaimana mungkin kita harus memberi nasihat kepada Allah. Bagaimana mungkin kita memberi nasihat kepada kitab-Nya. Bagaimana mungkin kita memberi nasihat kepada Rasul atau para imam. Itu tidak mungkin. Saya heran mengapa diterjemahkannya menjadi nasihat. Dalam bahasa Arab, kata “nashihah” selain bermakna memberikan nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, serta membersihkan kecintaan kepada seseorang. Karena itu, orang yang mempunyai kecintaan yang tulus disebut nâshih. Tobat yang keluar dari hati yang tulus disebut taubatan nashūḥa. Orang Arab menyebut madu yang murni, bersih, tidak bercampur air sebagai nashihul ‘asal. Kepada seseorang yang hatinya bersih dan tidak berkhianat kepada orang lain, orang Arab menyebutnya rajulun nash al-jayb (lihat Al-Qâmûs, Al-Shihah, Taj Al-‘Arûs). Jadi, kata “nashihah” berarti kesetiaan atau kecintaan yang tulus. Karena itu, arti sebenarnya hadis tersebut adalah “Dasar agama adalah kecintaan yang tulus”. Yang pertama tentu saja kecintaan kepada Allah dan kecintaan tersebut harus kecintaan yang tulus. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bahkan membagi kaum Muslim menjadi dua golongan. Satu golongan disebut Rasulullah sebagai nashahah, bentuk jamak dari nashih Satu golongan lagi, beliau menyebutnya ghasyasyah. Nashähah ialah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul dan seluruh kaum Muslim. Sedangkan kepada kelompok ghasyasyah, Rasulullah menyebutnya para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih. Rasulullah bersabda, “Kaum Mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi, orang durhaka itu satu sama lain ghasyasyah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun mereka ini berdekatan tempat tinggalnya. “ (Al-Targhib wa Al-Tarhib 2: 575.) Jadi, menurut Rasulullah, orang Mukmin itu ditandai dengan kecintaan yang setia, sedangkan orang durhaka ditandai dengan sifat suka berkhianat, tidak setia terhadap sesamanya. Saya akan membahas yang pertama saja, yaitu kecintaan tulus: kecintaan tulus kepada keluarga Rasulullah dan kepada sesama kaum Muslim. Kita sudah mengetahui bagaimana kecintaan kepada Rasulullah diungkapkan. Lawan dari cinta seperti dikatakan sebelumnya adalah pengkhianatan. Kecintaan kepada keluarga Rasulullah adalah ikatan yang mempersatukan seluruh mazhab. Kecintaan kepada Ahlul Bait diwajibkan oleh seluruh mazhab. Anda pasti mengetahui Al-Zamakhsyari, penulis Tafsir Al- Kasyaf, yang kata orang bermazhab Mu’tazilah. Perhatikanlah syair yang ditulisnya mengenai ikhtilaf di kalangan kaum Muslim, dan jalan keluar dari perpecahan: Sudah banyak keraguan Dan setiap orang mengaku jalan yang benar Aku berpegang dengan kalimat la ilaha illallah Dan aku berpegang pada kecintaan Kepada Ahmad dan keluarganya. Anjing saja beruntung karena mencintai ashhabul kahfi Maka, bagaimana mungkin aku celaka Karena mencintai keluarga Nabi. Anjing saja beruntung bisa disebut di dalam Al-Quran, memiliki karamah sehingga bisa tidur 300 tahun. Keberuntungannya disebabkan ia mencintai ashhabul kahfi. Maka, bagaimana mungkin akan celaka kalau kita mencintai keluarga Nabi. Jadi, kecintaan itu disepakati oleh seluruh mazhab. Imam Syafi’i dikenal mencintai keluarga Nabi. Bahkan, Imam Syafi’i pernah berkata, “Heran betul kalau aku sebut-sebut Ali Al-Murtadha atau Fathimah Al-Zahra dalam suatu majelis, orang-orang segera berdiri dan berteriak, ‘Ini Rafidhi’.” Kemudian ia bersyair: إِنْ كَانَ رَفْضًا حُبُّ آلِ مُحَمَّدٍ فَلْيَشْهَدِ الثقَلَانِ أَنَى رَافِضٌ Kalau yang disebut Rafidhi itu adalah mencintai keluarga Muhammad, maka hendaknya seluruh jin dan manusia menyaksikan bahwa aku ini Rafidhi. (Abu Nu’aim, Hilyat Al-Awliya’ 9: 152) Kalau Imam Syafi’i, karena mencintai keluarga Nabi, pernah disebut Rafidhi, sekarang ia mungkin disebut musyrik karena dianggap kultus individu. Kalau itu disebut musyrik, saya akan bicara seperti Imam Syafi’i: Kalau yang disebut musyrik itu adalah mencintai keluarga Muhammad, maka hendaknya seluruh jin dan manusia menyaksikan bahwa aku ini adalah musyrik. Jadi, seluruh mazhab sepakat bahwa mencintai Ahlul Bait adalah bagian dari ajaran Islam. Bagaimana tidak, Al-Quran menyatakan, Katakan oleh kamu, Muhammad, “Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini, kecuali kecintaan kepada keluargaku. “Ketika ditanya siapa keluarga yang wajib kami cintai itu, Rasulullah menyebut, “Ali, Fathimah, dan kedua putranya.” Itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab. Akan tetapi, mengapa dalam perkembangan selanjutnya kita dijauhkan dari Ahlul Bait? Mula-mula kita dijauhkan dari kecintaan kepada Rasulullah. Sebab, seperti tanaman, cinta itu akan tumbuh subur bila kita memeliharanya dengan baik. Karena itu, untuk mencintai Rasulullah, seperti telah disebutkan, para ulama mengembangkan berbagai teknik supaya kecintaan di kalangan kaum Muslim terhadap Rasulullah tidak pudar. Di antara teknik yang dikembangkan oleh para ulama salaf ialah melalui peringatan Maulid Nabi. Dalam peringatan Maulid itu, dibangkitkan kenangan kepada Rasulullah, dituliskan berbagai syair yang memuji beliau, dan dibacakan berbagai shalawat. Kalau kita kenang, orang-orang terdahulu mengajarkan shalawat sangat sistematis. Kalau ada anak lahir, mereka mengadakan shalawat untuk menyambut kelahiran anak itu, atau yang kita sebut “marhabanan”. Kalau ada orang Muslim dikhitan, shalawat juga yang mereka bacakan. Bahkan, ketika mengantar pengantin, shalawat juga dibacakan. Begitulah shalawat ditanamkan oleh orangtua kita. Karena itulah, kita mengenal bermacam-macam shalawat. Ada shalawat untuk memperoleh kekuatan gaib. Ada shalawat untuk dilepaskan dari kesulitan. Ada shalawat yang dapat dibaca kalau kita ingin berjumpa dengan Rasulullah dalam mimpi kita. Itu semua adalah teknik yang kita warisi untuk mengembangkan kecintaan kepada Rasulullah. Tetapi, bagaimana perkembangan selanjutnya? Teknik-teknik ini mulai dibid’ahkan. Maulidan dianggap bid’ah, shalawat dianggap bid’ah. Kalau peringatan Maulid dibid’ahkan, mungkin dapat kita terima, karena tidak dicontohkan Nabi. Tetapi, kalau shalawat yang dibid’ahkan, saya jadi tidak paham, karena itu dituliskan di dalam Al-Quran. Sehubungan dengan kecintaan kepada keluarga Rasulullah, ada yang menarik dalam pembacaan shalawat kita. Di dalam shalawat, sekarang keluarga Rasulullah tidak disebut oleh kebanyakan kaum Muslim. Mereka menyebut shalawat kepada Rasulullah, tetapi tidak menyebut shalawat kepada keluarganya. Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wa alihi-nya tidak disebut. Lafal “wa alihi” dikeluarkan dari shalawat. Padahal Imam Syafi’i pernah berkata, “Siapa yang membaca shalawat tanpa menyebut keluarganya, tidak sah shalatnya.” Kalau dalam shalat kita membaca “Allahumma shalli alâ Muhammad” tanpa menyebut “wa âli Muhammad”, shalat kita tidak sah. Dalam shalat, alhamdulillah, kita masih menyertakan keluarga Nabi dalam shalawat. Tetapi di luar shalat, kita tidak lagi menyebut keluarga Nabi saat membaca shalawat. Kita hanya menyebut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya khawatir, jangan-jangan shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lama-kelamaan juga hilang. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat yang buntung.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat yang buntung itu?” Beliau menjawab, “Engkau mengucapkan Allahumma Shalli ‘ala Muhammad dan engkau berhenti. Ucapkanlah Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad (Ibn Hajar, Al-Syawaiq, h. 87). Apa yang menyebabkan orang jauh dari Ahlul Bait? Apa yang menyebabkan orang meninggalkan kecintaan kepada keluarga Rasulullah, padahal sudah disepakati oleh seluruh mazhab? Salah satunya adalah alasan politik. Sepanjang sejarah, kelompok Ahlul Bait adalah kelompok yang tertindas secara politik, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Jadi, secara perlahan, Ahlul Bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan, Ahlul Bait disingkirkan dari shalawat kaum Muslim. Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu, kalau kita ingin mempersatukan kaum Muslim, persatukanlah dari titik pertemuan ini, yaitu dari kecintaan kepada keluarga Rasulullah. Saya yakin, seluruh kaum Muslim mencintai Rasulullah dan keluarganya. Bahkan, orang yang mencurigai keluarga Rasulullah juga mengatakan bahwa mereka mencintainya. Selanjutnya, kita sampai pada kecintaan kepada kaum Muslim. Kalau memerhatikan hadis-hadis tentang jamaah, kita akan membaca hadis yang umumnya dijadikan dalil untuk kelompok-kelompok Islam: tentang kewajiban baiat, tidak boleh meninggalkan jamaah. Kita juga akan menemukan bahwa yang dimaksud dengan jamaah adalah keutuhan umat. Karena itu, siapa yang memecah persatuan umat dan kecintaan kepada umat, itulah sasaran dari teks hadis al-nashihah li ummat al-Muslimin. Kecintaan kita kepada kaum Muslim ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum Muslim. Lawan dari nashahah adalah ghasyasyah. Mengkhianati kaum Muslim, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, mengafirkan mereka, termasuk dosa besar. Karena itu, kelompok yang memecah belah ghasyasyah disebut tersendiri oleh Rasulullah sebagai kelompok pengkhianat. Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayat Al-Shahabat, diceritakan sebagai berikut: Pada suatu saat, ketika berkumpul dengan para sahabatnya di masjid, Rasulullah berkata, “Sebentar lagi akan muncul seorang laki-laki penghuni surga.” Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki membawa sandal dikepit di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, lelaki itu kemudian shalat. Keesokan harinya, Rasulullah berkata dengan kata-kata yang sama. Tiga kali Rasulullah menyebutkan kata-kata itu, dan tiga kali pula laki-laki itu muncul sehingga Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash merasa penasaran, ingin mengetahui apa yang dilakukan lelaki yang disebut-sebut Nabi sebagai penghuni surga. Abdullah kemudian menemui orang itu. “Saya bertengkar dengan ayah saya. Karena itu, saya tidak bisa tinggal dengannya. Bolehkah saya tinggal di rumah Anda selama beberapa malam?” pinta Abdullah. “Boleh,” jawab lelaki itu. Lalu tinggallah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash di rumah itu. Setiap malam, yang dia lakukan adalah mengawasi ibadah orang itu. “Tentu ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga,” pikir Abdullah. Namun, ternyata ibadahnya tidak ada yang istimewa; dia baru bangun menjelang sahur. Dia bangun kadang-kadang pada tengah malam dan menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, kemudian tidur lagi. Selama tiga malam itu, Abdullah tidak melihat ibadah yang istimewa yang dilakukan lelaki itu. Akhirnya, setelah tiga malam, Abdullah bin ‘Amr pamit. Sebelum pergi, dia berkata terus terang, “Sebetulnya saya tidak bertengkar dengan ayah saya. Saya hanya ingin mengetahui apa yang menjadikan engkau disebut Rasulullah sebagai salah seorang penghuni surga.” Orang itu berkata, “Saya seperti yang Anda lihat. Memang, itulah diri saya.” Abdullah bin ‘Amr pun akhirnya pergi. Tetapi setelah agak jauh, Abdullah dipanggil kembali oleh orang itu. la kemudian menjelaskan, “Saya memang seperti yang Anda lihat. Hanya saja saya tidak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum Muslim.” Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata, “Justru inilah yang tidak mampu saya lakukan: tidak menyimpan rasa dendam, rasa benci, rasa dengki kepada sesama kaum Muslim.” Mungkin kita semua seperti Abdullah: tidak bisa membuang niat jelek terhadap sesama Muslim. Boleh jadi kita mampu berlama-lama shalat, boleh jadi kita mampu mengisi malam dengan zikir; tetapi sering kali kita tidak mampu menyingkirkan rasa dendam dan rasa benci dalam hati kita terhadap sesama kaum Muslim. Kita berlindung kepada Allah Swt. dari hal seperti itu. Salah satu kecintaan terhadap sesama kaum Muslim ialah menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun paham mereka, apa pun mazhab mereka, apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Dan bila ada sebesar debu saja rasa dengki kepada sesama kaum Muslim, ada perasaan ingin mengkhianati sesama Muslim, berarti kita sudah melanggar al-nashihah li ummat al-Muslimin, kesetiaan kepada umat Islam, yang merupakan hal penting dari ajaran Islam. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
MENGHIDUPKAN KECINTAAN KEPADA RASULULLAHSeptember 14, 2024Pada suatu saat menjelang shalat magrib, seorang Arab dusun datang menemui Rasulullah. Dia melontarkan pertanyaan yang mengejutkan para sahabat waktu itu. “Ya Rasulullah, kapan hari kiamat itu terjadi?” Karena waktu itu sedang bersiap-siap melakukan shalat magrib, beliau tidak menjawab pertanyaan itu. Beliau langsung saja melakukan shalat magrib. Setelah selesai shalat, Rasulullah duduk menghadap para sahabat. Rasulullah kemudian bertanya, “Mana orang yang bertanya tentang kapan hari kiamat terjadi?” “Saya, ya Rasulullah,” kata orang Arab tadi. Rasulullah berkata, “Engkau bertanya tentang hari kiamat; lalu apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut hari kiamat itu?” Orang itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya tidak mempersiapkan apa pun kecuali kecintaan saya kepadamu.” Beliau berkata, “Engkau akan dihimpunkan beserta orang yang engkau cintai.” Sahabat-sahabat yang lain pun bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ucapanmu itu akan berlaku bagi orang ini saja, ataukah bagi kami juga?” Rasulullah menjawab, “Bagi kamu sekalian dan bagi seluruh kaum Mukmin.” Periwayat hadis itu mengatakan bahwa para sahabat belum pernah merasa gembira yang melebihi kegembiraan mereka saat itu ketika mendengar bahwa kecintaan mereka akan menggabungkan mereka dengan orang yang dicintai. Ucapan orang Arab dusun bahwa tidak mempersiapkan apa pun selain kecintaannya kepada Rasulullah, mencerminkan keadaan kaum Muslim ketika mereka ditanya tentang persiapan menghadapi hari kiamat. Kita melihat berbagai kekurangan dalam amal-amal kita. Kita juga menyadari kejelekan akhlak kita. Kita tidak mempunyai apa pun kecuali kecintaan kepada Rasulullah. Di Madinah, begitu banyak orang datang dari berbagai penjuru untuk berziarah kepada beliau hanya dengan membawa modal berupa kecintaan kepadanya. Seperti halnya kaum Muslim yang lain, kita juga begitu gembira dengan ucapan Rasulullah bahwa kecintaan kita kepadanya, insya Allah, akan menggabungkan kita dengan orang yang kita cintai. Akan tetapi, cinta memerlukan siraman-siraman. Di antara siraman untuk menumbuhkan kecintaan kepada beliau ialah dengan mengenal kembali sejarah Rasulullah. Membersihkan Penisbahan yang Tak Layak Kecintaan kepada Rasulullah bukan saja merupakan suatu hal yang mengikat kaum Muslim dengan agamanya, melainkan juga suatu fondasi yang menegakkan seluruh bangunan atau struktur keberagamaan kita. Berkaitan dengan hal itu, orang-orang kafir tahu betul bahwa salah satu cara yang efektif untuk mengurangi keberagamaan kaum Muslim ialah dengan menjatuhkan Rasulullah atau merendahkannya. Dengan cara itu, menurut mereka, kaum Muslim akan jauh berpisah dari agamanya. Dalam karya Karen Armstrong, kita akan menemukan usaha-usaha mereka itu. Karen Armstrong menulis sebuah buku yang berjudul Muhammad: A Western Attempt to Understand Islam (Muhammad: Sebuah Usaha Barat untuk Memahami Islam). Karen Armstrong menggambarkan bagaimana orang-orang Barat sepanjang sejarah berusaha mendiskreditkan Rasulullah. Hugo de Groot ̶ yang terkenal sebagai seorang ilmuwan yang pertama kali merumuskan Hukum Internasional-pernah menulis buku tentang Rasulullah. Ia menggambarkan bahwa Rasulullah menderita epilepsi. Mengapa usaha ini berlangsung terus sepanjang sejarah? Sebab, dengan mendiskreditkan Rasulullah, mereka berharap kecintaan kita kepada beliau akan berkurang. Kalau kecintaan kita kepada Rasulullah berkurang, kita akan terlepas dari salah satu ikatan Islam. Bahkan menurut saya, ikatan itu adalah ikatan yang paling pokok. Karena itu, sepanjang sejarah, umat Islam berusaha menangkis upaya penghinaan atas kehormatan Rasulullah dengan berbagai cara. Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, mengatakan bahwa di Dunia Islam, orang tidak diapa-apakan jika tidak percaya kepada Tuhan. Akan tetapi, jika mereka menghina Rasulullah, orang Islan akan bangkit dan melawan, meskipun mereka mungkin tidak menjalankan agamanya. Sikap seperti ini muncul karena upaya para ulama sepanjang sejarah menanamkan kecintaan kepada Rasulullah. Kita harus menyampaikan hormat kita kepada orang-orang Islam yang berupaya memelihara hadis-hadis Nabi dengan ketekunan yang luar biasa, orang-orang seperti Jalaluddin Al-Suyuthi, yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyimpan perbendaharaan Sunnah Rasulullah. Kaum Muslim juga senantiasa berusaha melazimkan shalawat kepada Rasulullah. Dalam beberapa aliran tarekat, tradisi bacaan shalawat lebih dominan daripada zikir-zikir yang lain. Ada orang yang beranggapan bahwa di dalam shalawat telah terhimpun semuanya. Misalnya, bacaan shalawat dimulai dengan perkataan “Allahumma“, dan menyebut nama Allah adalah zihir. Di dalam shalawat juga, ada doa. Hampir dalam setiap shalawat ada doa, misalnya dalam Shalawat Badriyah. Ada juga shalawat lain yang terkenal dianggap sangat mujarab untuk mengatasi berbagai kesulitan. Karena itu, shalawat itu disebut dengan shalawat untuk melepaskan kesulitan atau Shalawat Munfarijah. Dengan sendirinya, di dalam shalawat, ada doa untuk memohon kepada Allah agar melimpahkan kesejahteraan kepada Rasulullah dan keluarganya. Jadi, kebiasaan melazimkan shalawat adalah salah satu upaya kaum Muslim untuk memelihara kemuliaan Rasulullah. Mengadakan Peringatan Maulid Termasuk di antara cara mengikat atau menambah kecintaan kita kepada Rasulullah adalah mengkhususkan bulan kelahirannya dengan membacakan riwayat hidup beliau. Riwayat-riwayat Rasulullah yang ditulis oleh para ulama disebut Maulid. Di Indonesia, peringatan hari kelahiran Nabi itulah yang disebut Maulid. Padahal, maulid berarti tulisan-tulisan, baik prosa, puisi, maupun lain-lain yang menceritakan kisah Rasulullah dengan penuh kecintaan. Salah satu contohnya adalah Al-Barzanji yang sering dibaca oleh orang-orang Indonesia. Jadi, peringatan Maulid adalah salah satu rekayasa atau usaha kaum Muslim untuk menyiram kecintaan kepada Rasulullah dengan berbagai kegiatan. Dunia puisi Islam banyak dihiasi oleh bacaan-bacaan shalawat. Contohnya, apa yang dilakukan penyair Sa’di ketika ia bersenandung: Balagha al-‘ula bi kamâlihi Kasyafa alduja bi jamalihi Hasunat jami’u hishalihi Shallu ‘alayhi wa alihi Mencapai ketinggian dengan kesempurnaannya Menyingkap kegelapan dengan keindahannya Sungguh indah seluruh perilakunya Sampaikan salam padanya dan keluarganya Sayangnya, peringatan Maulid Rasulullah yang semula dimaksudkan untuk membangkitkan kecintaan kepada Rasulullah ini berkembang perlahan-lahan menjadi sangat kering. Bahkan, sering Rasulullah tidak diikutsertakan dalam peringatan itu. Tidak jarang peringatan Maulid diisi dengan gelak canda dan tawa yang dapat menjauhkan kita dari kecintaan kepada Rasulullah. Membacakan Shalawat Dahulu, sebenarnya orangtua kita sudah meninggalkan “warisan” tentang cara mencintai Rasulullah, dengan tata cara yang telah mereka rumuskan. Misalnya, bagaimana shalawat selalu menyertai tahap-tahap kehidupan manusia Muslim di Indonesia: ketika seorang anak dilahirkan, dikhitan, dinikahkan, dan ketika ia meninggal dunia. Ketika seorang anak lahir, diadakan akikah yang di dalam marhabanannya dibacakan shalawat kepada Nabi Muhammad dan Al-Barzanji, yang berisi kisah-kisah kehidupan Rasulullah. Setelah itu, ia dikelilingkan kepada orang-orang yang hadir pada resepsi itu, kemudian di telinganya diperdengarkan shalawat dan salam dari orang di sekitarnya. Sekarang sains dapat membuktikan bahwa telinga anak yang baru lahir sudah merekam suara yang ada di sekitarnya. Ketika hendak dikhitan, sebelum dibawa ke rumah sakit, seorang anak diperdengarkan dahulu dengan gemuruh suara orang membacakan shalawat dan salam kepada Rasulullah. Begitu juga dalam pernikahan. Pengantin lelaki akan diantar menemui pengantin perempuan dengan iringan rebana dan shalawat kepada Nabi Muhammad. Dan kalau orang me ninggal dunia, dibacakan tahlil dan dalam tahlil itu dibacakan shalawat kepada Rasulullah. Itu menunjukkan bahwa cara yang dilakukan orangtua dahulu untuk menghidupkan kecintaan kepada Rasulullah di hati kita sudah dibiasakan pada setiap tahap kehidupan kita. Akan tetapi, sayang, dalam perkembangan zaman, tradisi ini ditinggalkan orang, bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan. Lebih dari itu, tradisi-tradisi itu malah dilarang dengan menyebutnya bid’ah, sebuah nama yang menyakitkan. Karena itulah, orang menjadi ragu untuk membacakan shalawat ini. Sekarang ini, yang diadakan bukanlah marhabanan, melainkan syukuran yang pembacaan shalawatnya sangat sedikit, hanya dilakukan oleh mubalig yang memberikan pengajian pada waktu syukuran tersebut. Belakangan ini, pertentangan terhadap kecintaan kepada Rasulullah ini sudah sangat keras lagi. Orang bukan saja takut melakukannya, melainkan juga khawatir amalnya terhapus karena orang lain menyebutnya musyrik. Kalau sudah dianggap musyrik, terhapus lah amal-amal yang pernah dilakukan. Begitu juga, berdiri untuk membacakan shalawat kepada Rasulullah ̶ yang mula-mula dibid’ahkan ̶ kini sudah dimusyrikkan. Mereka menyebut itu semua bukan kecintaan, melainkan kultus individu, satu kata yang dimunculkan untuk melegitimasi kurangnya kecintaan kepada Rasulullah. Dalam sebuah surat kabar, saya pernah membaca tentang Maulid, yang penulisnya mengganti istilah Maulid dengan Hari Jadi. Pada kalimat awalnya, ia mengatakan bahwa memperingati Hari Jadi merupakan kebiasaan jahiliah yang feodalistik. Waktu itu, saya hampir tidak mau melanjutkan pembacaan. Hal itu menunjukkan bahwa sampai sekarang masih ada orang yang berusaha menghilangkan cara mendekatkan hati kita kepada Rasulullah. Saya menjadi teringat, pengalaman itu juga pernah saya alami ketika saya membid’ahkan orang yang berdiri mengucapkan shalawat kepada Rasulullah. Saya juga pernah meng anggap bahwa Rasulullah itu manusia biasa seperti kita. Kalau boleh saya katakan, dalam sejarah hidup saya, sebenarnya tecermin sejarah kaum Muslim dalam hubungannya dengan kecintaan kepada Rasulullah. Kini, marilah kita ucapkan shalawat kepada Nabi untuk mengungkapkan cinta kita kepadanya. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa hal itu bid’ah, biarlah semua orang tahu bahwa kita pelaku bid’ah. Yang jelas, kalau Islam tidak menghormati Rasulullah, kita ucapkan saja selamat tinggal kepada Islam. Sehubungan dengan shalawat ini, saya pernah membaca hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud ̶ dengan sanad yang sahih ̶ yang maknanya kira-kira demikian: “Siapa yang berziarah kepadaku dan mengucapkan salam kepadaku, Allah akan kembalikan ruh ke dalam diriku dan kemudian aku akan menjawab salamnya.” Jadi, saya percaya bahwa Rasulullah hidup kembali dan mengucapkan salam. Bahkan, dalam hadis disebutkan bahwa para nabi masih beribadah dalam kuburnya. Tetapi, persoalan terakhir ini memerlukan uraian yang panjang. Disebutkan juga bahwa, “Kalau orang tidak sempat berziarah kepadaku dan mengucapkan salam kepadaku dari tempat yang jauh, malaikat akan datang ke tempat itu, kemudian menyampaikan salam kepadaku,” kata Rasulullah. Karena itu, ketika membacakan shalawat pada tempat khusus, misalnya pada peringatan Maulid, hati saya betul-betul tersentuh, karena saya yakin bahwa Rasulullah mendengar salam saya. Sebetulnya, ada suatu fitrah dalam diri manusia untuk mencintai seseorang. Dan ketika manusia tidak mendapatkan seseorang yang dicintainya, ia mencari siapa saja yang bisa menyalurkan rasa cintanya. Hal seperti ini terjadi juga pada manusia-manusia modern. Mereka mencari orang yang bisa dicintai dengan seluruh jiwa dan raganya; yang untuknya, mereka rela mengorbankan apa saja. Dan coba bayangkan, bagaimana orang yang mencintai Michael Jackson bertemu dengannya. Mereka akan meneriakkan namanya, bahkan menjerit sambil menangis. Bahkan, ketika dia datang ke Singapura, banyak di antara penggemarnya yang datang ke sana adalah orang-orang Indonesia. Mereka menjerit dengan jeritan yang sama, Michael Jackson! Begitu juga ketika Rebecca Gilling, salah seorang bintang film Return to Eden, atau Zinedine Zidane datang ke Jakarta, ribuan orang datang ke situ tanpa ada panitianya. Mereka ingin menyentuhnya, paling tidak, menyentuh bekas injakan kakinya. Itu semua disebabkan oleh kerinduan seseorang untuk mencintai seseorang Dan bukan tidak mungkin pula bahwa yang datang adalah kaum Muslim yang sudah kehilangan kecintaan mereka terhadap Rasulullah, karena kecintaan terhadap Rasulullah sudah direkayasa disingkirkan dengan berbagai cara. Misalnya dengan menyebut bahwa hal itu sebagai bid’ah dan musyrik. Orang yang mengatakan bahwa mencintai Rasulullah adalah bid’ah dan musyrik bukanlah tokoh yang layak kita cintai dan bukan tokoh yang patut diberi kecintaan tulus kepadanya. Tapi, memang begitulah yang terjadi sekarang ini. Kita disuruh mencintai Rasulullah, seperti yang disebutkan dalam hadis dan ayat-ayat Al-Quran. Sebagaimana tanaman, cinta memerlukan siraman supaya tumbuh subur. Kalau tidak disirami, tanaman itu akan layu. Karena itu, kita menghidupkan cara untuk menyiram kembali pohon kecintaan kepada Rasulullah supaya menakjubkan orang yang menanamnya. Itulah salah satu ciri orang yang mencintai Rasulullah. Mereka akan selalu bersama Rasulullah. Kalau kecintaan itu tumbuh seperti pohon besar yang akan menakjubkan orang yang menanamnya, hal itu akan membuat marah orang-orang kafir. Kita berupaya menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah agar membuat takjub kepada kaum Muslim dan pada saat yang sama, membuat marah orang-orang kafir. Akhirnya, jika Anda masih ragu juga untuk membaca shalawat, bacalah kitab Jala-ul Afham fi Fadhli Ash-Shalati was Salami ‘ala Muhammad Khayr Al-Anam. Penulisnya adalah ahli hadis besar, Ibn Qayyim Al-lauziyyah, murid Ibn Taimiyah. Ia mengumpulkan hadis-hadis tentang shalawat dalam bukunya itu, lengkap dengan penilaian ahli hadis atasnya. Sebagai contoh, saya cantumkan salah satu hadis dari ratusan hadis di dalamnya: “Dari Ka’ab bin ‘Ujrah: Rasulullah bersabda, ‘Berkumpullah di sekitar mimbar.’ Kami pun berkumpul. Lalu Rasulullah naik ke anak tangga pertama dan berkata, ‘Amin.’ la naik ke anak tangga kedua dan berkata, ‘Amin.’ la naik ke anak tangga ketiga dan berkata, ‘Amin.’ Setelah selesai, ia turun dari mimbar. Kami berkata, ‘Ya Rasul Allah, hari ini kami mendengar sesuatu yang tidak pernah kami dengar sebelumnya.’ la bersabda, ‘Jibril menyatakan kepadaku (pada anak tangga pertama): ‘Dijauhkan dari kasih sayang Allah, orang yang memasuki Ramadhan dan tidak diampuni. Aku berkata, ‘Amin.’ Ketika aku naik ke anak tangga kedua, Jibril berkata, ‘Dijauhkan dari kasih sayang Allah, orang yang disebut namamu di hadapannya dan ia tidak bershalawat kepadamu.’ Aku berkata, ‘Amin.’ Ketika aku naik ke anak tangga ketiga, Jibril berkata, ‘Dijauhkan dari kasih sayang Allah dan tidak masuk surga, orang yang mendapatkan kedua orangtuanya sudah lanjut usia, kemudian ia tidak berkhidmat kepada mereka.” Aku berkata, “Amin.”” Al-Hakim berkata, sanadnya sahih (lihat Jala-ul Afham, h. 33). . JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
Mengapa Mencintai RasulullahSeptember 14, 2024Bagi orang Islam, menghormati Rasulullah adalah kewajiban utama. Kewajiban lainnya yaitu memuliakan Rasulullah. Di antara cara memuliakan beliau yaitu dengan membersihkan penisbahan yang tidak layak baginya. Itulah kewajiban kedua. Kewajiban ketiga yaitu membiasakan membaca shalawat dan salam bagi beliau. Mengapa saya mengatakan “membiasakan membaca shalawat”? Sebab, sering orang sangat sukar membaca shalawat, kecuali jika ia sudah membiasakan diri membacanya. Sebagaimana kita ketahui, kalau orang mencintai seseorang, maka orang yang ia cintai sering ia sebut. Begitu Anda jatuh cinta kepada seseorang, Anda akan mulai sering menyebut namanya. Jadi, salah satu tanda cinta adalah menyebut nama orang yang dicintai. Dan menyebut namanya tentu saja akan berbeda dengan menyebut nama yang lain, karena ada getaran tertentu di dalamnya. Begitu juga kecintaan kita terhadap Rasulullah. Kita akan menyebut namanya berbeda dengan nama-nama lain. Sehubungan dengan itu, tanda memuliakan Rasulullah yang selanjutnya adalah mencintainya (mahabbah). Menyebut nama merupakan ungkapan kecintaan. Karena shalawat adalah menyebut nama Rasulullah, maka shalawat adalah tanda kecintaan kepada Muhammad yang mulia. Ada sebuah buku antropologi klasik yang mengisahkan kebiasaan berbagai bangsa di dunia dalam hubungannya dengan ilmu gaib. Sir James George Frazer, dalam The Golden Bough: A Study in Magic and Religion, membagi prinsip-prinsip magic menjadi dua macam. Pertama, ilmu gaib yang diperoleh dengan melakukan kontak atau hubungan dengan benda-benda yang terkait dengan orang yang menjadi sasaran atau sumber ilmu gaib itu. Misalnya, dalam suatu bangsa, kalau orang ingin “menjatuh-hatikan” seorang wanita, diambillah sesuatu yang pernah disentuh oleh wanita itu. Frazer menyebutnya Law of Contact. Ilmu gaibnya disebut Contaginus Magic. Kedua, ilmu gaib yang berdasarkan hukum kesamaan, Law of Similarity. Ilmu gaibnya disebut Imitative Magic. Jika kita menginginkan sesuatu dengan kekuatan gaib, kita menggunakan sesuatu yang mirip dengan apa yang kita inginkan. Kalau dulu orang menginginkan datangnya angin, misalnya, ia melakukannya dengan bersiul. Bersiul itu sama dengan datangnya angin. Kebiasaan itu ternyata dilakukan hampir di seluruh bangsa di dunia, tetapi kita tidak mengetahui apakah itu benar-benar terjadi atau tidak. Sekali lagi, saya tidak tahu persis apakah ada hubungan antara kekuatan gaib yang kita peroleh dari sentuhan benda dan sumber yang mempunyai kekuatan energi itu. Namun, kalau kita memerhatikan tradisi para sahabat dalam mengambil berkah dari apa saja yang pernah bersentuhan dengan Rasulullah, seakan-akan magic yang ada dan tersebar di seluruh dunia ini mempunyai pembenaran agama. Dahulu sahabat sering mengambil sesuatu yang berasal dari Rasulullah atau sesuatu yang pernah disentuh oleh Rasulullah untuk mengambil berkah darinya. Misalnya, menyentuh mimbar yang pernah disentuh Rasulullah. Tanpa menghubungkan dengan hal-hal yang magic sekalipun, perbuatan-perbuatan seperti itu sesungguhnya lebih merupakan ungkapan kecintaan terhadap Rasulullah. Setelah beberapa saat Rasulullah meninggal dunia, para sahabat mendatangi kuburan beliau dan mengambil tanah untuk diusapkan ke wajah mereka, karena mereka mengetahui bahwa tanah itu bersentuhan dengan tubuh Rasulullah yang mulia. Dari kecintaan itulah, mereka mengusapkan tanah itu; dan ini bukan termasuk kemusyrikan. Kalau banyak jamaah haji yang menjenguk kuburan Rasulullah dengan linangan air mata, ketahuilah bahwa itu timbul karena kecintaan mereka terhadap beliau; mereka tidak bermaksud menuhankan Rasulullah. Kecintaan kita terhadap Nabi diperintahkan oleh Al- Quran dan hadis. Di antara ayat Al-Quran yang menganjurkan kecintaan terhadap Rasulullah ialah: Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugi annya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. ” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS Al-Taubah : 24) Jika kamu sekalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian. (QS Ali ‘Imran : 31) Beberapa hadis juga ada yang menyebutkan kewajiban mencintai Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Cintailah Allah atas nikmat-Nya kepada kamu semua. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah, dan cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku” (Shahih Al-Turmudzi 2: 308). Hadis itu juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak Al-Shahihain dengan sanad yang sahih. Jalaluddin Al- Suyuthi memakai hadis ini untuk menerangkan ayat, Katakan oleh kamu (Muhammad), “Aku tidak meminta upah apa pun dari dakwahku kecuali kecintaan terhadap keluargaku” (QS Al-Syura : 23). Al-Suyuthi mengatakan, hadis ini menunjukkan kewajiban kita untuk mencintai Allah karena nikmat-Nya dan menyuruh kita mencintai Rasulullah kalau kita benar-benar mencintai Allah. Rasulullah juga menyuruh kita mencintai keluarganya sebagai tanda kecintaan terhadap beliau. Bahkan, dalam Al-Durr Al-Mantsûr, disebutkan bahwa dampak dan pengaruh mencintai Allah, Rasulullah, dan keluarganya, di antaranya ialah perasaan tenteram di dalam hati. Ketika turun ayat, Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ketahuilah, dengan zikir kepada Allah, hati menjadi tenteram (QS Al-Ra’d : 28), beberapa sahabat bertanya, “Siapakah yang tenteram karena zikir kepada Allah?” Rasulullah bersabda, “Orang- orang yang tenteram adalah orang yang mencintai Allah, mencintai Rasul-Nya, dan mencintai keluargaku dengan kecintaan yang tulus; bukan kecintaan yang dusta.” (Al-Durr Al-Mantsûr 4: 642.) Alhasil, mencintai Rasulullah adalah kewajiban; salah satu ungkapan kecintaan kepada beliau adalah mencintai keluarganya. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibn Asakir dan juga dimuat oleh Al-Muttaqi Al-Hindi dalam Kanz Al-Ummal 6: 218, 7: 103, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Ya Ali, Islam itu telanjang, pakaiannya adalah takwa, aksesorinya adalah petunjuk, dan perhiasannya adalah rasa malu. Membaguskannya adalah sifat warak serta manifestasinya adalah amal saleh, dan asas Islam itu kecintaan kepadaku dan keluargaku.” Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath, juga diriwayatkan dalam Kanz Al-‘Ummâl 7: 212, Rasulullah bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang empat hal. Pertama, dia akan ditanya tentang umurnya; untuk apa dia habiskan. Kedua, dia akan ditanya tentang jasadnya; pada apa dia rusakkan. Ketiga, dia akan ditanya tentang hartanya; untuk apa harta itu diinfakkan dan dari mana harta itu didapatkan. Keempat, dia juga akan di- tanya tentang kecintaannya kepada keluarga Rasulullah.” Dalam hadis di atas disertakan pertanyaan buat kita pada hari kiamat kelak tentang kecintaan kita kepada Nabi dan keluarganya. Begitu pentingnya kecintaan itu sampai- sampai Rasulullah, dalam hadis itu, memberikan petunjuk bagaimana mengajari anak-anak kita dan apa yang perlu diajarkan. “Didiklah anak-anakmu dengan tiga hal. Pertama, mencintai Nabinya. Kedua, mencintai keluarga Nabi. Ketiga, membaca Al-Quran karena pembaca Al-Quran akan dilindungi Allah pada suatu hari ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Dia, beserta Nabi dan orang pilihannya.” (Kanz Al-‘Ummâl 8: 278.) Sekali lagi, mengapa kita perlu mencintai Rasulullah dan keluarganya? Pertama, karena kita akan digabungkan dengan orang yang kita cintai; seperti pernah dikatakan oleh Rasulullah ketika menjawab pertanyaan orang yang datang menemuinya, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.” Rasulullah berkata, “Engkau akan beserta orang yang engkau cintai.” Pada riwayat lain dikisahkan, ada seorang imam shalat yang diprotes oleh makmumnya lantaran ia membaca Surah Al-Ikhlash pada setiap rakaat. Seorang makmum yang menemuinya bertanya, “Mengapa engkau selalu membaca surah itu?” la menjawab, “Kalau kamu tidak senang dengan saya, silakan mencari imam yang lain.” Ketika Rasulullah datang ke masjid itu, mereka menceritakan hal tersebut. Rasulullah memanggil imam itu dan bertanya kepadanya, “Mengapa engkau hanya membaca surah itu?” Imam shalat menjawab, “Ya Rasulullah, saya senang betul dengan surah itu. Saya mencintainya.” “Engkau akan beserta apa yang engkau cintai,” kata Rasulullah. Sungguh besar pengaruh kecintaan kita kepada sesuatu. Kalau kita mencintai sepak bola, misalnya, kita akan mencintai apa saja yang berhubungan dengan sepak bola. Kita akan menempel gambar pemain sepak bola di rumah kita, akan berlangganan surat kabar Bola, juga akan berusaha mengenal seluruh pemain sepak bola. Kalau pemain kesayangan kita bertanding dengan tim lain, seluruh emosi kita akan dibawa larut dalam pertandingan itu. Bahkan, Anda bisa bangun pada tengah malam lantaran akan ada pertandingan sepak bola. Mengapa Rasulullah menyuruh kita untuk mencintai dengan tulus? Kalau mencintai dengan tulus, kita akan kecanduan seperti halnya orang yang mencintai sepak bola tersebut. Kita akan berperilaku seperti perilaku Rasulullah dan keluarganya. Bahkan, sesuatu yang berkenaan dengan Rasulullah akan memengaruhi emosi, perasaan, dan pikiran kita. Pertanyaan kita selanjutnya adalah apakah kecintaan kita kepada Rasulullah lebih besar daripada kecintaan kita terhadap sepak bola atau hal-hal lainnya? Kita perlu bertanya seperti itu, karena mencintai Rasulullah dan keluarganya merupakan tonggak Islam. Ketahuilah, kalau seseorang membenci Rasulullah dan keluarganya, seluruh bangunan keagamaan akan runtuh. Kita akan sukar meniru perilaku Rasulullah kalau kita tidak mencintainya. JR Wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
PASRAH KARENA CINTASeptember 12, 2024Malam itu, di sebuah bilik pengap penjara Auschwitz terjadi kegemparan. Tiga orang napi melarikan diri. Penguasa penjara meledakkan kemarahannya dengan mengambil sepuluh napi untuk dihukum mati. Franciszek Grajowniczet, salah seorang napi yang diambil tersebut, menjerit, “Duhai istri dan anak-anakku yang malang. Aku takkan melihat mereka lagi.” Mendengar itu, Maximillian Kolbe menggantikan Franciszek. Kolbe beserta sembilan orang lainnya disekap di bawah tanah. Dua minggu kemudian, mereka dikeluarkan dari tempat itu dan sudah menjadi mayat, kecuali Kolbe. Ia masih hidup. Akhirnya, ia pun dibunuh dengan suntikan asam karbolik ke tangannya. Apa yang menyebabkan Kolbe memiliki daya tahan luar biasa? Apa yang mendorongnya untuk menggantikan kawannya? “Rahasia dari kekuatan ekstra untuk bertahan ini, saya kira, ada hubungannya dengan teologi tertentu atau makna tertentu yang diberikannya pada kehidupan. Menurut saya, kemungkinan besar yang menimbulkan keberanian ini adalah keterikatan orang beriman kepada Tuhan; sebutlah kecintaannya kepada Tuhan. Atau paling tidak, kecintaannya kepada keyakinannya,” tulis Celia Haddon dalam The Miraculous Power of Love. “Kekuatan cinta memang menakjubkan. Untuk merangsang kecerdasan, kita memerlukan kasih ibu. Tanpa orang- orang baik di sekitar kita, dalam keluarga dan pergaulan, sebagian di antara kita mati. Tanpa cinta, manusia tidak bisa hidup bahagia. Cinta penting untuk ketenangan jiwa dan raga kita, seperti halnya vitamin, makanan bergizi, olahraga, dan lingkungan yang sehat. Di Barat, masyarakat berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk semua orang ꟷ drainase yang baik, air minum bersih, perawatan kesehatan, jaminan sosial masa tua, bantuan khusus bagi ibu-ibu, anak-anak sekolah, rumah jompo dan rumah sakit. Sebuah struktur negara yang perkasa digunakan untuk melayani kebutuhan pokok manusia yang bersifat fisik. Tapi, kita tidak menemukan cinta di dalamnya,” masih kata Haddon. Kita khawatir bahwa modernisasi telah membawa kita kepada situasi yang sama. Ekonomi kita ditegakkan di atas dasar keuntungan semata. Kita tidak lagi tersentuh dengan derita rakyat kecil yang tanahnya digusur. Kita pura-pura tidak tahu ketika ribuan orang kehilangan mata pencaharian karena ulah kita. Politik, kita bangun hanya untuk kekuasaan. Kita tusuk kawan seiring, kita kecoh lawan, kita singkirkan semua pesaing tanpa belas kasihan. Sistem sosial kita bertopang pada popularitas semata. Sebagai pengganti kasih sayang, kita dewakan kemasyhuran; seperti laron yang harus me ngejar-ngejar cahaya dan mati sebelum atau sesudah menyentuhnya. Keberagamaan kita juga menjadi sejumlah doktrin kering untuk memenggal kepala orang, atau menjadi seperangkat kosmetik untuk menutup borok kita. Kita menjadi Malaikat Zabaniyyah, yang berwajah masam, yang siap memasukkan siapa saja, selain kita, ke neraka. Atau kita termasuk orang yang menjadikan agama sebagai permainan dan hiburan (QS Al-An’am : 70). Upacara-upacara agama, kita selenggarakan seperti menggelar festival tanpa ruh dan kehangatan. Islam berarti pasrah, berserah diri. Karena apa kita pasrah kepada Dia? Karena tuntutan sosial, keuntungan ekonomis, atau melarikan diri dari frustrasi. Bila kita agak “maju”, kita pasrah kepada Dia karena mengharapkan pahala, ganjaran, atau pamrih. Tuhan menjadi sosok yang kita “suruh” untuk memuaskan egoisme kita. Lebih maju lagi, kita berserah diri karena takut siksa, hukuman, dan kekuasaan-Nya. Di atas kita, para filsuf pasrah kepada Dia karena tuntunan akalnya. Agama itu akal. Tidak ada agama buat orang yang tidak berakal. Namun, masyarakat kita kini tengah merindukan keberagamaan yang lain. Bukan hanya akal. Kita ingin pasrah kepada Dia karena cinta. Suatu hari, Dzunun Al-Mishri, pengikut mazhab cinta, berkunjung kepada orang sakit. la mendapati si sakit sedang mengaduh. Dzunun berkata, “Tidak sejati seseorang mencinta apabila ia tidak sabar akan pukulannya.” Si sakit menukas, “Tidak sabar dalam mencinta bila ia tidak menikmati pukulannya.” Dari sudut rumah, ada suara, “Tidaklah men cintai kami secara sejati orang yang masih mengharapkan kecintaan selain kami.” Al-Mutanabbi berpuisi: “Sekiranya aku bisa mengendalikan kejap mataku, aku tidak akan membukanya, kecuali ketika melihatmu.” Kita juga mendapatkan sentuhan cinta Ilahi dalam puisi L.K. Ara, penyair Aceh. Doa Orang Buta Tuhan beri sinar kepada mereka yang awas matanya Tuhan beri cahaya kepada mereka yang memandang dunia dengan mata terbuka Tuhan, kepadaku, kirim saja percik kasih-Mu Tidak untuk membuka mataku Tapi untuk menyiram hatiku Salahkah orang yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak. Dia diberi sinar untuk membuka matanya. Salahkah orang yang pasrah karena takut akan hukuman-Nya atau karena menginginkan pahala-Nya? Tidak. Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi. Mereka yang dikirim percik kasih Tuhan, untuk menyirami hatinya. Inilah keberagamaan yang membuat Anda tulus dan perkasa. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...
MEMAHAMI DEFINISI CINTASeptember 11, 2024Saya tertarik untuk mengutip pembahasan kata cinta dari Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah yang terdapat dalam kitab Madarij Al-Salikîn bain Manâzil lyyaka Na’budu wa Iyyaka Nastaîn. Kitab setebal tiga jilid ini hanya membahas ayat lyyāka na’budu wa iyyaka nastaîn. Pembahasannya itu, ia sebut sebagai madarij al-sâlikîn, tahapan-tahapan yang ditempuh oleh para musafir yang menuju Tuhan; bagaimana bergerak di antara manzilah-manzilah iyyaka na’budu wa iyyaka nastaîn. Ibn Al-Qayyim bercerita tentang manzilah al-mahabbah, stasiun-stasiun cinta, dan perjalanan menuju Allah Swt. Ibn Al-Qayyim memulainya dengan berkata, “Tidak mungkin cinta didefinisikan secara lebih jelas kecuali dengan cinta lagi (La tuhadd al-mahabbah bi haddin awdhah minha).” Karena itu, menurutnya, definisi cinta adalah wujud cinta itu sendiri (fahadduha wujuduha). Dengan demikian, cinta tidak bisa digambarkan lebih jelas kecuali dengan cinta lagi (La tushaf al-mahabbah fi washfin azhhar min al-mahabbah). Yang menarik, ia bercerita tentang asal-usul kata hubb dalam bahasa Arab. Dalam pandangannya, dengan meneliti asal-usul kata hubb, kita akan sampai kepada definisi cinta. Dalam bahasa Arab, setiap akar kata mempunyai hubungan satu sama lain. Arti pertama kata hubb adalah al-shafa’ wa al-bayadh, yang bersih putih. Bagian gigi yang putih bersih disebut dengan habab al-asnân. Habba memiliki satu akar kata dengan kata habab. Arti kedua adalah al-‘uluww wa al-zhuhur, menonjol, tampak. Orang Arab menyebut bagian air hujan yang paling tinggi dan paling atas dengan kata habab, habab al-ma, bagian air yang paling atas. Mereka juga menyebut kata yang sama untuk air yang melimpah di atas gelas. Kata habba-yahubbu- hubban dipakai juga untuk yang menelungkup dan tidak mau bangun-bangun. Mereka menyebut habb al-ba’ir kepada unta yang sedang menelungkup. Jadi, arti ketiga adalah al-luzum wa al-tsubût, terus-menerus berada di suatu tempat. Arti keempat, sesuatu yang merupakan inti sesuatu, dalam bahasa Arabnya disebut al-lubb. Hati nurani dalam bahasa Arab disebut habab al-qalb, jantung hati. Jadi, maknanya adalah asal segala sesuatu. Biji buah-buahan yang menjadi benih disebut habbah. Karena itu, dalam ayat Al-Quran, ada kata habbah yang artinya biji yang tumbuh. Atau seperti terdapat dalam hadis Nabi, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji (habbah) sawi dari rasa takabur.” Pengertian “biji” dalam hadis ini memakai kata habba. Yang kelima, habba berarti memelihara, menjaga, atau menahan (al-hifzh wa al-imsak). Al-imsak artinya menjaga dan menahan. Orang menyebut tutup botol air, yang menahan agar air itu tidak tumpah dan menjaganya agar tidak kotor dan tercemari, dengan hibb al-ma’. Kata Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah, cinta bisa kita definisikan dengan seluruh makna asal dari kata cinta itu. Dengan demikian, ada lima syarat cinta, yaitu sebagai berikut: 1. Al-shafa’ wa al-bayadh, yakni kemurnian, kebersihan, dan ketulusan. Seseorang yang mencintai (seseorang atau sesuatu), cintanya harus bersih dari kecintaan kepada selainnya. Kalau cintanya bercampur, itu bukan cinta. 2. Al-‘uluww wa al-zhuhur, yakni tinggi dan tampak. Dengan demikian, kecintaan kita harus tampak. Namun, Allah mempunyai hak prerogatif untuk menyembunyikan cinta- Nya kepada kita. Pada bagian berikutnya dari tulisan ini, saya akan mengantarkan cinta kepada Tuhan dengan cerita yang terkenal di kalangan sufi, yaitu cerita tentang Laila-Majnun. Cerita Laila-Majnun ditulis oleh seorang sufi bernama Hakim Nizhami, yang katanya sendiri belajar tasawuf langsung dari Nabi Khidir. Dalam konsep mistik Islam, Nabi Khidir memegang peranan yang sangat penting. Menurut riwayat, Doa Kumail juga disebut dengan Doa Nabi Khidir. Konsep Khidir, dalam tasawuf, agak istimewa. Sampai-sampai Henry Corbin menulis khusus tentang konsep Khidir dalam tasawuf Islam. Hakim Nizhami melahirkan enam karya besar dalam tasawuf. Tapi, seluruh kisah sufi itu digambarkan dengan cerita cinta. Antara lain, cerita tentang Laila-Majnun itu. 3. Al-luzum wa al-tsubût, yaitu keinginan untuk terus-menerus bersama dengan yang dicintai. Sebagaimana unta yang menelungkup dan tidak mau bangun-bangun, seperti itu pula seorang pencinta di hadapan kekasihnya. 4. Habab al-qalb, yaitu menyerahkan seluruh hidup, diri, dan hati kepada orang yang dicintai. 5. Al-hifzh wa al-imsak, yaitu berusaha memelihara cinta, menjaganya, dan merawatnya. Sesudah itu, Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan tiga puluh definisi tentang cinta. Saya hanya akan menyebutkan beberapa, di antaranya sebagai berikut: a. Cinta adalah ketertarikan yang abadi dengan hati yang gelisah (Al-mahabbah al-ma’il al-da’im bi al-qalb al-ha’im). Itulah sebabnya, orang menyamakan cinta dengan api, seperti dalam ungkapan “Terbakar api cinta”. Salah satu doa para imam ada yang berbunyi: “Bakarlah hati kami dengan kecintaan kepada-Mu.” b. Cinta adalah mendahulukan sang kekasih dari seluruh rekan yang lain (Al-mahabbah itsar al-mahbub ‘ala jami’ al-mashhub). c. Cinta adalah menyertai sang kekasih, baik dalam terang- terangan maupun sembunyi-sembunyi (Al-mahabbah muwafaqah al-habib fi al-syahadah wa al-maghib). d. Cinta adalah menganggap kecil sesuatu yang banyak yang berasal dari dirimu sendiri, dan menganggap banyak se suatu yang sedikit yang berasal dari kekasihmu (Al-mahabbah istiqlal al-katsir min nafsik wa istiktsar al-qalil min habibik). Jadi, kalau seorang pencinta saling mencintai dengan kekasihnya, maka cinta yang sebenarnya akan terjadi kalau masing-masing sudah memberi banyak, tetapi merasa apa yang diberikan masih sedikit. Sebaliknya, sesuatu yang sedikit dari kekasihnya dirasakan sangat banyak, sangat berharga, betapapun kecilnya. Hal ini diwujudkan dalam mahabbah kepada Allah dengan ungkapan lain: “Kau pandang banyak kejahatanmu yang sedikit, dan kau pandang sedikit ketaatanmu yang banyak (Istiktsar al-qalil min jinayatik wa istiqlal al-katsir min tha’atik)”. Jadi, kalau Anda sudah mampu memandang banyak kejahatan Anda, walaupun masih sedikit, dan memandang sedikit ketaatan Anda, meskipun banyak, itu berarti Anda sudah mencapai cinta. Contoh konkretnya, apabila Anda sudah merasa banyak mengeluarkan infak, Anda belum mencintai Tuhan. Imam Ali Zainal Abidin sering dimintai bantuan oleh orang. Setiap kali orang datang meminta tolong kepadanya, Ali Zainal Abidin berkata, “Selamat datang sahabat yang akan menolong memikulkan bekalku di hari akhirat! (marhaban liman yahmil zâdi ilâl akhirah).” Beliau menganggap orang yang meminta bantuan itu sebagai kuli yang memikulkan beban perbekalannya di akhirat. Karena itu, setiap orang yang datang meminta tolong kepadanya, beliau sambut dengan wajah yang cerah. Kita selalu mengernyit setiap kali ada orang yang meminta tolong. Sering kali kita merasa sudah terlalu banyak memberikan bantuan. Bahkan, dengan bangga kita mengeluarkan fatwa, “Sudah, jangan bantu dia. Saya sudah banyak membantunya.” Jika mencintai seseorang, kita akan merasa pemberian kita selalu kecil meskipun sudah memberinya macam-macam. e. Cinta adalah api dalam hati, yang membakar apa saja selain kehendak sang kekasih (Al-mahabbah nar fi al-qalb tahriq mâ siwa murad al-mahbub). Kalau dalam hati seseorang muncul kehendak di luar kehendak kekasih, ia me nundukkan kehendak itu sehingga dalam hatinya hanya ada kehendak sang kekasih. JR Wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum *** KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id). [...] Read more...

Buku Karya KH. Jalaluddin Rakhmat

« of 2 »

Videografi

Audiografi

UJR-MFR

“Jangan remehkan racun walau setetes. Jangan remehkan dosa sekecil apapun”

​KH. Jalaluddin Rakhmat
@katakangjalal

Contact Jalan Rahmat

Jl. Kampus II No. 13-15. Kiaracondong. Bandung