Setelah Rasulullah Saw. meninggal dunia, ada beberapa orang yang ingin mengetahui akhlak Nabi. Lalu mereka datang kepada Umar bin Khathab, yang ketika itu sedang memerintah. Umar menjawab tidak tahu dan ia menyuruh orang ini untuk menemui Bilal. Ketika mereka datang kepada Bilal, dia membawa orang-orang tersebut kepada Imam Ali. Mereka berkata, “Tolong ceritakan kepada kami tentang akhlak Rasulullah!” Imam ‘Ali pun berkata, “Sebelum aku menggambarkan akhlak Rasulullah, coba gambarkan kepadaku kesenangan dan keindahan dunia ini.” Mereka pun tergagap dan tidak bisa menceritakan kesenangan dan keindahan dunia ini. “Aneh sekali,” kata Imam ‘Ali, “Kalian tidak sanggup menceritakan kesenangan dan keindahan dunia, padahal dunia ini digambarkan dalam Al-Quran sebagai ‘… kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa….” (QS. An-Nisa [4]: 77). Lalu kalian minta agar aku menggambarkan akhlak Nabi, padahal Al-Quran sendiri mengatakan, ‘Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak luhur dan agung, (QS. Al-Qalam [68]: 4). Melukiskan dunia yang kecil saja kalian tidak sanggup, apalagi melukiskan akhlak Rasulullah yang agung.”
Rasanya, saya pun tidak sanggup bercerita tentang nubuwwah atau kenabian yang merupakan salah satu aspek saja dari kepribadian Nabi Saw. Kenabian sendiri memiliki banyak dimensi dan aspek sehingga tidak mungkin bagi saya untuk membicarakan itu semua.
Karena itu, saya akan memilih satu aspek saja. Nabi Saw. didefinisikan sebagai bukan filsuf, bukan sufi dan bukan yang lainnya. Saya ingin menyebutkan satu saja dari aspek nubuwwah atau kenabian berdasarkan Al-Quran, Surah Al-Hadid ayat 25. “Sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya, Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.”
Dalam ayat ini diceritakan fungsi kenabian: untuk apa sebenarnya kenabian itu dan apa sebetulnya yang dibawa oleh beliau? Salah satu aspek dari kenabian adalah bahwa Nabi dibangkitkan oleh Allah Swt. untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah umat manusia dan juga agar umat manusia bangkit untuk menegakkan keadilan. Jadi, menurut ayat ini, tugas para nabi dan rasul adalah menegakkan keadilan di tengah-tengah umat manusia. Dalam pandangan Al-Quran, dunia ini tidak mungkin diatur secara adil kecuali dengan menghadirkan para nabi dan rasul. Mereka itulah yang akan menegakkan keadilan. Dengan demikian, salah satu aspek kenabian adalah menegakkan keadilan, atau isti’mar al-hukumah al-Ilahiyah. Kenabian adalah ekstensi atau perpanjangan tangan dan pemerintahan Allah Swt. di muka bumi. Hanya bagian itu saja yang ingin saya sampaikan di sini. Nubuwwah, dalam artian di sini, bermakna isti’mar al-hukumah al-Ilahiyah.
Nabi datang untuk menegakkan al-hukumah al-llahiyah. Untuk itu, Allah Swt. membekali para nabi dan rasul dengan empat hal, yaitu al-bayyinah, Al-Kitab, al-mizan, dan al-hadid. Saya bacakan ini dari Tafsir Al-Furqan, “Untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah umat manusia, Nabi membawa tiga hal: keterangan, kitab, dan timbangan.” Hal itu dilakukan untuk mengantar manusia menuju keadilan secara sukarela dan kemudian menegakkan keadilan dengan besi yang mempunyai kekuatan dahsyat secara paksa. Penulis tafsir ini kemudian mengatakan, “… li man laysa lahu thaw’un ila al-haqq wa raghbatun ila al-qisth al-ladzina yajhaluna aw yatajalahuna lughat al-insani, al- bayyinah wal kitab wal mizan, falyuwajihu bi lughat al-hayawan, al hadid fihi ba’sun syadid.”
Menurut para ahli tafsir, termasuk Mujahid dan Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan besi di sini adalah kekuatan senjata yang di dalamnya ada sesuatu yang besar dan dahsyat. Jadi, Nabi Saw. datang bukan hanya membawa al-bayyinah, mizan, dan Al-Kitab saja. Nabi Saw. datang dengan membawa al-hadid atau besi. Kalau kita mengaku sebagai pengikut Rasulullah Saw., maka yang harus kita bawa harusnya sama dengan yang dibawa Nabi Saw., yaitu al-bayyinah, mizan, Al-Kitab, dan kemudian al-hadid. Mungkin, karena al-hadid terletak sesudah waqaf dalam Al-Quran, kata ini biasanya tidak dibahas.
Menurut penulis Tafsir Al-Furqan ini, orang yang tidak memiliki keinginan untuk memasuki kebenaran dan tidak dengan sukarela tunduk pada keadilan, kepada yang tidak mengerti dan pura-pura tidak mengerti bahasa manusia, yaitu al-bayyinah, Al-Kitab, dan al-mizan, maka hadapilah mereka dengan bahasa binatang, yaitu besi yang memiliki kekuatan dahsyat. Ketika Nabi menegakkan hukumah (pemerintahan) di muka bumi ini, Anda jangan lupa bahwa Nabi tidak hanya menggunakan al-bayyinah, Al-Kitab, dan al-mizan saja, melainkan juga al-hadid. Sebab, ada saja orang-orang dalam setiap masyarakat ̶ ketika kita hendak menegakkan keadilan ̶ yang tidak bisa diyakinkan dengan Al-Kitab, tidak bisa diajak kepada keadilan dengan al-mizan. Bagi orang-orang seperti itu, tidak ada cara lain untuk menghadapinya, kecuali dengan bahasa al-hadid yang didalamnya ada kekuatan-kekuatan dahsyat. Pera tiran, kaum mustakbarin, orang-orang yang merasa berkuasa dan bertindak sewenang-wenang biasanya sulit untuk diyakinkan dengan argumentasi, kekuatan logika (quwwah al-manthiq). Kalau mereka tidak bisa ditaklukkan dengan semua itu, mereka harus ditaklukkan dengan logika kekuatan (manthiq al-quwwah). Semua itu dimaksudkan untuk menegakkan pemerintahan Allah di muka bumi.
Saya teringat dengan sebuah kisah, mungkin juga anekdot. Dulu, Khalifah Harun Al-Rasyid punya seorang istri bernama Zubaidah. Istrinya inilah yang membangun wadi atau oase Zubaidah berupa air sungai yang mengalir. Daerah ini sekarang terletak di Irak. Sungai ini sangat panjang. Karena air sungai inilah jamaah haji yang menempuh perjalanan jauh bisa minum. Jadi, Zubaidah adalah the first lady, istri yang salehah.
Pernah ada seorang ulama yang takjub dengan amal saleh Zubaidah ini. Berapa banyak orang yang sudah minum dari air sungai itu. Betapa besar pahala yang kelak diperolehnya. Setiap tahun ada banyak peziarah yang bisa melepas dahaga dengan minum air sungai itu. Akhirnya, ulama ini tidur, dan dalam mimpinya ia berjumpa dengan Zubaidah. Ia pun bertanya, “Pahala apa yang engkau terima dari Allah sebagai balasan atas amalmu membangun oase ini?” Zubaidah pun menjawab, “Pahalanya sudah diberikan Allah kepada rakyat yang memberikan keringat dan tenaganya untuk membangun oase ini.” Zubaidah hanyalah istri seorang khalifah. Jadi, ia hanya sekadar memberikan perintah saja. Sebenarnya, yang membangun adalah rakyat.
Pada suatu hari, Zubaidah bertengkar dengan suaminya. Dalam pertengkaran tersebut, Harun Al-Rasyid melontarkan ancaman, “Engkau harus keluar dari kerajaanku dalam waktu satu hari satu malam!” Asal tahu saja, kerajaan Harun Al-Rasyid pada waktu itu adalah sebuah imperium besar. Imperium Islam sudah membentang mulai dari Sungai Eufrat dan Tigris hingga mencapai kawasan Sungai Gangga di India. Jadi, imperium Islam adalah sebuah kekuasaan yang teramat luas. Sampai- sampai ̶ pada waktu itu ̶ para sultan dengan sombongnya berani mengatakan, “Matahari tidak pernah tenggelam di kerajaan-kerajaan Islam. Sebab, kalau matahari tenggelam di sebelah barat, maka ia masih tetap terbit di sebelah timur.”
Jadi, diberilah Zubaidah ini waktu satu hari satu malam untuk meninggalkan kerajaan suaminya. Dia yakin bahwa Zubaidah tidak mungkin bisa melakukannya. Benar saja, pada suatu sore, hilanglah Zubaidah ini. Seluruh tentara Harun Al-Rasyid dikerahkan untuk mencarinya, tetapi mereka tidak menemu- kannya. Akhirnya, Zubaidah ditemukan sedang berada di da- lam masjid. Namun, ketika hendak ditangkap, Zubaidah ber- kata, “Tidak! Aku sudah keluar dari kerajaan Harun Al-Rasyid. Kini, aku sedang berada di dalam kerajaan Allah. Ini masjid, ini kerajaan Allah!” Betul saja, Zubaidah tidak jadi ditangkap karena dia memang sudah keluar dari kerajaan Harun Al- rasyid dengan memasuki kerajaan Allah Swt.
Ada dua hal menarik dari kisah ini. Pertama, kerajaan Harun Al-Rasyid lebih besar daripada kerajaan Allah. Kerajaan Allah hanya sebatas masjid saja. Kedua, selama ini, kita hanya menegakkan al-hukumah al-Ilahiyah di masjid saja. Dengan cara itu, kita sudah merasa melanjutkan khiththah nabawiyyah atau garis perjuangan Nabi Saw.
Sebelum saya melanjutkan pembahasan inti, menarik untuk mengutip ucapan Al-Fakhrurazi dalam tafsirnya mengenai makna Al-Kitab, al-mizan, dan al-hadid. Pertama, ia mengata- kan bahwa Al-Kitab menunjukkan quwwah al-nazhariyyah (kekuatan nalar). Jadi, ketika kita menyeru orang pada keadilan, menegakkan hukum Allah, pergunakanlah terlebih dahulu kekuatan nalar melalui Al-Quran dan kemudian dengan contoh perilaku kita. Sebab, ada orang yang sukar mengerti dengan kekuatan nalar. Dan, al-mizan, menurut sebagian ulama tafsir, berarti pula sunnah Rasulullah Saw., karena perilaku beliau bisa dijadikan timbangan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan demikian, untuk orang awam kita menggunakan al-mizan. Sementara itu, al-hadid, kata Fakhrurazi, digunakan untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang tidak mau melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Dia menyebut sekitar tujuh mazhab yang berpendapat tentang Al-Kitab dan al-mizan ini. Saya tidak akan menceritakan semuanya kepada Anda. Sebagian ada yang berhubungan dengan tasawuf. Kedua, Fakhrurazi malah mengaitkannya dengan tahap-tahap manusia dalam Al-Quran. Ada orang-orang yang termasuk ke dalam golongan as-sâbiqûn, al- muqtashidûn, dan azh-zhâlimûn.
Golongan as-sabiqun adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Mereka tidak bisa beramal kecuali dengan mengamalkan kitab Allah. Bagi mereka itulah diperuntukkan Al-Kitab. Fakhrurazi mendefinisikan as-sabiqin sebagai “orang-orang yang sudah sampai pada kebenaran dan tidak setengah- setengah dalam mengikuti kebenaran itu.” Kepada mereka itulah diajarkan Al-Kitab.
Berikutnya adalah al-muqtashidûn, yaitu orang-orang yang yantashifun. Mereka sudah menemukan kebenaran tetapi masih setengah-setengah. Kata yantashifûn berasal dari intashafa- yantashifu, yang bermakna mengambil setengah-setengah. Nah, kepada mereka berikanlah contoh perilaku, yaitu al-mizan. Akan tetapi, kepada golongan azh-zhâlimûn berikanlah al-hadid. Hanya saja, kita sering salah menempatkan dan memilih objek. Kepada golongan azh-zhâlimûn kita sampaikan Al-Kitab. Sudah tentu, yang demikian itu tidak akan digubris dan tidak akan meninggalkan bekas apa-apa. Walhasil, ketika kita sedang menghadapi berbagai macam manusia, gunakanlah cara-cara yang berbeda. Akan tetapi, semuanya itu dimaksudkan untuk menegakkan al-hukumah al-Ilahiyah di dunia. Dan, nubuwwah atau kenabian mempunyai misi menegakkan al-hukumah al-Ila- hiyah atau kepemimpinan di muka bumi.
Dalam kalimat Al-Quran lainnya, istilah ini disebut dengan waliy atau imam, dan posisinya disebut wilayah. Al-Quran menegaskan bahwa wilayah adalah hak Allah, hak Rasulullah dan orang-orang beriman. “Sesungguhnya, penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah),” (QS. Al-Ma’idah [5]: 55). Jadi, ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman itu sebenarnya satu garis dan bersambung, yaitu mulai dari Allah sampai kepada Rasulullah, dan kemudian kepada orang-orang beriman.
Jadi, sebetulnya kepemimpinan Ilahiyah di muka bumi ini melewati hierarki atau urutan seperti itu. Tentu saja, yang pertama kali dibicarakan adalah adalah al-hukumah al-llahiyah. Akan tetapi, dalam sejarah kepemimpinan umat manusia, yang sering dibicarakan terlebih dahulu adalah kepemimpinan atau imamah, hukumah Islamiyah yang ditegakkan oleh para nabi. Ada satu saat dalam sejarah umat manusia, di mana kita diperintah oleh wakil-wakil Tuhan yang ada di muka bumi. Mereka itu adalah para nabi. Tentu saja, mereka bukan Tuhan. Dengan demikian, masa yang pertama itu bisa kita sebut sebagai masa nubuwwah, yaitu suatu masa ketika pemerintahan Tuhan ditegakkan oleh para nabi. Hanya saja, masa kenabian ini berakhir dengan meninggalnya Rasulullah Saw. Sehabis masa kenabian ini, kepemimpinan Allah di muka bumi tidak berakhir dan dilanjutkan oleh orang-orang beriman.
Kita kembali lagi pada yang pertama. Ketika Allah mengangkat pemimpin untuk mengatur dunia melalui al-hukumah al-Ilahiyah dengan menunjuk para nabi, apakah Allah Swt. bermusyawarah dengan makhluk-Nya? Apakah Allah Swt. ̶ sebelum mengangkat Nabi Musa sebagai pemimpin Bani Israil guna menegakkan keadilan ̶ bermusyawarah dan berunding dulu dengan orang-orang Mesir pada waktu itu? Atau dengan orang-orang Madyan? Tentu tidak! Allah sendiri yang memilih dan mengangkat para nabi itu. Dengan demikian, para nabi itu diangkat oleh Allah sebagai imam atau pemimpin. Ketika mengangkat Nabi Ibrahim sebagai imam, Al-Quran menuturkan sebagai berikut, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman, Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim,” (QS. Al-Baqarah [2]: 124).
Mula-mula Allah Swt. menguji Nabi Ibrahim dengan aneka macam ujian. Ada sebagian qira’at yang membaca rabbahu (dan tidak rabbuhu, sebagaimana yang terdapat dalam ayat itu). Artinya, ketika Ibrahim meminta kapada Allah Swt. agar ujian. ‘Ala kulli hal, entah qira’at atau bacaan mana yang dipilih, jelaslah bahwa Ibrahim diuji terlebih dahulu, baru kemudian diangkat sebagai imam. Surat keputusan (SK) pengangkatannya sebagai imam, kalau boleh dikatakan demikian, berasal dari Allah dan tidak berasal dari hasil pemilihan umum. Dalam ayat ini, Allah Swt. berfirman, “Inni ja iluka lin-naas imaman.” Allah menjadi ja’il dan Ibrahim menjadi maj’ul. Karena itu, kenabian atau kepemimpinan yang melanjutkan al-hukumah al-Ilahiyah itu harus berupa ja’lun ilahiyun, sesuatu yang berhak dan harus dilakukan Allah Swt. semata. Jadi, kalau kita menemukan ada salah seorang di antara kawan-kawan kita yang menganggap dirinya imam untuk menegakkan al-hukumah al-Ilahiyah di muka bumi, pertanyaan pertama yang harus kita ajukan kepadanya adalah SK ini. Pengangkatannya sebagai imam haruslah berupa ja’lun ilahiyun, atau-menurut istilah para ulama-harus manshush (harus ada nash-nya). Ia harus mampu menunjukkan ayat Al-Quran dan hadits yang menyatakan bahwa ia memang diangkat sebagai imam.
Suatu saat, oleh kelompok-kelompok ekstrem di Bandung, saya diculik, persis seperti Presiden Soekarno dulu. Di tempat itu sudah berkumpul para pemuda aktivis yang saya lihat ruh jihad terpancar terang dari wajahnya. Akan tetapi, ruh akalnya saya lihat memudar. Mereka meminta saya menjadi imam. Katanya, mereka mau membaiat saya sebagai imam. Mereka pun mengancam bahwa kalau saya tidak mau menjadi imam, itu artinya saya pengecut, hanya bisa ngomong saja pada orang lain untuk menegakkan al-hukumah al-Ilahiyah. Namun, ketika dimintai tanggung jawab tidak mau. Mereka mendesak saya. Saya pun menolak habis-habisan. Pertama, saya katakan bahwa saya tidak punya SK pengangkatan dan Anda tidak bisa mengangkat seorang imam yang menjalankan al-hukumah al-Ilahiyah. Sebab, ini adalah al-hukumah al-llahiyah dan bukan al-hukumah ad-dimuqrathiyah atau pemerintahan demokrasi. Kalau pemerintahan demokrasi, maka rakyatlah yang harus memilih. Kalau saya disuruh menjadi imam untuk menegakkan dan menjalankan al-hukumah al-Ilahiyah, saya harus memiliki SK dari Tuhan. Misalnya, harus ada nash yang menyatakan, “Ya Jalaladdin Rakhmat! Inni ja’iluka lin-naas imaman.” Nah, Nabi Ibrahim memperoleh SK pengangkatan langsung dari Allah Swt. Ketika Nabi Zakaria ingin menunjuk pengganti sepeninggalnya, beliau tidak minta pendapat manusia, tidak bermusyawarah dengan kaumnya. Akan tetapi, beliau justru berdoa kepada Allah Swt., “Maka anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang wali,” (QS. Maryam [19]: 5). Beliau memintanya kepada Allah bukan kepada manusia.
Ketika Nabi Isa meninggalkan dunia ini, beliau tidak membiarkan umatnya tanpa petunjuk. Beliau memberitahukan siapa pengganti sesudahnya. Beliau tidak bermusyawarah atau berunding. Atau, Nabi Isa tidak mengatakan, “Saya serahkan pada musyawarah kalian siapa yang bakal melanjutkan penegakan al-hukumah al-Ilahiyah.” Tidak! Tidak demikian. Nabi Isa justru mengatakan, “Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah ke- padamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang. Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata,” (QS. Ash- Shâff [61]: 6).
Inilah sunnah Ilahi yang berlaku sepanjang sejarah. Pada waktu itu, Nabi Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Jadi, Nabi Ibrahim memohon agar keturunannya juga diangkat menjadi imam, bukan hanya beliau sendiri. Lalu, seolah-olah Allah Swt. berfirman, “Boleh keturunanmu Aku angkat juga sebagai imam atau pemimpin, asalkan mereka tidak termasuk orang-orang yang zalim lantaran “janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang zalim.” Zalim adalah istilah dalam Al-Quran yang berarti berbuat dosa sehingga kita pun harus beristighfar dengan mengucapkan, “Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri (inni zhalamtu nafsi).” Jadi, zalim artinya berbuat dosa. Malah, syirik pun disebut kezaliman juga: inna al-syirk lazhulm azhim; sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.
Dengan demikian, berdasarkan Surah Al-Baqarah ayat 124 tadi, kepemimpinan yang satu garis dengan, dan bersambung pada, Allah Swt. itu harus memiliki tiga kriteria atau syarat, yaitu (1) berasal dari keturunan Nabi Ibrahim, (2) manshush atau ada nash-nya, (3) ma’shum atau bersih dari perbuatan dosa. Sesudah zaman para nabi berakhir, harus ada orang-orang yang melanjutkan kepemimpinan ini. Hanya saja, mereka harus me- menuhi ketiga syarat tersebut, jika kepemimpinan mereka melanjutkan tegaknya al-hukumah al-Ilahiyah. Kalau kepemimpinan-kepemimpinan biasa lainnya, seperti kepemimpinan sosial, maka ketiga syarat tersebut tidak perlu ada. Karena itu, pemimpin yang diberi amanat untuk menegakkan al-hukumah al-llahiyah harus memiliki tiga syarat tersebut. Pertama, kepemimpinan itu harus ja’lum Ilahiyun, yaitu harus berdasarkan SK dari Allah Swt. atau manshush. Kedua, dia harus berasal dari dzuriyyah atau keturunan Nabi Ibrahim. Ketiga, dia harus terpelihara dari perbuatan dosa dan tidak berbuat zalim, termasuk tidak pernah menzalimi diri sendiri.
Sekarang, saya ingin menyimpulkan. Kita harus melihat nubuwwah atau kenabian sebagai perpanjangan tangan dari pemerintahan Allah di muka bumi. Itu yang pertama. Yang kedua, sesudah Rasulullah Saw. wafat, dunia ini tidak boleh sepi dari pemimpin yang melanjutkan tegaknya al-hukumah al-Ilahiyah di muka bumi. Yang ketiga, para pemimpin yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tersebut tidak pernah berbuat dosa atau berlaku zalim. Sekiranya kita semua berniat menegakkan al-hukumah al-Ilahiyah ̶ saya kira harus begitu, kita harus kembali pada khiththahnabawiyyah seperti itu.
Untuk mengakhiri pembicaraan ini, izinkan saya membacakan hadits-hadits yang sebenarnya menyuruh kita untuk menegakkan imamah yang melanjutkan al-hukumah al-Ilahiyah, dan satu ayat Al-Quran yang mengisyaratkan ke arah situ. Ayat tersebut berbunyi, “Pada hari ketika Kami penggil setiap kelompok manusia dengan imam mereka…” (QS. Al-Isra [17]: 71). Peristiwa ini terjadi pada Hari Kiamat kelak. Walaupun ada berbagai tafsiran atas kata “imam” di sini, hadits berikut dengan jelas menunjukkan makna imam. Pada suatu hari Rasulullah Saw. berkhutbah, dan kemudian berkata, “Ingatlah maut, karena nanti maut akan mengambil ubun-ubun kamu.” Beliau terus berkhutbah panjang hingga sampai pada, “Tidak bergeser kaki seorang hamba pada Hari Kiamat nanti, kecuali dia ditanya tentang umurnya untuk apa dipergunakan; tentang masa mudanya-untuk apa dihabiskan; tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana ia dibelanjakan; dan tentang imannya-siapakah dia?”
Selanjutnya, Nabi Saw. pun membaca ayat Al-Quran tersebut. Begitu pula, kita banyak mengenal hadits-hadits yang sering dibaca oleh kawan-kawan kita yang membentuk jamaah dan kemudian mengklaim dirinya sebagai imam. Hadits-hadits itu misalnya, “Man mata bi ghair imam, mata mitatan jahiliyatan.” Artinya, “Barangsiapa mati tanpa mempunyai imam, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Ahmad). Dalam riwayat lain disebutkan juga, “Man mata wa lam ya’rif imama zamanihi, mata mitatan jahiliyatan.” Artinya, “Barangsiapa tidak mengetahui imam zamannya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.”
Dari hadits-hadits tersebut, jalaslah bahwa kita semua tentu berharap untuk tidak mati jahiliyah. Oleh karena itu, kita memerlukan imam atau pemimpin. Untuk itu, harus ada pedoman ihwal siapa yang menjadi imam kita. Sebab, kalau jabatan imam itu tidak mempunyai pedoman, maka setiap jamaah nantinya akan menampilkan imamnya masing-masing. Dan, insya Allah, pada Hari Kiamat kelak, kita akan dipanggil oleh Allah Swt. berdasarkan imam kita. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).