
Kesatuan antara tubuh dan jiwa
Pernah satu waktu para dokter olahraga mengatakan bahwa batas kecepatan lari manusia adalah empat menit dalam satu mil. Manusia tidak mungkin mampu menempuh satu mil lebih dari empat menit. Seorang dokter bahkan mengataka bahwa jika manusia lari lebih dari batas kecepatan itu jantungnya akan pecah karena kelebihan tenaga.
Roger Bannister berlatih untuk menolak anggapan para dokter itu. Dia akhirnya berhasil memecahkan rekor menempuh jarak satu mil dengan waktu 3 menit, 59,4 detik. Segera setelah peristiwa ini, orang mengatakan bahwa Bannister bukan manusia biasa. la superhuman. Tidak seorang pun mampu mengungguli dia. Tetapi satu bulan kemudian, John Landy, pelari Australia, menempuh jarak itu dalam waktu yang lebih pendek. Setelah itu, banyak orang berhasil menempuh jarak satu mil kurang dari empat menit.
Salah satu penjelasan tentang keberhasilan ini adalah teori modelling. Ketika ada manusia yang sanggup melakukan sesuatu, manusia lain pun berpikir sama. Mereka berpikir bila orang lain mampu, mengapa mereka tidak. Pikirannya memengaruhi kekuatan fisiknya. You don’t think what you are. You are what you think.
Pandangan bahwa pikiran atau jiwa dapat memengaruhi tubuh (dan juga sebaliknya) memang bukan pandangan baru. Dalam Phaedrus, Phaedo, dan Symposium, Plato menceritakan kekuatan citra untuk merangsang kesehatan tubuh. Aristoteles mengakui adanya hubungan yang erat antara gambaran mental, volisi (kehendak), sensasi, dan fungsi-fungsi tubuh lainnya (lihat misalnya De Anima, buku III.3). Para dokter Renaissance percaya bahwa citra berhubungan dengan impuls yang bergerak melalui saraf dan otak, merangsang humor yang menimbulkan perubahan fungsi kognitif, emosional, dan somatik.
Ilmu kedokteran modern menemukan bahwa immune system dapat memengaruhi sistem saraf pusat, secara langsung atau melalui sistem indoktrin. Tubuh kita ternyata menghasilkan sejumlah zat utusan (messenger substances): neurotransmitter, seperti serotonin, neuropreptid seperti endorfin, hormon seperti adrenalin, cytokin seperti interferon. Zat-zat ini memengaruhi perubahan kondisi fisik dan psikologis manusia. Lebih menarik lagi, produksi zat itu sangat erat kaitannya dengan kondisi pikiran kita, dengan “jiwa” kita….
Pandangan mengenai kesatuan jiwa dan badan ini sempat tersisihkan pada para pemikir pasca-Renaissance. Descartes, misalnya, berpendapat bahwa jiwa “consist entirely in thinking, and for its existence, has no need of place and is not dependent on any material thing” (Sepenuhnya bersemayam dalam pikiran dan keberadaannya tidak memerlukan ruang dan tidak bergantung pada materi apa pun).
Sejak Descartes, berkembanglah pemikiran dualistik dan reduksionistik. Tetapi mulai abad ke-20, pandangan interaksionis tampak pada bidang-bidang baru yang menggabungkan berbagai disiplin, seperti psikobiologi, psikoneuromunologi, somatic education, holistic health, dan sebagainya.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang ini mengandung implikasi yang sangat luas untuk pendidikan. Pertama, terdapat hubungan interaktif yang sangat erat antara tubuh dan jiwa. Ini berarti bahwa kita dapat memengaruhi perubahan psikologis dengan memanipulasi (proses tubuh (bodily process). Kedua, tubuh dan jiwa manusia ternyata memiliki kemampuan transformatif yang jauh lebih fleksibel daripada yang dapat dibayangkan. Ini filosofi yang pertama: menyadari akan kesatuan tubuh dan jiwa.
Bagi anak-anak, kesadaran ini adalah bentuk kecerdasan ruhaniah yang paling awal, untuk mengantarkan mereka pada kecerdasan ruhaniah yang lebih tinggi.
Evolusi Kesadaran
Inilah filosofi yang kedua, evolution of consciousness. Para ilmuwan sekarang tidak lagi melihat evolusi sebagai perubahan yang gradual. Perpindahan dari satu tahap ke tahap yang lain sering tidak melalui tahap transisi. Paleontolog George Gaylord Simson menyebut “quantum evolution”. Berkali-kali terjadi loncatan besar sejak tahap inorganik, tahap biologis, sampai tahap psikososial.
Samuel Alexander, C. Lloyd Morgan, C.D. Broad, Joseph Needham, Michael Polanyi, dan lain-lain mengembangkan teori bahwa evolusi melahirkan struktur, proses, dan hukum yang sebelumnya tidak ada. Item-item yang muncul betul-betul baru, dan bukan merupakan susunan baru dari unsur-unsur sebelumnya. Berbeda bukan saja kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Konsep “emergence” menyiratkan adanya tahap-tahap wujud. Masing-masing tahap berjalan dengan pola dan hukum yang khas (distinctive). Morgan menyebut empat tahap: psychophysical events, life, mind, dan spirit (God). Alexander menyebut lima tahap: space, time, matter, life, mind, dan Deity. Apa pun bentuk penahapan itu, semuanya menunjukkan dengan sangat menarik-bahwa semua wujud bergerak menuju kesempurnaan, menuju Tuhan.
Manusia pun bergerak dari wujud psikofisik menuju wujud Tuhan. Sejarah umat manusia tidak lain dari rekaman evolusi kesadaran. Menurut Hegel, setiap tahap perkembangan manusia dinasakh tetapi disimpan dalam kemajuan sejarah yang bersifat dialektif. Dalam The Phenomenology of Spirit (1805), Hegel melacak proses ini sejak budak masa purba, yang berjuang melawan kesulitan alam, sampai kepada orang Stoik yang menegakkan kebebasan dari tuntutan alam, sampai kepada orang Skeptik yang membebaskan diri mereka dari kungkungan kategori pemikiran, sampai kepada orang Kristen yang menemukan kebebasan dalam Tuhan yang transenden, sampai kepada intelektual modern yang menggunakan prinsip tertinggi dari rasio. Dalam proses dialektik ini, bentuk-bentuk kesadaran yang muncul (Gestalten des Bewusstseins) menyerap bentuk-bentuk sebelumnya.
Aurobindo, filsuf Hindu mutakhir, membahas berbagai tingkat kesadaran yang berpuncak pada Supermind. Pada Supermind, keesaan Tuhan dinyatakan dengan keragaman. Individu diselaraskan dengan Universal Ground, dan kemampuan personal digabungkan dengan tindakan kosmik. Ia bercerita tentang tahap-tahap jiwa dengan jenis-jenis kegiatan tipikalnya: higher mind dalam pemikiran sinoptik, illumined mind dalam inspirasi mistik, intuitive mind dalam genius religius, over mind, dalam tindakan yang mengubah dunia.
Aurobindo mengingatkan kita pada Henri Bergson. Bergson juga menyebutkan tahap kesadaran yang memuncak pada intuisi. Ia berasal dari kegiatan instinktif hewani, tetapi dalam diri manusia, intuisi berubah menjadi “disinterested” dan “self-conscious”. Menurut Bergson, intuisi bukan kilasan insight yang datang tiba-tiba. Intuisi adalah modus berpikir. Intusi adalah proses mental ketika kita berpartisipasi langsung dengan apa yang kita intuisikan. Bila intelek berusaha membuat jarak dengan objek, intuisi masuk ke dalam apa yang diketahui. Dalam intuisi, terjadi perpaduan antara yang mengetahui dan yang diketahui.
Melalui intuisi, kata Bergson, kita akan dapat menangkap tujuan ilahiah dalam proses evolusi. Elan vital, kekuatan yang mendasari semua evolusi ini kadang-kadang dikomunikasikan kepada kaum mistik “dalam keseluruhannya”. Kaum mistik telah mencapai sebagian perpaduan (coincidence) dengan upaya kreatif “yang dari Tuhan, kalau bukan Tuhan itu sendiri”. Kekuatan inilah yang mendorong kaum mistik untuk merealisasikan tujuan Ilahi dengan memajukan kebaikan sesama manusia. Menurut Bergson, hanya dengan semangat para mistiklah kita dapat menjamin kemajuan umat manusia.
Pandangan tentang evolusi kesadaran mengingatkan kita pada peta pengembangan kesadaran. Pendidikan harus meletakkan anak didik pada proses dialektik sejarah yang panjang. Ia harus dapat mengantarkan anak melalui berbagai tingkat kesadaran. Tidak boleh ada satu tahap kesadaran yang dinafikan. Salah satu di antara tahap kesadaran yang selama ini justru dikesampingkan dalam sistem pendidikan kita – adalah kesadaran mistik, kesadaran akan sesuatu yang bersifat ruhaniah. Inilah awal kecerdasan spiritual. Ini membawa kita kepada Ibn Arabi.
Kembali kepada Tuhan
Saya tidak dapat melukiskan falsafah Ibn Arabi secara lebih baik dari William C. datang ke alam ini sebagai potensi Chittik. Karena itu, paragraf berikutnya merupakan terjemahan dari dia.
“Semua kembali kepada Tuhan, tetapi sebagian besar kembali kepadanya persis seperti ketika mereka datang. Ketika berbicara tentang malaikat, Jibril disebutkan berkata, Tidak seorang pun diantara kami mempunyai kedudukan tertentu.” (QS Al-Shaffat (37): 164)
Menurut Ibn Arabi, kata-kata Jibril ini berlaku untuk setiap hal kecuali dua: jin dan manusia. Pohon pir datang ke dunia ini sebagai pohon pir dan tidak pernah meninggalkan dunia ini sebagai pohon labu. Badak tidak pernah menjadi monyet atau tikus. Tetapi manusia (dengan tidak membicarakan jin) datang ke alam ini sebagai potensi yang luar biasa untuk bukan saja tumbuh dan berkembang, tetapi juga menyimpang, mengalami degradasi dan deformasi. Di luar, selama di dunia ini mereka tampak sebagai manusia. Tetapi di dalam, mereka dapat menjadi apa saja. Mereka datang sebagai manusia, tetapi mungkin kembali sebagai monyet atau babi.
Pada satu segi, manusia kembali kepada Tuhan melalui jalan sama yang tidak tampak, tetapi juga dilewati makhluk lain. Mereka lahir, hidup, dan mati. Ketika mereka hilang, tidak seorang pun tahu ke mana mereka pergi. Hal yang sama terjadi pada lebah atau pohon beringin. Ini disebut Ibn Arabi dan yang lainnya sebagai “kembali yang terpaksa”: (ruju’idhtirari) kepada Tuhan. Suka atau tidak suka, kita harus menjalani rute ini.
Pada segi lain, manusia memperoleh anugerah untuk memilih jalan kembali. Inilah jalan “kembali yang sukarela”, ruju’ikhitiyari. Manusia dapat memilih jalan yang dibawa para nabi, atau mengikuti hawa nafsunya. Semua jalan ini kembali kepada Tuhan, tetapi Tuhan mempunyai banyak wajah, tidak semuanya menyenangkan kita. “Kemana pun kamu menghadap, di situ ada wajah Tuhan” (QS Al-Baqarah [2]:115), baik di dunia ini maupun di akhirat. Untuk mengetahui wajah-wajah Tuhan itu, renungkanlah nama-nama-Nya.
Tuhan memiliki sifat penyayang (rahmat), tetapi juga kemurkaan (ghadhbah). Dia Maha Pengampun, Pemberi Nikmat, tetapi juga Pembalas, dan Yang Mahakeras siksa-Nya… Surga, kata Ibn Arabi, adalah manifestasi rahmat Tuhan. Neraka adalah tempat manifestasi murka-Nya.
Manusia, dalam evolusi kesadarannya, lahir pertama sekali dalam bentuk bayangan yang paling gelap. Ketika kembali kepada Tuhan, ia harus melewati “gap” yang terentang panjang antara kegelapan mutlak dengan Cahaya Mutlak. Orang memilih jalan berbeda-beda. Ada yang memilih tetap bermain dalam bayangan, ada yang memilih mencari berbagai macam cahaya, ada yang memusatkan perhatian kepada Cahaya Mutlak dan tidak puas dengan yang bukan itu.
Tingkat intensitas cahaya itu tidak terbatas. Setiap tingkat menjadi stasiun (manzil). Stasiun ada supaya orang meneruskan perjalanan kepada stasiun berikutnya. Perjalanan menuju Tuhan berlangsung terus abadi. Bagaimana mungkin yang terbatas meliputi yang tidak terbatas? How can the finite encompass the Infinite?
Bila kita memilih jalan menuju cahaya, kita menambah intensitas cahaya dengan mengaktualkan nama-nama Tuhan, Sang Cahaya Mutlak. Nama-nama itu sebetulnya sudah tersimpan secara laten dalam fitrah kita. Mewujudkan nama-nama Tuhan inilah yang disebut sebagai takhalluq bi akhlaaq Allah atau sebenarnya takhalluq di asma Allah.
Apa implikasi dari semua ini? Pendidikan adalah proses menuju kesempurnaan. Proses ini tidak ada batasnya. Dalam proses takamul, manusia mempunyai potensi yang tidak terbatas. Kita semua sedang bergerak menuju Allah. Pendidikan dan yang dididik adalah mitra dalam kafilah ruhani yang sedang menempuh perjalanan di sahara tak terhingga. Seperti yang disenandungkan anak-anak Muthahhari dalam Mars Sekolah mereka.
Di SMA Muthahhari
Kami berjanji suci
Demi Allah
Rabbul ‘Izzah
Kami kafilah mulia
Berjalan menuju Dia
Sahara tak terhingga
Maju terus, maju terus!
Meraih cinta Dia
Sucikanlah jiwa
Serapkan asma Allah
Cerdaskanlah akal
Serapkan asma Allah!
Pendidikan adalah upaya untuk merealisasikan asma Allah dalam diri manusia. Setiap kali kita menyerap satu nama Allah, kita berubah menjadi wujud yang berbeda. Yang bergerak bukan hanya ‘aradh kita, tetapi juga jauhar kita. Inilah al-harkat al-jauhariyyah yang dikemukakan oleh Mulla Shadra. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).