
Waktu itu, dini hari, di sebuah rumah sederhana. Rahman dan istrinya terbangun karena mendengar derak pintu terbuka. Dipasungnya telinganya tajum-tajam. Mereka yakin suara itu berasal dari kamar anaknya, yang berusia tujuh tahun. Langkah-langkah kecil, terdengar seperti berjingkat-Jngkat, bergerak menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu. Mereka mendengar suara air mengalir yang disusul dengan suara gerakan membasuh. Langkah-langkah kecil itu kembali ke kamarnya. Walaupun sayup, karena dini hari yang hening, mereka mendengar suara
bacaan Al-Quran. Anak itu rupanya sedang melakukan shalat malam. Tiba-tiba, keduanya merasakan airmata hangat membasahi pipinya.
Kisah ini disampaikan kepada saya oleh Pak Rahman, ketika saya masih menjadi guru mengaji anak-anak di kampung tempat tinggal saya. Karena kejadian itu, kedua orangtua itu mulai melakukan shalat dan meninggalkan perjudian populer-lotto. Ini terjadi kira-kira tiga puluh tahun yang lalu. Saya mendengar kejadian lain yang hampir mirip dengan itu, dua atau tiga tahun yang lalu.
Kali ini, saya menjadi Direktur SMA Plus Muthahhari. Seorang ibu, orangtua murid yang baru lulus, datang dari Banten. Ia meminta bantuan ngirim Rahmat ke Jerman. la sudah meyakinkan anaknya bahwa ia tidak akan mampu untuk membiayainya. Tetapi anaknya berkali-kali meyakinkan orangtuanya bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan. Di tengah-tengah pembicaraan, ibu itu bercerita tentang perubahan perilaku anaknya setelah masuk sekolah kami. Waktu pulang kampung, ia banyak menaruh perhatian pada tetangga tetangganya yang miskin. Menjelang Lebaran, seperti biasanya, ibu itu memberi anaknya uang untuk membeli pakaian yang baru. Rahmat menerima uang itu seraya meminta izin untuk memberikannya pada tukang becak tetangganya. “Uang ini jauh lebih berharga bagi dia ketimbang saya, Bu,” kata Rahmat.
Kedua kisah nyata di atas menyajikan contoh anak yang cerdas secara spiritual. Keduanya terjadi jauh sebelum konsep kecerdasan spiritual ramai diperbincangkan. Karena saya tidak ingin bertele-tele mendiskusikan apa yang disebut SQ, dan hanya untuk menyamakan pengertian SQ, saya akan mengutip lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual:
- Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material (the capacity to transcend the physical and material).
- Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak (the ability to experience heightened states of consciousness).
- Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari (the ability to sanctify everyday experience).
- Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah (the ability to utilize spiritual resources to solve problems).
- Kemampuan untuk berbuat baik (the capacity to be virtuous).
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. la merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indriawinya. Anak Pak Rahman pada kisah pertama memiliki kedua ciri ini, terutama ketika ia menyampaikan doa-doa personalnya dalam shalat malamnya.
Sanktifikasi (pengudusan) pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada Abad Pertengahan, seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. la tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan?” Yang cemberut menjawab, “Saya sedang menumpuk batu.”
Yang ceria berkata, “Saya sedang membangun katedral!” Yang kedua telah mengangkat pekerjaan “menumpuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. la menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks kitab suci atau wejangan orang-orang suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Ketika Rahmat diberi tahu bahwa orangtuanya tidak akan sanggup menyekolahkannya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Tuhan berfirman, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami”? (QS Al-‘Ankabut [29]: 69). Bukankah Heinrich Heine memberikan inspirasi dengan kalimatnya: “Den Menschen macht seiner Wille gross end klein.” Kemauanlah yang membuat manusia besar atau kecil. Rahmat memiliki karakteristik yang keempat. Tetapi Rahmat juga menampakkan karakteristik yang kelima: memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesame makhluk Tuhan. “The fifth and final component of Spiritual Intelligence refers to the capacity to engage in virtuous behaviour: to show forgiveness, to express gratitude, to be humble, to display compassion and wisdom,” tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur, atau mengungkapkan terima kasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda Nabi Muhammad Saw., “Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia.” JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).