
“Di antara orang-orang yang beriman ada kelompok orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Di antara mereka ada yang menunggu. Dan mereka tidak mengubah janjinya sedikit pun juga.” (QS. Al-Ahzab: 23)
Inilah di antara ayat-ayat Al-Quran yang digumamkan Imam Husain pada hari Karbala. Tampaknya ia ingin mengingatkan para sahabatnya bahwa yang disebut kaum mukmin itu tidak sama. Ada yang memeranginya dan ada yang mendukungnya. Keduanya mukmin juga. Bukankah Al-Quran berkata: Jika kedua kelompok mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. (QS. Al-Hujurat: 9).
Jangan heran bahwa mereka yang mengepung keluarga Rasulullah Saw dan bergerak untuk membunuhnya itu mengaku sebagai mukmin-melakukan salat, saum, dan haji. Janganlah berkata tidak habis pikir mengapa mereka yang mengaku umat Muhammad bisa menzalimi Ahlulbaitnya. Mereka adalah mukminin juga.
Apa yang membedakan mukmin pengikut Imam Husain dengan mukmin yang memeranginya? Pengikut Husain ialah mereka yang memenuhi janjinya, yang tetap teguh setia mempertahankan komitmennya. Apa pun yang terjadi.
Lawan Imam Husain adalah mereka yang melanggar janjinya, yang mengkhianati komitmennya. Di antara yang hadir di Karbala ada orang-orang yang mencantumkan namanya dalam surat baiat kepada Imam Husain. Mereka berjanji untuk membelanya, melindunginya, dan berjuang bersamanya, sampai titik darah yang terakhir.
Tetapi darah terawal belum menetes, ketika penguasa yang zalim menggertakkan gerahamnya, mereka sudah berguncang ketakutan. Mereka lupakan janjinya. Mereka putuskan kesetiaannya. Mereka bergabung dengan kezaliman. Mereka putuskan hubungan dengan orang yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya. Mereka yang memutuskan perjanjian dengan Allah sesudah memperkuatnya dan memutuskan apa yang Allah perintahkan menyambungkannya dan berbuat kerusakan di bumi, mereka itulah orang-orang yang merugi (QS. Al-Baqarah: 27).
Yang beruntung adalah para pengikut Imam Husain. Mereka menepati janjinya. Mereka tegakkan keadilan walaupun langit harus runtuh. Kakinya tidak bergeser dari sikap hidup yang dipilihnya. Ada di antara kelompok ini yang sudah gugur dalam menjalankan misi hidupnya. Ada juga yang masih menunggu masa dengan tetap bergerak menuju kesyahidan mereka. Satu demi satu pengikut Imam gugur dengan tidak melepaskan kesetiaannya kepada pemimpinnya. Ketika kepala-kepala mereka terlepas, bibir-bibirnya masih menggumamkan baiat kesetiaan: Ya Aba Abdillah.
Yang masih hidup menunggu saat mereka menjemput maut atau maut menjemputnya. Ketika Muslim bin ‘Ausajah sudah jatuh berlumuran darah, Habib bin Mazahir, habib yang sejati dan sahabat yang setia mendekatinya: Demi Allah sekiranya tidak aku ketahui bahwa aku akan menyusulmu, aku ingin sekali agar engkau berwasiat kepadaku. (Karena sahabat biasanya mewasiatkan sesuatu kepada sahabatnya lagi pada saat menjelang kematiannya. Ia akan mewasiatkan keluarganya dan anak-anaknya). Tetapi sulitnya aku pun akan mati juga sesudahmu. Aku akan menempuh perjalanan yang sama. Semula aku ingin engkau berwasiat untuk aku jalankan wasiatmu itu. Muslim berkata: Memang aku punya wasiat yang bisa kamu laksanakan sekarang juga. Bertanya Habib: Apa wasiatmu? Ia berkata: Aku wasiatkan ini-sambil telunjuknya menunjuk Imam Husain. Berjuanglah di sampingnya sampai kamu mati!
Itulah percakapan indah antara orang yang sudah syahid dengan orang yang sedang menunggu kesyahidan. Keduanya adalah orang yang menepati janji, memenuhi komitmen kepada sikapnya. Dan inilah keberagamaan yang sejati. Ayat Al-Quran itu dikutip Imam untuk menjelaskan keberagamaan yang hakiki dan keberagamaan yang palsu. Kita semua sedang dites oleh Imam Husain dengan sebuah tes yang sederhana tapi berat: Mana komitmenmu? Mana kesetiaanmu pada janjimu? Mana keteguhan sikapmu untuk menegakkan Islam? Jika engkau tidak lulus tes ini, kamu masih mukmin, tetapi mukmin nominal saja, mukmin sebutan saja. Kamu belum mukmin sejati, jika kamu melingkarkan serbanmu dengan ketat, tetapi melonggarkan komitmenmu kepada keadilan. Kamu cuma pamer kesalehan, jika mulutmu menggumamkan asma Allah tidak henti-hentinya, tetapi kamu menggunakan agama untuk memperkaya dirimu.
Seorang mukmin ditandai dari komitmennya pada iman. Seorang muslim ditandai dari komitmennya kepada Islam. Sayyid Husain Fadhlullah, yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuk Islam, berkata: Kita harus bertanya-Adakah perjanjian antara kita dengan Allah atau tidak? Adakah perjanjian antara kita dengan Al-Husain sampai kepada Rasulullah Saw? Ketika kita mempelajari pertanyaan ini dengan sifat kita sebagai muslimin, kita akan menjawab pertanyaan itu dengan mudah, bukan dengan sifat kekerabatan, kedaerahan, kesukuan atau sifat-sifat lainnya yang rendah, karena sifat Islam itulah yang membatasi sikap kedaerahan dan kesukuan kaum muslimin. Sesungguhnya kekerabatan, kedaerahan, kebangsaan, kesukuan, adalah simbol yang boleh jadi bergerak bersama manusia di dunia ini. Tetapi pada hari kiamat, “Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak pula mereka saling bertanya” (QS. Al-Mu’minun: 101). Pada hari kiamat orang akan ditanya dari komitmennya kepada Tuhannya, Rasul-Nya, kitab-Nya dan syariat-Nya.” (Fi Rihab ahl al-Bayt alayhim al-Salam, hal. 314).
Komitmen kepada Islam harus mengatasi segala komitmen. Pada suatu hari Abu Dzar bertengkar dengan salah seorang sahabat yang berkulit hitam. Dalam perdebatan ia memanggil sahabatnya itu-Ya Ibn al-Sawda, hai anak perempuan hitam. Rasulullah Saw menepuk bahu Abu Dzar, “Keterlaluan kamu, keterlaluan kamu. Tidak ada kelebihan orang kulit putih di atas kulit hitam, tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang asing kecuali karena amal salihnya.” Abu Dzar sadar. Ia sudah meletakkan komitmen kepada warna kulit dan ras di atas komitmen kepada Islam. Ia merebahkan dirinya, menempelkan pipinya di atas tanah, seraya berkata kepada sahabatnya, “Injaklah pipiku sebagai tebusan atas kelancanganku.”
Kelak Abu Dzar berdiri teguh di atas komitmennya kepada Islam. Ia tidak ragu menegur penguasa yang batil, walaupun orang itu menantu Rasulullah Saw sekali pun. Ia tidak takut memperingatkan sultan yang zalim, walaupun ia itu berasal dari keturunan Quraisy; seperti Al-Quran yang dengan tegas mengecam Abu Lahab, walaupun dia paman dari Rasulullah Saw sang Kekasih Tuhan. Seperti Al-Quran yang dengan keras menyebut anak Nabi Nuh sebagai bukan keluargamu dan menyebutnya, “Innahu ‘amalun ghayri shalih.” Dia itu amal yang tidak saleh (QS. Hud: 46). Hubungan kekerabatan gugur ketika bertentangan dengan komitmen kepada Islam.
Amal saleh adalah alamat komitmen kita, karena amal saleh adalah apa saja yang kita lakukan untuk memenuhi janji kita dengan Tuhan. Amal saleh adalah ketaatan kepada Tuhan, dan amal salah adalah ketaatan kepada setan. Seakan-akan kepada kita ditawarkan dua perjanjian: mematuhi Tuhan atau Setan. Tuhan berfirman: Bukankah Aku sudah janjikan kepadamu, hai Anak Adam, janganlah menyembah setan. Sembahlah Aku, inilah jalan yang lurus. (QS. Yasin : 60-61). JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).