
Seluruh kaum Muslim sudah sepakat bahwa mencintai Nabi adalah kewajiban kaum Muslim. Mencintai Nabi itu hukumnya wajib, walaupun kecintaan itu tidak bisa datang begitu saja. Kecintaan itu harus ditumbuhkan. Kata orang Inggris, orang itu tidak pernah fall in love, jatuh cinta yang ada adalah learn to love, orang itu belajar untuk mencintai.
Kecintaan kepada Rasulullah sangatlah penting karena Rasulullahlah yang menghubungkan kita kepada Allah Swt. Pengetahuan kita tentang cara-cara menyembah Allah diperoleh berkat bantuan Rasulullah; dan dengan Rasulullah juga, kita sampai kepada Allah Swt.
Untuk menggambarkan Nabi sebagai wasilah, orang-orang kampung melantunkan puisi ini:
Ya Rabbi bil Mushthafa
Balligh maqashidana
Waghfir laná má madha
Ya Wasi’al Karami
Berkat Nabi Mushthafa
Sampaikan ke cita-cita
Ampunilah semua dosa
Hai Pelimpah Karunia
Dalam syair itu disebutkan bil Mushthafa (melalui Manusia Pilihan). Melalui Rasulullah, kita bermohon agar Allah mengabulkan permohonan kita.
Untuk menggambarkan kedudukan Nabi dalam Islam, penyair besar dari Anak Benua India, Dr. Muhammad Iqbal, menulis dalam Rumuz-i Bekhudi:
Dari kenabian, fondasi kami di dunia
Dari kenabian, agama kami punya ritualnya
Dari kenabian, beratus ribu kita satu
Bagian dari bagian tak terpisahkan
Dari kenabian, kita punya melodi yang sama, napus yang sama,
Tujuan yang sama
Jalaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’i dalam Al-Durr Al-Mansur menjelaskan Surah Al-Baqarah (2): 31-34, Dan Allah mengajarkan kepada Adam (Al-Asma’) nama-nama (benda-benda) semuanya. kemudian mengemukakannya kepada malaikat, lalu Allah berkata, “Sebutkanlah kepada-Ku, hai para malaikat, nama-nama benda-benda itu, jika kamu itu benar,” Malaikat berkata, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”
Allah berkata, “Ya Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka, setelah diberitahukannya kepada para malaikat namanama benda itu, Allah berkata, “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan.” Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikar, “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia ini enggan dan takabur dan dia termasuk golongan kafirin.
Dalam ayat itu, ada kata al-asma’ (nama-nama). Allah lalu menyatakan, “Kemudian Allah memperlihatkannya kepada para malaikat untuk menyebutkan nama orang-orang) ini. Tetapi, malaikat tidak bisa menjawab.” Jadi, di sini jelas bahwa nama-nama ini adalah sekelompok manusia (orang-orang). Karena itu, disebutkan summa aradhahum. Adapun yang menjadi pertanyaan kita ialah siapa nama-nama yang dimaksud itu? Siapa nama-nama yang malaikat tidak tahu, tetapi Adamlah yang tahu dan kemudian mengabarkannya? Mengapa juga malaikat disuruh sujud kepada Adam ketika Adam dapat menyebutkan nama-nama itu?
Nabi Adam, yang sudah diberi tahu terlebih dahulu, menyebutkan nama-nama yang tertera itu. Yang pertama disebutnya adalah Muhammad al-mushthafa; kedua. Ali al-murtadha; ketiga, Fathimah Al-Zahra; keempat, Al-Hasan; dan kelima, Al-Husain. Itulah al-asma’. Malaikat kemudian tahu bahwa nama-nama itu adalah nama-nama besar, karena Allah menyimpan nama-nama itu di samping Arasy-Nya yang agung.
Kemudian, Allah mengatakan bahwa makhluk yang paling mulia dan paling dikasihi Allah ini dititipkan kepada Adam. Melalui Adamlah, nama-nama itu akan lahir, akan bermaujud ke dunia ini. Karena itu, Adam mendapat kehormatan dari malaikat sehingga malaikat pun sujud kepada Adam. Lewat Adamlah, nama-nama agung itu akan lahir di dunia. Begitu menurut tafsir Al-Durr Al-Mantsur.
Saya hampir-hampir tidak percaya membaca ini. Tafsir apa ini. mazhab apa ini? Tetapi jelas, itu tafsir Jalaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’i, yang bermazhab Syafi’i, seperti halnya mazhab kebanyakan orang Indonesia.
Jadi, Muhammad itu adalah nama besar yang dikasihi Allah Swt. dan sisanya adalah keluarga Rasulullah yang dikasihinya. Karena itu, kita harus mencintai Rasulullah dan keluarganya. Kita hanya bisa mencintai Allah dengan mengikuti Rasulullah. Allah adalah Zat yang Wajib Al-Wujud, Zat yang Maha sempurna. Karena itu, sulit bagi kita mencintai Allah secara langsung karena Dia Khalik dan kita ini makhluk. Kita dipisahkan oleh sifat mukhálafat li al-hawadits. Kita hanya bisa mencintai Allah melalui makhluk yang dicintai-Nya, yaitu Rasulullah.
Masih dalam tafsir tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan Nabi Adam. Ketika dikeluarkan dari kehidupan surga, Nabi Adam diajari beberapa kalimat. Dalam beberapa hadis dijelaskan bahwa kalimat yang diterima oleh Nabi Adam waktu itu adalah untuk bertobat. Apa kalimat-kalimat itu? Ada yang menyebut bahwa kalimat itu adalah “Rabbana zhalamná anfusana wa in lam taghfir lanú wa tarhamná lanakunanna min alkhasirin”. Ada juga hadis yang mengatakan bahwa kalimatkalimat itu ialah, selain istighfar tersebut juga kalimat tawasul yang artinya mengambil wasilah. Dengan demikian, Nabi Adam bertawasul dengan al- asma tadi, dengan nama-nama yang dia lihat di samping Arasy. Jadi, Nabi Adam bertawasul dengan kelima nama: Muhammad Al-Mushthafa dan keluarganya. Itulah kalimat yang diucapkan oleh Adam a.s., bapak kita dahulu.
Jadi, lewat nama yang dikasihi Allahlah, manusia diajari memohonkan permohonan kepada Allah Swt. Karena itu, ada satu riwayat yang dengan begitu indah diceritakan juga oleh Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad Adalah Urusan Allah. Tetapi, ia tidak menceritakan riwayat tersebut: ia hanya menceritakan penyair-penyair yang mengacu kepada riwayat itu. Ia menunjuk riwayat itu di dalam syair-syair mereka.
Ketika terjadi musim kemarau panjang, datanglah orang-orang kepada Abu Thalib, sebagai orang yang mengurus Al-Bait. Mereka meminta beliau agar memohonkan hujan segera turun. Waktu itu, Abu Thalib memelihara anak yatim yang ditinggalkan oleh kakeknya, Abdul Muththalib. Sebelum meninggal dunia, Abdul Muththalib pernah berpesan supaya Abu Thalib memelihara anak yatim ini baik-baik, karena dia akan membawa peristiwa besar di tengah-tengah umat manusia. Maka, anak kecil yang bernama Muhammad itu dibawa Abu Thalib ke sekitar Ka’bah. Dengan mengangkat kepala ke awan di atasnya, Abu Thalib berdoa dengan menyebut nama anak itu. “Ya Allah, demi kebesaran nama anak ini, turunkanlah hujan dari sela-sela awan itu!” Waktu itu, segeralah turun hujan lebat di daerah itu.
Peristiwa ini dimuat oleh semua kitab tarikh yang klasik, kecuali kitab tarikh yang mutakhir. Jadi, Anda tidak akan menemukan ini di dalam karya Haikal, misalnya. Tetapi, di dalam karya Annemarie Schimmel disebutkan riwayat yang merujuk ke peristiwa itu. Karena itu, kata Annemarie Schimmel, dalam shalawat-shalawat, dalam syair-syair, sering diceritakan tentang Rasulullah sebagai wasilah yang menurunkan hujan itu. Antara lain, dalam Shalawat Munfarijah ada kalimat:
wa yustasqal ghamamu bi wajhihil karim
Dan awan-awan itu diminta untuk menurunkan air
Karena wajahnya yang mulia
(Maksudnya adalah wajah Rasulullah.)
Nama Muhammad itu adalah nama yang agung yang ditetapkan oleh Allah Swt. “Aku angkat sebutan kamu, Warafa’nå laka dzikrak“. Karena itulah, tidak akan ada orang yang sanggup menghilangkan nama Rasulullah dalam kehidupan kaum Muslim.
Pernah saya memberikan ceramah maulid. Ketika saya memberikan penjelasan tentang shalawat ini, ada seorang ibu-istri seorang perwira berkata, “Dulu saya sering melantunkan shalawat, dan di antara shalawat itu disebutkan, ‘wa yustasqal ghamamu bi wajhihil karim. Tetapi sekarang ini, saya punya ustad yang mengajari saya ngaji. Ketika saya bertanya tentang bacaan itu, ustad itu mengatakan bahwa itu musyrik, harus ditinggalkan.”
Padahal, bahkan para sahabat pun, setelah Rasulullah meninggal dunia, sering meminta hujan dengan diri Rasulullah. Setelah Rasulullah tiada, ketika musim kering datang lagi. Umar bin Khaththab malah bertawasul dengan keluarga Rasulullah-waktu itu dia memilih ‘Abbas. Kata Umar, “Aku bertawasul dengan paman Rasulullah.”
Aisyah pemah didatangi orang yang mengeluh karena musim kering yang berkepanjangan. Aisyah lalu bermohon, dengan membuka atap makam Rasulullah, langsung menghadap ke langit. Kemudian, seperti Abu Thalib juga, Aisyah bermohon dengan Al-Mushthafa supaya hujan diturunkan.
Kalau ingin tahu riwayat-riwayat itu, Anda bisa membacanya dalam kitab Al-Tabarruk, bagaimana para sahabat tabarruk dengan wajah Rasulullah yang mulia untuk menurunkan hujan. Sepanjang sejarah, kata Annemarie Schimmel, puluhan syair telah dibuat dengan menggunakan nama Muhammad, untuk menunjukkan bagaimana orang yang kekeringan bermohon kepada Allah lewat Al-Mushthafa.
Mungkin orang akan berkata, “Tidak logis berdoa dengan tawasul kepada Al-Mushthafa. Bukankah Allah berkata, “Berdoalah kepada-Ku dan Aku akan mengabulkannya. Karena itu, tidak perlu bertawasul. Allah itu tidak memerlukan birokrasi dalam berhubungan dengan kita.” Untuk itu, kita punya beberapa dalil naqli dan dalil ‘agli.
Dalil naqli-nya ialah hadis-hadis yang sudah saya sebutkan tadi, tentang bagaimana Nabi Adam bertawasul kepada Allah dengan Al-Asma, kecuali kalau hadisnya itu kita dha’ifkan. Kalaupun hadisnya di-dha’if-kan, masih ada hadis yang lain. Para sahabat juga bertawasul kepada Rasulullah kalau mereka mengalami kesulitan.
Adapun dalil ‘aqli-nya-namanya juga dalil ‘aqli: dicari-cari dengan akal-secara singkat begini. Kalau kita ingin menyampaikan permohonan dan ingin permohonan itu diterima, atau ingin lamaran kita diterima seseorang, kita harus bisa membuat orang yang kita tuju mencintai kita. Kalau dia mencintai kita, dia sudah pasti memenuhi permohonan kita. Dan kalau kita ingin merebut kecintaannya, maka sebelum menyebut permohonan itu, kita sebut orang-orang yang dicintainya, supaya dia mencintai kita. Kita merasa senang kalau orang-orang yang kita cintai, dicintai juga oleh orang lain. Jadi, kalau Anda mencintai orang-orang yang saya cintai, saya pun akan mencintai Anda.
Orang yang dicintai Allah Swt. adalah Rasulullah. Karena itu, ketika kita memohon kepada Allah, sebutlah nama Rasulullah. Allah tidak bermaksud apa-apa dalam mendatangkan Rasulullah, kecuali untuk mendatangkan rahmat kepada alam semesta. Rahmat itu, di dalam bahasa Arab, artinya cinta, kasih. Jadi, ayat tersebut kalau diterjemahkan secara harfiah adalah “Tidak Kami utus Engkau (Muhammad), kecuali sebagai ungkapan cinta-Ku kepada seluruh alam semesta ini, sebagai rahmat kepada seluruh alam.” Jadi, seperti yang dikutip oleh para penyair, Rasulullah adalah cinta yang terjelma. Dia adalah kasih Allah yang berwujud manusia.
Dengan demikian, kita tidak dapat mencintai Allah kecuali mencintai Rasulullah, dan kita pun tidak bisa mencintai Rasulullah kecuali mencintai keluarganya. Dalam Surah Al-Syura (42): 23, Allah berfirman, Katakanlah oleh kamu (Muhammad), aku tidak meminta upah dari kamu atas semua ini, kecuali kecintaan kepada keluargaku. Begitu juga, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, dikatakan bahwa nanti di akhirat, tidak akan bergeser telapak kaki Adam kecuali ditanya dari yang empat. Salah satu dari empat hal itu ialah kecintaan kepadaku (Rasulullah) dan kepada Ahlul Baitku. Itu hadis sahih riwayat Thabrani.
Tidak bergeser telapak kaki Adam pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat hal: dari umurnya, untuk apa ia habiskan, dari tubuhnya, pada apa ia rusakkan dari hartanya, ke mana ia infakkan dan dari mana ia peroleh dan dari kecintaannya kepada keluargaku.
Karena itu, kalau membaca shalawat, kita menyebut juga keluarga Rasulullah. Kita tidak menyebut shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tetapi kita sebut shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam atau allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. (Shahih Bukhari, kitab Anbiya’: 10: Musnad Iman Ahmad 5: 274.)
Ada beberapa cara yang digunakan untuk menjauhkan kita dari Allah. Antara lain, dengan memupus kecintaan kita kepada Rasulullah. Cara ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahap yang pertama ialah memasukkan riwayat-riwayat yang merendahkan Rasulullah. Dalam hal ini, kita menemukan riwayat yang meletakkan Rasulullah kalau tidak paling bawah pada peringkat kedua setelah para sahabat. Misalnya, diceritakan bahwa Allah pemah menegur Rasulullah dan membenarkan Umar sehingga Rasulullah menangis dan berkata, “Seandainya turun azab, semua akan terkena, kecuali Umar bin Khaththab. Menurut saya, itu yang disebut politik belah bambu. Kalau orang membelah bambu, belahan yang satu diangkat dan belahan yang satu lagi diinjak. Tahap yang kedua ialah – karena kita harus mencintai Rasulullah lewat keluarganya keluarganya disingkirkan perlahan-lahan. Mula-mula mereka disingkirkan sebagai panutan, sebagai imam kaum Muslim.
Jadi, cinta itu bisa juga dihilangkan lewat rekayasa. Saya bisa merekayasa Anda untuk mencintai Rasulullah. Kini saya sedang merekayasa Anda, Anda harus hati-hati. Tetapi, jujur saja, saya beri tahukan kepada Anda, orang lain merekayasa Anda supaya tidak mencintai Rasulullah, meskipun tidak terang-terangan. Mereka melakukannya secara halus. Misalnya, seperti tadi, membuat riwayat-riwayat yang merendahkan Rasulullah sehingga Rasulullah turun derajatnya, dari manusia yang mulia menjadi manusia yang biasa saja.
Sekiranya tahap yang kedua mungkin agak sukar, dilakukan tahap yang ketiga, yaitu dengan menyingkirkan keluarga Rasulullah dari shalawat sehingga tinggal shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perjalanan sejarah, bahkan sampai sekarang, telah terjadi bukan saja penyingkiran keluarga Muhammad dari shalawat, melainkan juga penyingkiran shalawat itu sendiri.
Shalawat disebut bid’ah. Belakangan malah lebih dahsyat lagi. shalawat disebut musyrik. Lama-kelamaan, nama Muhammad dihilangkan Tetapi, insya Allah, hal itu tidak akan berhasil, karena seperti dikatakan tadi, sebutan Muhammad Saw. itu sudah ditetapkan oleh Allah, “Warafa’ na laka dzikrak (Kami angkat namamu)”, sehingga tidak ada seorang pun yang sanggup menghilangkan nama Rasulullah dari kehidupan kaum Muslim. Tidak akan pernah ada orang yang mampu menghilangkan nama itu. Karena itu, Annemarie Schimmel mengatakan bahwa kaum Muslim itu “lucu”. Kalau ada orang menggerutu kepada Allah, tidak percaya kepada Allah, orang Islam tidak tersinggung. Tetapi. kalau ada orang menghina Rasulullah, orang Islam marah. Karena itu, dia memberikan nasihat kepada orang-orang Barat, “Berhati-hatilah kalau bicara tentang diri Nabi di hadapan orang Islam.” Mengapa? Karena Allah adalah Al-Khaliq, dan kecintaan kepada Allah hanya bisa lewat Muhammad. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).