
Dalam kitab hadis Bihar Al-Anwar, diceritakan sebuah kisah tentang kecintaan seorang sahabat kepada Rasulullah:
Ada seorang pedagang minyak goreng di Madinah. Setiap kali hendak pergi, termasuk pergi ke pasar, dia selalu melewati rumah Rasulullah. Dia selalu singgah di tempat itu sampai merasa puas memandang wajah Rasul. Setelah itu, dia pergi ke pasar.
Suatu saat, setelah melepaskan rindunya kepada Rasul, seperti biasanya dia pergi ke pasar. Tetapi, tidak berapa lama setelah itu, dia datang lagi. Nabi terkejut sehingga beliau bertanya, “Mengapa kau balik lagi?” Dia menjawab, “Ya Rasulullah, setelah sampai di pasar, hati saya gelisah. Saya ingin kembali lagi. Izinkan saya memandang engkau sebentar saja untuk memuaskan kerinduan saya.” Kemudian Rasul berbincang-bincang dengan orang itu.
Tidak lama setelah peristiwa itu, Nabi tidak melihat lagi pedagang minyak itu lewat di depan rumahnya.
Berhari-hari orang itu tidak lagi kelihatan batang hidungnya di depan Rasulullah. Beliau akhirnya mengajak sahabatsahabatnya untuk menjenguknya. Berangkatlah mereka ke pasar. Diperoleh kabar bahwa orang itu telah meninggal dunia. Rupanya, pertemuan sampai dua kali waktu itu merupakan isyarat bahwa dia tidak bisa lagi memandang wajah Rasulullah.
Rasul bertanya kepada orang-orang di pasar, “Bagaimana akhlak orang itu?” Mereka berkata, “Orang itu pedagang yang sangat jujur. Cuma ada sedikit saja kekurangannya. Orang itu senang perempuan.” Kemudian Rasul berkata, “Sekiranya orang itu dalam dagangnya agak lancung sedikit, Allah akan mengampuni dosanya karena kecintaannya kepadaku.”
Rasulullah bersabda “sekiranya untuk menegaskan bahwa orang itu jujur berkat kecintaannya kepada Nabi. Kecintaannya kepada Rasulullah dibuktikan melalui kejujurannya dalam berdagang.
Hadis di atas mengajarkan kepada kita tentang pentingnya mencintai Rasulullah. Bukankah sudah sering kita mendengar hadis yang berbunyi,
“Belum beriman salah seorang di antara kamu sebelum aku lebih kamu cintai daripada dirimu, anak-anakmu, dan seluruh umat manusia.”
Saya pernah mengajak jamaah untuk kembali membangkitkan kecintaan kepada junjungan kita, Rasulullah. Lalu, ada orang yang bertanya kepada saya, “Saya ingin mencintai Rasulullah, tetapi apa yang harus saya lakukan supaya kecintaan itu tertanam di dalam hati saya? Kalau saya mencintai seorang perempuan, saya membayangkan wajahnya, rambutnya, dan bibirnya supaya tumbuh kerinduan saya kepada perempuan itu. Apakah saya harus membayangkan wajah Rasulullah supaya saya bisa mencintainya?”
Waktu itu saya menjawab, “Inilah bencana paling besar yang menimpa kita sekarang ini, kita hanya bisa mencintai sesuatu yang bisa dilihat, diraba, dan disaksikan. Kita ini sama dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam Al-Quran. Mereka hanya mencintai yang zahir saja. Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia dan lalai dari akhirat (QS Al-Rúm (30): 7). Mata mereka tidak dapat menembus hal-hal yang ruhaniah.
Dengan kata lain, kalaupun kita mau mencintai, cinta kita hanya cinta fisikal, cinta yang sensual. Kita tidak dididik untuk mencintai orang bukan karena tubuhnya. Padahal dalam ilmu percintaan, cinta karena tubuh adalah tahapan cinta yang paling rendah. Para ahli jiwa mengatakan bahwa cinta pada tahap pertama seperti cinta yang ditunjukkan oleh anak-anak. Cinta mereka adalah cinta pada sesuatu yang bisa dilihatnya. Menurut Sigmund Freud, pertama kali seseorang mencintai ialah ketika dia merasakan kenikmatan pada waktu menyusui kepada ibunya. Itulah cinta yang paling rendah. Makin dewasa seseorang, makin abstrak atau makin tidak kelihatan cintanya. Sayang, tampaknya kedewasaan kita ini lambat.
Salah satu ciri ketidakdewasaan kita adalah kita mencintai sesuatu karena hal-hal yang konkret dan bisa dilihat. Kita mencintai gunung karena kehijauannya yang bisa dilihat dan kesejukan anginnya yang bisa dirasakan; bukan karena keanggunan dan misteri yang ada di balik gunung itu. Kalau kita menceritakan laut yang kita ceritakan adalah gelombangnya, batu-batu karangnya, dan ikan-ikannya, kita tidak menceritakan keluasan dan kedahsyatan di balik samudra itu dan pengaruhnya kepada jiwa kita. Semua hal itu terlalu abstrak, karena kita lebih terbiasa dengan hal-hal yang konkret.
Ketika menentukan pilihan dalam Pemilu, kita memilih partai, bukan program-programnya. Sebab, program bersifat abstrak, tidak kelihatan Kita memilih penampilan caleg, bukan kredibilitasnya. Kita juga memilih bukan karena akhlak para politisinya, melainkan karena citranya dalam media.
Saya tidak akan menceritakan hal itu lebih jauh. Dengan hal itu, saya ingin membawa Anda untuk mencintai Rasulullah dengan kecintaan yang lebih tinggi tingkatnya; bukan kecintaan fisikal atau jasmaniah. Kecintaan jasmaniah adalah kecintaan ala ABG, yang tidak layak buat orang-orang dewasa.
Kalau membuka ayat Al-Quran, kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa ketika berkisah tentang Rasulullah, Allah tidak pernah menceritakan sifat-sifat jasmaniahnya. Al-Quran selalu menceritakan sifatsifat ruhaniah Rasulullah, yaitu akhlak Rasulullah, bukan penampilan fisiknya.
Berbeda dengan sebagian para sahabat. Kalau bercerita tentang Rasulullah, cerita mereka sering berkenaan dengan penampilan fisik beliau. Misalnya, kalau Rasulullah tertawa, gusinya sampai kelihatan Contoh lain, ketika mereka menceritakan tetesan keringat Rasulullah Bahkan, karena terpesona dengan tetesan keringat di dahi Rasul, Aisyah sampai berkata, “Ya Rasulullah, ingin saya bacakan sebuah puisi kepadamu.” Lalu dia bacakan puisinya dengan mengutip syair seorang Arab tentang tetesan keringat Rasulullah. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Aisyah hanya mencintai Rasulullah karena jasmaninya.
Saya ingin mengetengahkan satu ayat Al-Quran. Tentang ayat ini, ada riwayat yang agak lucu. Katanya, setelah Al-Quran terkumpul dan tertulis pada zaman Abu Bakar, seseorang mengatakan bahwa ada satu ayat yang hilang. Pada waktu itu, seseorang yang mengumpulkan ayat harus membawa saksi satu orang, sehingga jumlah pengumpul ayat ada dua orang. Seseorang berbicara, “Ada yang terlewat. Satu ayat belum masuk ke situ.” Dia hanya seorang diri, tidak mempunyai saksi. Namanya Khuzaimah bin Tsabit. Lalu orang-orang berkata, “Kesaksian Khuzaimah bin Tsabit dihitung menjadi dua, karena hanya dia yang mengetahui ayat Al-Quran ini.”
Terlepas dari persoalan sahih-tidaknya hadis ini, yang jelas ayat itu bercerita tentang akhlak Rasulullah. Ayat itu sering menjadi wirid kita. Mungkin ini juga merupakan cara agar kita mampu memasukkan akhlak itu dalam kehidupan kita. Ayat itu berbunyi, “Laqad ja akum rasúlun min anfusikum…” (QS Al-Taubah [9]: 128).
Sedikit catatan: Menurut Al-Fakhr Al-Razi, kata anfusikum, berdasarkan qira’at Nabi, qira’at Fathimah, dan qira’at Aisyah dari Ibn ‘Abbas, harus dibaca anfasikum; membacanya di-fathah-kan, bukan di-dhammah-kan.
Al-Fakhr Al-Razi menjelaskan ada empat sifat Nabi yang tergambar dalam Surah Al-Taubah (9): 128 ini. Pertama, min anfusikum, dari kalanganmu sendiri. Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk gaib, bukan pula Superman, melainkan Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan, Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat. “Qul innama ana basyarun mitslukum….” (QS Al-Kahfi [18]: 110). Nabi adalah manusia biasa. Kalau dia berjalan, ada bayangbayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Dia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniahnya. Dia juga merasakan lapar dan dahaga. Al-Quran menegaskan bahwa kehidupan Nabi sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.
Dalam qira’at minanfasikum, diterangkan bahwa kata “anfas” mengandung arti yang paling mulia”. Jadi, ayat ini berarti “Sudah datang di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Dengan demikian, kemuliaan Rasulullah diakui, bahkan sebelum beliau membawa ajaran Islam. Dia adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya, dilihat dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul berasal dari kabilah yang paling baik.
Jadi, sifat Nabi yang pertama adalah paling mulia akhlaknya. Karena kemuliaan akhlaknya itu, orang-orang di sekitarnya memberinya gelar “Al-Amin”, “Orang yang Terpercaya”. Adapun sifat Nabi yang kedua ialah (selalu merasa) berat hatinya melihat penderitaan umat manusia. Para ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “berat hati Nabi” itu ialah kalau orang menderita hal-hal yang tidak enak. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa arti “berat hati Rasulullah” itu ialah jika orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita dan dia akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Rasulullah sangat mengharapkan kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan, beliau sampai bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.
Terlalu banyak kotoran dan dosa yang kita taburkan di hadapan Nabi yang mulia. Seperti tertulis dalam sebuah puisi Iqbal. Ketika sakit keras, Iqbal pernah berdoa:
Ya Allah
Kalau Engkau adili aku di hari kiamat nanti
Jangan dampingkan aku di samping Nabi Al-Mushthafa
Karena aku malu mengaku sebagai umatnya
Padahal hidupku bergelimang dalam dosa
Kita memang sudah banyak mengotori diri dengan akhlak tercela. Namun, kita pun percaya bahwa Nabi mendengar jeritan kita. Kita menyadari kejelekan akhlak kita, dan kita malu bertemu Rasulullah dengan membawa dosa. Tetapi kita percaya bahwa kita menantikan tepukan tangan Rasul untuk menenteramkan batin kita dan mengharapkan syafaatnya.
Sifat ketiga Rasulullah ialah dia sangat menginginkan kaum Muslim memperoleh kebaikan. Dia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.
Adapun sifat keempat Rasulullah ialah sangat penyantun dan penyayang kepada kaum Mukmin. Menurut para ahli tafsir, belum pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad. Nama yang dimaksud ialah Ra’ufur Rahim.
Ra’afur Rahim itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Ra’af artinya penyayang dan Rahim artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat, artinya menjadi berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu menunjukkan sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya, tetapi juga kepada orang yang berdosa.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasul itu Raufun liman ra’ah, rahimun liman lam yarah, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa dengannya dan juga pengasih kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengannya. Suatu hari, Rasulullah pemah berkata, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan Ikhwani.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwanuka?” “Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tetapi membenarkanku dan beriman kepadaku.”
Saya akan menceritakan hadis lain. Diriwayatkan bahwa ketika berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu sehingga tubuhnya berdarah. Kemudian Rasul berlindung di kebun Utbah bin Rabi’ah dan memanjatkan doa yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan ucapan,
“Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?“
Datanglah Malaikat Jibril seraya berkata, “Ya Muhammad, ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dia tidak akan melakukan apa pun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka. Jika engkau mau, aku guncangkan bumi di bawah kaki mereka. Namun, Nabi berucap, “Hai malaikat gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat “La ilaha illallah.” Nabi tidak mau menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap, kalaupun mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian para malaikat dan gunung berkata, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu: sangat penyantun dan penyayang.”
Kasih sayang Nabi tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar. Menurut Aisyah, Nabi makan tidak sampai kenyang selama tiga hari berturut-turut. Ketika Aisyah menanyakan sebabnya, Nabi menjawab, “Selama masih ada ahli shuffah, orang-orang miskin yang kelaparan di sekitar masjid, saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu. Nabi juga memikirkan umatnya di kemudian hari.
Beliau khawatir ada umatnya yang makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan. Karena itu, Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu Jika kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan. “Nabi juga pemah berkata, “Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan senantiasa mendapat bantuan Allah Swt.”
Itulah empat sifat Rasulullah kepada umatnya, yang sangat luar biasa. Marilah kita kenang sifat ruhaniah Rasulullah yang agung kepada kita, dan bandingkanlah apa yang bisa membuktikan kecintaan kita kepadanya. Sudah sejauh mana kita mengikuti Sunnah Rasulullah? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana disebut dalam Surah Al-Taubah (9): 128? Bagaimana kita dapat ikut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita menjadi orang yang berusaha agar orang lain hidup bahagia dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuhkan sikap Raufur Rahim di dalam diri kita?
Kita harus selalu ingatkan pada diri kita misi Rasulullah yang paling utama, yaitu misi akhlak mulia. Tidak ada artinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah tanpa memelihara akhlak mulia. Hendaklah kita selalu malu untuk mengucapkan shalawat kepada junjungan kita sementara di punggung kita penuh dengan dosa dan maksiat. Kita telah mengotori akhlak Rasulullah dengan akhlak buruk kita. JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum
***
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).