Di Balik Kesulitan Ada Kemudahan

Bukankah sudah kulapangkan dadamu, kuturunkan beban berat di pundakmu, dan kumuliakan namamu?! Sungguh, bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Jika telah selesai dengan satu pekerjaan, bersiaplah pada pekerjaan selanjutnya. Dan, kepada Tuhanmu semata hendaknya kau berharap (al-Insyirâh: 1-8).

Ayat ‘bersama kesulitan selalu ada kemudahan’ bisa pula dipahami kebahagiaan selalu ada bersama-sama penderitaan’.

Nah, dalam ayat itu, kenapa Allah mendahulukan kesulitan atau penderitaan (al-‘usr) ketimbang kemudahan atau kebahagiaan (al-yusr)? Apa yang bisa kita pelajari dari penempatan seperti itu?

BARANGKALI sudah menjadi karakter kebanyakan manusia, kita cenderung lebih memperhatikan penderitaan ketim bang kebahagiaan, something wrong lebih mengalihkan per hatian daripada something right. Dalam bahasa bisnis media massa: bad news is good news. Sebuah gigi yang sakit akan lebih diperhatikan daripada sekian gigi yang sehat. Satu ang gota badan yang sakit akan lebih menyita perhatian daripada anggota-anggota badan lain yang tak sakit. Bisa disebutkan sekian contoh bagaimana kita pernah mengalami penderitaan dan kesulitan. Begitu menyita perhatian, terkadang penderitaan dan kesulitan membuat orang berputus asa, merasa hidupnya sempit dan buntu.

Dengan ayat itu, Allah hendak mengatakan bahwa kesulitan tak berdiri sendiri. Ia selalu berdampingan dengan kemudahan. Bahkan, Allah perlu mengatakan itu dengan kalimat-kalimat penegasan. Dalam redaksi ayatnya, kita lihat ada dua tanda penegasan: pertama kata inna yang diartikan dengan sungguh atau benar-benar. Yang kedua adalah pengulangan kalimat ‘kesulitan akan ada kemudahan’. Penegasan itu meyakinkan agar seseorang selalu optimis dan tak sepatutnya larut dalam duka musibah dan bencana. Surah alam nasyrah itu juga disebut dengan al-Insyirâh, yang berarti kelapangan hati atau kebahagiaan. Orang bahagia itu berhati lapang, sebab beban-beban di hatinya telah hi lang.

SURAH alam nasyrah turun sebagai penghibur Rasulullah saat ia dalam derita-yaitu ketika ia dan keluarganya diasingkan dan diisolasi di sebuah lembah. Pada saat itu, juga diturunkan Surah al-Dhuha,

Demi pagi saat matahari di sepenggalah, demi malam sunyi… Tuhanmu tak sedang meninggalkanmu, pula tak sedang benci. Sungguh, pada akhirnya akan lebih baik daripada saat ini. Tuhanmu akan memberimu anugerah, lalu kau pun puas. Bukankah Ia mendapatimu sebagai yatim, lalu Ia melindungimu?! Bukankah Ia melihatmu sedang bingung, kemudian la memberimu petunjuk?! Bukankah Ia mendapatimu sedang kekurangan, lalu Ia mencukupimu?! Sebab itu, jangan kau sewenang-wenang terhadap anak yatim dan jangan menghardik peminta-minta. Dan, bersyukurlah atas nikmat Tuhanmu (al-Dhuhâ: 1-11).

Sebagian ulama mengatakan, Surah al-Insyirâh diturunkan tak lama setelah Surah al-Dhuha itu, pada saat pengasingan tersebut. Seperti Surah al-Insyirah, Surah al-Dhuhâ juga diturunkan untuk menghibur Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya yang menderita di pengasingan.

Tak sedikit ayat yang Allah turunkan untuk menghibur dan menenangkan batin Rasulullah. Misal saja ayat, Jangan kau sedih oleh omongan mereka. Aku tahu apa saja yang mereka rahasiakan dan mereka tampakkan (Yâsîn: 76).

Dengan ayat itu, Allah hendak menenangkan Rasulullah: jangan terlalu memperhatikan omongan orang-orang yang membencimu. Anggap saja sebagai angin lalu. Jika omongan mereka diperhatikan, mereka akan senang dan sebaliknya Rasulullah akan sedih karena menjadi beban pikiran beliau.

Saya juga pernah diomongin orang-orang, dikritik habishabisan karena pernah menyelenggarakan acara yang menurut mereka terlalu cengeng. Ngapain tuh, agama kok cengeng gitu, kata mereka. Padahal, dalam Al-Quran disebutkan, Jika dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah, mereka tersungkur, bersujud, dan menangis (Maryam: 58).

Siapa mereka’? Mereka adalah para nabi, rasul, dan orang-orang saleh. Karena memahami ayat-ayat Allah itu, hati mereka tersentuh dan bukan menangis karena ‘komando’ ustadz yang memimpin pengajian, bukan tangisan yang dijual, seperti yang kita lihat di televisi-televisi itu.

Namun, itu belum apa-apa dibandingkan dengan kandungan omongan dan cacian yang diterima Rasulullah saat awal-awal mendakwahkan Islam. Beliau bahkan dianggap sudah gila. Allah kemudian segera menghiburnya dengan menurunkan ayat untuk membela Rasulullah. Kata Allah, Temanmu (Muhammad) sama sekali bukan orang gila (al-Takwir: 22).

RASULULLAH pernah mengalami masa-masa menyedihkan dalam sejarah hidupnya, yang dikenal dengan ‘am al-huzn (tahun berkabung), yaitu meninggalnya sang paman, Abu Thalib, dan sang istri, Khadijah. Keduanya meninggal dalam jarak waktu yang tak jauh, pada tahun yang sama.

Khadijah sangat dicintai dan dihormati Rasulullah. Sehingga, selama bersamanya, Rasulullah enggan berbagi hati. Meski Khadijah telah meninggal dan Rasulullah pun telah kembali beristri, namun bayangan Khadijah tak pernah hilang. Sejarah Khadijah telah memenuhi hati Rasulullah. Tak jarang Rasulullah memujinya hingga membuat Aisyah cemburu.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dikisahkan: Suatu saat, Rasulullah dan Aisyah sedang bercengkerama di depan rumah mereka. Saat demikian, melintaslah seorang perempuan tua. Rasulullah segera menyambut perempuan itu dan mengajaknya bertamu. Rasulullah lantas melepas serban, menggelarnya, kemudian mempersilakan orang tua itu duduk di atasnya. Keduanya lalu bercakap-cakap. Setelah perempuan tua itu berlalu, Aisyah menanyakan perihal tamu yang diperlakukan begitu istimewa.

“Perempuan tua itu mengingatkanku pada Khadijah … Saat Khadijah masih hidup, perempuan itu sering datang ke rumahnya, dan Khadijah selalu menyambutnya dengan penuh hormat. Aku menghormatinya sebagaimana Khadijah dulu melakukannya,” cerita Rasulullah.

Aisyah mungkin cemburu mendengar Rasulullah bercerita seperti itu.

“Kau masih saja sebut-sebut perempuan yang sudah mati itu. Bukankah kini telah ada perempuan yang lebih baik daripada dirinya?!” kata Aisyah.

Mendengar Aisyah berkata demikian, seketika wajah Rasulullah memerah. Raut wajah seperti itu hanya tampak saat ia menerima titah ilahiah atau ketika sedang marah. Tapi, jelas, kali itu, Rasulullah sedang marah.

Rasulullah lalu menghadapkan wajahnya ke Aisyah dan berkata, “Aisyah, perlu kautahu, Allah tidak akan mendatangkan pengganti sebaik atau yang lebih baik daripada Khadijah! Tidak akan ada lagi perempuan seperti dia!”

“Ia telah terjaga akan kenabianku ketika orang lain masih terlelap berselimut jahiliah, ia memastikan ucapanku sebagai kebenaran saat orang lain menganggapnya bualan, ia tak segan melimpahkan hartanya untuk kebutuhanku tatkala orang lain menyembunyikan tangan, dan darinya Allah memberiku keturunan ketika dari istriku yang lain tidak. Kau perlu tahu semua itu, Aisyah!”

Rasulullah benar-benar marah. Dan, sejak saat itu, Aisyah mengetahui posisi Khadijah di hati Rasulullah.

Dari situ, kita memahami kesedihan Rasulullah atas kepergian Khadijah.

Sebelumnya, masih pada tahun yang sama, paman Rasulullah, Abu Thalib, juga telah berpulang. Abu Thalib adalah tokoh Quraisy yang paling disegani dan dipanuti. Sejak umur delapan tahun, Rasulullah telah berada di bawah asuhannya. Dengan cinta, ia berperan sebagai ayah bagi Rasulullah. Ia tidak tidur kecuali Muhammad kecil ada di sampingnya. Ia tidak keluar rumah kecuali si yatim Muhammad menyertainya. Ia dan keluarganya tidak akan makan kecuali Muhammad telah datang dan mendapatkan bagian. Ia dan keluarganya tak sayang mendapatkan sedikit jatah makanan, asal Muhammad kenyang.

Jadi, tahun itu memang masa paling berduka bagi Rasulullah. Belum lagi, tak lama kemudian, Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya diasingkan di sebuah lembah. Dalam kesedihan beruntun itu, Allah menurunkan Surah al-Insyirah dan Surah al-Dhuha di atas sebagai penghibur dan penenang jiwa.

Ada cerita terkait dengan Surah al-Dhuha. Saya pernah punya kawan novelis. Pada mulanya, ia menulis novel-novel “panas” Tapi, pada masa-masa akhir hayatnya, ia menjadi religius. Karya-karya novelnya lebih “sejuk” Kisah di novel terakhirnya terkait Surah al-Dhuha. Jadi, si novelis itu termspirasi oleh pimpinan kantor yang alur hidupnya seperti dalam surah itu: menjadi anak yatim dan hidup miskin, lalu merantau ke kota, berjuang dengan segenap penderitaan dan perjuangan, sampai akhirnya, singkat cerita, ia menjadi pimpinan kantor dan tentu saja tak miskin lagi, memetik kebahagiaan yang ia perjuangkan. Si novelis itu akhirnya lebih terkesan dengan pesan Surah al-Dhuha tersebut.

Surah al-Dhuha adalah simbol yang melambangkan perjalanan hidup setiap kita. Perhatikanlah kandungan surah itu. Matahari yang naik di seukuran galah dengan sinarnya yang benderang itu telah melewati malam yang kelam, menggambarkan bahwa kesulitan dan penderitaan akan berakhir dengan kemudahan dan kebahagiaan. Kesulitan dan penderitaan hanyalah pengantar menuju kemudahan dan kebahagiaan. Dan kemudahan dan kebahagiaan akan betul-betul terasa nikmatnya jika diawali dengan kesulitan dan penderitaan. Siang hari kita rasakan semakin benderang jika kita kenang kelam malam. Kita akan lebih merasakan nikmatnya sehat jika sudah pernah merasakan sakit. Seperti itu bukan?! Jika demikian maka pada saat berada dalam kebahagiaan, kemudahan, dan kondisi sehat, kita akan lebih bersyukur.

ADA sebuah buku karya Jonathan Haidt berjudul The Happiness Hypothesis yang berisi kumpulan hasil-hasil penelitian. Jika para psikolog meneliti akibat-akibat buruk dari stres, dalam buku itu justru dipaparkan keuntungan-keuntungannya. Disebutkan bahwa stres ternyata bisa meningkatkan kualitas kebahagiaan. Jika kita, misalnya, meraih gelar doktor dengan melewati proses yang membuat stress maka gelar itu akan kita terima dengan sangat lega dan bahagia. Atau, Anda pasti akan bahagia luar biasa begitu mendapatkan kekasih yang sekian lama Anda coba dapatkan dengan susah payah dan stress. Begitu, bukan?! Setelah baca buku itu, saya berdoa, semoga stress kembali datang dalam hidup saya agar kualitas kebahagiaan saya bisa meningkat.

Ketika Tuhan bersumpah demi matahari yang baru tampak sepenggalah, ada makna tersirat bahwa agar kita menengok saat sebelumnya, yaitu malam yang kelam. Dengan demikian, kita akan lebih dalam memaknai arti matahari pagi itu. Saat di pengasingan itu, tentu saja Rasulullah menderita. Ketika Allah menurunkan ayat ‘Bukankah la mendapatimu sebagai yatim, lalu ia melindungimu?!, ada makna tersuat yaitu agar Rasulullah menengok masa lalunya, masa masa kecilnya yang sulit karena terlahir sebagai yatim, Lalu, Allah mengirim tangan-tangan penuh kasih yang melindunginya: ada kakeknya, Abdul Muththalib, yang merawat Muhammad kecil sepeninggal ibunya. Lalu, sepeninggal sang kakek, ada pamannya, Abu Thalib, yang mengasuhnya hingga Rasulallah dewasa. Dengan demikian, derita di pengasingan itu akan terasa ringan.

SELANJUTNYA, coba perhatikan ayat Bukankah la melihatmu sedang bingung, kemudian la memberimu petunjuk?! Bukankah Ia mendapatimu sedang kekurangan, lalu la mencukupimu?! Sebab itu, jangan kau sewenang wenang terhadap anak yatim dan jangan menghardik peminta minta. Dan, bersyukurlah atas nikmat Tuhanmu (al-Dhuhi: 7 11)

Jika kita perhatikan, rangkaian ayat itu sesungguhnya berbicara tentang proses kebahagiaan. Setelah kebahagiaan itu didapat maka bagikan dan tebarkanlah kebahagiaan itu kepada orang lain. Jika pernah menjadi yatim yang perlu mendapat perlindungan maka selanjutnya jadilah pelindung anak-anak yatim. Jika pernah hidup kekurangan dan miskin maka setelah hidup berkecukupan, Jadilah orang yang dermawan. Semua itu sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan. Sebab, kebahagiaan tidak akan berkurang jika dibagi-bagikan, tapi justru akan bertambah.

Rangkaian ayat di atas akan disatukan oleh titik temu ayat ini, Sungguh bersama kesulitan selalu ada kemudahan, Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan (al-InsyirAh;5-6)

SAYA akan menjelaskan kandungan dua ayat Surah al-Insyirh dengan sudut pandang psikologi modern. Ada peribahasa seperti ini: always there is the silver line in the cloud, selalu ada garis perak di antara awan kelabu. Peribahasa itu memang kurang tepat untuk menjelaskan dua ayat itu. Sebab, peribahasa tersebut mengisyaratkan bahwa di tengah penderitaan ada secercah kebahagiaan. Kalau namanya secercah sudah tentu sedikit. Maksud dua ayat di atas tidak seperti itu, tapi justru sebaliknya: setitik kelabu di antara hamparan cahaya. Jadi, sebenarnya, yang sedikit itu kelabu, penderitaan, bukan cahaya, kebahagiaan. Namun, karena seluruh perhatian tertuju pada penderitaan itu, dengan mengabaikan kebahagiaan yang ada, maka penderitaan itu tampak lebih besar. Itulah yang menurut para psikolog disebut dengan missing style syndrome.

Contohnya ketika kita masuk ke rumah yang sangat bagus, kemudian melihat ada satu gentengnya yang hilang. Maka, lubang kecil itulah yang menjadi pusat perhatian kita. Kita mengabaikan genteng-genteng lain yang tertata rapi, keindahan keramik, keindahan perabot lain yang harganya mahal. Atau, jika kita melihat mobil yang sangat bagus, lalu kita temukan sedikit goresan saja. Maka, itulah yang menjadi perhatian kita.

ADA orang menderita gangguan kejiwaan mendatangi psikiater. Ceritanya, ia memasang wallpaper di dinding rumahnya. Orang itu selalu merasa ada satu wallpaper yang selalu tidak pas. Berhari-hari ia memikirkan itu sampai membuatnya gelisah. Stres.

“Bagaimana menurut tetangga-tetangga Anda tentang wallpaper itu?” kata dokter berusaha memahami apa yang terjadi.

“Mereka bilang sudah bagus. Tapi saya tetap merasa tidak pas. Ada satu wallpaper yang tidak menempel dengan pas.”

“Berapa inci?”

“Sedikit. Hanya sepersekian inci saja.”

Si psikiater lalu mendatangi rumah orang itu, ingin melihat sendiri wallpaper yang dimaksud. Setelah memandangi, si psikiater melihat, wallpaper itu sudah pas. Namun, orang tersebut tetap merasa tidak seperti itu.

WAKTU masih SMA dulu, saya punya celana wol. Untuk ukuran masa itu, celana tersebut sudah sangat bagus, mahal pula harganya, meski kalau dipakai terasa panas luas biasa. Suatu ketika, bagian lutut celana itu robek meski sekilas tak tampak, dan tidak ada yang memperhatikan. Tapi saya merasa seolah seluruh orang memperhatikan bagian celana saya yang robek itu. Saya jadi minder sendiri, padahal tidak ada orang yang memperhatikan.

SEORANG filosof dan penyair Iran bernama Sa’di bercerita. Suatu ketika ia mendirikan shalat di Masjid Bani Umayah di Damaskus (masjid itu bernama ‘Bani Umayah’ karena Umayah yang membangunnya. Sekarang sudah tidak digunakan sebagai masjid lagi, melainkan sebagai objek wisata). Selesai shalat, ia melihat sepatunya sudah tidak ada lagi. Ia menggerutu, meratapi sepatunya yang hilang. Hatinya menyalahkan setiap orang yang ada. Ia berbisik, di tempat ibadah kok malah terjadi pencurian.

Sa’di lalu kembali ke dalam masjid, hendak menanyakan, barangkali ada yang tahu di mana sepatunya berada. Belum lagi sempat bertanya, ia melihat orang tua dengan senyum selalu terkulum di wajahnya, menyemburatkan bahagia di hatinya. Yang membuat Sa’di tertegun adalah ternyata orang tua itu cacat, kehilangan kedua kakinya. Sa’di lantas merenung, bagaimana bisa aku menggerutu hanya karena kehilangan sepatu, sementara wajah orang tua itu memancarkan Bahagia meski kedua kakinya telah tiada.

CERITA yang kurang lebih sama juga terdapat dalam buku How To Stop Worrying and Start Living karya Dale Carnegie. Dalam buku itu dikisahkan, seorang pebisnis di Amerika memasang sebuah tulisan di kantornya: Aku pernah berduka karena kehilangan sepatu sampai aku berjumpa dengan orang yang kehilangan kedua kakinya.

Ceritanya, perusahaan si pebisnis itu bangkrut. Setelah menyelesaikan urusan piutang dengan bank, ia memutuskan pulang kampung, berkumpul bersama keluarganya. Saat hendak menyeberang jalan, ia disapa dengan ekspresi bahagia oleh orang yang berjalan dengan kursi roda. Ia tertegun, melihat kondisi orang yang menyapanya itu. Karena peristiwa itulah ia mencoba bangkit, merintis kembali usahanya dan akhirnya ia kembali menjadi pengusaha besar dan sukses.

KISAH-KISAH di atas menggambarkan gejala missing style syndrome: setitik derita menjadi seolah raksasa karena perhatian hanya tertuju padanya, dengan mengabaikan bahwa yang setitik itu sesungguhnya berada di tengah belantara bahagia.

ADA istilah half empty dan half full. Maksud half empty bisa saya contohkan seperti ini: saya membuat segelas minuman yang sangat nikmat. Saya minum sampai kemudian tersisa setengah, kemudian dengan nada menyesal, saya mengatakan, “Yah, tinggal setengah, deh, atau, “Habis, deh, setengahnya.” Sedangkan maksud half full maka saya akan mengatakan, “Syukur, masih tersisa setengah.” Bisa kita pahami perbedaannya. Jika half empty meratapi yang telah berlalu dan yang telah tiada, sedangkan half full mensyukuri yang masih tersisa dan yang masih ada.

Nah, missing style syndrome itu tak berbeda dengan karakter half empty: keduanya sama-sama menjadikan apa yang telah tiada menjadi fokus perhatian, yang memunculkan sikap pesimis dan putus asa.

Kakak perempuan saya, di Sumedang, punya teman yang anaknya meninggal dunia pada proses operasi penyakit amandel di rumah sakit. Si teman ini merasa bersalah dan begitu menyesal, sekiranya ia tak membawa anaknya ke meja operasi mungkin saja tidak meninggal. Hampir tiap hari mengunjungi makam anaknya itu, pada setiap siang dan sore, meratapi ia yang telah tiada, sampai anak-anaknya yang masih ada jadi telantarkan. Saya kemudian mendekati si teman itu, membantu mengobatinya dengan terapi ayat ‘bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Berproses bersama waktu, si teman itu akhirnya menyadari, jika yang telah tiada begitu berharga sehingga diratapi maka yang ada seharusnya akan lebih berharga. Ia menjadi lebih sayang dan penuh perhatian kepada anak-anaknya yang masih ada. Begitulah, dari ketiadaan, kita akan mengetahui betapa berharganya sesuatu yang ada.

ADAPUN half full itu sama dengan yang kita kenal dalam kearifan Jawa, yaitu ‘falsafah untung’: keduanya sama-sama berfokus pada yang masih ada, mengajarkan tetap berpikir positif dan optimis terhadap apa pun yang terjadi. Bukankah kearifan semacam itu selaras dengan nilai-nilai Al-Quran?!

Dikisahkan, dalam kondisi sakit. Imam Ali Zainal Abidin berdoa, “Ya Allah, aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Berkat sakit ini, aku terhindar dari berbagai dosa, aku lebih punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga.”

DEMIKIAN Al-Quran mengajarkan: bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan. Jangan habiskan perhatian kita pada penderitaan dan kesulitan, sebab itu akan membawa pada penderitaan dan kesulitan selanjutnya, melainkan, arahkan perhatian kita pada kenikmatan yang ada. Niscaya kita akan menjadi hamba yang bersyukur.

DALAM psikologi dikenal istilah post traumatic stress atau menderita stres karena trauma oleh sebuah peristiwa, seperti kehilangan anak, suami, istri, dan sebagainya. Stress itu mengakibatkan sistem imun penderita menjadi lumpuh. Ia lebih mudah tersinggung, tidak bisa merasakan kenikmatan-hidup yang terkecil sekali pun.

Ada juga post traumatic growth yaitu kejiwaan yang tumbuh lebih baik setelah menderita trauma, seperti dalam kisah pada artikel sebelumnya, yang kasih sayangnya tumbuh lebih besar kepada anak-anaknya setelah menderita trauma kepergian salah satu anaknya.

PADA penutup pembahasan ini, saya akan bercerita tentang seorang laki-laki bernama Greg. Cerita bermula saat Greg kehilangan jejak istri dan anak-anaknya. Setelah sekian lama, Greg kemudian menyewa detektif untuk mencari tahu keberadaan mereka. Akhirnya diketahui, ternyata istrinya kabur Bersama laki-laki lain setelah keduanya berjumpa di sebuah maill, dua minggu sebelumnya. Greg mengalami keguncangan hebat, pikirannya kacau, stres. Cinta yang selama ini ia curahkan ternyata dibalas dengan pengkhianatan.

Greg lalu berkonsultasi dengan psikolog bernama H. Joursen. “Orang yang  membawa kabur istrimu itu tentu bukan orang baik, orang gila yang tidak tahu malu dan tidak punya keterikatan moral. Orang seperti itu hanya akan memanfaatkan orang lain, menguras keuntungan darinya. Ia tidak akan membahagiakan orang lain. Istrimu akan menyesali perbuatannya,” kata psikolog itu.

Benar saja. Akhirnya, Amee, nama wanita itu, kembali kepada Greg. Dan, tentu saja, Greg sudah tidak mau menerima kehadirannya lagi. Dua bulan berikutnya, Greg mendapatkan hak asuh terhadap anak-anaknya, menjadi single parent.

Meski, kehidupan Greg selanjutnya masih belum cerah. Uang yang ia dapatkan dari gaji sebagai asisten dosen telah terkuras untuk membiayai perjuangannya mendapatkan hak asuh anak-anaknya di pengadilan. Garapan-garapan bukunya juga berantakan. Ia pun mencemaskan kondisi mental anak-anaknya sebab harus hidup tanpa seorang ibu.

Hari demi hari berlalu, luka hati Greg semakin kering, meski tetap berbekas. Ia merenungi kondisi berat yang pernah ia lalui itu. Ia tersentuh, sebab selama dalam penderitaan, banyak hikmah ia dapatkan. Banyak kawannya yang lebih memperhatikannya dan ikut membantu meringankan beban kehidupannya. Orangtuanya menjual rumah kemudian pindah ke tempat yang lebih dekat dengan Greg untuk membantu membesarkan anak-anak Greg.

Greg mengatakan bahwa pengalaman telah mengubah kehidupannya, mengajarkan bagaimana harus memperlakukan orang lain. Ia mengalami perubahan nilai-nilai  dalam hidupnya. Kini ia lebih mudah berempati dan memaafkan orang lain dan tak lagi menjadi pemarah.

Berangsur kehidupannya membaik. Garapan-garapan buku yang sempat tertunda dapat ia selesaikan. Tak lama kemudian ia mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Begitulah. Terkadang tragedi membawa kebaikan dan kesadaran baru bagi penderitanya, untuk kemudian menjalani kehidupan yang lebih baik. JRwa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *