Salah satu nabi yang yang sering diceritakan Rasulallah dalam sabda-sabdanya adalah Nabi Daud. Rasulallah pernah mengatakan bahwa orang paling baik adalah yang seperti Nabi Daud. Meski seorang raja. Nabi Daud memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil jerih payahnya sendiri. Kita tahu. Nabi Daud dianugerahi kemampuan untuk mengubah besi menjadi barang-barang berguna dengan tangannya sendiri, kemudian menjualnya di pasar. Seperti itulah ia menghidupi kesehariannya.
Suatu ketika, ia menyuruh pembantunya menjual barang-barang tersebut ke pasar. Beberapa waktu kemudian. Nabi Daud terkejut saat pembantunya itu pulang tanpa membawa untung. Dagangannya utuh, tidak ada yang laku. Selidik punya selidik, ternyata hampir semua orang pergi ke kuburan. Pasar sepi, aktivitas sosial terhenti. Semua itu terjadi karena sebelumnya Nabi Daud menangkap dan memenjarakan para iblis (ini juga menjadi salah satu karunia Nabi Daud). Akhirnya, Nabi Daud membebaskan kembali para iblis.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari cerita itu? Ternyata kehadiran iblis, makhluk yang terkutuk itu, juga berperan dalam kehidupan kita. Tanpa kehadiran iblis, aktivitas duniawi terhenti.
Barangkali kita pernah bertanya-tanya, kenapa perlu diciptakan keburukan dan penderitaan? Itu bisa jadi menjadi pertanyaan siapa pun yang menderita, bukan hanya kaum filosof saja. Dan tentu saja akan ada jawaban beragam.
Seseorang mungkin akan menjawab, penderitaan diciptakan Tuhan untuk mengetahui kadar ketakwaan hamba. Namun, jika sekadar ingin tahu, bukankah Tuhan mengetahui segalanya.
Atau mungkin untuk meningkatkan kualitas ketakwaan hamba. Dengan ujian penderitaan itu, diharapkan ketakwaan hamba tersebut dapat meningkat. Tapi, kenapa ada orang yang pada mulanya tampak baik-baik saja, namun begitu diuji dengan penderitaan, ia justru kehilangan nilai-nilai moralitas.
Mungkin juga ada orang yang mengatakan, penderitaan dan keburukan di dunia sesungguhnya adalah investasi akhirat. Orang yang diuji dengan itu akan mendapat pahala berlipat di akhirat kelak. Maka, terimalah semua .itu dengan sabar dan lapang dada, sebab Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.
Jadi, agama selalu dihubungkan dengan penderitaan.
Bagi para filosof, jawaban-jawaban di atas sangat tidak mengenakkan. Bagaimana itu semua menjadi jawaban, sementara Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang?!
Kenapa pula untuk sekadar memberi pahala harus menimpakan penderitaan dulu?!
Dulu, kakek saya termasuk orang kaya di kampung. Setiap kali panen, ia selalu berbagi dengan orang-orang miskin, caranya, mereka dibariskan di halaman rumah, satu per satu maju mengambil bagian, tapi sebelumnya, tangan mereka dipukul hingga bekas pukulannya baru hilang setelah satu minggu. Dan, kakek saya punya kenikmatan tersendiri melakukan hal demikian.
Nah, tentu saja, kita tak akan mengatakan bahwa yang dilakukan kakek saya itu perbuatan baik.
Lalu, apakah Tuhan seperti itu?
Ada kisah tentang Nabi Daud yang menurut saya cukup populer, meski sejauh yang saya tahu, kisah tersebut tak disebutkan dalam kitab hadis mana pun.
Tuhan mewahyukan kepada Nabi Daud bahwa ada orang perempuan yang kelak menjadi pendampingnya di surga. Disebutkan, perempuan itu bernama Khuludah binti Aud. Nabi Daud pun mencari, dan akhirnya ketemu, kemudian menceritakan maksud kedatangannya.
“Mungkin kau salah. Itu memang namaku, tapi barangkali bukan aku yang kaumaksud. Bahkan, aku tidak tahu kenapa aku bisa masuk surga, jika yang kaukatakan itu benar,” kata perempuan itu.
“Tidak. Tidak salah lagi. Kau perempuan itu,” kata Nabi Daud berusaha meyakinkan. “Coba, ceritakan kehidupan sehari-harimu.”
Perempuan itu lalu menceritakan bahwa setiap kali mendapat musibah apa pun, ia selalu bersabar. Tak hanya itu, bahkan ia bersyukur dengan musibah itu.
“Itulah amalan yang akan mengantarkanmu menuju surga,” kata Nabi Daud menanggapi.
Jadi, perempuan itu memperoleh kedudukan tinggi karena selalu bersyukur bahkan terhadap musibah.
Bersabar terhadap musibah, meski pun berat, itu hal biasa dan tak istimewa, sebagaimana bersyukur terhadap karunia. Yang istimewa adalah jika bersyukur terhadap musibah.
Bagaimana caranya bersyukur saat ditimpa musibah? Yaitu dengan melihat sisi-sisi positif dan kebaikan dalam musibah itu, seperti dalam doa Imam Ali Zainal Abidin saat ia sakit, “Ya Allah, aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Sebab, berkat sakit ini, aku terhindar dari berbagai kenistaan, aku lebih punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga.”
ADA sebuah buku berjudul The Divine Message of the DNA karya Kazuo Murakami. Ada yang menarik dalam buku itu, yaitu penelitian yang akan menjawab pertanyaan dalam tulisan ini: mengapa kita harus mensyukuri musibah? Sebab, musibah adalah suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, musibah itu akan membawa derita atau justru bahagia, tergantung bagaimana sikap orang yang menerima musibah itu.
Dalam karya orang Jepang itu tersirat pesan-pesan Tuhan di dalam DNA.
Dalam tubuh kita, struktur kehidupan yang paling dasar adalah gen. Ia ibarat microchip yang memprogram seluruh anggota tubuh. Rambut hitam, rambut putih, menjadi pembenci atau pecinta dan sebagainya, semua sudah terekam dalam struktur genetik. Kita tertawa atau berduka, semua di gerakkan oleh gen-gen kita. Dan, struktur kode genetik kita merupakan kombinasi dari struktur sel neuron yang terdiri lebih dari tiga miliar gen.
Sederhananya, ada tiga miliar gen yang menentukan tingkah laku dan perubahan fisik kita; ada gen yang menentukan warna rambut, gen yang menentukan cara berpikir, gen yang memengaruhi perasaan dan indra perasa, gen yang memengaruhi saraf mata. Semua aktivitas yang terjadi merupakan instruksi dari gen-gen kita. Nah, dari tiga miliar itu, hanya lima sampai sepuluh persen gen saja yang aktif, yang memberi instruksi pada aktivitas tubuh, pola pikir, dan sebagainya. Dan, sisanya, yang sembilan puluh persen itu tidak aktif, masih menjadi potensi yang pada masanya akan bereaksi. Seperti anak-anak remaja putri yang mengalami menstruasi saat memasuki usia tertentu, atau remaja putra yang suaranya mulai membesar. Semua itu karena gen-gen dalam struktur tubuh mereka telah aktif. Dan, memasuki usia-usia senja, pada wanita, gen-gen itu akan kembali non aktif, tak lagi menstruasi atau dikenal dengan menopause. Ibu-ibu yang sudah menopause lalu mendatangi dokter, “Dok, tolong saya dikasihi injeksi hormonal.” Bahasa mudahnya, diaktifkan kembali hormonnya.
Jadi, kita mungkin punya “tombol” untuk mengaktifkan dan me-non-aktifkan gen-gen. Salah satu yang memengaruhi atau merangsang gen-gen yang tak aktif menjadi aktif adalah lingkungan. Baik dan buruk lingkungan akan, merangsang gen-gen non-aktif itu menjadi aktif lalu memberikan instruksi baik atau buruk pada perilaku.
Memberi dan selalu mengungkapkan rasa terima kasih serta rasa syukur juga dapat mengaktifkan gen-gen positif dalam tubuh. Sebab, semua itu lahir dari kebahagiaan. Kebahagiaan itulah tombol yang mengaktifkan gen-gen positif tersebut.
SAMPAI sekarang, kanker masih menjadi penyakit yang misterius. Terlalu banyak hal yang dinisbahkan menjadi sebab-sebab penyakit itu, rokok salah satunya. Tapi, tak semua perokok kemudian menjadi penderita kanker atau tak sedikit penderita kanker yang bukan perokok. Ada juga penyakit kanker yang tiba-tiba menghilang dari tubuh penderitanya. Semua itu masih menjadi misteri dalam dunia kedokteran, meski ada sementara jawaban statistik penyebab penyakit kanker, semisal sodium glutamate, udara yang berpolusi, unsur logam yang berlebihan dalam darah, dan stres.
Soal stres itu, ada penelitian tentang manakah yang lebih berdampak menyebabkan kanker, antara merokok dan perceraian. Hasilnya adalah ternyata satu kali perceraian lebih cepat menyebabkan kanker dibanding dengan merokok dua puluh batang perhari. Tentu saja bukan perceraiannya yang menyebabkan kanker, melainkan stres yang muncul akibat perceraian itu. Nah, jika stres lebih cepat menyebabkan kanker maka sebaliknya, kebahagiaan (tidak stres) bisa menghilangkan sel-sel kanker.
Dunia genetika juga membuktikan, ternyata stres bisa menyebabkan kerontokan rambut atau membuatnya putih. Penjelasannya juga sama, yaitu stres menghidupkan gen-gen yang memberi instruksi pada kerontokan rambut atau gen-gen yang menyuburkan rambut menjadi bungkam. Dan, kita pun bisa berpikir sebaliknya, berarti kebahagiaan bisa menyuburkan dan menghitamkan rambut.
Singkat kata, situasi kejiwaan dapat memengaruhi kondisi tubuh.
Dalam buku The Divine Message of the DNA itu juga di paparkan hasil percobaan terhadap icoli, bakteri yang mengonsumsi glukosa. Pada awalnya, orang-orang yang terlibat dalam percobaan itu berasumsi bahwa bakteri tersebut hanya mengonsumsi glukosa. Jika tidak ada glukosa, ia akan mati. Asumsi mereka keliru, sebab icoli ternyata juga mengonsumsi laktosa. Ajaib, kata mereka. Mereka bertanya-tanya, apakah bakteri tersebut secara genetis memang pemakan laktosa atau kecenderungan itu hanya muncul kemudian? Akhirnya diketahui bahwa icoli memang memiliki dua kecenderungan: pemakan glukosa—dan itu yang biasa, lalu, saat glukosa tidak ada, gen-gen yang biasa memberi instruksi icoli untuk memakannya menjadi padam, kemudian yang hidup adalah gen-gen yang memberi instruksi memakan laktosa.
Contoh gampang saja, kita, orang Indonesia, terbiasa mengonsumsi nasi, gen-gen tubuh kita memang memberi instruksi itu. Namun, jika nasi tidak ada, ubi, jagung, singkong pun jadi. Begitulah kira-kira.
DALAM buku itu juga dikemukakan hasil penelitian di Jepang tentang apakah pola pikir memengaruhi peningkatan glukosa dalam tubuh penderita diabetes? Yang menjadi objek penelitian adalah para penderita diabetes stadium kedua.
Satu kelompok diminta menghadiri perkuliahan yang sangat tidak menyenangkan dan membosankan. Satu kelompok lain mendengarkan hiburan lucu, mengajak mereka tertawa dan hanya tertawa. Kemudian, setelah makan, masing-masing dari dua kelompok itu diukur kadar glukosanya. Apa yang terjadi? Para penderita diabetes yang menghadiri kuliah membosankan itu mengalami peningkatan glukosa sebesar kira-kira 123 mg. Sementara, mereka yang menonton acara komedi hanya sekitar 77 mg saja. Percobaan itu tak hanya dilakukan sekali dua kali. Peningkatan kadar glukosa itu ditentukan oleh kode genetik dalam tubuh. Dan, kode genetik itu dipengaruhi oleh pola pikir. Pola pikir yang cenderung negatif, stres, akan meningkatkan kadar glukosa. Sebaliknya, pola pikir positif, perasaan gembira, cenderung menekan peningkatan kadar glukosa.
Jadi, begitulah. Teknologi modern telah membuktikan bahwa berpikir positif dapat mengaktifkan gen-gen positif yang memengaruhi kondisi tubuh manusia, serta memberikan instruksi aksi positif.
APA artinya semua itu? Artinya, dalam diri kita sesungguhnya ada kemampuan yang masih berupa potensi, yaitu gen-gen yang bisa dihidupkan dengan berpikir positif, yang kemudian akan menginstruksikan aksi-aksi positif serta memengaruhi perubahan kondisi tubuh.
JADI, seperti itulah kurang lebih penjelasan ilmiah dari ayat Sungguh, bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan benar-benar selalu ada kemudahan (al-Insyirah: 5-6), yang telah di sebutkan di pada artikel sebelumnya.
KARENA itu, musibah yang niscaya ada dalam hidup tak perlu diratapi. Mengeluh dan meratapi musibah akan menghidupkan gen-gen negatif yang menginstruksikan pada aksi-aksi negatif pula serta memengaruhi kondisi tubuh. Sebaliknya, jika orang tertimpa musibah kemudian menata jiwa dan pikirannya maka itu akan menghidupkan gen-gen positif dalam tubuh.
Maka, benarlah jika dikatakan, musibah itu keniscayaan, sedangkan penderitaan adalah sikap dan pilihan. Tak semua orang akan terpuruk dan menderita oleh musibah yang mendera, dan mungkin kehidupan selanjutnya justru lebih baik, karena kejiwaan dan pola pikirnya mengarahkan pada pilihan itu. Dan, tentu saja tak sedikit barangkali yang terpuruk dan menderita oleh musibah. Sebabnya sama: kejiwaan dan pola pikirnya memilih demikian.
Pada akhirnya, musibah mengubah cara pandang seseorang dalam memahami kehidupan atau bahkan lebih mencerahkannya dalam menilai kehidupan. Semua itu bermula dari pola pikir. Maka, berpikirlah positif, yaitu dengan bersyukur dan bertawakal.
Dalam Al-Quran disebutkan. Katakanlah, “Apa yang menimpa kami ini telah Allah gariskan. Dialah pelindung kami. Hanya kepada Allah semata semestinya orang-orang mukmin itu bertawakal” (al-Tawbah: 51).
Itulah terapi berpikir positif yang diajarkan Al-Quran untuk menyikapi musibah agar tak menjadi derita.
Ada seorang tokoh psikologi kebahagiaan, pendiri mazhab psikologi positif. Ia menulis buku tentang apa yang bisa kita ubah dan yang tidak. Ia mengatakan, sesuatu yang terjadi tanpa bisa kita usahakan mengubahnya maka kita pasrah saja. Sebab, jika melawan sementara sesuatu itu sesungguhnya tak bisa dilawan maka perlawanan itu akan melahirkan derita. Percayalah! JR—wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.
KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).