Mengubah Sudut Pandang

Allah berfirman, Ada malaikat-malaikat pengiring yang secara bergiliran membantu manusia menjakan perintah Allah. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mau memulai sendiri perubahan itu. jika la berkehendak menimpakan keburukan kepada suatu kaum maka siapa pula yang mampu mencegahnya. Untuk mereka, tidak ada pelindung selain Allah, la memperlihatkan halilintar yang membuat kalian takut dan pada saat yang sama kalian menyampaikan harapan. Allah pula yang membentuk awan mendung itu (al-Ra’d: 11-12).

Ada ayat lain yang memiliki semangat sama dengan ayat tersebut, yaitu ayat ke-58 Surah al-Anfal, Allah tak akan mencabut anugerah suatu kaum sampai mereka sendiri sesungguhnya yang berulah. Demikianlah Allah menghukum Firaun dan kaumnya. Artinya, sebaliknya, jika kita berbuat sesuatu yang mendukung hadirnya anugerah maka Allah pun akan membantu prosesnya.

Begitulah. Dalam dua ayat di atas Allah menyelipkan pesan bahwa kerja keras dan optimisme semestinya menjadi satu paket yang niscaya dalam kehidupan. Akan selalu ada hasil jika kita fokus pada apa yang kita kerjakan. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.

HIDUP kita ini tak beralas realitas. Kita hanya berdiri di atas definisi dan penafsiran terhadap realitas.

Saya ulangi inti pembahasan artikel sebelum ini: keberuntungan dan kemalangan, anugerah dan musibah, adalah keniscayaan hidup. Namun, derita dan bahagia adalah sikap dan ada dalam kendali hati. Artinya, tak bisa kita katakan, orang yang tertimpa kemalangan dan musibah pasti menderita. Demikian sebaliknya, kita tak bisa pastikan, anugerah materi duniawi selalu membuat orang bahagia. Dalam Surah al-Rad di atas, Allah memberikan tamsil, Allah memperlihatkan halilintar yang membuat kalian takut dan pada saat yang sama kalian menyampaikan harapan. Allah pula yang membentuk awan mendung itu.

Menurut saya, tamsil tersebut benar-benar indah dan menarik: halilintar itu dapat menimbulkan ketakutan, dan pada saat yang sama bisa melahirkan harapan, tergantung dari sudut mana kita memandang. Dari sudut pandang yang positif, tentu saja halilintar dan awan mendung hitam adalah harapan akan turunnya hujan. Betapapun hallintar itu begitu terang di mata dan demikian terngiang di telinga, betapa pun awan mendung hitam itu begitu kelam, kesan menakutkan akan segera sirna bila yang kita lihat adalah turunnya air, sumber kehidupan. Realitasnya tunggal: halilintar. Namun, penafsiran atas realitas itu tak tunggal: ketakutan atau harapan, tergantung sudut pandang.

Dengan memahami demikian, kita tidak akan mempersoalkan musibah, lalu menyalahkan Tuhan. Musibah itu niscaya. Jika Tuhan berkehendak, tak ada seorang pun yang dapat menghindar. Maka, ubahlah sudut pandang Anda sendiri agar setiap musibah tak menjadi derita.

Contoh lain, senyuman. Di mana-mana senyuman itu sama saja: bibir yang melebar, menampakkan gigi, atau sekadar senyuman mesem yang tanpa menampakkan gigi. Siapa saja dan di mana saja, begitu yang namanya senyum. Namun, arti senyuman itu akan bermacam-macam: keramahan, ejekan, terpesona, dan lain-lain. Maka, kita terkadang salah tangkap. Kita pikir, orang tersenyum karena terpesona, lalu, kita pun senang. Padahal, bisa saja ia tersenyum karena sedang mengejek diam-diam.

Di SMA Plus yang saya kepalai, pada hasil ujian akhir nasional (UN), dewan guru tak meluluskan seorang siswa yang cerdas. Nilai hasil ujian akhirnya itu bahkan rata-rata 8,5. Kami tak meluluskan, sebab anak itu mengabaikan ujian lokal sekolah. Dia pikir, jika nilai UAN saja sedemikian bagus dan tentu saja lulus maka tak perlulah ikut ujian lokal. Ia pun menggampangkan. Namun, sekolah kami tak hanya melihat sisi akademis, perilaku para siswa Juga kami perhatikan.

Kami pikir, orang tua si siswa akan shock, stres, marah, atau tak terima, melihat masa depan pendidikan anaknya yang terhambat. Ternyata tidak. Bahkan, mereka malah berterima kasih setelah kami Jelaskan. Mereka menganggap yang terjadi sebagai pelajaran penting agar si, anak mau memperbaiki kecenderungan buruk dirinya. Lebih baik diperlihatkan halilintar dengan suara demikian ngiang saat ini daripada tersambar pada, puncak kariernya kelak. Halilintar yang bergelegar di telinga tak mereka anggap sebagai ketakutan, tapi harapan: agar anaknya mawas diri dan mau berubah untuk kebaikan di masa depan.

Menurut para psikolog, itulah yang dikenal dengan reframing: mengubah sudut pandang, melihat objek pandangan dari sisi berbeda. Seperti, jika kita membidik objek foto: bila dari satu sisi kita tahu hasil bidikan tidak akan bagus maka, coba carilah sisi lain sampai bidikan benar-benar bagus. Jadi, yang diubah adalah sudut, bukan objek pandangan.

Seperti itulah kita memahami ayat, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mau memulai sendiri perubahan itu (al-Ra’d: 11). Perubahan itu salah satunya adalah dengan mengubah sudut pandang. Saat sakit, misalkan, janganlah seluruh pikiran digunakan untuk meratap. Sebab, itu akan menjadikan keadaan lebih buruk. Tapi, berpikirlah untuk menemukan kebaikan. Coba perhatikan, orang yang sakit tentu akan lebih banyak waktu berkumpul bersama keluarga, saudara-saudara, dan para tetangga yang menjenguknya. Suatu kesempatan yang barangkali tak bisa dilakukan dengan baik saat sibuk oleh pekerjaan, kala sehat. Kehadiran kerabat-kerabat di sisi saudara yang sakit akan membantu memulihkan keadaan dari sisi psikologis, dan berangsur-angsur akan berpengaruh pada kondisi fisik.

ADA orang kaya berkat kesuksesan usahanya. Baik pula. Sering membantu saudara-saudara dan para tetangganya, menanggung kebutuhan mereka. Namun, ia punya kekurangan, yaitu berpikir bahwa hidup saudara-saudara dan para tetangganya bergantung kepadanya. Jika saja ia tak ada, pasti melarat hidup mereka, siapa lagi yang akan menanggung beban ekonomi mereka. Ia selalu merasa demikian.

Suatu ketika, orang itu menunaikan ibadah haji bersama keluarganya. Di Makkah, ia jatuh sakit. Agak parah, bahkan sampai sekembalinya ke Tanah Air. Di sini pun ia cukup lama menanggung sakitnya. Dengan kasih sayang, keluarga merawatnya. Sampai kemudian tersadar, betapa ia yang dulu pernah berpikir menjadi penanggung hidup dan menjadi tempat bergantung keluarga, kini harus tak berdaya dan malah berbalik bergantung kepada mereka. Ia menyadari, betapa mereka sayang kepadanya. Selama ini matanya samar karena tertutup keangkuhan. Kondisi sakitnya itulah yang mengubah cara pandang terhadap keluarganya. Ia tak lagi meletakkan keluarganya dalam bingkai materi.

BEGITULAH. Untuk menunjukkan kekurangan diri, terkadang seseorang perlu diberi guncangan-guncangan dan gelegar-gelegar halilintar.

DAHULU, di Romawi, ada seorang bernama Anicius Boethius yang besar dalam keluarga aristokrat kaya. Ia menikah dengan putri aristokrat itu. Anicius hidup kira-kira tiga puluh tahunan sebelum Rasulullah lahir.

Saat itu, Anicius menduduki jabatan tertinggi, yaitu sebagai konsul, berkat kecerdasan dan kejujurannya. Jabatannya itu ia manfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat sampai kemudian dituduh berkhianat kemudian dipenjarakan. Akhirnya, ia tewas dieksekusi. Kelak, Katolik Roma mengangkatnya menjadi santo, orang yang disucikan. Saat dalam penjara itu, ia merenung, kesalahan apa yang ia lakukan hingga harus dibui, padahal pengabdiannya sebagai konsul ia curahkan untuk kepentingan rakyat. Selama dibui itu, ia juga menulis sebuah buku yang kemudian menjadi karya masterpiece-nya berjudul The Consolation of Philosophy.

Dalam buku itu, Anicius menulis, seorang perempuan sangat cantik mendatanginya, lalu berkata, “Dulu, saat keberuntungan memelukmu, kau tak sadar bahwa dunia selalu berubah. Pada saatnya, pelukannya pasti akan terlepas. Tidakkah kau tahu, keindahan musim semi akan segera undur dan berganti musim panas?! Bukankah alam menyediakan angin sepoi-sepoi basah yang mengantarkan para nelayan ke laut dan pada saat yang sama ia juga bisa mengembuskan badai dan topan?!” Anicius menyebut, perempuan itu adalah Dewi Filsafat. Kepada Anicius, Dewi itu juga bercerita bahwa apa yang terjadi pada Anicius hanyalah pengulangan sejarah masa lalu. Jauh sebelumnya,. Socrates juga mengalami hal yang kurang lebih sama, yaitu diracun oleh bangsanya sendiri.

Jadi, Dewi Filsafat itu me-reframing pola pikir Anicius saat dalam penjara itu, dengan menceritakan kisah-kisah masa lalu, agar Anicius tak menyesali apa yang terjadi.

Buku itu menjadi pegangan para pendeta Katolik. Jika sedang dirundung duka, mereka membaca buku tersebut yang memang berisi “hiburan filsafat”.

Jadi, sebetulnya, kita ini selalu berfilsafat. Ketika berusaha mencari atau memberi makna di setiap peristiwa yang terjadi, kita sedang berfilsafat. Tak sedikit orang yang mengharamkan filsafat. Tapi, tidak dengan saya. Sebab itulah saya pernah dianggap mengajarkan kesesatan. Saya langsung melakukan reframing. Ah, barangkali orang-orang itu sebetulnya tak paham filsafat. Jadi, saya tak terganggu dengan anggapan-anggapan seperti itu.

SELAIN reframing, ada pula teknik lain mengubah keadaan pikiran dan perasaan, yaitu mengonsumsi obat-obatan dan ramuan-ramuan tertentu.

Ada seorang psikolog di Amerika yang selalu berandai-andai jika suatu saat ia dipecat dari tempatnya bekerja. Lama ia memikirkan hal itu hingga membuatnya cemas. Ia menjadi mudah tersinggung dan lebih sensitif. Jika mendapat kritikan dari mahasiswanya, akan menjadi beban pikiran yang membuatnya sulit tidur. Ia sadar dengan apa yang terjadi. Lalu, ia mengonsumsi obat froska untuk menghilangkan kecemasannya. Setelah tiga minggu mengonsumsi obat itu, kecemasannya pun hilang. Tak lagi mudah tersinggung dan lebih tenang pembawaannya. Hari-harinya selalu di awali dengan perasaan tenang. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya adalah efek samping obat itu. Ia menjadi pelupa. Banyak hal yang terlupakan, termasuk nama-nama mahasiswanya. Menyadari demikian, ia pun berpikir, lebih baik menderita stres daripada hidup tenang tapi hilang ingatan.

Obat-obat kimiawi memang cepat bereaksi. Namun, selalu tak steril dari efek samping. Dan efek samping yang berat adalah ketergantungan terhadap obat itu. Jika berhenti mengonsumsi, penyakit akan kumat. Bahkan, mungkin akan lebih parah daripada sebelumnya. Nah, yang tanpa efek samping tentu saja cara yang pertama, yaitu reframing. Memang, itu perlu proses, latihan terus-menerus, istikamah, tidak instan seperti reaksi obat-obatan kimiawi. JRwa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb.

Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum.

KH. Jalaluddin Rakhmat, Pendiri Yayasan Muthahhari (Untuk Pencerahan Pemikiran Islam) dan Sekolah Para Juara (SD Cerdas Muthahhari www.scmbandung.sch.id, SMP Plus Muthahhari www.smpplusmuthahhari.sch.id, SMP Bahtera www.smpbahtera.sch.id, dan SMA Plus Muthahhari www.smaplusmuthahhari.sch.id).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *